Verba Volant, Scripta Manent

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” — Pramoedya Ananta Toer

Setelah vakum beberapa tahun lamanya, akhirnya saya mengobati kerinduan saya aktif menulis kembali. Seperti biasa, topik tulisan saya random. Topik kejadian keseharian, review film, psikologi, parenting, pekerjaan, dan sebagainya. Banyak teori yang bilang kalau menulis di blog harus ada temanya supaya ada audiens yang secara khusus tertarget, misalnya blog yang khusus me-review tentang kecantikan, gadget, atau kuliner. Tapi menurut saya menulis tema random tentang keseharian juga memiliki daya tarik tersendiri. Menulis dengan tema random bagi saya memberikan kebebasan untuk menulis apa pun yang kita suka yang mencerminkan kehidupan sehari-hari atau berbagai minat kita saat itu.

Beberapa teman baru, yang mungkin baru mengenal saya bertanya, “Kak Devi ternyata masih suka nulis, ya? Kenapa, Kak? Kan sekarang zamannya udah zaman visual, orang lebih tertarik nonton konten video ketimbang tulisan.” Saya sudah suka menulis sejak SD. Sepertinya ada saja hasil ‘tulisan’ yang saya buat waktu itu, misalnya tiba-tiba membuat tulisan fiksi anak-anak, cerita legenda, atau komik ala-ala. Pelajaran bahasa Indonesia juga menjadi salah satu pelajaran favorit saya, karena ada sesi mengarang indah. Dulu saya juga punya cara kerja yang unik dalam membuat tulisan/karangan. Kalau teman lain membuat kerangkanya dulu baru menulis, saya justru sebaliknya. Saya buat karangannya dulu, baru saya buat kerangka karangan sebagai pelengkap. Sejak kecil pula saya suka mencari kosakata-kosakata baru yang kurang lazim digunakan. Masih ingat, dulu karena sering membaca surat kabar, saya menemukan kata ‘oknum’. Dengan bangga saya gunakan kata itu dalam tugas mengarang  pada pelajaran bahasa Indonesia. Tapi karena tidak sesuai dengan tema tugas waktu itu, sehingga kata itu justru dicoret oleh guru. Tak apa, yang penting sudah sempat memakainya.

Bukan hanya itu, konten blog lebih mudah diakses dan ditemukan dalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan dengan postingan media sosial yang cepat berlalu. Ketika seseorang menulis di blog, tulisan tersebut memungkinkan untuk diindeks oleh mesin pencari seperti Google, sehingga orang lain dapat menemukan tulisan tersebut bertahun-tahun setelah dipublikasikan. Hal ini tentu sedikit berbeda dengan postingan di media sosial yang cenderung tenggelam dalam lautan konten baru yang terus bermunculan setiap detiknya. Blog juga memberikan fleksibilitas yang lebih besar dalam menyusun dan menyampaikan informasi. Kita dapat membuat artikel yang panjang dan mendalam, menyertakan berbagai jenis media seperti gambar, video, dan infografis, serta mengelompokkan tulisan-tulisan tersebut ke dalam kategori yang memudahkan navigasi bagi pembaca. Jadi, sebenarnya menulis di blog telah lama menjadi salah satu cara paling populer untuk berbagi informasi, pengalaman, dan pemikiran dengan audiens yang lebih luas.

Bagi saya pribadi, blog ini dapat dianggap sebagai tempat penyimpanan digital memori saya, seperti ruang virtual di mana saya dapat dengan bebas menuangkan pikiran dan berefleksi. Blog ini menjadi tempat perlindungan, rumah pikiran, sebuah tempat yang tenang di tengah hiruk pikuk kehidupan sehari-hari. Lebih jauh blog ini juga berfungsi sebagai portofolio yang menampilkan perkembangan saya sebagai penulis yang sedang berkembang.

Semua hal ini sejalan dengan pepatah Latin yang mengatakan “Verba volant, scripta manent”, yang berarti kata-kata yang terucap akan terbang pergi, tetapi kata-kata yang tertulis akan tetap abadi. Dalam era digital, pepatah ini mengingatkan kita akan pentingnya menyimpan informasi secara tertulis. Verba volant, scripta manent menekankan adanya kekuatan dan kekekalan kata-kata tertulis dibandingkan dengan yang terucap. Kata-kata yang tertulis memiliki daya tahan yang luar biasa, memungkinkan pemikiran dan ide untuk hidup lebih lama daripada ucapan yang segera dilupakan. Inilah yang membuat aktivitas menulis di blog bukan hanya relevan di masa lalu, dan kini saja, namun juga memberikan dapat kontribusi jangka panjang bagi dunia pengetahuan dan budaya jika dibutuhkan.

— Devieriana —

Continue Reading

Menulis saja…

shakespeare-blog-cartoon

Jujur, saya sering iri melihat teman-teman yang punya banyak kegiatan, punya banyak pengalaman yang berhubungan dengan banyak orang, punya pengalaman mengelola sebuah kegiatan, teman yang sering bepergian ke dalam negeri atau ke luar negeri entah itu untuk berlibur atau dalam rangka dinas. Hmm, sudah se-desperate itukah hidup saya sampai saya harus iri dengan kehidupan orang lain? Hehehe, bukan begitu.

Saya punya beberapa teman pramugari yang sering berbagi foto dan ceritanya di group whatsap/bbm. Foto-foto ketika dia singgah di sebuah kota/negara, ketika dia berkesempatan mampir di sebuah tempat tertentu, foto ketika dia menikmati suasana/makanan khas daerah yang disinggahi itu, menceritakan segala excitement sekaligus kekesalan yang dia rasakan pada kami. Intinya cerita tentang apapun. Nah, irinya saya bukan karena kenapa saya tidak jadi pramugari, tapi iri karena dia sebenarnya punya banyak cerita yang bisa ditulis di blog baik itu dalam bentuk foto atau tulisan, daripada cuma di-share di whatsap/bbm dengan kami. Pengalamannya pergi ke banyak negara dan berbagai kota/benua, bertemu dengan banyak orang, merasakan perubahan suasana dari satu tempat ke tempat yang lain, menikmati berbagai suguhan khas di sebuah kota/negara, merupakan sebuah pengalaman yang tidak semua orang berkesempatan mengalami.

Saya juga punya teman-teman yang sering terlibat dalam penyiapan sebuah acara/forum kegiatan internasional yang melibatkan para pemimpin negara. Buat saya itu juga menarik untuk diabadikan dalam sebuah tulisan, karena tidak semua orang bisa punya kesempatan mengelola sebuah kegiatan tingkat internasional, tidak semua bisa merasakan adrenaline rush ketika detik-detik penyelenggaraan acara sudah semakin dekat, tidak semua bisa merasakan bagaimana pusingnya mereka ketika ada masalah di lapangan dan bagaimana mereka harus segera mengambil keputusan supaya acara kembali berjalan normal.

Sebenarnya ada banyak topik yang bisa menjadi bahan tulisan di blog. Tidak harus berawal dengan kejadian-kejadian besar yang epic. Banyak hal sederhana dari keseharian kita pun bisa dijadikan tulisan di blog. Cuma kadang saya yang sering kurang peka menangkap sebuah ide untuk dijadikan topik tulisan, dan lebih sering beralasan, nantilah, belum ada ide nulis, nih. Sayangnya teman-teman saya yang punya banyak kejadian menarik tadi juga belum tertarik untuk mengabadikan semua kegiatannya itu ke dalam bentuk tulisan dengan alasan tidak ada waktu, sibuk, ribet, dan alasan aku nggak tahu harus mulai menulis dari mana.

Seperti halnya usia manusia yang punya batas, usia profesi pun ada batasnya. Kita tidak selamanya akan berada di posisi yang sama dan mengerjakan pekerjaan yang sama, ada saatnya kita mungkin berpindah tempat kerja, menjalani pekerjaan yang berbeda dengan sebelumnya, dan mengalami hal-hal baru lainnya. IMHO, sebuah blog/photoblog bisa jadi sarana untuk mendokumentasikan semua kegiatan kelak ketika kita sudah tidak lagi aktif terlibat dalam pekerjaan/kegiatan itu.

Sama seperti seorang teman yang mendokumentasikan semua proses hidupnya sejak dia masih single, menikah, hamil. detik-detik melahirkan, hingga akhirnya sekarang Si Kecil sudah bisa berlarian ke sana ke mari. Semua sengaja direkam rapi olehnya dalam bentuk tulisan. Alasannya:

Aku kan bukan public figur yang otobiografinya bisa dibaca oleh siapa saja, Devi. Salah satu tujuanku nulis di blog ya biar aku punya dokumentasi hidup. Biar nanti kalau anak-anakku sudah gede, sudah bisa baca, mereka bisa lebih tahu/kenal ibunya lewat blog. Mereka bisa baca gimana kehidupan ibunya sebelum mereka ada. Gimana kehidupan setelah kedua orang tua mereka menikah. Gimana kehidupan setelah mereka ada, dan apa saja perubahannya. Sederhana saja, aku pengen punya biografi online yang bisa dibaca sama anak-anakku kelak. Syukur-syukur kalau ternyata ada topik yang berguna buat pembaca yang lain. Itu juga kalau ada, hehehe…

Sama seperti dia, awal mula saya menulis di blog selain ingin menyalurkan kelebihan energi dan ide yang sering berlompatan di kepala, alasan lainnya karena ingin punya dokumentasi tentang apa yang terjadi di hidup saya, kegiatan apa saja yang pernah saya lakukan, dan apa saja yang pernah saya pikirkan di suatu waktu. Walaupun tidak semua hal sempat saya ingat dan bisa langsung saya tuangkan dalam bentuk tulisan, tapi inti mengapa saya menulis di blog adalah karena waktu tidak bisa ditarik ke belakang, dan otak punya kapasitas memori yang terbatas untuk menyimpan dan mengingat semua hal.

Ada juga yang menarik dari hasil ngobrol dengan seorang teman dalam perjalanan pulang beberapa hari yang lalu,

Mbak, aku tuh sering baca blog kamu, dan tahu nggak, itu bikin aku menyesal. Menyesal kenapa aku nggak nulis sejak dulu. Ada banyak kejadian luar biasa dalam hidupku beberapa waktu ini baik dari segi pekerjaan atau pribadi. Tapi aku lebih sering melewatkan itu karena bingung sendiri, aku harus menulis topik yang mana dulu? Gimana cara mengawalinya? Lagi pula kejadiannya sudah terlanjur terlewat jauh.

Tidak ada kata terlambat asalkan kita mau. Kalau mau memulai menulis ya sudah menulis saja. Topik yang mana dulu? Ya mana saja yang paling diingat. Tidak ada aturan yang mengharuskan seseorang menulis di blog itu harus begini/begitu. Tidak ada peraturan yang mewajibkan sebuah postingan di blog itu reverse atau chronological. Mau menulis saat itu juga dan langsung di-publish, silakan. Atau mau di-back date biar tulisannya terkesan aktual sesuai dengan waktu kejadian? Monggo. Atau kalau sedang banyak ide dan ingin disimpan dulu untuk di-publish nanti (scheduled post)? Tidak ada yang melarang kok. Bebas!

And by the way, everything in life is writable about if you have the outgoing guts to do it, and the imagination to improvise. The worst enemy to creativity is self-doubt.

Sylvia Plath

 

 

[devieriana]

 

Ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

“Please DO NOT ban yourself!”

 Kalau ditanya kebodohan paling epic apa yang pernah kamu lakukan? Saya akan menjawab dengan lantang: “ngeban diri sendiri di blog!” \m/

Iya, ceritanya kemarin saya ngeronda di blog. Blog saya ini nggak tahu gimana awalnya kok bisa sampai banyak banget spamnya. Nah, biar nggak terlalu banyak spam yang masuk salah satunya ya saya harus rajin-rajin nengokin, dan nge-block-in IP-IP yang mencurigakan dan berpotensi spamming.

Kamis malam kemarin pas saya lagi semangat-semangatnya mantau aktivitas dan statistik di blog saya, nggak tahu saya lagi mikir apa waktu itu , tiba-tiba pas lihat ada satu IP yang mencurigakan dan dia lumayan banyak melakukan aktivitas di blog, langsung deh saya banned tanpa ba-bi-bu. Sukurin! >:p

Tapi sejurus kemudian gantian saya bengong, masih nggak ngeh gitu. Kok saya dapat notifikasi segede gaban obesitas di layar laptop saya begini, ya?

“Sorry, for security reason and prevent any spamming action to this blog, your IP xxx.xxx.xx.xx have been blocked permanently from this blog, please try again later or please contact our admin xxxxxxx@xxxxx.com – Thank You”

WHAT? Saya terblokir di blog saya sendiri? Trus saya diminta untuk menghubungi diri saya sendiri untuk di-open blokir? Lah, ini gimana ceritanya, sih? Wah, rese, jangan-jangan ada yang sengaja ngerjain, nih! 😐 Dalam hati saya mulai ngomel-ngomel dan panik. Sempat mau hubungi teman yang biasa bantu-bantu saya manage blog (kalau pas lagi ada trouble) buat open blokir.

Tapi sejurus kemudian tiba-tiba saya mulai ngeh dan cekikikan sendiri. Ya Allah, kebodohan apa yang telah saya perbuat malam Jumat ini… *tepok jidatnya Syahrini*. Akhirnya, dengan cekikikan saya pun login ke blog via smartphone dan membuka blokir blog saya sendiri. Yaaay! Berhasil! Berhasil! Berhasil! \:D/=D>

Lha iya, padahal dulu si teman saya ini pernah bilang ke saya begini lho:

Teman: “kamu sering-sering tengokin tuh blog kamu. Kalau ada IP-IP yang mencurigakan kamu langsung blokir aja…”

Saya: “iyaaaa…”

Teman: “tapi ingat, jangan sampai ngeblokir IP kamu sendiri :p”

Saya: “haiyah, ya enggaklah… kan di atas Ban Options itu tertera IP kita berapa, host name-nya apa, dll-nya. Trus lagian kan juga ada tulisannya: “Please DO NOT ban yourself” ;))”

Teman: “yap, pinter! :-bd”

Ealah, ternyata malam kemarin saya melakukan apa yang sudah diwanti-wanti sama si teman, padahal dulu saya ngotot nggak bakal ngeban diri sendiri. Ampuni aku, Ya Allah…. [-o<

Ih, ini mah namanya kualat, Kak! 😐

[devieriana]

 

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

Sebuah Teguran

Beberapa hari yang lalu, saya menemukan sebuah komentar panjang di salah satu tulisan lama saya, di blog yang lama. Komennya bukan tentang isi postingan sih, tapi justru tentang ilustrasi yang saya gunakan di postingan itu. Menurut beliau, ilustrasi yang ada dalam tulisan saya itu adalah foto miliknya ketika ada pementasan tari di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada tahun 2008. Yang membuat sedikit kurang nyaman adalah kata-kata:

“Saya tahu ini adalah postingan lama tapi soal tata krama penggunaan karya orang lain rasanya perlu diperhatikan. Saya hanya kecewa saja dan mari kita belajar dari hal ini.”

Jadi, saya dianggap tidak punya tata krama karena tidak meminta izin pada beliau dan langsung mempergunakan gambar tersebut di blog saya yang abal-abal itu, meskipun saya sudah menyertakan link ke flickr beliau.

Menanggapi statement itu saya jadi gamang sendiri. Mau marah kok ya saya sama sekali tidak punya energi untuk marah, tapi kalau saya diam saja kok sepertinya mengiyakan kalau saya tidak paham etika berinternet 🙁

Jadi, ada sebuah postingan di Kompasiana yang diunggah oleh seorang blogger. Nah, kebetulan salah satu ilustrasi di sana mempergunakan ilustrasi yang juga (pernah) saya pergunakan di blog saya untuk tulisan dengan topik tarian. Bedanya adalah, saya menyertakan link dari mana gambar itu berasal  (yang gambarnya sudah di-remove oleh pemiliknya) , yaitu di flicker milik siapa waktu itu saya lupa karena sudah lama sekali (dan baru saya ketahui ketika pemilik aslinya komplain kalau itu adalah miliknya) . Credit  itu  saya letakkan di bagian paling bawah postingan saya. Sedangkan penulis di Kompasiana tersebut menyertakan link blog saya sebagai sumber ilustrasi.

Sebenarnya sama-sama memperhatikan etika memposting tulisan dan gambar ya, tapi ada sesuatu yang missed disini hingga menyebabkan saya disebut sebagai orang yang tidak tahu tata krama penggunaan karya orang lain, walaupun sudah menyertakan backlink dari mana saya ambil gambarnya pertama kali. Saya tidak menyalahkan sepenuhnya si penulis di Kompasiana, hanya saja dia kurang jeli melihat bahwa sebenarnya ada sumber awal gambar yang saya jadikan ilustrasi, yang seharusnya dia juga kutip sebagai credit. Jadi bukan blog saya yang langsung di-refer. Tapi justru disitulah kesalahpahaman ini bermula. Kalau saya dianggap salah karena tidak meminta izin kepada pemilik gambar aslinya, baiklah saya akan terima. Saya sudah meminta maaf langsung ke pemiliknya, dan dengan inisiatif saya sendiri saya hapus gambar tersebut dari blog saya.

Di dunia blogosphere memang umur blog saya terbilang masih sangat muda (jika dibandingkan dengan yang sudah ngeblog sejak tahun 1996). Saya juga terbilang blogger baru, karena saya baru ngeblog sekitar awal 2007, jadi baru 5 tahun. Selama 5 tahun ngeblog itu apa ya lantas saya hanya diam pasif tidak mempelajari netiket? Apakah saya lantas grubyak-grubyuk asal bikin tulisan dan klik publish tanpa mempedulikan etika penulisan blog?

Selama kurun waktu 5 tahun itu tulisan saya bertransformasi dan mengalami perombakan di sana-sini. Dari yang dulunya belum terarah, sedikit demi sedikit mulai saya arahkan. Yang dulu tata bahasanya kacau balau, pelan-pelan saya benahi. Yang dulunya saya tidak tahu bagaimana etika penulisan blog, sedikit demi sedikit saya pelajari dan saya up date. Intinya sampai sekarang saya masih dalam proses belajar.

Koreksi jika saya salah, sependek yang saya ketahui, jika memang kita ingin mengutip pernyataan orang lain dan atau ingin mempergunakan karya orang lain sebagai ilustrasi di blog kita, sebaiknya minimal mencantumkan backlink ke sumber asal, atau bisa juga dengan meminta izin langsung kepada pemilik tulisan/gambar aslinya. Bukan apa-apa, saya juga pernah mengalami tulisan di blog saya di-copy paste oleh orang lain tanpa menyebutkan sumber dari mana dia mengambil kata-kata di blognya, jangankan izin, ngelink juga enggak (saya juga heran, lha wong blog abal-abal kaya gitu kok ya di-copy paste). Berhubung saya tidak ingin hal yang  sama terjadi pada saya, maka saya juga berusaha memperlakukan hal yang sama kepada karya orang lain. Kalau tidak meminta izin secara langsung, alternatifnya/minimal dengan mencantumkan credit link dari mana sumbernya. Jadi, kalau saya dibilang nggak punya etika atau tata krama mengunggah postingan di blog kok ya agak gimana, ya 😕 Tapi ya sudahlah…

Saya memang hampir selalu mempergunakan ilustrasi dalam setiap postingan saya. Entah itu hasil dokumentasi pribadi, atau mengambilnya dari mesin pencari, Google. Kita pasti sadar bahwa sebuah gambar/postingan yang sudah diunggah via internet dan telah tersimpan/terbaca dalam database google akan dengan mudah ditemukan oleh kita sebagai pengguna internet, kecuali memang postingan itu sengaja tidak dibuka untuk umum, ya (private setting). Soal nanti gambar/postingan yang kita unggah itu dimanfaatkan seperti apa oleh penggunanya ya itu sudah di luar batas kemampuan kita. Disinilah diperlukan kesadaran akan pentingnya etika berinternet.

Utamanya untuk gambar, terjadinya kemungkinan duplikasi juga sangat besar. Jika sudah terjadi hal semacam ini, kita hampir tidak bisa memastikan dari mana sumber asal gambar tersebut, dan kemana kita harus meminta izin menggunakan gambar tersebut untuk diunggah ke dalam website kita. Bisa saja gambar yang sama kita temui dari satu website ke website yang lain.

Itulah sebabnya saya lebih memilih menggunakan cara paling sederhana dengan menyertakan backlink dari mana saya mengambil gambar tersebut. Tapi setelah kejadian kemarin saya jadi mendapatkan pelajaran bahwa terkadang menyertakan backlink saja tidak cukup, karena preferensi pemberian izin terhadap penggunaan karya pribadi yang akan dipergunakan oleh orang lain bisa saja berbeda bagi masing-masing orang. Ada yang cukup menyertakan backlink, ada juga yang selain  backlink juga wajib izin dari pemilik aslinya. Saya jadi membayangkan,  gimana ya kalau aturan itu dipukul rata secara zaakelijk, dan ternyata pemilik sumber aslinya sudah meninggal dunia. Kemana saya harus meminta izin padahal butuh buat ilustrasi di blog ini aja? Masa harus ke kuburannya? Mending saya nggak usah pakai ilustrasi deh. Ini misalnyaa…  😀

Kalau saya pribadi, selama itu hanya untuk postingan di blog semata, bukan untuk tujuan komersil, apalagi untuk tindakan negatif/kriminal, saya masih memperbolehkan orang lain mengutip tulisan asli saya, atau meminjam dokumentasi pribadi yang saya unggah ke internet, dengan  menyertakan sumber dari mana tulisan atau gambar itu berasal. Tidak zaakelijk harus meminta izin kepada saya, walaupun saya juga sudah menyediakan contact page yang bisa dihubungi kapan saja.

Jadi, soal apakah hasil karya yang sudah kita unggah di internet itu akan bermanfaat atau tidak bagi orang lain, atau apakah nantinya akan dipergunakan secara positif atau negatif semua terpulang pada niat penggunanya, karena kita tidak mungkin mengawasi pergerakan dan aktivitas yang dilakukan orang lain ke web kita selama 24 jam penuh. Sekali lagi, jangan bosan-bosan untuk tetap berada dalam koridor etika berinternet. Itu sih menurut saya.

Bagaimana menurut kalian? Let’s discuss! 🙂

 

[devieriana]

Continue Reading

Tentang “Copy-Edit-Paste” Itu..

Akhirnya, setelah seminggu menjalani Diklat Keprotokolan di Pusdiklat, saya bisa menyentuh laptop juga. Kemarin memang selama diklat sengaja nggak bawa laptop karena bawaan sudah ribet, dan kebetulan materi yang diajarkan juga tidak ada yang berupa take home task.

Jadwal yang padat juga menyebabkan rutinitas setelah makan malam adalah ngobrol sebentar dan lalu masuk kamar masing-masing. Di kamar pun kadang saya bisa langsung terlelap. Maklum mata saya kan mata bayi, nggak bisa diajak begadang sedikit, kecuali diniatin dan minum kopi.

Baiklah, saya boleh langsung CCG alias Curhat-Curhat Gemes ya? Jadi ceritanya, beberapa hari yang lalu saya di-mention oleh seorang teman blogger di twitter yang bilang kalau ada salah satu tulisan di blog abal-abal saya ini yang di copy paste oleh seseorang di http://hanyanulis.wordpress.com/2011/02/20/pilih-mana-bekerja-atau-berkarir yang kebetulan isinya sama persis dengan tulisan saya yang berjudul Jangan Jadi PNS! cuma beda judul doang 🙂

Sempat heran, masa sih blog saya yang begini-begini saja tulisannya bisa memancing orang untuk melakukan copy paste? Atau mungkin karena saking abal-abalnya blog saya itulah yang mungkin membuat orang yang berniat copy paste berpikir, “halah, nggak akan ada yang bakal aware, deh… nggak ada yang kenal ini…”

Tapi ternyata walaupun tulisan di blog saya itu terdiri dari tulisan-tulisan nggak mutu dan remeh ini ternyata masih ada yang baca dan bahkan sampai mengenali  gaya penulisan saya, dan topik yang pernah saya tulis sebelumnya.

Memang konsekuensi orang yang punya blog salah satunya adalah harus melakukan update konten secara berkala. Tapi masalahnya terkadang inspirasi nggak bisa muncul seketika dan langsung bisa dituang dalam bentuk tulisan. Kadang ide berhubungan juga dengan mood. Sudah ada ide, tapi nggak ada mood nulis. Atau sebaliknya, ada mood nulis tapi nggak ada ide. Buat saya mood itu penting untuk menghasilkan tulisan yang “berjiwa”. Nah masalahnya (lagi), moodnya jarang ada yang pas, jadi ya nggak posting-posting :((. Terlalu banyak alasan saya ini! *keplak diri sendiri*

Nah trus, gimana kalau mengalami writers block, tulisan macet, nggak ada ide samasekali? Ini sih penyakit klasik, ya. Kalau saya sihmemilih nggak nulis aja selama beberapa waktu sambil melakukan penyegaran otak. Baca-baca lagi draft postingan, atau yang paling sering ya dengan cara blog walking secara berkala di waktu senggang. Biasanya sih setelah melakukan blogwalking langsung ada beberapa ide segar untuk diolah menjadi tulisan. Ingat, bukan copy paste ya. Mengolah inspirasi hasil blog walking itu menjadi tulisan dengan gaya bahasa kita sendiri.

Yang terpenting dari keseluruhan proses blogging adalah kalau kita memang butuh kutipan pernyataan tertentu untuk melengkapi tulisan, ya minta izin dari narasumbernya, atau menyertakan link tulisan yang mengarah ke pernyataan narasumber tersebut. Akan tidak etis rasanya kalau pernyataan seseorang dengan mentah-mentah kita copy paste dan kemudian kita akui sebagai pernyataan kita. Saya yakin kalau kita minta izinnya baik-baik si empunya tulisan nggak akan keberatan kok.

Ada komentar menarik ketika seorang teman bilang begini, “harusnya kamu seneng karena tulisan kamu di copy paste sama orang, karena itu berarti tulisan kamu menarik..”. Eh, tahu nggak sih, nulis blog itu juga pakai mikir lho. Kalau cuma sekedar copy paste aja sih semua orang pasti bisa. Tapi berusaha membuat karya yang original, tentu tidak mudah.

Sebenarnya sampai sekarang saya masih menunggu itikad baik dari pemilik blog untuk bersedia melakukan klarifikasi darimana dia dapatkan kalimat per kalimat yang ditulis di blognya tersebut. Karena setelah ditelusuri oleh seorang teman ternyata yang menjadi korban plagiarisme bukan hanya tulisan saya, tapi juga ada beberapa tulisan lainnya disana 🙁 *prihatin*

Saya nggak akan marah kok, justru akan senang kalau  si pemilik blog  berbesar hati mau mengakui kalau tulisan-tulisan yang diposting di blognya adalah hasil tulisan blogger yang lain. Kalau buat saya sih percuma blog saya rame, banyak yang komen, banyak yang berlangganan RSS feed, tapi kalau postingan saya nggak ada yang murni hasil tulisan saya ya buat apa? Itu kalau saya, ya.

Ya udahlah ya, saya cuma bisa ikut mendoakan, semoga pemilik blog tersebut dikembalikan ke jalan yang benar dan dibebaskan dari jiwa plagiarisme.. [-o<
Amien…

 

 

 

[devieriana]

ilustrasi dipinjam dari http://inioke.com dan http://tanyajawabannya.wordpress.com

 

 

Continue Reading