Rush (2013): Everyone’s Driven by Something

Rush

Beberapa minggu lalu saya menyempatkan diri untuk menonton film secara marathon di rumah. Salah satu film (lama) yang saya tonton yaitu Rush (2013) yang dibintangi oleh Chris Hemsworth dan Daniel Bruhl. Sejujurnya saya bukan penggemar film dengan genre sport, karena buat saya film dengan genre itu sangat membosankan. Pada awalnya saya sempat skeptis apakah saya akan betah nonton hingga akhir film, mengingat ini film yang ‘cowok’ banget dan kebetulan saya bukan penggemar F-1. Tapi demi ‘menantang’ diri sendiri, saya tonton juga sampai film ini selesai.

Dalam film ini, Peter Morgan didapuk sebagai penulis skenario yang harus merangkum kisah biopik dua pebalap F1 legendaris ini dan menjadikannya film berdurasi 2 jam ini lengkap dengan naik-turunnya hubungan antara Hunt dengan Lauda. Uniknya, meski Rush berjalan cepat (sekaligus bising!), tapi tidak dinarasikan dengan terburu-buru. Setiap key moments diceritakan dengan singkat, padat, tapi kuat. Begitu juga denganangle shoot yang ditampilkan dengan sangat detail; menjadikan kita seolah dibawa ke dalam arena balapan yang sebenarnya.

Rush yang dibuat berdasarkan kisah nyata ini disutradarai oleh Ron Howard (Apollo 13, Beautiful Mind), dan film scoring-nya digarap oleh Hans Zimmer. Menggambarkan persaingan sengit antara pebalap F-1, James Hunt (Chris Hemsworth) dan Niki Lauda (Daniel Bruhl) selama musim balap tahun 1970-an.

Sirkuit balap F-1 menjadi latar belakang kisah rivalitas kedua pebalap beda karakter ini. Saat pedal gas ditekan dalam-dalam, dan deru mesin mobil yang mulai bergemuruh, kita seolah ikut dalam balapan yang sedang berlangsung. Saya yang cuma menonton film ini di rumah saja sudah kebisingan, bagaimana dengan yang menonton di bioskop, yang rata-rata kualitas tata suaranya maksimal, pasti sensasi (menonton langsung) F-1 lebih terasa.

Karakterisasi James Hunt dan Niki Lauda ini diperankan dengan nyaris sempurna oleh Chris Hemsworth dan Daniel Bruhl. Dideskripsikan secara seimbang walaupun sangat berkebalikan. James Hunt (Chris Hemsworth) digambarkan sebagai sosok pebalap yang ‘sempurna’ secara fisik; tinggi, tampan, rambut pirang, gagah, ekstrovert, bad boy, sekaligus playboy. Sedangkan Niki Lauda (Daniel Bruhl) adalah sosok sebaliknya, secara fisik dia lebih pendek dari James Hunt, tak banyak bicara, pragmatis, serius, berhati-hati, intovert, setia, dan cenderung konservatif. Karakter masing-masing sangat menonjol ketika disandingkan dalam satu frame. Namun dengan berjalannya waktu kita akan melihat sekilas, kecil tapi signifikan, ada kesamaan di antara keduanya.

Btw, sebagai kaum hawa pada umumnya, pada awal film saya menyukai karakter James Hunt (iya, karena ganteng), tapi di setengah film kemudian, hati dan perhatian saya mulai melumer pada karakter Niki Lauda yang kaku, sedikit anti-sosial namun jenius. Iya, labil memang.

Inti film ini ada di scene menegangkan saat kecelakaan di sirkuit Nurburgring pada seri Formula 1 tahun 1976 direkonstruksikan dengan cukup mengerikan. Di sinilah persaingan sengit antara James Hunt dan Niki Lauda berpuncak. Di sebuah forum, sebenarnya Niki sudah mengusulkan agar lomba kali ini dibatalkan saja dengan alasan bahwa Nurburgring adalah sirkuit yang berbahaya di saat panas sekaligus mematikan di saat hujan. Tapi apa boleh buat, dia kalah suara dengan banyaknya pebalap yang tetap menginginkan digelarnya balapan di Nurburgring atas provokasi James Hunt.

Hujan lebat baru saja berhenti, lintasan Nurburgring sudah mulai kering. Saat itu, Niki Lauda baru saja keluar dari pit setelah mengganti ban basah dengan ban kering. Ia sedang mengejar ketertinggalannya setelah sempat terhalang oleh mobil pebalap lainnya. Pada sebuah tikungan tiba-tiba saja mobilnya kehilangan keseimbangan, terpelanting menghantam pagar pembatas, dan terpental kembali ke tengah lintasan dengan api yang berkobar-kobar. Tanpa ampun, kecelakaan mengerikan itu pun terjadi. Tubuh Niki Lauda setengahnya mengalami luka bakar parah, tulang-tulangnya pun patah. Tindakan emergency pun segera dilakukan. Niki Lauda dilarikan ke rumah sakit terdekat demi menyelamatkan nyawanya, sebelum akhirnya dia dibaringkan di rumah sakit paru-paru Mannheim. Setelah kejadian ini, sirkuit Nurburgring tidak lagi digunakan sebagai lintasan balap Formula 1.

Tak tahan melihat sang rival akan merebut gelar juara dunianya, Niki Lauda nekat kembali ke sirkuit balap hanya 6 minggu berselang setelah insiden tersebut. Kondisinya masih jauh dari kata sembuh sempurna. Rasa sakit yang luar biasa masih kerap dirasakannya, namun dia bukan orang yang mudah menyerah begitu saja. Ego mengalahkan rasa sakitnya. Dan memang terbukti, kembalinya Niki Lauda ke lintasan balap membuahkan hasil yang sangat brilian. Dia berhasil menyelesaikan finish di urutan empat.

Film ini diakhiri dengan ending yang antiklimaks namun sangat smooth. Di balapan terakhirnya, di Tokyo, Niki Lauda sudah bersiap untuk kembali mengadu nyali melawan James Hunt. Dia sudah tidak lagi trauma pascakecelakaan hebat di Nurburgring. Semua persiapan sudah sempurna bagi Niki Lauda. Hingga akhirnya, saat mesin mulai meraung-raung siap dijalankan dan balapan hendak dimulai, mendung tebal kembali datang. Di sini Niki Lauda mulai galau. Sontak, ingatannya kembali pada sesi balap yang hampir saja merenggut nyawanya di Nurburgring.

Setelah emosi penonton digiring ke sana ke mari, film ini ditutup dengan eksekusi adegan yang sangat indah dan penuh makna. Sesungguhnya, walaupun di sirkuit mereka terlihat penuh dengan persaingan sengit tetapi tetap terselip rasa hormat terhadap satu sama lain.

Apalagi ditambah dengan monolog Niki Lauda di akhir film yang menyatakan perasaan terjujurnya,

“Of course he didn’t listen to me. For James, one world title was enough. He had proved what he needed to prove. To himself and anyone who doubted him. And two years later, he retired. When I saw him next in London, seven years later, me as a champion again, him as broadcaster, he was barefoot on a bicycle with a flat tire, still living each day like his last. When I heard he died age 45 of a heart attack, I wasn’t surprised. I was just sad. People always think of us as rivals but he was among the very few I liked and even fewer that I respected. He remains the only person I envied.”

Tak banyak yang bisa saya komentari usai menonton film ini selain, luar biasa!

 

[devieriana]

 

gambar diambil dari Wikipedia

Continue Reading

Viral

go-viral

Beberapa waktu ini banyak sekali penggunaan kata ‘viral’ baik itu di media online maupun di kehidupan sehari-hari. Definisi viral kurang lebihnya adalah ‘sesuatu’ yang bisa jadi sangat cepat menjadi populer, seperti sebuah ‘virus’ yang menyebar salinan dirinya atau bermutasi.

‘Sesuatu’ di sini bisa berarti orang, tempat, foto, pikiran, trend, atau bahkan sebuah informasi. Kalau kita bicara tentang social media, viral lebih lekat kepada video, foto, atau cerita yang dimulai dari mereka sendiri, yang kemudian menyebar di semua lini platform social media. Bisa jadi yang awal mulanya cuma berupa status yang ditulis di social media, berhubung banyak yang menyebarluaskan, jadilah dia sebuah status viral. Kalau masih ingat, kita bisa ambil contoh kasus status Dinda yang awalnya cuma bermaksud curhat tentang kekesalannya terhadap para ibu hamil yang (menurut dia) manja karena selalu minta dikasihani dan minta tempat duduk, tapi berhubung status itu dia tuangkan di social media, dan ‘ndilalah’ ada yang me-repath statusnya, maka dengan cepat status itu tersebar, seketika menjadi berita viral, dan Dinda pun menjadi bahan bully-an massal di social media. Dinda dianggap kurang memiliki rasa empati.

Bagaimana dengan trend yang menjadi viral? Apakah kalian pernah menjadi bagian dari trend mannequin challenge, Harlem Shake, atau mungkin bagian dari trend pengunggah video parodi Pen Pinneaple Apple Pen-nya Piko Taro? Kalau iya, kalian adalah bagian dari trend viral itu. Mannequin challenge misalnya, dengan begitu banyaknya orang yang mengikuti trend ini, seolah seluruh dunia menjadi diorama hidup. Walaupun bagi sebagian orang itu konyol, tapi banyak juga yang melakukan itu, karena selain dianggap keren juga bagian dari hal yang kekinian. Padahal, kalau kalian menyadari, mannequin challenge itu sudah pernah dilakukan oleh salah satu artis Indonesia jauh sebelum trend ini mengemuka lho. Tidak percaya? Klik saja videonya Deasy Ratnasari yang berjudul Tenda Biru , hihihik.

Di dalam kehidupan sehari-hari pun kata viral sudah mulai banyak dipergunakan. Bahkan di tempat kerja saya, beberapa pejabat sering menggunakan kata “viralkan!” sebagai kata ganti sebar luaskan informasi kepada pejabat/pegawai lainnya di lingkungan kantor kami.

Di social media, banyak orang yang ingin dikenal banyak orang. Mereka melakukan segala cara untuk bisa terkenal, alias menjadi selebriti online. Wajar, karena menjadi lebih dikenal oleh orang lain adalah salah satu tujuan diciptakannya social media.

Tapi, benarkah semua orang berkeinginan untuk menjadi viral baik di dunia nyata maupun maya? Selama viral itu dalam konteks yang positif mungkin masih masuk akal. Tapi kalau konteksnya sudah negatif, rasanya tidak mungkin ada yang bercita-cita menjadi viral, ya.

Seseorang yang sedang menjadi ‘viral’ negatif di sebuah lingkungan tertentu ada kalanya dia sendiri tidak sadar kalau sedang jadi trending topic di lingkungannya. Mungkin ini lebih didasari karena kekurangpekaan orang tersebut terhadap lingkungan. Sekalipun ada pihak-pihak yang memberikan klarifikasi bahwa tidak sepenuhnya si objek yang menjadi viral itu senegatif yang disangkakan orang lain, tapi tetap akan kalah dengan asumsi yang sudah terlanjur beredar di lingkungan tersebut. Ya, namanya saja viral, virus, penyebarannya bisa sangat cepat, tanpa tahu dari mana asal muasalnya.

Belajar dari pengalaman orang lain (yang sempat jadi viral), kunci supaya kita tidak menjadi viral negatif adalah dengan menjadi lebih peka dengan lingkungan di mana kita berada; more overmenjaga lisan, pikiran, dan perbuatan, itu jauh lebih penting, karena tidak akan ada asap kalau tidak ada api. Begitu, bukan? Bukaaaan….

Sebagai manusia toh nyatanya kita tidak selalu tahu apa yang ada di diri kita, sekalipun kita kerap mengklaim demikian. Sebagaimana tertera dalam teori 4 kuadran Johari Window yang mencerminkan tingkat keterbukaan seseorang yang dibagi dalam empat kuadran, yaitu open area, blind area, hidden area, dan unknown area. Johari Window ini dikenal sebagai jendela komunikasi melalui mana kita memberi dan menerima informasi tentang diri kita dan orang lain.

Dalam hal berita viral (negatif) singkat saja, area/kuadran ‘blind‘ adalah area paling rapuh dalam diri kita, karena di kuadran ini berisikan apa yang orang lain ketahui tentang kita, tapi tidak kita ketahui. Dengan mengurangi blind area, selain akan meningkatkan kesadaran diri, juga akan meningkatkan hubungan interpersonal kita dengan orang lain.

Lumrah, kalau manusia seringkali tanpa sadar lupa/khilaf, tanpa sengaja telah melakukan hal-hal yang kurang bisa diterima oleh lingkungan tempatnya berada. Beruntung kalau kita cepat sadar, dan segera mengubah perilaku kita, tapi bagaimana kalau ternyata kita terlalu lama ‘pingsannya’, nggak sadar-sadar kalau ternyata selama ini sudah jadi bahan pembicaraan? Harus ada orang yang memberi tahu, karena kita sedang berada di blind area. Tapi bagaimana kalau ternyata walaupun orang lain tahu, tapi mereka segan menegur kita karena (di mata orang lain) kita adalah tipe manusia dengan ‘daya ledak tinggi’, emosian. Jadi dari pada cari masalah mending diamsajalah; malas ribut.

Jadi, tidak ada salahnya mulai berintrospeksi, lebih peka, coba mengubah cara pandang (point of view), dan mulai lebih luwes dalam menerima kritik selama itu membangun. Namanya manusia kan gudangnya luput dan salah ya. Bersyukur jika masih ada hati dan pikiran sehat yang menjadi filter pencari kebenaran yang sesungguhnya. Bersyukur kalau masih ada orang lain yang mau peduli, mengingatkan, bahkan rela menjadi bumper untuk kita, semata-mata karena mereka masih menganggap kita sebagai teman.

Last but not least, mencoba untuk melawan atau mengendalikan materi viral sama saja seperti berperang melawan flu. Kita bisa saja mengambil langkah-langkah untuk mencegah jangan sampai kita terkena flu, tapi sekali saja virus itu telah memasuki aliran darah kita, tidak akan ada yang bisa kita lakukan selain menunggu virus itu keluar dengan sendirinya.

Duh, sore-sore kok serius amat postingannya, ya? Ngopi dulu bisa kali, Kak!
*beberes meja sambil menunggu ojek online*

 

[devieriana]

 

sumber ilustrasi dari sini

Continue Reading

Hello, 2017!

happy-new-year

Hai, selamat tahun baru 2017, ya! Alhamdulillah, terbit juga artikel pertama di tahun ini, hihihik.Semoga tahun 2017 ini kita semua diberikan kesehatan, keberkahan yang luar biasa, kebahagiaan, kesuksesan, tahun di mana terwujudnya semuacita-cita yangbelum kesampaian di tahun-tahun sebelumnya. Dan semoga di tahun 2017 ini saya lebih rajin menulis, dibandingkan dengan tahun 2016 yang lebih banyak hibernasinya.

Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, saya melewatkan moment pergantian tahun dengan sedikit berbeda. Kalau tahun-tahun sebelumnya saya melewatkan pergantian tahun di Jakarta, kali ini saya sekeluarga pergi ke kota sebelah. iya, Bogor. Tujuan utamanya sih sebenarnya bukan khusus merayakan pergantian tahun Masehi, tapi lebih ke bersilaturahim ke rumah tante.

Jujur, saya bukan orang yang antusias merayakan pergantian tahun, apalagi pakai acara begadang. Mata saya itu sudah ada jam tidurnya, jadi sudah bisa dipastikan nggak bakal betah kalau diajak melekan. Makanya saya jarang nonton wayang, salah satu alasannya karena nggak kuat begadang.Dari dulu, moment pergantian tahun hampir selalu saya lalui dengan biasa-biasa saja, alias tidur. Apalagi ketika sudah ada anak, jam tidur saya jadi mendadak random, bahkan sering kali ikut bablas ketiduran sampai pagi sambil ngeloni Alea.

Oh ya, sebelum ke rumah tante, kami mampir dulu untuk makan siang bersama di Pasar Ahpoong, Sentul. Selepas makan siang barulah kami meluncur ke rumah tante di daerah Cimanggu. Nah, ada kejadian lucu nih pas di rumah tante. Biasanya kan kalau pergantian tahun identik dengan barbeque-an, bakar-bakaran jagung, sate-satean, atau makan rebus-rebusan apalah. Dan biasanya itu dilakukan di jam-jam menjelang pergantian tahun. Ketika kamidi rumah tante ini beda. Entah tante yang kerajinan, atau kami yang kelaparan, tanpa menunggu gemuruh bunyi kembang api dan petasan, hidangan yang sudah tersedia sejak pukul 19.00 itu langsung ludes tak bersisa dalam waktu kurang dari 30 menit. Begitu juga nasib nasi goreng dan martabak manis/gurih, semua tandas sebelum tengah malam. Bukan itu saja, saya sendiri langsung terkapar lelap tidur di samping Alea sejak pukul 21.00, begitu juga dengan anggota keluarga yang lain, tidak ada satu pun yang terjaga di detik-detik pergantian tahun. Niatan menyaksikan perayaan pergantian tahun di sekitaran Tugu Kujang itu pun pupus dengan sendirinya. Jadi ini judulnya pindah makan dan tidur saja ke Bogor. Zzzzz…. zzzz….

20170105_221335

Paginya ketika saya scroll timeline di sosial media ada banyak cerita tentang moment pergantian tahun baru. Ada yang menggelar pengajian, ada yang nonton konser, ada yang camping, ada yang sibuk menulis resolusi, ada yang menginap di hotel, ada yang melewatkan moment pergantian tahun di luar negeri, dan banyak cerita lainnya. Tapi saya yakin, yang punya cerita seperti saya pun tak kalah banyaknya.Iya, saya cari teman…

Keesokan paginya, kami on the spot saja memutuskan untuk jalan ke Kuntum Farmfield di daerah Tajur. Alasan utama saya ke sana sih selain mengajak anggota keluarga piknik, juga supaya Alea lebih mengenal binatang dan alam. Anak-anak seusia Alea kan sedang antusias-antusiasnya mengenal hewan, tumbuhan, dan warna. Jadi di Kuntum Farmfield itu Alea bisa piknik sambil belajar mengenal alam dan lingkungan.

Konsep yang disajikan Kuntum Farmfield kurang lebih hampir sama dengan Farmhouse yang ada di Bandung. Bedanya harga tiket masuknya kalau di Farmhouse kita cukup membayar sebesar Rp.20.000,00/orang sudah termasuk welcome drink atau sosis bakar. Sedangkan di Kuntum Farmfield harga tiket masuknya sebesar Rp.40.000,00/orang. Kalau dari segi lahan, keragaman tanaman, dan binatang lebih banyak di Kuntum Farmfield sih. Kuntum Farmfield lebih ke agrowisata, jadi memang didesain semacam gabungan antara perkebunan dan peternakan. Kalau Farmhouse konsepnya hampir sama, peternakan di dalam area perkebunan juga, tapi digabung dengan fasilitas wisata unik ala-ala Eropa. Eh, di sini banyak spot yang fotogenic dan instagramable lho...

Jadi, buat saya, moment pergantian tahun 2016 ke 2017 kemarin benar-benar moment untuk keluarga. Walaupun hanya di rumah saja, tidak ke mana-mana, dan lelap semua, tapi justru di situ letak keunikan perayaan tahun baru di keluarga kami. Ya, namanya juga antimainstream, jadi ya harus beda dong dengan acara kekinian lainnya, hihihik.

Bagaimana cerita kalian melewatkan pergantian tahun ini? Semoga tak kalah serunya ya…

 

[devieriana]

 

sumber gambar: Pinterest dan koleksi pribadi

Continue Reading