Haruskah Bisa Memasak?

Beberapa waktu lalu, linimasa Twitter diramaikan oleh postingan status dari akun @selphieusagi yang mengatakan, “Udah 2018, masih complain cewek ga masak. Coba ngaca aja, lo bisa dan mau benerin atap bocor, nggak? Keran rusak? Listrik korslet? TV ga bisa nyala? Apa ujung-ujungnya panggil tukang juga?”

Tentu saja cuitan ini mengundang reaksi dan respon warganet. Sebagian menanggapi positif, sebagian lainnya bereaksi sebaliknya. Kalau saya ditanya ada di pihak yang mana, saya tidak ada di pihak manapun. Karena saya sendiri ada di kedua pendapat itu.

Dulu, saya adalah anak perempuan yang paling tidak menyukai dapur. Kalaupun saya terlihat ada di dapur ya karena diminta Mama saya membantu menyiapkan bahan masakan. Itupun tidak setiap hari, dan tentu saja bukan saya yang masak. Jadi, pengetahuan saya dalam bidang masak memasak sangat minim.

Beruntung sejak menikah suami juga tidak menuntut saya harus memasak untuk dia. Sebelum menikah dia sudah di-brief untuk menerima keterbatasan saya dalam hal masak-memasak. Itulah kenapa di awal pernikahan, kami lebih sering beli makanan di luar. Oh ya, bukan cuma di awal pernikahan saja, hingga beberapa tahun berikutnya pun saya masih berada di level mood yang sama kalau diminta ke dapur.

Kalau ada yang melihat saya sedang di depan penggorengan, itu sekadar membuat telur dadar atau mie instan. Kalau saya sedang mau sedikit repot ya paling bikin nasi goreng. Itu pun pakai bumbu siap saji yang tinggal campur semua bahan, langsung jadi. Iya, dulu kehidupan dapur saya semalas itu.

Tapi semuanya berubah sejak ada anak dan saya harus mengurus semuanya sendiri. Jiwa keibuan saya mulai muncul. Rasa malas tergantikan dengan rasa tanggung jawab. Kalau sayanya semalas ini, nanti anak saya makan apa? Dan ternyata perubahan itu juga berdampak kepada keinginan memasak untuk suami.

Kalau dulu saya paling anti ke dapur, sekarang justru paling rajin. Di akhir pekan, kalau mood sedang bagus, saya bisa memasak 3x sehari, pagi, siang, dan malam. Di hari kerja saya juga sempat memasakkan bekal makan siang untuk dibawa suami ke kantor. Kebetulan suami saya sedikit picky dalam hal makanan. Hanya masakan tertentu saja yang dia sukai. Tapi tidak mungkin saya memasak masakan yang itu-itu saja setiap hari. Saya pun ‘memaksa’ dia agar suka makan sayur dan buah.

Buat orang lain yang sudah terbiasa memasak hal seperti ini termasuk hal yang wajar dan biasa saja. Tapi buat seorang pemalas seperti saya tentu ini hal yang istimewa dan luar biasa.

Sedikit flashback, dua hingga tiga dekade yang lalu, perempuan harus tahu cara memasak makanan yang lezat untuk keluarganya, bahkan sebelum menikah. Mereka diajari dan dipersiapkan untuk mengurus pekerjaan domestik kerumahtanggaan yang lekat dengan stereotype gender. Ibu adalah guru alam yang menurunkan resep kepada putri mereka, yang kemudian akan memasak untuk suami mereka.

Berbeda dengan zaman sekarang, di mana perempuan merasa wajar dan biasa saja kalau tidak bisa memasak. Apalagi banyak perempuan yang hidup sebagai wanita karier, sehingga waktu untuk memasak lebih sempit lagi (baca: tidak sempat, karena harus berkejaran dengan waktu). Ditambah dengan adanya berbagai dukungan aplikasi dalam mencari/membeli makanan favorit via online. Zaman sekarang para pengguna aplikasi serba dimanjakan dan dimudahkan. “Kalau bisa beli kenapa harus masak?”, “kalau ada yang gampang, kenapa harus ribet?”, menjadikan memasak bukan lagi suatu syarat mutlak untuk menjalani kehidupan berumah tangga.

Sebenarnya memasak itu tidak terlalu sulit, semua bisa dipelajari. Apalagi zaman sekarang mencari resep online masakan apapun sangat mudah, lengkap dengan cara pembuatannya. Soal enak tidak enak itu kembali ke soal selera. Alah bisa karena biasa.

Malas ke pasar pun bukan lagi alasan. Sudah ada situs belanja bahan makanan online yang sangat membantu ketika kita sedang tidak ingin ke mana-mana tapi tetap ingin membuat sesuatu di dapur. Tapi lagi-lagi semua terpulang pada niatnya.

Sama halnya tentang perdebatan tiada akhir antara sufor dan ASI, working mommies atau stay at home mom, lahiran normal atau caesar, dan hal lain yang sebenarnya cuma masalah pilihan hidup. Pun tentang haruskah perempuan bisa memasak atau tidak, ikut dalam topik yang diperdebatkan. Padahal semuanya tergantung pribadi masing-masing. Istri bisa masak alhamdulillah, tidak pun seharusnya tak apa-apa. Selama ada yang memasakkan, atau mampu membeli makanan secara online, dan yang penting keluarga bisa menerima, ya seharusnya tidak ada masalah.Life is full of choices, right? Choose it wisely.

Kalau saya sendiri berpendapat, seorang perempuan tidak harus jago masak layaknya seorang chef, tapi minimal bisa. Hal itu akan sedikit menguntungkan, apalagi yang hidup dalam kondisi serba pas-pasan. Seorang istri yang bisa memasak akan sangat membantu melonggarkan urusan keuangan, karena tidak perlu membeli makanan di luar. Lebih dari itu, kelak salah satu hal yang akan dikenang oleh anggota keluarganya dari seorang ibu adalah masakannya.

Jadi teringat sebuah film yang berjudul Ratatouille. Bicara tentang film ini tak bisa melewatkan begitu saja adegan di mana Remy Tikus menyajikan hidangan untuk Anton Ego, seorang kritikus restoran. Tak disangka-sangka ternyata sajian itu mengantarkan memori Ego ke masa kecilnya. Kenangan ketika dia jatuh dari sepeda, ibunya menciumnya, dan memberikan semangkuk besar Ratatouille yang ternyata memiliki rasa yang sama dengan yang dinikmatinya kini. Selalu ada respon emosional yang mendalam di balik masakan seorang ibu.

Saya pun sempat mengalami hal yang hampir sama dengan adegan Anton Ego itu. Pernah saya iseng memasak nasi goreng dengan resep ala Mama yang kerap dimasak zaman saya dan adik-adik masih kecil dulu. Hasilnya, yang tersaji bukan sekadar nasi goreng semata, tapi juga kenangan yang hadir menyertainya. Spontan berlompatan kenangan saat di mana kami tak sabar menunggu masakan matang. Saat kami makan dengan lahap, hingga tandas tak bersisa.

Wajar jika sebagai seorang ibu saya pun mencita-citakan hal yang sama. Kelak, ketika anak saya sudah dewasa dan hidup berumah tangga, semoga ada masakan ibunya yang menjadi favorit, yang akan dia tunggu, kenang, dan rindukan. Seperti halnya saya yang selalu rindu masakan Mama, di setiap kali mudik.

Memasak bukan semata-mata bicara tentang ego seorang ibu. Bicara tentang masakan ibu, kita juga akan bicara tentang sentimental value. Selalu ada respon emosional yang mendalam di balik masakan seorang ibu. Ada memori yang akan menguasai indera penciuman, indera perasa, dan alam bawah sadar orang-orang terkasihnya. Cita rasa yang tak akan mampu tergantikan oleh berbagai masakan restoran, atau yang dipesan melalui aplikasi online.

Sebuah perenungan mengantarkan saya pada sebuah pemikiran. Seorang ibu yang tidak suka/pernah memasak untuk keluarganya bukan berarti ibu yang tidak sempurna di mata keluarganya. Bukan pula ibu yang tidak sayang pada anak dan suaminya. Semua ibu sejatinya sempurna, karena wujud cinta seorang ibu bukan melulu dari masakan semata, tapi dari banyak hal yang tak mampu dijabarkan secara rinci satu persatu. Saya pernah menjadi ibu di fase itu, dan saya tak pernah kehilangan cara untuk mewujudkan rasa sayang dan kepedulian saya untuk keluarga.

Soal memasak juga bukan perkara suka tidak suka, mau tidak mau, sempat tidak sempat, mampu tidak mampu, atau saling tuding ini lebih layak menjadi tugas dan kewajiban siapa. Lebih dari itu. Tidak akan ada yang bisa mengalahkan kelezatan masakan yang dimasak dengan sepenuh hati. Apalagi yang disiapkan oleh orang yang mencintai kita tanpa syarat.

Tak peduli sesederhana apapun makanan yang disajikannya, tapi itulah salah satu cara seorang ibu mengekspresikan cintanya pada keluarga.

Love in a bowl, care of Mom.

Just my two cents….

 

[devieriana]

 

gambar dipinjam dari sini

Continue Reading

Lebih dari Sekadar Menahan Diri

“Habis nikah badan kamu kok jadi lebaran sih?”
“Kamu pas hamil kok jadi jelek gini?”
“Itu pipi atau bakpao, kok bulet amat?”

atau

“Buset, itu badan apa lidi? Kurus banget! Makan gih, sana!”
“Sekali-kali makan hamburger, atau apalah yang enak, sana lho, biar badan nggak kaya orang cacingan…”
“Itu siapa sih, item banget? Gede banget pula badannya…”

 

Pasti komentar-komentar seperti itu sudah kerap kita dengar dari orang-orang di sekitar kita, ya. Atau bahkan mungkin kita adalah salah satu orang yang pernah tanpa sadar telah/masih melakukan body shaming kepada orang lain.

Body shaming/bullying, merupakan tindakan perundungan, mengasingkan, membedakan, atau mengolok-olok orang yang memiliki badan/penampilan yang dianggap kurang memenuhi standar ideal. Semacam bias individu terhadap orang- orang yang dianggap tidak menarik, bodoh, malas, atau kurang kontrol diri.

Meskipun laki-laki dan perempuan memiliki potensi yang sama besar dalam hal menerima perundungan tentang body shaming, namun survey mengatakan frekuensi perempuan yang terkena dampak jumlahnya lebih banyak daripada laki-laki. Tak heran, karena selama bertahun-tahun ada objektifikasi perempuan, di mana idealnya penampilan seorang perempuan harus terlihat sempurna bak model. Jadi siapapun yang tidak sesuai dengan harapan tersebut berarti ada di bawah pengawasan dan kritik masyarakat.

Banyak orang beranggapan bahwa body shaming cuma bagian dari lelucon ringan atau obrolan iseng semata. Padahal sebenarnya tanpa kita sadari, komentar dan lelucon itu memiliki konsekuensi yang sangat besar bagi yang menerima. Lebih jauh, pernyataan-pernyataan ini sesungguhnya bisa memberi dampak pada kesehatan mental seseorang. Lebih serius lagi bisa mengarahkan mereka kepada depresi, kecemasan, dan bahkan pikiran untuk bunuh diri.

Kita tidak pernah tahu latar belakang hidup seseorang. Jadi sebelum berkomentar ini itu, meminta seseorang menambah/mengurangi makan, coba tahan diri dulu, pikirkan baik-baik. Siapa tahu di balik penampilannya yang mungkin baik-baik saja bisa jadi dia tengah berjuang melawan bulimia, anoreksia, atau body dimorphic disorder.

Ada seorang teman yang dulu sering kali mendapat komentar kurang menyenangkan tentang bentuk tubuhnya. Hampir setiap hari ada saja komentar yang mengatakan kalau dia itu gemuk, lebar, besaran, dan istilah lain yang sejenis. Hingga lama kelamaan tertanamlah afirmasi dalam pikirannya bahwa badannya memang gemuk, terlalu lebar untuk ukuran manusia normal, dan bahkan obesitas. Parahnya, dia mulai terserang self-loath (membenci diri sendiri), bahkan menyamakan bentuk tubuhnya dengan babi.

Seringkali dia coba cuek dengan berbagai komentar itu. Bahkan tak jarang dia mencoba menanggapi balik becandaan tentang tubuhnya itu dengan becandaan balik atau komen santai lainnya.

Namun toh pada akhirnya dia pun menyerah. Dia cuma manusia biasa yang punya batas rasa sabar. Kalau komentar tentang bentuk tubuhnya itu hanya terdengar sekali dua kali, mungkin belum jadi masalah yang serius. Tapi kalau komentar itu hampir setiap hari didengar, baik yang diucapkan secara personal maupun ketika bercanda di depan banyak orang, tentu dampaknya jadi lebih serius.

Akhirnya, si teman ini pun bertekad, “fine, gue harus kurus! Biar gue nggak dikata-katain sama orang lagi!” Ya, motivasinya adalah ingin kurus, bukan lagi semata-mata ingin menjalani pola hidup sehat.

Tanpa buang waktu, dia pun mulai mendaftarkan diri menjadi member di salah satu pusat kebugaran. Bukan itu saja, diet ketat pun mulai dia jalani. Beberapa jenis minuman/obat herbal pelangsing pun coba dikonsumsinya, walaupun seringkali berakhir lemas di toilet karena diare parah.

Walaupun kondisi badannya sudah mengajukan protes, dia tak peduli. Sekilo saja angka di timbangan terlihat berkurang, dia sudah sangat bahagia. Angka timbangan jadi parameter diet dan olahraga sukses, Bentuk tubuh ideal pasti akan terwujud dalam waktu yang tidak terlalu lama. Andai ada opsi tubuh impian itu bisa didapat dalam tempo sehari semalam mungkin dia akan menggunakan opsi itu tanpa pikir panjang.

Nyatanya, antara harapan dan kenyataan kadang tidaklah selalu berbanding lurus. Imbas segala aktivitas olahraga superkeras dan diet superketat itu justru mengantarkannya ke rumah sakit. Dia ditemukan tergeletak pingsan di lantai pusat kebugaran lantaran kecapekan dan pola makan yang berantakan. Dia pun dirawat di rumah sakit seminggu lamanya karena thypus.

Sepulang dari rumah sakit ternyata kondisi kesehatannya jadi jauh lebih rapuh ketimbang sebelumnya. Jadwal menstruasi yang awalnya teratur menjadi berantakan, dia juga kerap dilanda sesak nafas, sering mengalami gangguan pencernaaan, rentan terserang demam, flu, mood swing, emosional, dan parahnya dia mulai mengalami insomnia.

Sekalipun dia berusaha tampil normal, namun ketika dia tanpa sengaja melontarkan kalimat, “kenapa ya, kok kayanya hidup aku nggak pernah happy?” seolah menjadi indikator bahwa dia sedang mengalami stress berat.

Sebenarnya faktor pemicu body shaming sendiri bukan hanya berasal dari lingkungan sekitar. Media pun turut andil dalam membangun dan menyosialisasikan tentang citra standar kecantikan yang ideal. Pun halnya internet dan media sosial yang dipenuhi dengan unggahan bertema ‘thinspiration‘.

Bukan itu saja, dalam industri fashion juga ada promosi ukuran nol. Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Phoebe R. Apaegyei menyebutkan bagaimana media menghubungkan antara kelangsingan dan kebahagiaan, ditunjang dengan berbagai penelitian yang mendukung hal tersebut.

Banyak di antara kita lupa, bahwa kesehatan dan kecantikan tidak ditakdirkan hadir dalam satu paket. Tanpa sadar, kita merusak kesehatan hanya untuk mencoba mencapai standar kecantikan populer.

Manusia dianugerahi keunikan masing-masing yang tidak mungkin sama antara yang satu dengan yang lain, baik dari bentuk fisik, sifat, karakter dasar, hingga perbedaan perasaan, keinginan, harapan, dan kepentingan.

Sudah saatnya kita belajar menahan diri untuk tidak lagi melakukan body shaming apapun bentuknya. Perlu diciptakan kesadaran bahwa hal-hal yang berhubungan dengan penyakit mental itu salah satu penyebabnya karena adanya perundungan terhadap penampilan fisik.

Penting bagi kita memiliki perspektif yang luas dalam hal penerimaan segala jenis bentuk dan warna tubuh tanpa harus saling mengomentari perbedaan fisik satu sama lain. Apapun bentuk dan jenis perbedaan itu sesungguhnya kita tetap makhluk Tuhan yang diciptakan paling sempurna.

 

 

[devieriana]

 

gambar dipinjam darisini

Continue Reading