Verba Volant, Scripta Manent

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” — Pramoedya Ananta Toer

Setelah vakum beberapa tahun lamanya, akhirnya saya mengobati kerinduan saya aktif menulis kembali. Seperti biasa, topik tulisan saya random. Topik kejadian keseharian, review film, psikologi, parenting, pekerjaan, dan sebagainya. Banyak teori yang bilang kalau menulis di blog harus ada temanya supaya ada audiens yang secara khusus tertarget, misalnya blog yang khusus me-review tentang kecantikan, gadget, atau kuliner. Tapi menurut saya menulis tema random tentang keseharian juga memiliki daya tarik tersendiri. Menulis dengan tema random bagi saya memberikan kebebasan untuk menulis apa pun yang kita suka yang mencerminkan kehidupan sehari-hari atau berbagai minat kita saat itu.

Beberapa teman baru, yang mungkin baru mengenal saya bertanya, “Kak Devi ternyata masih suka nulis, ya? Kenapa, Kak? Kan sekarang zamannya udah zaman visual, orang lebih tertarik nonton konten video ketimbang tulisan.” Saya sudah suka menulis sejak SD. Sepertinya ada saja hasil ‘tulisan’ yang saya buat waktu itu, misalnya tiba-tiba membuat tulisan fiksi anak-anak, cerita legenda, atau komik ala-ala. Pelajaran bahasa Indonesia juga menjadi salah satu pelajaran favorit saya, karena ada sesi mengarang indah. Dulu saya juga punya cara kerja yang unik dalam membuat tulisan/karangan. Kalau teman lain membuat kerangkanya dulu baru menulis, saya justru sebaliknya. Saya buat karangannya dulu, baru saya buat kerangka karangan sebagai pelengkap. Sejak kecil pula saya suka mencari kosakata-kosakata baru yang kurang lazim digunakan. Masih ingat, dulu karena sering membaca surat kabar, saya menemukan kata ‘oknum’. Dengan bangga saya gunakan kata itu dalam tugas mengarang  pada pelajaran bahasa Indonesia. Tapi karena tidak sesuai dengan tema tugas waktu itu, sehingga kata itu justru dicoret oleh guru. Tak apa, yang penting sudah sempat memakainya.

Bukan hanya itu, konten blog lebih mudah diakses dan ditemukan dalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan dengan postingan media sosial yang cepat berlalu. Ketika seseorang menulis di blog, tulisan tersebut memungkinkan untuk diindeks oleh mesin pencari seperti Google, sehingga orang lain dapat menemukan tulisan tersebut bertahun-tahun setelah dipublikasikan. Hal ini tentu sedikit berbeda dengan postingan di media sosial yang cenderung tenggelam dalam lautan konten baru yang terus bermunculan setiap detiknya. Blog juga memberikan fleksibilitas yang lebih besar dalam menyusun dan menyampaikan informasi. Kita dapat membuat artikel yang panjang dan mendalam, menyertakan berbagai jenis media seperti gambar, video, dan infografis, serta mengelompokkan tulisan-tulisan tersebut ke dalam kategori yang memudahkan navigasi bagi pembaca. Jadi, sebenarnya menulis di blog telah lama menjadi salah satu cara paling populer untuk berbagi informasi, pengalaman, dan pemikiran dengan audiens yang lebih luas.

Bagi saya pribadi, blog ini dapat dianggap sebagai tempat penyimpanan digital memori saya, seperti ruang virtual di mana saya dapat dengan bebas menuangkan pikiran dan berefleksi. Blog ini menjadi tempat perlindungan, rumah pikiran, sebuah tempat yang tenang di tengah hiruk pikuk kehidupan sehari-hari. Lebih jauh blog ini juga berfungsi sebagai portofolio yang menampilkan perkembangan saya sebagai penulis yang sedang berkembang.

Semua hal ini sejalan dengan pepatah Latin yang mengatakan “Verba volant, scripta manent”, yang berarti kata-kata yang terucap akan terbang pergi, tetapi kata-kata yang tertulis akan tetap abadi. Dalam era digital, pepatah ini mengingatkan kita akan pentingnya menyimpan informasi secara tertulis. Verba volant, scripta manent menekankan adanya kekuatan dan kekekalan kata-kata tertulis dibandingkan dengan yang terucap. Kata-kata yang tertulis memiliki daya tahan yang luar biasa, memungkinkan pemikiran dan ide untuk hidup lebih lama daripada ucapan yang segera dilupakan. Inilah yang membuat aktivitas menulis di blog bukan hanya relevan di masa lalu, dan kini saja, namun juga memberikan dapat kontribusi jangka panjang bagi dunia pengetahuan dan budaya jika dibutuhkan.

— Devieriana —

Continue Reading

Meniti Kembali Perguruan Tinggi pada Usia Matang

Terinspirasi dari buku karya Rebecca Klein-Collins yang bertajuk “Never Too Late” The Adult Student’s Guide To College” sengaja saya memilih frasa “usia matang” untuk judul tulisan ini, tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa kuliah di usia yang tidak lagi muda membawa serta tantangan dan peluang yang unik. Frasa ini lebih menekankan pada kematangan, pengalaman, dan perspektif yang dibawa oleh individu yang kembali ke bangku kuliah setelah beberapa waktu, serta untuk menggambarkan bahwa pendidikan di tahap ini adalah keputusan yang diambil dengan penuh kesadaran dan tujuan. Ya selain alasan sebenarnya adalah supaya tidak terlalu terlihat usia uzur, sih.

Sebagian orang mungkin beranggapan bahwa pendidikan formal hanya diperuntukkan bagi mereka yang berusia 20-an. Namun, sebenarnya tidak ada batasan usia yang tepat untuk memulai kuliah. Banyak orang memilih untuk melanjutkan pendidikan mereka di usia 30-an atau bahkan lebih. Alasan di balik keputusan ini pun beragam, mulai dari kebutuhan untuk memperluas keterampilan, mengubah arah karier, atau bahkan kuliah hanya untuk kepuasan pribadi atau mengisi waktu luang. 

Secara umum, tidak ada aturan yang mengikat mengenai batasan usia untuk pendidikan sarjana di Indonesia. Program S-1 didesain dengan sedemikian fleksibel sehingga memungkinkan mahasiswa memulai studi sesuai kemampuan masing-masing. Meskipun tidak diatur secara resmi, beberapa universitas menerapkan kebijakan usia. Universitas negeri biasanya membatasi usia maksimal hingga 21 tahun atau 3 tahun setelah lulus SMA/SMK/sederajat, sedangkan universitas swasta tidak menerapkan batasan usia.

Namun di Indonesia banyak sekali universitas yang membolehkan orang dengan usia berapapun untuk kuliah S1. Universitas Terbuka adalah salah satu yang tidak menerapkan batasan usia serupa. Dengan pendekatan yang inklusif terhadap usia, Universitas Terbuka memberikan kesempatan bagi siapa saja yang ingin mendapatkan pendidikan tinggi, tanpa terkekang oleh batasan usia yang mungkin diterapkan oleh universitas negeri maupun swasta di Indonesia, dengan syarat asalkan sanggup menjalaninya. 

Kuliah sambil bekerja atau berkeluarga memiliki tantangan tersendiri. Tantangan terbesar bagi mereka yang kuliah di usia matang adalah menyeimbangkan waktu antara kuliah, pekerjaan, dan tanggung jawab keluarga. Selain itu, perkembangan teknologi dan metode pembelajaran yang pesat bisa menjadi kendala bagi mereka yang sudah lama meninggalkan lingkungan akademik.

Jangan khawatir, kembali kuliah di usia matang justru menawarkan banyak peluang, lho. Dengan lebih banyak pengalaman hidup dan kerja, mereka cenderung memiliki pemahaman yang lebih baik tentang apa sih yang mereka inginkan dari pendidikan. Jadi, secara keseluruhan, kembali kuliah di usia matang dapat menjadi pengalaman yang sangat berharga. Jadi meski ada tantangan yang harus dihadapi, namun manfaat dan peluang yang ditawarkan juga sangat signifikan.

Namun sebelum memutuskan untuk kuliah, ada baiknya menjawab beberapa pertanyaan dasar berikut ini seperti “apa sebenarnya tujuan saya kuliah? Apakah untuk pengembangan karier, memenuhi passion di bidang yang berbeda dari pekerjaan saya, atau sekadar mengisi waktu luang?” Nah, kalau tujuan sudah jelas, baru deh kita pilih jurusan dan universitas yang sesuai dengan fleksibilitas kita; baik dari segi pendanaan, lokasi, maupun jenis perkuliahan (tatap muka langsung, hybrid, atau daring/online). Jika memilih kelas tatap muka, jangan lupa untuk memastikan tentang ada tidaknya kelas karyawan/ekstensi/non-reguler yang menawarkan perkuliahan malam atau akhir pekan agar tidak berbenturan dengan pekerjaan sehari-hari.

Tidak ada kata terlambat untuk belajar dan berkembang. Pesan saya, apapun bidang studi yang dipilih, semoga tidak memberikan tekanan berlebihan pada kesehatan, fokus, dan tanggung jawab sehari-hari kita baik dalam kehidupan berkeluarga maupun di kantor, ya. 

— devieriana —

Ilustrasi dipinjam dari collegetransfer.net

Continue Reading

Mistakes Are Okay

Sejak Alea bisa diajak berkomunikasi (usia pra TK), saya sering membagikan percakapan saya dengan Alea (7 tahun) di media sosial Instagram dalam bentuk IGstory. Percakapan yang sederhana, kadang lucu, kadang mengharukan, atau cerita parenting lainnya tentang bagaimana saya dan Alea saling berproses. Karena proses belajar itu bukan melulu dari saya untuk Alea, tapi sering kali justru dari Alea saya belajar bagaimana menjadi seorang ibu, menjadi orang tua.

Meskipun Alea adalah anak saya, tapi nyatanya saya dan Alea bukan sebuah pribadi yang sama dan identik. Ada hal-hal bawaan yang berbeda dari kami berdua. Salah satu contoh paling mendasar adalah saya orangnya kalau panik bawaannya ngegas. Tapi tidak dengan Alea. Dia adalah anak yang selalu tenang dalam menghadapi permasalahannya. Dalam mengerjakan ulangan pun demikian. Ketika teman-temannya sudah selesai, kalau dia belum selesai ya akan diselesaikan sampai selesai, tanpa panik atau terburu-buru. Bahkan saking tenangnya, mengerjakan soal matematika saja dia sambil bersenandung, sementara yang mendampingi sudah kasih aba-aba dan instruksi layaknya pelatih Paskibraka supaya dia segera menyelesaikan ulangannya.

Pun halnya ketika sesi Pembelajaran Tatap Muka (PTM), pernah ada suatu ketika dia terlambat datang ke sekolah karena bangun kesiangan. Berpamitan dan turun dari mobil dengan tenang, masuk ke halaman sekolah dengan tanpa berlari-lari, mencuci tangan dan menjalani prosedur sebelum masuk kelas dengan tanpa terburu-buru, dan bergabung di kelas dengan tanpa rasa canggung.

Mungkin beberapa doa malam saya waktu mengandung dia dulu ada yang diijabah oleh Tuhan. Alea memiliki keistimewaan tersendiri. Dia memiliki kecerdasan dan kepekaan sosial yang tinggi. Banyak hal tak terduga yang keluar dari pemikirannya, jauh di luar apa yang saya pikirkan sebelumnya. Entah apakah ini gift dari Sang Maha Pencipta atau ada hubungannya dengan kebiasaan ngobrol dengan saya sebelum tidur.

Hampir setiap malam sebelum tidur, kami sempatkan untuk ngobrol. Bukan topik yang serius, tapi topik ringan seputar aktivitas keseharian, tentang teman, tentang apa yang kami pikirkan tentang sesuatu. Intinya topiknya bisa tentang apapun. Selain untuk memperkuat bonding antara ibu dan anak, juga untuk menyisipkan nilai-nilai baik sebelum dia tidur.

Seperti halnya obrolan beberapa malam lalu. Ada seorang teman yang menceritakan bagaimana dia merespon anaknya ketika salah hitung dalam soal matematika sederhana.

“Alea, tadi temen Mama cerita, kalau anaknya salah ngejumlahin gitu. Dia kan dikasih soal sama mamanya, 6+0=…. Anaknya temen Mama jawabnya 6+0=0. Temen mama marah, dong. Masa 6+0=0, kan harusnya 6. Ya, kan? Menurut Alea gimana?”

“That’s okay, Mama. She’s still learning. So, making mistake is fine. Because it’s a proof that she’s trying…”

Jujur, saya seperti bukan sedang berbincang dengan anak usia 7 tahun. Bahkan saya sempat mengira Alea bakal mengeluarkan respon, “Hah?!”, “WHAT?!”, atau bahkan menertawakan kesalahan yang diperbuat sebayanya. Tapi ternyata saya sudah bersuuzon.

Sebenarnya kalimat-kalimat bijak seperti ini bukan sekali dua kali keluar dari pemikiran Alea. Bahkan pernah sekali dua kali justru saya yang diberi nasihat. Lucu sih kadang, seolah mendengarkan diri saya sendiri dalam versi anak-anak ketika dia menasihati saya. Tapi saya selalu membiarkan dia berproses dengan caranya. Saya percaya bahwa di setiap harinya, ada penyerapan kalimat, kata, perbuatan, tingkah laku, dan nasihat. Ada spons raksasa dalam otak dan dirinya yang siap menyerap banyak hal.

Dulu, Alea pun bukan anak yang selalu percaya diri. Ada kalanya dia memilih untuk tidak mencoba karena khawatir berbuat salah yang membuat papa mamanya marah. Perlu waktu untuk menjadikan dia anak yang mau terbuka, mencoba belajar banyak hal, dan menjadi anak yang percaya diri. Dan kuncinya memang ada di cara bagaimana kita berkomunikasi, cara kita memperlakukan dia.

Kami pun sebagai orang tua tidak pernah yang menuntut dia harus mengerjakan segala sesuatu harus benar dan sempurna. Di usianya yang masih belia rasanya terlalu naif untuk menuntut sebuah kesempurnaan tanpa melalui sebuah proses pembelajaran, penerimaan diri, atau melalui kesalahan-kesalahan. Toh kita saja yang sudah setua ini masih sering membuat kesalahan, kan?

Pernah suatu saat ketika dia masih TK, dan dia belajar Matematika sederhana, dia ada salah menghitung dan dia begitu merasa bersalah. Padahal saya waktu itu baik-baik saja, tidak menyalahkan, pun membuat dia terhakimi. Tapi reaksinya di luar dugaan. Dia sedih, merasa bersalah, dan lalu meminta maaf. Respon saya waktu itu ya otomatis memeluk sambil mencium dia, karena sebenarnya setidak apa-apa itu. That’s not a big deal, Alea.

“So is it good if I make mistake? Will you not get mad at me, Mama?”

Ya, of course it’s fine. Mama nggak menuntut Alea jadi anak yang supersempurna, yang nggak pernah bikin kesalahan. Learning is a continuous process in life. And making mistakes is a part of learning process. When we learn new things, we tend to make mistakes, which is natural and common. Mistakes happen. We all make them, it is part of what makes us human. Bikin salah waktu belajar itu nggak apa-apa, lain kali waktu mengerjakan soal harus lebih hati-hati, lebih teliti lagi, ya. OK?”

“Okay, then…”

“I just want you to be a happy human being, Alea. Just be you. Be the best version of you…”

Tidaklah terlalu penting menjadi sosok yang sempurna. Namun yang jauh lebih penting dari itu, saya ingin melihat Alea tumbuh jadi anak yang gembira, anak yang bahagia, anak yang tumbuh dengan versi terbaik dirinya. Karena dengan menjadi anak yang bahagia, dia akan bisa menularkan kebahagiaan di lingkungan manapun dia berada. Lebih luas lagi, semoga kelak dia bisa membawa banyak kebermanfaatan bagi sesamanya.

  • devieriana

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

Tentang Memaafkan (2)

Konon, hati manusia itu seluas samudera. Tapi dalamnya siapa tahu? Pun tentang kekuatan hati. Tak ada satupun manusia yang tahu kekuatan hati manusia lainnya. Itulah mengapa tidak semua orang memiliki sikap dan pandangan yang sama ketika harus berhadapan dengan komentar tajam dan jahatnya perbuatan orang lain.

Bagi yang terlahir dengan hati yang sekeras baja, semua hal yang membuat rasa sakit hati mungkin akan dianggap sebagai angin lalu, ya. Tapi tidak demikian dengan orang yang hatinya serapuh cangkang telur. Rasa sakit hati akan lebih rentan mendera dan meninggalkan bekas. Bukan hanya sehari, bisa berbulan-bulan, bertahun-tahun, hingga menggumpal menjadi dendam tak berkesudahan, bahkan ada yang dibawa hingga ke liang lahat.

Dari dulu saya mengklaim bahwa saya adalah seorang pemaaf. Jika ada yang menyakiti saya baik itu lewat kata maupun perbuatan, biasanya saya cepat melupakan dan memaafkan. Tapi praktiknya saya belum sepemaaf itu. Ada suatu masa di mana saya pernah menyimpan rasa sakit hati yang berkepanjangan.

Semua berawal dari peristiwa 3 tahun tahun lalu, ketika saya harus pulang mendadak karena sepulang umrah Papa masuk ruang ICU. Kondisi Papa waktu itu sudah tidak terlalu bagus. Selain karena usia, juga ada cairan di paru-paru hingga Papa mengalami kesulitan bernafas dengan lega.

Saya, adik-adik, dan Mama saling bergantian menjaga Papa di rumah sakit. Meski tetap berharap yang terbaik untuk kesembuhan Papa, tapi entah kenapa melihat perkembangan kesehatan Papa yang tidak stabil dan sempat beberapa kali menurun, membuat saya tidak berharap terlalu banyak.

Hingga ketika saya berkesempatan berjaga tepat di hari ulang tahun saya. Keadaan Papa saat itu sedikit lebih baik dan sudah dipindahkan ke ruang HCU setelah sempat tak sadarkan diri di hari sebelumnya,

“Pa, Papa pengen ngobrol atau telepon siapa gitu, nggak?”  

Dengan tersenyum Papa mengatakan kalau ingin sekali disambungkan dengan Oom (kakak kandungnya) di Jakarta, sebentar saja. Dengan sigap saya segera menyambungkan ke nomor Oom, walaupun pasti akan diterima Tante terlebih dahulu, yang penting bisa tersambung, dan dua kakak beradik yang sudah sangat lama tak bertemu ini bisa ngobrol sebentar.

Tapi siapa sangka kalau permintaan sederhana itu tidak dapat saya wujudkan hingga Papa kembali mengalami masa kritis sebelum akhirnya berpulang. Perasaan saya campur aduk, antara sedih, marah, dan menyesal.

Sejak Papa bilang kalau ingin menelepon kakaknya, tak henti-hentinya saya berusaha untuk menghubungi nomor Oom di Jakarta.  Sebenarnya selalu tersambung, walau tidak pernah diangkat. Pesan singkat yang saya kirimkan via aplikasi Whatsapp pun sebenarnya selalu dibaca karena 2 checklist biru pada pesan Whatsapp selalu terlihat. Tapi berhari-hari saya coba menghubungi nomor tersebut, namun tak jua membuahkan hasil.

Hingga selang beberapa hari setelah Papa berpulang, sebuah nomor asing menghubungi saya. Suara di ujung telepon adalah suara yang saya kenal. Suara tante yang saya pernah saya harapkan akan berkenan menyambungkan kepada Oom. Dengan suara yang agak parau beliau menyampaikan kalimat duka cita dan permintaan maaf karena tidak sempat mengangkat telepon dan membalas pesan-pesan saya lantaran terlalu sibuk mengurus rumah dan Oom yang kondisinya mulai menurun. Tante sengaja tidak mengangkat telepon saya, lantaran beliau khawatir hal itu akan mengganggu kesehatan Oom. By the way, hingga akhir hayatnya, Oom tidak pernah tahu kalau Papa sudah pergi mendahului.  

Entahlah, mungkin saat itu hati saya masih diselimuti emosi dan rasa kecewa, sehingga semua kalimat yang diucapkan Tante terdengar begitu egois bagi saya. Seolah semua ingin jadi pihak yang paling dipahami, dimengerti, dan dimaklumi. Jadi meski saat itu mulut saya memaafkan, tapi sesungguhnya tidak demikian dengan hati saya.

Selang dua tahun setelah kepergian Papa, sebuah kabar duka beredar di grup Whatsapp keluarga. Kakak kesayangan Papa ini pun berpulang menyusul hampir semua saudara kandungnya yang sudah lebih dulu pergi. Berhubung beliau dulunya adalah seorang mantan perwira tinggi TNI Angkatan Darat, maka setelah disalati sebagai penghormatan terakhir pada pukul 16.00 akan dimakamkan dengan upacara militer di Taman makam Pahlawan di Kalibata.

Gamang. Haruskah saya pergi melayat? Mampukah saya bertemu dengan orang yang dulu membuat permintaan terakhir Papa tidak terwujud? Apakah lebih baik saya berpura-pura tidak tahu saja kalau Oom meninggal dunia? Saya sempat sebatu itu, lho.

Hingga akhirnya saya ditegur oleh suami,

“Sampai kapan kamu kaya gitu? Memendam rasa sakit yang nggak perlu. Papa insyaallah juga sudah tenang di alamnya. Mama juga sudah lama memaafkan Tante dan memaklumi semua keadaan. Kenapa malah kamu yang belum bisa memaafkan? Mau kamu apakan rasa dendammu itu?”

Air mata saya tumpah bak kubangan sisa air hujan yang menjebolkan plafon rumah. Tuhan, sungguh semua rasa ini membuat saya bukan jadi diri saya. Saya yang katanya seorang pemaaf ini nyatanya adalah seorang tokoh antagonis yang kejahatannya dibalut rasa sakit hati. Rasa yang sama sekali bukan terbangun di hati, namun di kepala, yang kemudian bermetamorfosa sedemikian rupa hingga akhirnya malah membutakan diri saya sendiri.

Dengan emosi yang pelahan luruh, saya sekeluarga dan adik saya sampai juga di Taman Makam Pahlawan Kalibata menjelang magrib, karena memang upacara militer untuk beliau baru selesai. Di blok makam tempat peristirahatn Oom yang terakhir, terlihat seorang perempuan seusia Mama sedang duduk di kursi menghadap gundukan tanah yang masih merah dan penuh taburan bunga. Perawakannya kecil, matanya sembab, wajahnya pucat, dan badannya jauh lebih kurus jika dibanding dengan saat terakhir bertemu beberapa tahun lalu. Beliau adalah Tante saya.

Tante yang menyadari kehadiran kami berdua, langsung berdiri dan memeluk saya erat. Dia menangis tergugu.

Wallahualam, apakah beliau tahu apa yang saya rasa dan pikirkan, ya? Karena di sela sedu tangisnya beliau bilang begini,

“Devi, maafkan semua kesalahan Oom semasa hidup, ya. Maafkan Tante yang nggak bantu Devi buat memenuhi keinginan terakhir Papa buat ngobrol sama Oom. Maafkan keegoisan Tante waktu itu. Jujur kalau inget almarhum Papa, Tante sedih banget dan merasa bersalah. Sampaikan juga maaf Tante kepada Mama, ya. Dengan tulus Tante minta maaf… Semoga Devi berkenan memaafkan …”

Saya mengangguk dalam tangis yang tak kalah derasnya. Di sela azan magrib yang bergema, saat itu pula ego dan luka hati saya luruh bersama air mata. Permintaan maaf yang tulus sudah sewajarnya mendapatkan maaf yang sama tulusnya. Pikiran saya terbuka pelahan. Sekalipun kata maaf dari orang yang telah menyakiti itu penting, tapi sesungguhnya ada hal lain yang jauh lebih penting dari itu semua, yaitu berdamai dengan masa lalu dan memaafkan diri sendiri.

Dalam perjalanan pulang ke rumah, mata saya bengkak tapi hati saya jauh lebih damai dan lapang.

Ternyata sakit hati yang selama ini saya simpan, tak malah membuat saya merasa lebih baik. Bukannya malah sembuh, rasa sakit dan kecewa yang saya pelihara itu makin menjadi-jadi. Hingga sore itu, ketika semua sudah saling memaafkan, luka-luka saya pun sembuh. Saya tidak pernah ingin mendatangi rasa sakit itu lagi.

Jadi, last but not least, bagi siapapun yang mungkin pernah tersinggung atau sakit hati atas kata-kata dan perbuatan saya, baik yang saya sengaja maupun tidak, dengan segenap kerendahan hati saya mohon dimaafkan, ya 🙂

-devieriana-

picture source mindful.org

.

Continue Reading

Pandemi oh Pandemi

Pandemi coronavirus (COVID-19) telah menyebabkan banyak organisasi di seluruh dunia menyarankan para stafnya untuk mengisolasi diri dan bekerja dari rumah untuk mengurangi penyebaran virus. Bagi banyak orang, yang mungkin untuk pertama kalinya beralih dari tempat kerja komunal ke rumah, tentu butuh banyak penyesuaian.

Ketika sekolah dan kantor ditutup untuk sementara waktu karena wabah Coronavirus, orang tua berusaha mencari cara agar bisa melakukan tiga pekerjaan penuh waktu sekaligus, sebagai karyawan jarak jauh, sebagai orang tua, sekaligus sebagai pengajar di rumah. Tentu bukan suatu hal yang mudah, karena menjalani pekerjaannya sendiri saja sudah membutuhkan energi, apalagi menjalani sekaligus sebagai pengajar di rumah, pasti lebih membutuhkan energi ekstra.

Bekerja di rumah tentu banyak tantangannya. Tak jarang anak-anak menganggap orang tua mereka sedang tidak sedang bekerja Jadilah mereka mengajak bermain. Bagi anak-anak, keberadaan kita di rumah seolah mengibaratkan adanya ketersediaan waktu dan kesiapan kita untuk bermain atau memanjakan mereka. Padahal sebenarnya ada pekerjaan bertenggat waktu yang sudah menunggu untuk diselesaikan. Selama pandemi ini, sekalipun kita berada di rumah, tidak serta merta memberi kita lebih banyak waktu bersama keluarga, karena meskipun kita di rumah, kita juga masih bekerja. Idealnya kita perlu memberikan batasan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, meskipun kedua hal itu akan terjadi di tempat yang sama.

Bagaimana dengan belajar di rumah? Selama pandemi berlangsung, murid belajar via daring setiap hari atau di waktu yang telah ditentukan, para guru mengirimkan rekomendasi pelajaran, lembar kerja, dan PR ke rumah untuk membantu anak-anak untuk tetap berada dalam rutinitas sekolah dan mengikuti pelajaran akademik. Pada awalnya masa pembelajaran, mungkin masih terasa seru bagi orangtua karena bisa menemani anak mereka belajar. Tapi lama kelamaan, seiring dengan semakin bertambahnya target pelajaran dan tugas yang harus diselesaikan, yang terasa bukan lagi seru, tapi justru emosi jiwa.

Bagi keluarga yang didukung dengan akses internet cepat, penyelesaian tugas secara online ini tidak terlalu berkendala. Tapi sebaliknya bagi mereka yang memiliki keterbatasan akses internet, tentu hal ini jadi beban tambahan karena penyelesaian tugas sekolah maupun pekerjaan jadi terhambat.

Sama halnya dengan para orang tua yang mendambakan bisa kembali beraktivitas di luar rumah seperti sedia kala, anak-anak pun berharap bisa kembali lagi ke sekolah untuk bertemu teman-teman dan guru mereka. Tapi di sisi lain kita semua pasti takut terpapar virus Corona. Sehingga mau tidak mau kita semua harus tetap di rumah sampai dengan pandemi mereda.

Namun selalu ada hal positif di balik semua kejadian negatif. Meskipun histeria massal sedang berlangsung, kenyataannya orang-orang masih membeli barang-barang dan kebutuhan hidup. Itulah sebabnya meskipun beberapa sektor bisnis mengalami kelumpuhan selama pandemi berlangsung, namun pada kenyataannya beberapa bisnis online sebenarnya sedang tumbuh.

Mau tidak mau, suka tidak suka, kita sedang menghadapi badai yang sama, walau tidak berada di kapal yang sama. Bisa saja kapal kita yang tenggelam atau sebaliknya. Tetapi di satu, sisi pandemi ini sejatinya tidak hanya destruktif – namun bisa juga konstruktif. Mereka juga bisa menyebabkan perubahan, dan sering memicu perkembangan ilmiah dan reformasi sosial. Pandemi juga sesungguhnya tengah menguji kreativitas kita dalam bertahan hidup. Semoga kelak ketika pandemi telah reda, kita berhasil lulus dengan lebih banyak keterampilan dan motivasi. We are all trying to survive the apocalypse.

Doa sederhana yang tidak sederhana untuk saat ini, semoga badai segera berlalu. 

— devieriana —

Continue Reading
1 2 3 29