Tentang Twitwar Offline Itu

social media

Akhir-akhir ini saya sudah tidak seaktif tahun-tahun lalu dalam menggunakan sosial media mainstream, utamanya twitter dan facebook. Kalaupun iya masih login ya kalau sedang ingin login saja, sekadar ingin melihat berita apa yang sedang hits di media-media itu. Kalau bicara tentang frekuensi membuka socmed yang mana, mungkin justru lebih sering membuka blog daripada twitter/facebook (walaupun up date-nya pun jarang 😆 ).

Kurang lebih seminggu yang lalu, di Twitter, terjadi ‘kehebohan’. Apa itu? Ada yang twitwar! Halah biasa! Eh, kalau di twitter terjadi twitwar antarakun mungkin kedengarannya sudah biasa ya. Tapi twitwar yang kemarin bukan sekadar twitwar antarpemilik akun seperti biasanya, tapi twitwar yang berujung perkelahian antara 2 orang dewasa yang masing-masing mempunyai perbedaan pendapat tentang politik, dan akhirnya berujung pada perkelahian fisik di Istora Senayan. Dalam hitungan detik, berita perkelahian tak elok tersebut menjadi viral di berbagai sosial media.

Ketika berita itu diunggah ke media online saya tertawa sendiri sambil bergumam, “oh, ternyata twitwarnya beneran dilanjutin ke berantem ya? 😆 “. Saya memang sempat mengikuti perdebatan mereka di twitter walaupun tidak terlalu intens. Tapi saya tidak terlalu ambil pusing, karena seperti yang sudah-sudah pasti cuma berujung debat kusir.

Awalnya adalah ketika ada salah satu akun mengetwit tentang kunjungan Presiden Joko Widodo ke Malaysia untuk membicarakan prospek kolaborasi dengan produsen mobil Malaysia Proton untuk memproduksi mobil nasional Indonesia. Ketika akun tersebut sedang membahas kemungkinan program kolaborasi tersebut ternyata ada pengguna twitter lainnya yang mengkritik rencana tersebut. Dari situlah adu kicau terjadi; saling adu argumen yang akhirnya meningkat jadi aksi saling bully.

Twitter adalah sebuah ranah di mana cyberbullying (atau sering disebut bullying 2.0 atau kekejaman online) sering diterapkan, utamanya pada situasi ketika para pengguna teknologi digital terlibat dalam perilaku menyakiti pengguna internet/teknologi digital lainnya. Bentuk cyberbullying ini bisa bermacam-macam; bisa berupa celaan, cercaan, atau hinaan kepada satu sama lain. Bisa juga berupa kata-kata atau tindakan yang bersifat mempermalukan/melecehkan dan atau membahayakan orang lain. Bukan itu saja, yang paling sering dilakukan adalah dengan menciptakan akun-akun anonim dan digunakan untuk menyerang pemilik akun yang menjadi sasaran dengan menggunakan kalimat-kalimat atau ilustrasi yang bersifat merendahkan. Bentuk lain dari cyberbullying adalah melakukan aksi pengecualian (exclusion); aksi yang secara khusus dan sengaja mengecualikan seseorang dari kelompok online, seperti misalnya memutuskan hubungan dari media sosial padahal awalnya kedua pihak ini saling berhubungan atau berteman. Dan masih banyak lagi bentuk tindakan-tindakan cyberbullying lainnya yang mungkin tanpa sadar kita sendiri pernah (khilaf) melakukannya.

Brian Solis mengatakan, “Social Media is more about sociology and psychology more than technology”.

Ketika kita bicara tentang sosial media, kita bukan hanya akan bicara tentang teknologi semata, tapi bicara tentang sosial media secara menyeluruh, baik itu secara strategis, perspektif, dan sisi psikologis para penggunanya.

Lalu, apa menariknya perkelahian dua orang yang berawal dari twitwar di twitter itu? Tidak ada menariknya sama sekali. Tapi ada hal yang bisa dipelajari di sini. Pertama, dua orang yang adu jotos di Istora seminggu yang lalu adalah dua orang yang sudah dinyatakan matang secara usia. Tapi pada kenyataannya usia bukanlah ukuran kedewasaan dalam bertindak dan berpikir. Kedua, walaupun banyak yang mengklaim dirinya sudah lama dan mahir bersosial media, nyatanya tidak semuanya paham bagaimana ‘bermain’ di sosial media; buktinya masih ada yang membawa-bawa emosi online ke offline. Ketiga, setelah insiden adu jotos kemarin, saya yakin tidak ada satupun yang peduli tentang siapa yang sebenarnya jadi pemenang, yang terlihat hanyalah dua orang dewasa yang sama-sama kehilangan martabat dan akal sehat.

Sekadar tips ringan, ada baiknya kalau kita sudah merasa jenuh bersosial media, atau mudah terbawa emosi hanya karena membaca status sebuah akun, tidak ada salahnya untuk off sejenak dari dunia sosial media. Biasanya pikiran kita akan lebih fresh ketika kita kembali mengunjungi laman sosial media kita.

Ya, akhirnya sosial media hanyalah taman bermain bagi pengguna internet… seperti saya…

“Social media is changing the world, and we’re all here witnessing it”
Ian Somerhalder

 

[devieriana]

 

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

Work-Life Balance

life balance

Pada sebuah sore di penghujung tahun 2014, di menjelang jam pulang kantor, Kasubbag saya terlihat sibuk mondar-mandir dari kubikelnya ke ruang Kabag, tak lama lalu ke ruang Deputi, dan lalu ke ruang Kepala Biro, sambil membawa selembar berkas. Saya sendiri masih sibuk berkutat dengan setumpuk berkas surat yang harus diinput dalam aplikasi persuratan elektronik.

Tak lama kemudian dia mampir ke kubikel saya sambil menjentik-jentikkan jarinya ke arah surat yang dia bawa. “Gua harus cari yang qualified, nih!”. Saya menoleh sebentar ke arahnya, “(Ada) apaan sih, Kak?”. Dia cuma manggut-manggut nggak jelas sambil membawa kembali, “Nggak apa-apa, nanti deh…”.

Sambil agak bengong saya kembali fokus dengan setumpuk berkas yang tadi. Kasubbag saya itu lalu kembali ke kubikelnya, mengetik sebentar dan tak lama kemudian terdengar printer yang sedang mencetak dokumen. Dan setelahnya, dia segera bergegas ke ruang Deputi lagi.

Waktu sudah menunjukkan pukul 17.05 wib. Ruangan sudah mulai sepi karena memang sudah lewat jam pulang kantor pukul 16.00 wib. Tapi masih ada beberapa pegawai yang masih ada di ruangan karena lembur, termasuk saya. Kasubbag saya kembali mendatangi kubikel saya, menyeret kursi di sebelah saya, dan melontarkan pertanyaan ini:

“Kak, kamu mau nggak jadi Sekretarisnya Bu Menteri?”

“Hah? Bu Menteri siapa?”

Pikiran saya mendengar kata-kata ‘Bu Menteri’ kok langsung mengarahnya ke Menteri Susi Pudjiastuti ya; padahal perempuan yang menjabat sebagai menteri kan bukan cuma beliau ya. Tapi entahlah mungkin karena sosok Bu Susi terlalu kuat dan populer, sehingga kalau ada yang menyebut kata ‘Bu Menteri’, asosiasinya langsung ke beliau. Kembali lagi ke tawaran yang tadi, So, so, kalau jadi saya jadi Sekretarisnya Bu Menteri Kelautan dan Perikanan, berarti saya mau dimutasi ke sana, gitu? Pikir saya.

“Bu Menteri, Bu Menteri… Isterinya Pak Menteri… “, lanjut Kasubbag saya.

“Ooh, Bu Pratikno?”, jelas saya sambil menarik nafas lega.

“Iya, hehehe. Mau, nggak?”

“Aku? Lah, kenapa aku? Kok tiba-tiba aku? Mekanismenya gimana ini?”

“Iya, jadi gini… Ibu lagi butuh sekretaris untuk mendampingi beliau, karena nantinya beliau bakal sibuk banget. Bukan cuma sekadar menghadiri acaranya Bapak aja, tapi juga agenda bersama para ibu pejabat lainnya…”

“Trus?”

“Aku udah diskusi sama Pak Karo, plus menyeleksi sekretaris-sekretaris yang ada di kementerian kita, dan pilihan kita jatuh ke kamu. Kalau kamu setuju, kita akan ajukan nama kamu ke Ibu..”

“Lho, lho… sik, sebentar. Itu tugasnya ngapain aja?”

“Ya kamu akan melekat ke Ibu. Ke mana pun Ibu berkegiatan ya kamu akan ikut. Tapi prinsipnya sih lebih kurang semacam ajudannya Ibu gitu…”

“Lah, bukannya selama ini, kaya yang sebelum-sebelumnya, Bu Menteri biasanya disekretarisi plus diajudani oleh TNI/Polri, ya?”

“Iya sih, tapi kali ini ada permintaan dari Ibu khusus Sekretaris beliau nggak mau dari TNI/Polri, makanya kita tawarkan yang existing aja dulu. Gimana, mau nggak?”

“Terus, kenapa aku? Kenapa nggak di-FGD-kan aja, atau diajukan aja dulu nama-nama Sekretaris di sini terus kasih ke Ibu, biar diseleksi sendiri sama Ibu…”

“Ibu menyerahkan seluruh mekanisme pemilihannya ke kita, Kak. Kenapa kamu yang kita pilih ya karena kita lihat kamu lebih menonjol di antara kandidat yang lain. Gimana?”

“mmmmh….” saya tertegun

“Nggak harus sekarang sih jawabnya. You may think it first. You may discuss it with your family. Pikir positif negatifnya. Tapi jangan lama-lama mikirnya ya, Kak. Hehehe. Biar kita bisa segera komunikasikan ke Ibu gitu…”

“Ok, aku diskusikan dulu sama keluarga ya, Kak 🙂 “

Jujur, bukan sebuah keputusan mudah untuk menolak/menerima tawaran itu. Di satu sisi mungkin baik untuk pengalaman kerja saya, di mana saya bisa secara langsung menangani pekerjaan yang levelnya lebih tinggi dan lebih sibuk dibandingkan dengan pekerjaan yang saya tangani sekarang. Di sisi lainnya, kalau saya jadi menerima pekerjaan itu, artinya waktu saya bersama keluarga — terlebih dengan Alea — akan sangat berkurang, karena bisa saja saya akan lebih banyak bekerja dan dinas untuk mendampingi Ibu.

Alea sedang lucu-lucunya. Saat tawaran itu diajukan, Alea berusia 5 bulan. Walaupun masih 5 bulan, dia sudah tahu waktu, terutama tidur malam. Kalau sudah waktunya, dia pasti rewel ‘minta’ dikeloni sambil minum ASI, sambil diusap-usap punggungnya. Kalau waktunya bobo tapi saya belum ada buat dia, ya dia akan rewel terus, kasian Mama saya kalau Alea belum bobo-bobo.

Pernah suatu hari saya dan suami terpaksa terlambat sampai di rumah karena di tengah jalan ternyata hujan deras sehingga kami harus berteduh menunggu hujan reda. Sesampainya di rumah, ternyata Alea masih melek. Matanya agak sembab, perpaduan antara ngantuk berat dan habis menangis (rewel) karena tidak bisa bobo. Dan memang, tak lama setelah saya bersih-bersih badan dan shalat, dia pun tidur pulas dalam pelukan saya.

Tuntutan menjadi seorang istri dan ibu terkadang bentrok dengan keinginan untuk mengembangkan karir yang sudah lebih dulu dijalani. Menikah dan memiliki keluarga memang merupakan cita-cita setiap perempuan. Tapi toh pada praktiknya peran seorang perempuan menjadi begitu kompleks ketika memasuki dunia perkawinan. Seorang perempuan dituntut menjadi seorang istri sekaligus ibu yang bertanggung jawab atas anak dan kelangsungan hidup berumah tangga, tapi di sisi lain, perempuan juga memiliki keinginan untuk memajukan karir yang sudah dijalani sejak dulu. Pffiuh, akhirnya saya mengalami juga fase ini ya; memilih antara fokus di karir atau keluarga.

Dari diskusi bersama keluarga, dan pertanyaan kepada diri sendiri yang akhirnya langsung terjawab secara tidak langsung lewat Alea itu, akhirnya dengan ikhlas saya putuskan, lebih baik saya menjalani pekerjaan saya yang sekarang. Pekerjaan yang load pekerjaannya tidak setinggi jika saya menjadi Sekretarisnya Bu Menteri. Pekerjaan yang kalau saya jalani, saya masih punya waktu untuk keluarga, dan utamanya bisa menjalin kedekatan bersama putri saya. Kehadiran Alea sudah saya tunggu selama 6 tahun, masa iya ketika dia sudah dihadirkan di tengah keluarga, saya malah lebih memilih fokus ke pekerjaan. Agak dilematis memang. Tapi ya inilah hidup. Kita pasti akan dihadapkan dengan pilihan-pilihan. Itulah kenapa kadang kita butuh skala prioritas. Apabila prioritas saat ini adalah karir, mungkin ada beberapa kenyamanan yang harus dikorbankan, begitu pula sebaliknya.

Bukan bermaksud mengesampingkan karir, tapi kalau boleh flashback, alasan saya dulu memilih bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil, salah satunya adalah agar saya punya waktu untuk keluarga.

Saya percaya, setiap manusia sudah punya kesempatan dan rezeki masing-masing. Kalau soal materi insyaallah masih bisa dicari, tapi soal waktu… tidak akan pernah bisa kembali. Pertumbuhan dan perkembangan Alea tidak akan menunggu sampai mamanya punya waktu buat dia. Dia akan tumbuh berkembang di setiap harinya. Dan saat ini saya tidak ingin kehilangan moment melihat tumbuh kembangnya dari hari ke hari.

There is no such thing as work-life balance. Everything worth fighting for unbalances your life.
— Alain de Botton —

[devieriana]

ilustrasi saya pinjam dari sini

Continue Reading