Ventilasi Jiwa

window

“Kita itu seperti sebuah rumah yang penuh isi. Untuk mengurangi pengap terkadang kita butuh membuka pintu dan jendela untuk merasakan pergantian udara….”

Ada orang-orang tertentu yang sangat tertutup dan lebih memilih untuk menyimpan sendiri masalahnya. Mungkin maksudnya bukan sengaja menutup diri rapat-rapat, tapi mereka cenderung selektif sebelum menceritakan masalahnya dengan orang lain; karena tidak semua orang bisa dipercaya, dan tidak semua orang yang mendengarkan curhat itu 100% bersimpati; ada kalanya di belakang kita malah nyukurin.

Kalau saya pribadi ketika menghadapi suatu masalah, lebih memilih sharing ke keluarga atau sahabat yang saya percaya. Walaupun pada dasarnya saya cenderung orang dengan pribadi yang terbuka (ekstrovert), tapi untuk hal-hal yang sifatnya pribadi dan crusial saya memilih berbagi dengan orang-orang tertentu, terutama keluarga. Ada kalanya saya memilih diam selama beberapa waktu sekadar untuk menenangkan diri, menghindari konflik sementara dengan orang lain, sekaligus untuk mengelola emosi. Tapi ketika fisik dan mental saya sudah siap untuk berdiskusi saya akan mengajak diskusi untuk mencari jalan keluar paling baik. Sebaliknya, ketika saya merasa sudah tidak bisa bergerak ke mana-mana, mengalami jalan buntu dan butuh second opinion saya pasti akan berbagi dengan orang lain.

Ada saatnya kita perlu berbagi cerita dengan orang lain, karena tidak semua hal mampu kita selesaikan sendiri. Hei, we’re not Superman are we? Tapi ada juga hal yang cukup kita sendiri yang tahu. Toh ada kalanya ketika curhat sebenarnya kita tidak selalu butuh nasihat/pendapat orang lain; kita cuma butuh didengarkan.

Ada seorang teman, sebut saja Si X. Akhir-akhir ini dia terlihat murung, sering merasa kurang sehat, hilang nafsu makan, sering terlihat melamun, menyendiri, dan kelihatan hilang semangat kerja. Saya sendiri baru tahu penyebabnya ketika seorang teman yang lain bercerita tentang Si X. Ada sebuah masalah besar dan complicated yang sedang dihadapi oleh Si X. Tapi dia tidak mau menceritakan secara gamblang apa masalahnya ke orang lain karena dia pernah punya pengalaman buruk tersebarnya masalah yang dihadapi itu ke publik. Demi menghindari kejadian yang sama terulang kembali Si X memilih untuk menyimpannya sendiri. Tak heran kondisi kesehatan Si X semakin hari semakin mengkhawatirkan. Terakhir kemarin dia terpaksa harus dirawat di rumah sakit karena mengalami sakit kepala berkepanjangan dan pingsan berkali-kali. Tapi hasil pemeriksaan dokter menyebutkan kalau secara fisik Si X tidak apa-apa, hanya faktor kelelahan dan stress akut. Jadi penyebabnya adalah pikiran.

Ketika kita menutup diri terlalu rapat lama kelamaan psikis kita akan letih, bahkan dalam kasus tertentu seseorang mempunyai kecenderungan berperilaku destruktif; parahnya ada yang sampai tega menyakiti diri sendiri. So, berbagi cerita tentang masalah yang kita hadapi, tentang apa yang kita rasakan, itu terkadang perlu. Tentu saja dengan orang yang tepat; seseorang yang memahami betul bagaimana kondisi kita, berkenan mencarikan solusi terbaik, dan membantu kita melihat segala sesuatu secara lebih positif. Selebihnya, biarkan mindset kita yang mengelola cara pandangnya, apakah sebuah persoalan itu skalanya ringan atau berat.

Seperti kata salah satu sahabat saya,

“Hidup ini indah kok. Tergantung dari mana kita melihatnya…”

Selamat bermalam Minggu, temans…
Have a nice weekend :mrgreen:

 

[devieriana]

 

 

PS: sebuah catatan ringan yang ditulis sambil ngeteh dan ngemil cheese roll di sore hari.

 

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

“Isteri itu tiga…”

Ustadz WijayantoSetiap bulan, di kantor saya hampir selalu diadakan pengajian bulanan yang diperuntukkan bagi seluruh pegawai. Penceramahnya pun berganti-ganti, mulai dari yang belum dikenal sampai yang sudah terkenal.

Dari sekian banyak ustadz yang pernah didatangkan ke kantor, tidak semuanya bisa memikat hati saya. Halah! Maksudnya, terkait dengan communication skill mereka gitu, Kak. Kan masing-masing pendakwah punya gaya masing-masing; dan tentu saja subjektif sekali tingkat kemenarikannya. Ada yang gaya berdakwahnya lurus, lempeng, nggak ada becandanya sama sekali. Ada juga yang lucu sampai sepanjang acara kita tertawa terus (jadi sebenarnya yang diundang ini ustadz apa komedian?). Atau, ada juga yang gaya bicaranya ceplas-ceplos dan ‘tanpa rasa bersalah’. Ya, intinya semua pendakwah punya gaya dan ciri khas masing-masing; toh intinya tetap sama, berdakwah. Nah, entah mungkin karena saya cenderung makhluk visual dan auditory makanya saya lebih bisa ‘masuk’ ketika diceramahi dengan gaya dan kalimat-kalimat yang menarik :mrgreen:.

Tapi di antara mereka ada satu ustadz yang sejak awal kemunculannya di televisi sudah saya sukai karena gaya berceramahnya yang ‘segar’, gaya bahasa yang digunakan sederhana, lucu, dan tidak lebay. Beliau juga datang dari kalangan akademisi; seorang pengajar program Magister Manajemen di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan pengisi acara di beberapa stasiun televisi. Beliau adalah Ustadz Wijayanto.

Nah kok ya ndilalah hari Rabu (18/09) kemarin seolah dream come true buat saya, ustadz yang saya kagumi itu diundang untuk memberi tausiyah di kantor saya. Ndilalahnya lagi, kok ya pas saya yang jadi MC-nya. Ya walaupun nggak ngaruh, tapi… ya nggak apa-apa sih, saya cuma seneng aja! 😆

Ceramah yang seharusnya sudah dimulai sejak pukul 12.30 ternyata baru bisa dimulai sekitar pukul 13.30-an, karena kami harus menunggu beliau selesai syuting untuk salah satu program televisi yang syutingnya dilakukan di Taman Mini. Ah, tak apalah Pak, yang penting Bapak bisa datang :mrgreen:

Ceramah baru saja masuk sesi preambule, tapi lobby sudah digemuruhkan dengan gelak tawa. Beliau dengan ekspresi datar menceritakan sebab mengapa beliau sampai datang terlambat.

“Maaf, menunggu lama. Tadi saya syuting dulu, jadi ke sininya agak terlambat. Sebenarnya yang lama itu bukan syutingnya, tapi nunggunya. Nunggu mbak-mbak hijabers pada dandan. Itu jilbab diuwel-uwel, dilapis kain warna-warni, dipenitiin sana-sini, dibikin tali-tali, dikasih kembang, trus di ujung kepala dikasih gembok. Nah, itu… makanya lama. Maaf ya, Pak/Bu…”

Digembok? Emangnya pager kos-kosan? 😆

Dari situ mulai mengalir kalimat-kalimat lucu dari bibir ayah 3 orang putra itu. Saya yang duduk di balik sketsel di samping meja sound system pun tertawa sendiri. Secara fisik beliau sama sekali jauh dari kesan lucu, sosok lelaki Jawa berperawakan sedang, berpenampilan kalem dan sederhana, berbaju koko warna putih yang dipadu dengan peci hitam dan celana panjang warna gelap itu ternyata mampu membius perhatian semua yang hadir di sana. Pilihan kata-katanya sederhana, mudah dipahami, tidak semua berisi ayat-ayat Quran, tapi lebih ke keseharian. Mungkin karena latar belakang beliau yang seorang pendidik sehingga menerapkan hal yang sama seperti ketika beliau sedang mengajar mahasiswa-mahasiswanya. Ya kali… :p

Sesekali beliau menyelipkan guyonan segar yang tak disangka-sangka, seperti beberapa kalimat di bawah ini.

“Ibu-ibu suka poligami? | ENGGAAAK! | Kalau bapak-bapak, suka poligami? | SUKAAAA! | Sudah, jangan dibahas lagi. Karena sesungguhnya poligami itu bukan untuk dibahas, tapi untuk dilaksanakan!”

*pecah tawa se-lobby :lol:*

“Lha iya, ibu-ibu ini ya aneh, dulu Nabi pun waktu ditanya siapa yang paling diprioritaskan dan dihormati, beliau menjawab yang pertama adalah? | Ibumuuu… | Lalu? | Ibumuuu… | Lalu siapa lagi? | Ibumuuu… | Baru siapa? | Ayahmuu.. | Jadi, ibunya ada berapa? | Tigaaa… | Ayahnya? | Satuuu.. | Nah, kan? Ibu itu memang harus tiga, ayahnya satu aja cukup; karena ‘is-tri’ itu memang artinya kan 3. Kalau satu namanya ‘is one’. Dua itu ‘is two’. Kalau Eyang Subur itu ‘is seven’. Ibu ini gimana sih; udah nggak bisa matematika, nggak bisa bahasa Inggris pula. Kalau saya sih alhamdulillah, isteri saya tiga. Anaknya…”

*ngakak sambil up date twitter :lol:*

“Manusia itu kalau sudah mengalami ’10 B’ berarti dia harus segera tobat. Nah, ‘B’ apa saja itu? Buta/burem. Kalau Bapak/Ibu bbman aja milih font-nya ukuran 24, itu tandanya sudah harus berhati-hati. Budheg (tuli). Kalau Bapak/Ibu diajak ngomong sudah hah-heh-hah-heh, nanya berkali-kali, itu juga sudah harus waspada. Beser (sering ke toilet untuk buang air kecil), batuk-batuk, boyok (back pain, encok, pegel linu). Cirinya gampang, biasanya sering ditemui kalau pas lagi di pengajian, maunya sandaran di tembok melulu. Nah itu juga harus diwaspadai. Bau balsem/PPO/minyak kayu putih, nah itu apa lagi. Saya itu kalau ketemu sama orang yang bawaannya jaketan terus, kening kiri kanan ditempeli koyo, kalau tiap kali ketemu baunya minyak angin melulu udah pasti mikir, “wah, pasti udah ‘deket’ nih…” Trus, ‘B’ selanjutnya yaitu beruban, bingung (pikun), buyuten (gemetaran), dan bungkuk. Kalau bapak/ibu sudah banyak yang merasa begitu segeralah tobat…”

Sampai sini saja saya sudah terpingkal-pingkal; membayangkan bbm-an dengan font ukuran 24 itu handphone-nya segede apa coba? Talenan? :mrgreen: 😆

“Uban itu jangan dicabuti Pak/Bu, karena uban itu sebagai penanda. Jadi bagi yang sudah beruban… ya sudahlah, wabillahitaufiq wal hidayah, ya. Kemarin ada yang nanya ke saya, “Pak, gimana kalau ubannya saya semir aja?” Halah, ya pasti ketahuan tho ya, malaikat kok arep mbok apusi karo semir!”

Dikira malaikatnya dulu mantan kapster di Johny Andrean apa, ya?

“Bapak/ibu pasti punya panggilan untuk pasangan masing-masing, kan? Mulai sekarang berikan panggilan yang baik untuk pasangan masing-masing. Jangan mentang-mentang isterinya gemuk, terus bapak seenaknya manggil, “Mbrot! Sini, Mbrot!” Ya walaupun memang isteri bapak gemuk, tapi jangan terlalu jujur. Atau, mentang-mentang suami ibu kulitnya item, trus ibu kalau manggil suaminya, “Bleki, sini!””

Sampai sini saya ngakak tak tertolong. Bleki! Emangnya guguk? :mrgreen: 😆

“Saya itu ngapalin Qur’an butuh waktu lumayan lama; 6 tahun. Kalah jauhlah sama Bapak/Ibu. Kalau Bapak/Ibu kan ngapalinnya cepet, 3 bulan pasti sudah hafal… Qulhuallahu ahad sama Inna a’toina”

Pak! 😆

Di sepanjang acara yang berdurasi 1.5 jam itu kami bukan hanya mendapat tambahan pengetahuan tentang agama saja, tapi juga dibuat tergelak-gelak oleh celetukan-celetukan spontan ala beliau. Belum lagi melihat mimik muka beliau yang selalu tanpa ekspresi dan ‘tak bersalah’ itu membuat kami gemas sendiri.

Bahkan di ujung acara, sebelum doa bersama, beliau masih sempat melontarkan celetukan,

“Ini pengajian rutin bulanan? | Iyaa.. | Halah, kok kaya perempuan aja, bulanan. Hambok ya ceramah kaya gini ini diadakan 2 minggu sekali. Mau kan, saya ada di sini 2 minggu sekali?”

Tuh, kan? :mrgreen:

Ah, kalau saya sih mau-mau aja, Pak. Soalnya Bapak lucu… 😆

[devieriana]

 
foto dipinjam dari sini

Continue Reading

Serius pengen jadi PNS?

applicant job

Sejak pembukaan lowongan CPNS mulai digelar, ada banyak sekali perbincangan di social media seputar alasan mengapa ingin menjadi PNS. Geli sendiri baca berbagai alasannya. Ada yang bilang ingin jadi PNS biar kerjanya santai, ada juga yang bilang biar bisa (disambi) mengerjakan hal lainnya, atau biar dapat pensiun seumur hidup, dan ada juga lho yang bilang kepuasan pribadi. Jiyeee, serius kerja jadi PNS demi kepuasan pribadi? 😉

Terlepas dari apapun alasan seseorang ingin bekerja sebagai PNS, pun pendapat lainnya tentang positif negatifnya menjadi PNS, di setiap tahun begitu lowongan seleksi CPNS dibuka ada ribuan pelamar dari seluruh daerah yang mencoba mengisi posisi yang disediakan, walau harus bersaing dengan ribuan pelamar lainnya hanya untuk memperebutkan 1-2 posisi saja. Demi mengikuti seluruh prosedur yang dipersyaratkan, mereka pun rela datang ke lokasi tes walaupun itu jauh. Seperti misalnya di pelaksanaan seleksi CPNS tahun lalu, ada peserta yang datang dari Papua juga lho.

Bersama mereka yang berusaha di jalur ‘normal’, banyak juga yang berusaha mencari ‘kesempatan’ karena merasa punya jabatan, dan atau pernah punya jabatan. Mereka sama gigihnya berusaha mencari ‘celah’ agar bisa memasukkan anggota keluarganya menjadi PNS, mulai dari membawa-bawa nama orang tua, nama pejabat/Presiden zaman tahun kapan, bahkan ada lho yang sampai membawa berkas almarhum kakek/neneknya biar kami yakin bahwa mereka masih kerabat seorang pejabat. Sampai segitunya, ya? 🙂

Seperti halnya siang itu, ketika saya tengah berkutat dengan beberapa berkas pekerjaan, dari arah pintu masuk terlihat seorang perempuan setengah baya, membawa tas tangan, pakaiannya modis, berkerudung, dan wajahnya hanya disapu make up tipis. Cantik natural. Dia datang bersama seorang pria yang usianya sekitar dua puluhan, mungkin putranya.

Dengan sopan beliau menjelaskan maksud kedatangannya ingin bertemu dengan pimpinan saya, tapi berhubung Bapak sedang Diklatpim maka saya coba membantu menanyakan hal-hal standar yang mungkin bisa dibantu oleh pejabat lain yang berwenang. Ya biasalah, tamu kan sering begitu, kurang percaya dengan staf, inginnya bertemu langsung dengan pimpinan, padahal sebenarnya bisa ditangani oleh staf.

Beliau mulai mengeluarkan setumpuk berkas dari dalam amplop plastik berwarna pink. Beberapa di antara berkas itu warnanya sudah menguning; sepintas saya melihat ada goresan tanda tangan mantan Presiden Soeharto di sana. Awalnya saya masih belum ‘ngeh’ dengan maksud beliau menunjukkan sekian banyak berkas pada saya. Sampai akhirnya beliau mulai bercerita tentang siapa dia dan apa maksud kedatangannya ke kantor saya.

Sambil mendengarkan penjelasan ibu itu, selintas saya melirik ke tempat di mana seorang pria muda yang tadi datang bersama Ibu itu duduk. Dia tampak sedang sibuk memainkan smartphone-nya.

“Papa saya dulu pejabat di sini lho, Mbak. Beliau stafnya Pak Solihin G.P, dulu kantornya di Bina Graha. Oh, mungkin Mbak belum lahir ya? Dulu Papa saya itu orang kepercayaannya Bapak (Presiden). Mama saya apalagi, beliau itu aktif mengikuti semua kegiatan kantor ini. Saya juga dulunya penari dan MC di Istana, Mbak. Saya sering nari di depan Pak Harto dan Bu Tien. Makanya, saya ke sini mau mengajukan berkas lamaran CPNS untuk anak saya. Kan pasti ada dong jatah buat keluarga besar kantor ini. Iya, kan?”

Sampai di sini saya bengong. Di saat yang sama rasanya ingin menepuk pipi saya sendiri, supaya sadar kalau saya tidak sedang hidup di Orde Baru.

“Mohon maaf Bu, saat ini untuk seleksi dan pendaftaran CPNS semua dilakukan secara online. Jadi bukan lagi dengan melampirkan berkas fisik :)”

“Iya, saya tahu. Makanya, saya mau ketemu sama Pak Kepala Biro aja, saya mau ngobrol langsung sama beliau. Setahu saya sih ada lho instansi-instansi yang sengaja memberi ‘chance’ buat keluarga pegawai atau mantan pegawai untuk menjadi PNS di instansi yang sama. Apalagi Papa saya dulunya pejabat lho, Mbak…”

Kata-kata ‘pejabat’, ‘papa saya’, beserta sederet kegiatan dan jasa yang pernah dilakukan oleh keluarga beliau di masa lalu mulai berhamburan sekadar untuk meyakinkan saya bahwa beliau pernah sangat dekat dan punya ikatan yang kuat dengan instansi tempat saya bekerja, sehigga puteranya dianggap layak mendapatkan hak istimewa untuk menjadi PNS melalui ‘jalur khusus’.

“Ok, kalau cuma ikut tes mah anak saya pasti bisalah. Dia sudah biasa ikut tes-tes seleksi semacam itu. Yang penting kan ‘tahap setelah seleksi’ itu, kan? Kalau soal ‘itu’ sih saya yang akan bicara secara pribadi dengan Pak Karo. Trus, kalau mau daftar ke mana sih, Mbak?”

Di tengah ketertegunan saya melihat usaha gigih beliau, Ibu itu memanggil puteranya untuk mencatat website yang akan saya diktekan.

“Sini, Yang… Coba dicatat dulu alamat website-nya…”

“Aku udah tahu, Ma. Aku udah pernah cek, tapi belum ada infonya…”

Saya pun menjelaskan kalau memang info dan pendaftarannya belum dibuka. Tapi nanti kalau sudah ada infonya pasti akan di-upload di website yang bisa diakses oleh semua calon pelamar.

“Oh, gitu… Ya udah, syarat-syaratnya aja deh. Biasanya syaratnya apa aja sih? Biar nanti disiapkan sama anak saya…”

“Untuk persyaratan tahun ini kami belum ada informasi resminya, Bu. Karena memang belum ada informasi dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Ini persyaratan yang tahun lalu ya, Bu. Usia pelamar maksimal 28 tahun, IPK minimal yang kami persyaratkan adalah 3,00, melampirkan scan transkrip nilai, dan ijazah terakhir. Itu saja. Selanjutnya nanti seluruh pelamar yang memenuhi syarat akan kami panggil untuk verifikasi berkas, dan….”

“Sebentar, sebentar… emang IPK minimalnya harus 3,00 ya? Wah…, berarti anak saya nggak bisa ikut tes, dong? IPK anak saya cuma 2,74. Eh, tapi… sebenarnya dia itu IPK-nya di atas 3,00 lho, Mbak. Kenapa IPK-nya jadi cuma segitu itu karena dia kena tipes. Bener lho, Mbak. Anak saya itu pinter, cuma karena sakit aja nilainya jadi jelek…”

Ibu itu berusaha meyakinkan saya bahwa sebenarnya putranya itu pintar, dan IPK yang tidak mencapai 3,00 itu bukan 100% ‘kesalahan’ putranya, tapi lebih dikarenakan kondisi kesehatan. Padahal sebenarnya tidak ada yang ‘salah’ dengan IPK 2,74 , namanya kemampuan orang kan beda-beda, karena saya pernah punya teman yang IPK-nya ‘nasakom’, alias Nilai (IPK) Satu Koma. Tapi demi menghormati beliau saya menanggapi secukupnya dengan mengangguk paham sambil tersenyum sopan.

Lalu mengalirlah cerita bahwa sebenarnya putranya sudah bekerja di salah satu firma hukum sebagai seorang Pengacara. Dalam hati saya heran, “lah, bukannya menjadi Pengacara itu sudah yang bagus, ya?” Alasan beliau mengusahakan agar putranya bisa bekerja sebagai PNS di instansi tempat saya bekerja karena almarhum kakeknya (ayah ibu itu) pernah bekerja sebagai staf kepercayaan di Istana, dan kebetulan ibu itu dulu juga pernah aktif sebagai penari dan MC di Istana. Jadi apa salahnya kalau sekarang pria muda yang berdiri tegap di sebelahnya ini meneruskan pekerjaan/karir yang sama dengan almarhum kakeknya. Saking speechless-nya, lagi-lagi saya cuma bisa tersenyum mafhum.

Ketika saya ceritakan ini pada sahabat saya dia cuma nyengir,

“I don’t want to prejudice, but she’s a good mom. Semoga pas waktunya anakku kerja I don’t have to do that. It’s a hard job for parents to make kids stand on his own…”

Saya selalu bilang ke junior-junior saya, bahwa bekerja itu tidak harus menjadi seorang pegawai negeri. Kalau memang tujuannya mencari gaji dan tunjangan yang besar solusinya bukan jadi PNS, tapi bekerjalah di swasta atau jadi pengusaha sekalian. Kalau soal menyambi sih, tergantung bisa-bisanya kita membagi waktu saja sih; dulu waktu saya masih bekerja di swasta juga bisa mengerjakan pekerjaan yang lain kok. Kalau hal-hal lain seputar stigma PNS sih saya sudah tidak terlalu kagetlah ya. Soal stigma itu masalah klise. Mengubah stigma itu tidak mudah, apalagi yang sudah tertanam bertahun-tahun. Jadi, soal stigma itu saya anggap cuma soal ‘sawang sinawang‘; soal perspektif saja.

Banyak lho PNS yang memutuskan untuk resign setelah menjalani karir sebagai PNS, dan memilih untuk bekerja sebagai pegawai swasta/BUMN karena setelah dijalani ternyata jiwa mereka sebenarnya bukan sebagai PNS.

Sesungguhnya esensi sebuah pekerjaan adalah ketika pekerjaan itu punya ‘nyawa’ bagi yang menjalaninya.

Jadi, serius masih minat jadi PNS? :p

 

[devieriana]

 

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

“Dia bisa apa, sih?”

Labels-Wordle

Di sebuah sore, di sudut sebuah kedai kopi, saya sedang terlibat percakapan serius dengan seorang sahabat. Sebenarnya topiknya tidak terlalu serius, tapi justru dari situ saya belajar tentang kekuatan sebuah motivasi.

“Lo pernah diremehin sama orang nggak, Dev?”

“Pernah…”

“Terus, gimana rasanya? Apa respon lo?”

“Ya reaksiku sih spontan seperti manusia kebanyakan; sakit hati, tersinggung, menye-menye, galau, hahahak. Tapi itu dulu…”

“Nah, gue punya cerita tentang ‘remeh-temeh’ itu…”

Lalu mengalirlah cerita tentang teman di kantornya yang lama; seorang karyawan andalan di sebuah divisi. Sebut saja namanya Luna. Perempuan enerjik, berusia early thirty, dengan karir yang bagus, cantik, pintar, dan menyenangkan itu menjalani semua pekerjaannya dengan penuh semangat.

Awalnya kehidupan Luna berjalan normal dan baik-baik saja, hingga akhirnya ada sebuah kejadian yang mengubah hidupnya 180 derajat. Dia mengalami kecelakaan yang menyebabkan tangan kanannya cedera dan lumpuh. Dunia yang semula ramah seolah berbalik memusuhi. Beban pekerjaan yang ditanganinya sedikit demi sedikit mulai dikurangi, dan mulai dialihkan kepada karyawan lain yang dianggap lebih cakap. Level pekerjaan yang diberikan pun menjadi lebih sederhana. Sejak mengalami kelumpuhan, dia tidak lagi dianggap mumpuni di bidangnya. Ada kekhawatiran-kekhawatiran di benak para atasannya, jangan-jangan pekerjaan yang dilimpahkan pada Luna bukannya malah selesai tapi justru akan menumpuk dan malah menjadi beban bagi divisinya.

Pelan-pelan dia mulai menarik diri dari pergaulan, bahkan sempat akan mengajukan surat resign karena merasa putus asa dengan dirinya sendiri. Beruntung supervisornya mampu meredam kegalauan di hatinya. Sedikit demi sedikit Bu Supervisor mulai mempercayakan beberapa pekerjaan padanya, dengan bantuan dan pengawasan Bu Supervisor. Benar saja, dalam waktu yang tidak terlalu lama Luna pun mulai terbiasa dengan kondisi barunya. Dia mulai merasa dipercaya.

Hingga akhirnya, tanpa sengaja dia mendengar pembicaraan tentang dirinya. Samar-samar dari ruang bos besarnya terdengar kata-kata yang membuatnya bagai tersambar petir di siang bolong.

“Luna? Emang dia sekarang bisa apa? Paling juga nggak bisa kerja, tangan kanannya lumpuh gitu….”

Seketika air matanya meleleh. Berbagai perasaan berkecamuk di benaknya, antara terluka, marah, sakit hati, tersinggung, dan kurang berguna. Ternyata belum semua bisa menerima secara positif kehadirannya pascakecelakaan, apalagi ketika dia datang dengan ketidaksempurnaan.

Lagi-lagi dia beruntung punya seorang supervisor bisa memahami kondisi fisik dan mentalnya saat itu. Melalui dialog intensif bersama supervisornya, pelan-pelan Luna mulai kembali termotivasi bahkan lebih dahsyat efeknya. Dia ingin membuktikan bahwa dia masih bisa bermanfaat bagi tempatnya bekerja, dan bukan sekadar tukang fotokopi.

Luna dikenal dengan ketelitian dan perhatiannya terhadap setiap detail pekerjaan. Dengan konsentrasi dan ketelitian yang dimilikinya itu pekerjaan-pekerjaan yang diserahkan padanya selesai. Begitu seterusnya hingga akhirnya Luna mulai merasa nyaman dan terbiasa dengan kondisi diri, pekerjaan, dan lingkungan kerjanya. Berkat kegigihannya untuk mendapatkan kembali kepercayaan para atasannya itu akhirnya dia kembali dipercaya untuk mengerjakan beberapa pekerjaan yang dulu menjadi bagian pekerjaannya.

“Dia pasti punya seorang muse, contoh, role model, kan?” Tanya saya sambil menyesap secangkir Earl Grey hangat yang sudah hampir dingin.

“Sure. Bukan hanya kontemplasi dan perenungan diri saja yang dilakukannya, tapi dia juga mencoba mencari referensi tokoh yang juga mengalami disabilitas permanen sepertinya…”

“Siapa? Jessica Cox? Nick Vujicic?” Tanya saya lagi.

“Salah satunya itu memang. Hei, how come you know that?” Teman saya bertanya dengan mata yang membulat.

Siapa yang tidak mengenal Nick Vujicic (yang dulu pernah saya tulis juga di sini), seorang motivator asal Autralia yang terlahir tanpa lengan dan tungkai; hanya kepala, leher, dan badan saja. Tapi mengapa dia bisa melakukan segala sesuatunya secara mandiri, seperti layaknya seorang manusia yang memiliki anggota fisik lengkap? Hidupnya pun tampak normal-normal saja.

Pun kisah seorang pilot perempuan yang terlahir tanpa lengan, bernama Jessica Cox. Jessica percaya bahwa disabilitas yang disandangnya itu sama sekali bukan penghalang untuk meraih apa yang dicita-citakan; menjadi seorang pilot! Sama seperti Nick Vujicic, dia pun melakukan segala kegiatan sehari-harinya secara mandiri. Sama seperti perempuan berfisik normal lainnya, dia juga begitu terampil menggunakan maskara, bulu mata palsu, kuteks, hingga soft lense hanya dengan menggunakan jari-jari kakinya. Sungguh Tuhan betul-betul Mahaadil. Di balik keterbatasan fisik umatnya, Dia juga memberikan kemampuan lain yang levelnya jauh melebihi kemampuan umatnya yang berfisik normal.

Sesungguhnya kata-kata negatif yang diucapkan kepada seseorang tanpa sadar akan menginstal hal-hal negatif pula di pikiran orang tersebut. Tapi semua itu tidak akan berpengaruh selama di pikiran orang tersebut tertanam pernyataan positif. The last but least, sebaik-baiknya motivator, bahkan yang bayarannya paling mahal sekalipun, tidak ada yang memotivasi sebaik diri sendiri. Kurang lebih seperti itu.

“Jadi penasaran, siapa sih ibu supervisor yang baik hati itu?”

Mendadak dia tertawa keras, hingga pandangan beberapa pasang mata mengarah pada kami.

“Heh, kok malah ketawa. Aku ini serius nanyanya…”

“Luna itu mantan anak buahku, sebelum aku pindah ke perusahaan yang sekarang :D”

“Oh, jadi supervisor baik hati itu kamu?”

Senyum saya seketika pecah ketika menyadari bahwa saya punya sahabat yang sebaik, dan sebijak dia 🙂

[devieriana]

sumber ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading