Pernahkah kita merenung dalam hati, apakah kebaikan yang kita berikan kepada orang lain benar-benar akan kembali kepada kita atau akan hilang begitu saja? Pertanyaan ini mungkin pernah muncul dalam pikiran kita, terutama ketika kita merasa sudah menolong/memberi banyak hal, tapi kok sepertinya tidak ada sesuau yang terlihat seperti ‘balasan’ atas kebaikan yang pernah kita lakukan, ya. Kok sepertinya terdengar pamrih, ya. Bukankah kalau berbuat kebaikan, ya sudah berbuat saja? Tapi pastilah, ada di antara kita pernah (meski secara iseng) berpikir demikian. Tapi ini bukan tentang pamrih.
Bertahun-tahun lalu, ada sebuah kejadian, di mana adik saya mengambil langkah yang bagi saya, luar biasa. Dengan segala keterbatasan yang ada, ia tiba-tiba mewujudkan impian kedua orang tua kami untuk bisa pergi umrah. Tabungan dia tidaklah banyak, namun dari sanalah orang tua kami berangkat ke tanah suci. Saya tahu, itu bukan suatu keputusan yang mudah, namun ada kebahagiaan yang melebihi apa yang sudah dia keluarkan untuk kedua orang tua kami. Pun halnya adik saya yang berkata, “Uang bisa dicari, Mbak. Tapi Papa Mama kan udah nggak muda lagi. Usia manusia nggak ada yang tahu. Ya, mungkin Allah mengizinkan Mama Papa bisa pergi ke tanah suci melalui jalur aku.” Dia meyakini bahwa sekecil apapun kebaikan yang telah dilakukan, akan selalu menemukan jalannya.
Dan ternyata, ia benar.
Enam tahun berselang, tepat di penghujung tahun ini—tanpa pernah ia duga sebelumnya—datanglah undangan untuk berangkat umrah, dan semua serba gratis. Adik saya tentu senang bukan kepalang. Bayangkan, dulu dengan segala keterbatasan, dia memberangkatkan Mama dan Papa, kini dia bisa berangkat ke tanah suci bahkan tanpa mengeluarkan biaya sepeserpun. Bukan itu saja, akomodasi dan fasilitas terbaik juga dia dapatkan. Allah rupanya sedang memuliakan adik saya melalui tangan orang-orang baik.
Kebaikan itu punya cara kerja yang unik. Ia tidak selalu kembali pada kita dalam bentuk yang persis sama, tetapi ia selalu menemukan jalannya. Bisa jadi kebaikan itu hadir dalam tawa orang-orang yang kita cintai, dalam kesuksesan anak-anak kita, atau dalam rasa lega di tengah masalah yang semula terasa begitu berat, seolah ada tangan tak terlihat yang membantu kita.
Pun halnya saya. Saya tidak pernah mengklaim diri saya baik atau pemurah, tapi ada satu peristiwa yang bagi saya terasa sangat ajaib, yang membuat saya yakin bahwa Allah hadir membantu saat saya mengalami kesulitan. Beberapa tahun lalu, saat saya masih tinggal bersama mertua, kebetulan rumah mereka berdekatan dengan masjid. Sejak saya tinggal di sana, setiap hari selalu saya sempatkan untuk memasukkan infaq ke dalam kotak amal, dengan jumlah yang random.
Saat saya sedang mengandung Alea, ketika hendak mengambil wudhu untuk salat tahajud, saya mendapati sesuatu yang tidak saya harapkan—saya mengalami pendarahan hebat, dan ketuban saya pecah sebelum waktu kelahiran tiba. Saya dan suami tahu bahwa saya harus kembali melahirkan melalui operasi sesar karena placenta previa. Di tengah malam, dengan kondisi semendadak itu, tentu bukan hal bagi kami untuk menjadwalkan operasi, apalagi mencari kamar di rumah sakit pemerintah.
Selang 8 jam kemudian, saya ditangani oleh tim dokter Rumah Sakit Pasar Rebo, dan operasi sesar pun berjalan dengan lancar. Saya dipindahkan menuju ke ruang pemuliha, di mana di sana saya berkumpul dengan para ibu pascamelahirkan, sebelum menuju ke kamar perawatan masing-masing. Suami saya masih sibuk mencari kamar yang memungkinkan saya bisa rooming-in dengan bayi kami, dan semua kamar terisi penuh. Entah dari mana pertolongan itu datang, yang sebelumnya semua kamar dinyatakan penuh tiba-tiba ada kamar Kelas 1 yang tersedia, dan saya bisa langsung menempatinya tanpa proses berbelit. Ah, rasanya Allah sedang menunjukkan kekuasaan dengan memudahkan segalanya di saat saya sangat membutuhkan-Nya. Bahkan, saya diiizinkan pulih jauh lebih cepat dibandingkan operasi caesar pertama saya pada 2008, yang membutuhkan dua minggu pemulihan—saat itu saya belum siap secara mental karena bayi pertama saya meninggal dalam kandungan.
Memberi bukan tentang berapa banyak yang kita lepaskan, melainkan tentang percaya bahwa ada sesuatu yang baik sedang menanti kita, ada pintu-pintu rezeki dan kebahagiaan yang terbuka yang sebelumnya tidak kita sadari ada. Tak peduli seberapa kecil bentuknya—waktu yang kita luangkan untuk mendengarkan, tenaga yang kita curahkan untuk membantu, atau harta yang kita sisihkan untuk berbagi—jangan pernah ragu untuk berbuat baik. Kebaikan tidak pernah pergi. Ia mungkin menempuh perjalanan panjang berliku-liku, melintasi banyak hati, dan menghidupkan banyak senyum sebelum akhirnya kembali kepada kita atau kepada mereka yang kita cintai. Tapi satu yang pasti, saat ia tiba, kebaikan selalu membawa kehangatan—entah berupa kebahagiaan, kemudahan, atau jawaban dari doa-doa yang pernah kita bisikkan dalam sunyi. Sebagaimana lingkaran yang sempurna, kebaikan akan selalu menemukan jalannya untuk kembali.
“Kebaikan itu tidak pernah salah alamat. Meski tak selalu langsung kembali, ia selalu menemukan jalan terbaik untuk menjelma menjadi kebaikan-kebaikan lain untuk pemberinya.”