Scribo Ergo Sum

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.
Pramoedya Ananta Toer

Scribo, Ergo Sum, aku menulis, maka aku ada. Sebuah kalimat yang diambil dari bahasa latin, yang merupakan pengembangan ungkapan Rene Descartes, Cogito Ergo Sum yang berarti aku berpikir maka aku ada.

Tergelitik oleh tweet seseorang yang mengatakan begini, kalau Anda bisa menulis, sekarang dan nanti, tulislah yang berguna dan mempunyai tujuan bukan untuk diri sendiri tapi orang lain, itu jauh lebih terhormat. Uhuk! Jadi merasa tertohok. Lha gimana, wong tulisan saya masih sesuka-suka saya, belum ada yang benar-benar bermanfaat bagi orang lain.

Sebenarnya opini itu tidak sepenuhnya salah. Justru opini yang bagus karena memberikan motivasi menulis tentang hal-hal yang bisa bermanfaat bagi orang lain, tidak melulu berisi tulisan tentang curhat yang menye-menye. Lebih jauh lagi, mungkin dia ingin menyampaikan pesan tentang think before publish.

Tapi, kalau kita melihat latar belakang, tujuan, dan motivasi seseorang menulis/membuat blog kan bermacam-macam. Ada yang menulis di blog karena ingin berbagi ilmu yang dimiliki, ingin menyalurkan hobby yang ditekuni, ada juga yang berawal dari sekadar iseng, cuma ingin menuliskan keseharian yang dilaluinya (semacam diary online), atau mungkin justru hanya ingin berbagi gambar/foto yang dibubuhi sedikit narasi (photoblog). Berawal dari motivasi yang berbeda-beda itu, IMHO, bukan berarti orang yang sekadar menulis untuk diri sendiri, yang kontennya tidak selalu bermanfaat untuk orang lain itu berarti tidak seberapa terhormat.

Kemampuan menulis setiap orang juga berbeda-beda. Ada yang bagus di jenis penulisan cerita fiksi, ada yang jago menulis puisi dan tulisan-tulisan metafora, ada yang bagus ketika menulis artikel, dengan tema tertentu, ada yang selalu bisa membuat pembacanya tertawa karena tulisan-tulisan yang kocak, dll. Nah, apakah lantas semua tulisan itu pasti bermanfaat bagi pembacanya?

Kalau saya, karena awalnya dulu bikin blog salah satunya untuk menyalurkan hobby menulis, jadi ya saya tulis saja apa yang saya ingin tulis. Temanya pun random. Bisa cerita tentang keluarga, teman, pekerjaan, dan pengalaman sehari-hari. Bahasa yang saya gunakan pun masih belepotan, tulisan saya lumayan ancur, wajar kalau tidak ada yang meninggalkan komentar karena mungkin tulisan saya tergolong tulisan absurd. Tapi tidak apa-apa, namanya juga masih belajar. Lagian juga tidak ada ceritanya orang bisa langsung expert. Seiring perkembangan waktu, dari hasil blog walking, dan baca sana-sini, pelan-pelan saya mendapat pencerahan juga. Intinya, semua pasti pernah mengalami masa-masa jahiliyah ketika pertama kali menulis.

Biarkan saja tulisan itu mengalir apa adanya. Dalam perkembangannya nanti pasti akan ada proses pembelajaran kok. Entah itu dari cara menemukan ide, cara menuangkan gagasan menjadi tulisan yang menarik, pemilihan diksi, dll. Semua berawal dari nol, tidak ada yang langsung mahir. Seperti kata Melinda Haynes, Forget all the rules. Forget about being published. Write for yourself.

Jadi kalau mau menulis ya menulis saja. Tidak perlu takut apakah nanti tulisan kita ada yang baca atau tidak, akan ada yang komen atau tidak, akan ada manfaatnya untuk orang lain atau tidak. Dibaca syukur, kalau ternyata ada manfaatnya dan menghibur pembaca anggap saja itu sebagai bonus. Hampir sama seperti kata Melinda Haynes di atas, ternyataย  Cyril Connolly mengatakan hal yang hampir sama, Better to write for yourself and have no public, than to write for the public and have no self.

Btw, kalian paling suka menulis tentang apa?

 

 

[devieriana]

 

ilustrasi diambil dari Posterous saya

Continue Reading

Suatu Sore Bersama Bapak UKD

Jumat lalu, ketika waktu sudah menunjukkan pukul 16.15, semua orang di ruangan saya mulai sibuk mengantri di depan mesin absensi, terutama yang naik bus jemputan. Entah bagaimana kondisi terakhir di luar kantor, yang jelas mereka ingin segera pulang, terbebas dari demonstrasi dan kemacetan, dan tiba di rumah dengan selamat. Beberapa teman masih ada di ruangan dan memilih menyelesaikan beberapa pekerjaan ketimbang langsung pulang, sambil menunggu kemacetan sedikit reda.

Saya sendiri baru keluar kantor sekitar pukul 16.30-an dan mendapati jalanan depan kantor yang sepi. Tidak ada satu pun kendaraan yang melintas, baik kendaraan pribadi, taksi, busway, sampai ojeg yang biasa mangkal di depan kantor pun tidak terlihat sama sekali. Awalnya saya pikir karena lampu merah di ujung jalan sekitaran Harmoni, tapi masa iya lampu merahnya selama ini? Dalam hati mulai curiga kalau lalu lintas sepertinya sedang diarahkan melalui jalur alternatif, menghindari arah Istana, Monas, Bundaran HI, dan sekitarnya ๐Ÿ˜•

Baru saja berpikir demikian, datanglah dua bapak UKD (Unit Keamanan Dalam) yang kebetulan akan pulang menggunakan motor. Mereka ngobrol sebentar di depan gerbang, persis di samping saya. Berhubung saya sudah familiar dengan beliau berdua, saya pun ikut nimbrung dalam obrolan mereka tentang jalan alternatif menuju rumah masing-masing. Berasa salah pulang jam segini deh ๐Ÿ˜

Bapak 1: Mbak Devi, nunggu jemputan atau taksi?

Saya: sebenernya tadi mau naik busway Pak, tapi kok saya males jalan ke Harmoni situ, ya ;)). Jadi ya udahlah naik taksi aja. Tapi kok dari tadi kayanya nggak ada yang lewat sini ? ๐Ÿ˜•

Bapak 2: kayanya sih emang nggak ada yang lewat depan sini, Mbak. Kan depan Istana dan Monas situ udah penuh demonstran, jadi ya nggak akan bisa lewat…

Saya: hah, serius, Pak? ๐Ÿ˜ฎ Waduh, tak kirain tadi masih bisa dilewatin. Soalnya tadi masih ada 1 taksi yang mau putar depan sini ngangkut penumpang sebelum saya. Jadi sekarang udah blokir total, ya? ๐Ÿ™

Bapak 2: iya. Mbak Devi rumahnya di daerah mana, tho?

Saya: Duren Tiga, Pak…

Bapak 2: saya juga setiap hari lewat situ, Mbak. Apa njenengan mau bareng saya?

Saya: ngg.. Matur nuwun, Pak. Nggak usah, nanti saya malah ngerepoti. Saya nunggu taksi aja ๐Ÿ˜€

Bapak 1: Lah, sekarang aja udah nggak ada yang lewat gini, bisa-bisa nanti Mbak Devi pulang malem, lho…

Saya: gitu ya, Pak? :-s . Tapi kan Bapak cuma bawa helm satu, nanti Bapak ketangkep polisi lho kalau mboncengin saya nggak pakai helm…

Bapak 2: wis tho ora-ora, Mbak Devi nggak usah khawatir. Insyaallah nggak ada apa-apa. Monggo, naik aja. Daripada nanti malah nggak bisa pulang, lho…

Hmm, ya udah deh. Akhirnya saya putuskan untuk nebeng Bapak –yang ketika akan sampai rumah baru saya ketahui bernama Pak Hendro itu– dengan tanpa helm sehingga rambut saya berkibar-kibar kemana-mana. Psst, aslinya saya lumayan agak deg-degan juga sih kalau ketangkep polisi ;))

Persis di traffic light dekat Istana barulah saya melihat kondisi yang sebenarnya. Massa berkerumun di depan Istana Merdeka dan seputaran Monas, sejumlah polisi anti huru-hara pun sudah bersiaga penuh. Demonstran yang memenuhi jalanan itu memblokir jalan yang menuju ke arah Bundaran HI dan sekitarnya, sehingga kami harus memutar lewat belakang Kemkominfo dan lalu lewat Tanah Abang, atau bisa juga memutar ke arah Jalan Juanda.

Sepanjang jalan kami ngobrol sesekali, sambil saya mengabari keluarga kalau saya baik-baik saja dan sedang dalam perjalanan pulang diantar sama salah satu bapak anggota UKD. Ya maklum, keluarga saya kan ada di Jawa Timur, dan pasti sudah melihat di TV betapa rusuhnya kondisi Jakarta Jumat kemarin. Apalagi kantor saya berada di lokasi yang sangat dekat dengan salah satu target tujuan demonstrasi. Rute jalan yang biasa saya lalui ketika akan pulang pun melalui jalur yang sedang diblokir massa itu. Jadi kalau mereka khawatir ya wajar.

Tak terasa perjalanan kami sudah hampir sampai Mampang.

Bapak 2: Mbak Devi dulu masuk Setneg tahun berapa?

Saya: saya ikut seleksinya sih akhir 2009, efektif masuk baru Januari 2010, masih baru 2 tahunan kok, Pakย  ๐Ÿ˜€

Bapak 2: sama, saya juga baru sih, saya masuk Setneg itu Juni 2009

Saya: oh, gitu? Dulu ditugaskan di mana, Pak?

Bapak 2: sejak tahun 1987 saya di Paspampres, Mbak. Mbak Devi paling baru lahir ya tahun segitu?

Lah, saya baru tahu kalau Bapak itu dulunya Paspampres. Saya selama ini mengira beliau itu dulunya dari mana gitu. Tapi (menurut info yang saya dapat) kebanyakan bapak-bapak yang sekarang bertugas di Unit Keamanan Dalam itu dulunya memang Paspampres.

Terima kasih untuk tumpangannya ya, Pak. Terima kasih sudah mengantar saya pulang dengan selamat sampai di depan gang rumah saya. Kalau nggak ada Bapak, nggak tahu deh saya sampai rumah jam berapa ๐Ÿ™‚

 

[devieriana]

Continue Reading