Casual Cursing and the Digital Mirror

Language is a powerful tool, a reflection of who we are and where we come from. It shapes the way we connect with others, express ourselves, and even how we perceive the world around us.

Tumbuh besar di Jawa Timur membentuk keakraban saya dengan gaya tutur yang lugas—cepat, tegas, dan kadang terdengar keras, meski sejatinya mengandung kehangatan dan kejujuran rasa. Tapi akhir-akhir ini, saya mulai gelisah menyaksikan arah perkembangan bahasa kita, terutama dalam hal makin lumrahnya umpatan dalam komunikasi sehari-hari.

Saya bukan tipe yang gemar memaki, tetapi kata-kata seperti “cuk” atau “jancuk” bukan sesuatu yang asing di telinga. Dalam konteks pergaulan, ungkapan seperti itu kerap muncul sebagai ekspresi spontan yang penuh dengan arti—bisa marah, kaget, geli, lucu, atau akrab. Ada konteks, ada rasa. Namun yang saya amati belakangan, makian mulai kehilangan arti tersebut. Ia bukan lagi sekadar luapan emosi yang muncul dalam kondisi tertentu, namun berbah menjadi bagian tak terpisahkan dari pola bicara generasi muda, seolah-olah setiap kalimat tak lengkap tanpa sisipan umpatan.

Sering kali saya bertanya-tanya, mengapa kini semakin banyak orang yang merasa lumrah mengumpat dengan kata-kata yang secara literal merujuk pada nama hewan, anatomi genital, atau bentuk makian lain yang dulunya dianggap tabu—padahal topik yang dibicarakan bisa jadi hanya seputar hal remeh-temeh. Kata-kata seperti “anjing,” “njir,” “bangke,” “tai,” atau “cok” kini tak hanya akrab terdengar di media sosial, tetapi juga merasuk ke dalam percakapan sehari-hari. Umpatan semacam itu seolah menjadi semacam penyedap wajib dalam komunikasi, yang jika tidak ada, rasanya belum lengkap.

Yang menarik, ini bukan hanya soal siapa yang berkata kasar, tapi bagaimana bahasa tersebut digunakan tanpa pandang konteks atau audiens. Anak muda dengan penampilan clean outfit, wajah glowing hasil tujuh langkah perawatan kulit, sneakers terbaru limited edition—tetap bisa menyisipkan umpatan dengan lancar, nyaris tanpa beban. Kontras antara gaya yang tertata dan bahasa yang kasar justru memperlihatkan pergeseran nilai dalam komunikasi kita hari ini. Mungkin ini bukan lagi soal ekspresi semata, melainkan sinyal bahwa empati perlahan terkikis dalam keseharian.

Yang justru lebih mengusik bagi saya adalah bagaimana kata “cuk”—yang bermakna kultural khas Surabaya atau Jawa Timur—kini digunakan secara luas di luar konteks asalnya. Penggunaannya sering kali tidak lagi menyiratkan kedekatan emosional atau kekhasan lokal, melainkan sekadar diselipkan demi membangun kesan keren, edgy, rebel, atau gaul. Bahkan intonasinya pun terasa dipaksakan, sekadar meniru tanpa memahami rasa yang menyertainya. Misalnya, dalam kalimat seperti, “Duh, gua lupa bawa charger, cok!” makna “cuk” tak lagi hadir sebagai penanda ekspresif bermuatan lokal, melainkan berubah menjadi aksesori bahasa—tempelan gaya yang terasa asing di lidah, namun dianggap tren.

Tentu, media sosial memainkan andil penting dalam membentuk pola komunikasi masa kini. Platform digital seperti TikTok, Instagram, dan X (dulu Twitter) menyediakan ruang ekspresi yang begitu luas, instan, dan nyaris tanpa sekat. Dalam ekosistem ini, kata-kata kasar tak lagi semata-mata cerminan ledakan emosi atau agresivitas, melainkan menjelma menjadi bagian dari gaya bahasa, unsur humor, bahkan penanda keakraban dalam pergaulan virtual. Dalam atmosfer yang serba cepat, penuh tekanan sosial, derasnya informasi, dan benturan opini, umpatan sering berfungsi sebagai katarsis—jalan pintas untuk meluapkan stres secara spontan. Ditambah lagi, tanpa kehadiran lawan bicara secara fisik, batas empati kerap mengendur, membuat siapa pun merasa lebih leluasa mengucapkan apa pun yang melintas di kepala, tanpa terlalu memikirkan dampaknya.

Media sosial tak hanya menyediakan ruang ekspresi, tetapi juga secara halus membentuk pola komunikasi penggunanya. Dengan algoritma yang berperan layaknya kurator pribadi, setiap interaksi—apa yang kita tonton, sukai, atau bagikan—secara otomatis membentuk alur konten yang tampil di linimasa. Inilah yang dikenal sebagai filter bubble, gelembung digital yang mempersempit pandangan kita hanya pada hal-hal yang selaras dengan preferensi sendiri. Dalam konteks bahasa, kondisi ini melahirkan echo chamber—ruang gema sosial yang memperkuat dan mengulang gaya bicara tertentu secara terus-menerus. Jadi, ketika lingkungan pertemanan kita terbiasa menyelipkan kata-kata seperti “anjing”, “tai”, “cok”, atau “njir” dalam obrolan, dan hal itu dianggap wajar, lucu, atau gaul, kebiasaan tersebut pun akan ikut melekat. Umpatan yang dulunya punya konteks emosional atau kultural jadi terdengar datar, dan biasa saja. Lama-lama, kata-kata itu berubah fungsi—bukan lagi untuk mengekspresikan rasa, melainkan sekadar sebagai penanda jeda atau penutup kalimat, tanpa mempertimbangkan kesopanan, konteks, atau sensitivitas rasa sosial.

Kata-kata kasar tak selalu mencerminkan siapa kita secara utuh. Namun, saat frekuensinya meningkat dalam percakapan sehari-hari, tak bisa dimungkiri ada dampak yang terbentuk—terutama dalam cara kita berkomunikasi. Di era digital yang serba cepat dan permisif ini, umpatan kerap hadir bukan sebagai luapan emosi, melainkan sebagai gaya. Ia menjadi tren yang diterima begitu saja. Meski tak selalu dilandasi niat buruk, kebiasaan ini pelan-pelan bisa mengikis empati dan menciptakan jarak yang tak terlihat dalam relasi sosial.

Saya paham, bahasa itu dinamis. Slang, logat, dan ragam tutur akan terus lahir dan berganti rupa. Saya pun tidak menolak perubahan. Tapi mungkin ada baiknya kita berhenti sejenak dan bertanya: apa yang sedang kita normalisasi? Jika segala bentuk umpatan disikapi dengan, “Ah, itu mah biasa. Dari dulu juga ada. Kamu aja yang kurang jauh mainnya,” bukankah itu juga salah satu bentuk kita menyerah pada degradasi rasa? Itulah mengapa, dalam arus perubahan bahasa yang deras ini, penting untuk bertanya ulang: apa sih yang sebenarnya sedang kita rayakan? Apa yang justru mungkin sedang kita tinggalkan tanpa disadari?

Mungkin benar, saya bukan lagi bagian dari generasi yang paling fasih dengan bahasa ‘kekinian’. Atau mungkin telinga saya sudah terlalu vintage. Tapi saya masih percaya bahwa kebebasan berekspresi seharusnya berjalan beriringan dengan kesadaran akan konteks, waktu, dan rasa hormat. Cara kita berbicara mencerminkan cara kita berpikir. Dan ketika umpatan berubah dari ekspresi menjadi kebiasaan, bukankah itu alarm untuk mengevaluasi kembali—apa kabar dengan rasa? Apa kabar dengan batas? Menikmati tren tidak harus berarti melepas nalar kritis kita, kan?

Just my two cents.

-Devi Eriana-

ilustrasi diambil dari shutterstock.com

Continue Reading

Painful Journey

Saat masih kecil, seringkali rasa sakit biasanya datang dalam bentuk yang sederhana—misalnya lutut yang terluka akibat kita jatuh dari sepeda, kepala yang tak sengaja terbentur meja, atau perut yang mules setelah jajan sembarangan. Tapi, biasanya rasa sakit itu cepat hilang karena kita tahu akan ada orang dewasa yang memberi kita pertolongan/obat. Secara mental kita tahu bahwa seiring waktu keadaan kita akan pulih, kita pulih seperti semula. Come back stronger, kalau kata anak sekarang, ya.

Namun, saat mulai memasuki usia dewasa, kita sadar bahwa rasa sakit yang muncul bukan lagi luka secara fisik, karena pencarian jati dirilah yang jauh lebih rumit. Sebagai orang dewasa, kita kini memegang kendali penuh atas hidup kita dan bertanggung jawab atas segala masa depan yang kita pilih. Semakin kita memahami kompleksitas hidup, semakin banyak pula berbagai keputusan besar yang harus diambil yang bisa saja mengubah arah hidup kita. Walaupun kesadaran ini seolah memberi kebebasan, jangan salah, ia juga datang dengan beban dan tanggung jawab yang berat.

Salah satunya adalah saat saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di usia saya sekarang—dengan status sebagai seorang ibu, istri, dan pekerja—saya tahu ini bukan keputusan yang mudah. Perjalanan untuk menyeimbangkan antara pendidikan, pekerjaan, dan peran sebagai ibu dan istri, memang penuh dengan tantangan yang tak terduga. Setiap langkah yang saya ambil mengharuskan saya untuk terus mengatur waktu dan energi dengan bijaksana. Salah satu momen yang paling terasa adalah ketika saya harus membagi waktu antara belajar untuk studi saya dan membantu anak mengerjakan PR atau menyiapkan diri untuk ulangan. Di sisi lain, ada malam-malam panjang ketika saya duduk sendiri di depan laptop, berjuang melawan kantuk, menyelesaikan tugas yang tenggatnya semakin dekat. Di momen-momen seperti itu, rasa “painful” hadir begitu nyata.

Tantangan yang saya hadapi sehari-hari—mulai dari membagi waktu antara kuliah, pekerjaan, dan keluarga—sering kali terasa berat. Namun, saya tahu ini adalah bagian dari proses belajar dan berkembang. Yang lebih menantang lagi adalah menjalani hubungan jarak jauh dengan suami saya yang kini bertugas di luar kota. Meskipun terpisah jarak, kami terus berusaha saling mendukung, meski komunikasi sering kali terbatas karena kesibukan masing-masing. Ada rindu yang harus dipendam, ada lelah yang kadang tak bisa diungkapkan, namun kami tetap yakin bahwa semua pengorbanan ini adalah demi kebaikan bersama.

Di balik semua tantangan ini, ada keyakinan yang selalu saya pegang teguh. Saya percaya bahwa setiap keputusan yang saya ambil bukan hanya untuk diri saya sendiri, tetapi juga untuk keluarga saya. Ada harapan yang besar saat anak saya melihat ketekunan saya dalam belajar, dan memahami pentingnya kerja keras. Saya juga berharap keluarga saya menyadari bahwa mengejar mimpi tak mengenal usia atau status. Tentu saja, saya sadar bahwa rasa sakit, lelah, dan frustrasi yang kadang muncul adalah bagian dari proses. Justru proses yang penuh tantangan inilah yang mengajari saya untuk lebih sabar, lebih bijak dalam mengelola waktu dan energi, dan untuk terus percaya bahwa di ujung jalan, ada kebaikan yang menunggu.

Dalam hening saya sering merenung, berkontemplasi, dan berpikir tentang betapa banyak orang yang menghadapi tantangan jauh lebih besar dari yang saya hadapi namun tak pernah terceritakan, dan tetap menjalani hidup seperti biasa saja. Di saat-saat seperti itulah yang membuat saya sadar bahwa kita tak bisa membandingkan hidup kita dengan orang lain, karena setiap orang memiliki jalan dan perjuangannya masing-masing. Anadaikata pun saya bisa memutar waktu, saya tak akan mengubah apapun. Karena setiap momen, baik suka maupun duka, telah membentuk diri saya menjadi seperti sekarang.

Untuk kamu yang sedang menjalani perjalanan hidup yang berat, ingatlah, kamu tidak sendirian. Setiap langkah kecil yang kamu ambil membawa kamu lebih dekat ke versi terbaik dari dirimu. Tak masalah jika langkahmu terasa lebih lambat dibandingkan orang lain, karena setiap orang punya ritme hidupnya sendiri. Suatu hari nanti, kamu akan melihat kembali dan menyadari bahwa semua rasa sakit dan lelah itu benar-benar layak untuk dilewati. Jangan lupa untuk berterima kasih pada dirimu sendiri, karena meski tantangan terus datang, kamu tetap berdiri teguh. Teruslah berusaha menjadi versi terbaik dari dirimu, karena itu adalah hal yang paling penting.

“Every painful journey carries its own lessons; it’s in the struggle that we find our strength and in the scars that we discover our resilience.”

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

Bahasa Universal itu Bernama Cinta

“There are more love songs than anything else. If songs could make you do something we’d all love one another.”Frank Zappa

Pernahkah terpikir nggak, kenapa ya begitu banyak lagu di dunia ini yang bertemakan cinta? Meski ada musisi yang mengangkat tema lain, jumlahnya tetap tidak sebanyak lagu cinta, kan?

Cinta, tema populer dalam dunia musik yang sudah ada sejak zaman dahulu. Baik musik klasik maupun musik modern, lagu-lagu cinta selalu ampuh dalam mengungkapkan perasaan yang kita miliki. Mengapa begitu banyak lagu dengan tema cinta? Mungkin karena cinta adalah pengalaman yang dapat dirasakan oleh siapa pun, di mana pun, dan kapan pun, ya. Layaknya sebuah bahasa universal, cinta dapat dipahami oleh semua orang.

Lagu-lagu cinta memungkinkan kita merasakan emosi yang terkait dengan pengalaman manusia yang paling mendasar. Dan berasa nggak kalau mendengarkan lagu cinta mirip dengan melihat cermin? Lirik-lirik yang diciptakan acapkali relevan dengan yang kita rasakan, baik itu kebahagiaan, kesedihan, kekecewaan, kerinduan, dan lainnya. Rasanya tidak mengherankan jika musik menjadi tempat yang sempurna untuk mengekspresikan berbagai perasaan yang yang kita rasakan.

Bukan cuma itu, sampai sekarang cinta juga jadi sumber inspirasi tak terbatas untuk para musisi. Bayangkan, dari kisah cinta romantis sampai pengalaman patah hati yang menyakitkan, cinta selalu berhasil membuat seniman kreatif dan menghasilkan lagu-lagu indah sentimentil pun easy listening. Selain untuk para musisi, musik juga bisa menjadi cara yang manis dan tak terbatas sebagai media untuk mengungkapkan beragam perasaan atau cerita yang sulit diucapkan melalui kata.

Ada banyak lagu bertema cinta yang tak terbatas. Salah satunya adalah lagu adalah lagu “Lantas” dari grup musik asal Bandung yang sedang naik daun, Juicy Lucy. Lagu ini mengisahkan tentang seorang pria yang mencintai dan menjalin hubungan terlarang dengan seorang wanita yang sudah memiliki pasangan. Meskipun begitu, pria tersebut tidak mampu berbuat banyak dan hanya bisa pasrah dengan situasi percintaan yang terjadi. Pun lagu “Segala-galanya” dari Juicy Lucy yang memiliki tema unik tentang tato. Lagu ini menceritakan tentang seorang anak yang merasa perlu menyembunyikan bagian dari dirinya demi menjaga perasaan ibunya. Liriknya menggambarkan konflik batin dan keputusan untuk merahasiakan sesuatu agar tidak menyakiti orang yang disayangi. Sebuah cerita tentang ketakutan bahwa kadang sebuah kebenaran dapat menyebabkan kekecewaan bagi seseorang yang istimewa. Lagu ini mewakili lagu bertema hubungan antara orang tua dan anak, serta bagaimana menjaga perasaan orang yang dicintai, khususnya ibu. Atau ada juga lagu “Love Again” oleh Celine Dion yang mengisahkan tentang proses mencintai lagi setelah patah hati. Ini adalah lagu pertamanya sejak merilis album Courage pada 2019, dan juga setelah didiagnosis dengan penyakit langka, Stiff-Person Syndrome pada bulan Desember 2022. Lagu ini menjadi bagian dari soundtrack film berjudul sama Love Again, di mana Celine Dion akan memerankan dirinya sendiri.

Dengan luasnya spektrum cinta, tidak mengherankan jika cinta tetap menjadi fokus utama dalam industri musik dunia. Lagu-lagu cinta tidak melulu berkisar pada hubungan antara dua orang kekasih, tetapi juga mencerminkan dinamika hubungan lainnya, seperti hubungan dengan pasangan atau orang tua, serta berbagai emosi yang menyertainya, tentang bagaimana cinta juga memiliki kekuatan untuk menyatukan atau mengubah hidup seseorang. Dengan begitu banyaknya pilihan lagu cinta, setiap individu dapat menemukan lagu yang relate dengan pengalaman dan perasaannya sendiri.

Seperti 2 sisi koin, musik dan cinta telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Tema cinta tampaknya akan terus menjadi salah satu yang paling menginspirasi di dunia musik. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa cinta adalah bahasa universal yang tidak akan pernah pudar daya tariknya.

Devieriana

ilustrasi dipinjam dari billboard.com

Continue Reading

PDA: Romansa di Tengah Publik

Di tengah perjalanan sebuah bus Transjakarta yang melaju dari arah Kota Tua menuju ke Balai Kota, naiklah sepasang anak muda yang sejak naik hingga turun mereka duduk bersebelahan, dan saling bergandengan tangan. Selama perjalanan, mereka beberapa kali saling melakukan hal-hal kecil kepada pasangannya satu sama lain. Mengusap/mencium pipi, membelai rambut, membetulkan kerah baju, meletakkan tangan di paha pasangan, berbisik mesra lalu terbahak, dan berpelukan, semuanya dilakukan di ruang publik di dalam transportasi umum, Transjakarta. Anyway, jarak perjalanan yang ditempuh keduanya hingga sampai di pemberhentian terakhir lumayan jauh, kan? Jadi, bagi penumpang yang duduk berhadapan dengan mereka, sepertinya lebih baik pindah ke Mars, deh.

Seiring dengan perkembangan teknologi, kemesraan bukan hanya bisa dilihat secara langsung, tetapi juga dapat dilihat melalui media sosial. PDA bisa terjadi di mana saja: di taman, pusat perbelanjaan, transportasi umum, bahkan di tempat kerja. Seperti misalnya di platform media sosial Instagram, ada akun Instagram milik sepasang selebgram muda yang aktif membagikan konten kemesraan mereka di antara konten-konten kajian keagamaan. Walaupun banyak komentar yang memuji mereka dengan kata-kata seperti “ih, lucu deh kalian”, “mesra banget”, “uwuu..,” “duh, kita mah cuman bisa nyengir aja” dan berharap untuk menemukan pasangan seperti mereka, namun di dunia maya, respon yang diterima tidak selalu positif.

“Mempertontonkan kemesraan di depan publik, hmm, kok agak gimana, ya?”

“Menurutku, meskipun mereka pasangan yang sah, sebaiknya kemesraan tidak terlalu diumbar, apalagi diunggah ke media sosial. Tidak semua orang merasa bahagia seperti mereka, dan khawatirnya malah menimbulkan ain. Ini cuma pendapatku saja, ya. Maaf kalau ada yang nggak setuju.”

“Haduh, ya udah sih biar aja. Pasangan-pasangan mereka sendiri kok kalian yang ribet! Kalau nggak suka, unfollow aja..”

Public Display of Affection (PDA) atau menunjukkan kasih sayang di tempat umum sering kali menjadi perdebatan hangat. Ada yang melihatnya sebagai bentuk cinta yang romantis, sementara lainnya merasa terganggu, tidak nyaman dengan hal tersebut. Menurut Wikipedia, pamer kemesraan atau umbar kemesraan adalah perbuatan mempertunjukkan kemesraan di depan umum, yang biasanya dilakukan oleh pasangan, seperti pacar atau pasutri.

Banyak pasangan memilih untuk menunjukkan perasaan mereka kepada publik melalui PDA. Tidak ada yang tahu secara pasti tentang maksud dan tujuan orang yang melakukan PDA. Mungkin mereka berharap gestur-gestur berpegangan tangan atau berpelukan di tempat umum dapat menunjukkan kedekatan mereka kepada orang lain. Atau malah justru sebaliknya, untuk menyembunyikan ketidakamanan dalam hubungan mereka? Lebih dari sekadar mengekspresikan kasih sayang, PDA juga tentang menunjukkan komitmen mereka di hadapan orang lain.

Masing-masing individu memiliki preferensi yang beragam dalam mengekspresikan kemesraan di depan publik. Ada yang senang memperlihatkan kasih sayang kepada pasangan mereka secara terbuka, tetapi banyak juga yang lebih suka menjaga privasi dengan tidak menunjukkan kemesraan di depan orang lain. Hal ini sering dipengaruhi oleh latar belakang pribadi, budaya keluarga, atau norma sosial yang mereka anut.

Di negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Kanada, dan sebagian besar Eropa, Public Display of Affection (PDA) sering kali dianggap sebagai hal yang lumrah dan diterima secara sosial. Namun, di beberapa negara Asia dan Timur Tengah, PDA sering kali dianggap tidak pantas atau bahkan dianggap tabu. Dalam media dan budaya populer, PDA sering digambarkan sebagai sesuatu yang romantis dan diidamkan. Film, acara TV, dan musik memiliki pengaruh besar dalam cara orang mengekspresikan perasaan cinta mereka.

Kontroversi seputar PDA melibatkan berbagai isu, tidak semua orang merasa nyaman melihat PDA, terutama jika dianggap terlalu intim. Adanya perbedaan generasi juga memengaruhi, di mana generasi yang lebih tua mungkin kurang mendukung PDA karena norma sosial pada masa lalu berbeda dengan generasi muda saat ini. Perbedaan pendapat juga muncul karena setiap individu memiliki toleransi yang berbeda terhadap kemesraan di depan umum. Isu lainnya termasuk pendapat bahwa PDA sebaiknya dibatasi untuk menjaga kesopanan di tempat umum. Namun pembatasan PDA di beberapa tempat ini mengundang pertanyaan tentang seberapa jauh norma sosial dapat membatasi kebebasan individu. Oleh karena itu, penting bagi mereka yang suka melakukan PDA untuk mempertimbangkan situasi/konteks, lokasi, serta menghormati respons dan norma budaya setempat.

Jadi, walaupun PDA bisa dianggap sebagai bentuk ekspresi cinta yang berbeda-beda maknanya bagi setiap orang dan budaya, yang terpenting adalah bagaimana kita menemukan keseimbangan antara ingin mengekspresikan kasih sayang dan tetap menjaga kenyamanan serta kesopanan di tempat umum. Hal ini penting agar kita menciptakan lingkungan yang menghargai keragaman dan saling menghormati.

— devieriana —

Ilustrasi gambar dipinjam dari sini

Continue Reading

Verba Volant, Scripta Manent

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” — Pramoedya Ananta Toer

Setelah vakum beberapa tahun lamanya, akhirnya saya mengobati kerinduan saya aktif menulis kembali. Seperti biasa, topik tulisan saya random. Topik kejadian keseharian, review film, psikologi, parenting, pekerjaan, dan sebagainya. Banyak teori yang bilang kalau menulis di blog harus ada temanya supaya ada audiens yang secara khusus tertarget, misalnya blog yang khusus me-review tentang kecantikan, gadget, atau kuliner. Tapi menurut saya menulis tema random tentang keseharian juga memiliki daya tarik tersendiri. Menulis dengan tema random bagi saya memberikan kebebasan untuk menulis apa pun yang kita suka yang mencerminkan kehidupan sehari-hari atau berbagai minat kita saat itu.

Beberapa teman baru, yang mungkin baru mengenal saya bertanya, “Kak Devi ternyata masih suka nulis, ya? Kenapa, Kak? Kan sekarang zamannya udah zaman visual, orang lebih tertarik nonton konten video ketimbang tulisan.” Saya sudah suka menulis sejak SD. Sepertinya ada saja hasil ‘tulisan’ yang saya buat waktu itu, misalnya tiba-tiba membuat tulisan fiksi anak-anak, cerita legenda, atau komik ala-ala. Pelajaran bahasa Indonesia juga menjadi salah satu pelajaran favorit saya, karena ada sesi mengarang indah. Dulu saya juga punya cara kerja yang unik dalam membuat tulisan/karangan. Kalau teman lain membuat kerangkanya dulu baru menulis, saya justru sebaliknya. Saya buat karangannya dulu, baru saya buat kerangka karangan sebagai pelengkap. Sejak kecil pula saya suka mencari kosakata-kosakata baru yang kurang lazim digunakan. Masih ingat, dulu karena sering membaca surat kabar, saya menemukan kata ‘oknum’. Dengan bangga saya gunakan kata itu dalam tugas mengarang  pada pelajaran bahasa Indonesia. Tapi karena tidak sesuai dengan tema tugas waktu itu, sehingga kata itu justru dicoret oleh guru. Tak apa, yang penting sudah sempat memakainya.

Bukan hanya itu, konten blog lebih mudah diakses dan ditemukan dalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan dengan postingan media sosial yang cepat berlalu. Ketika seseorang menulis di blog, tulisan tersebut memungkinkan untuk diindeks oleh mesin pencari seperti Google, sehingga orang lain dapat menemukan tulisan tersebut bertahun-tahun setelah dipublikasikan. Hal ini tentu sedikit berbeda dengan postingan di media sosial yang cenderung tenggelam dalam lautan konten baru yang terus bermunculan setiap detiknya. Blog juga memberikan fleksibilitas yang lebih besar dalam menyusun dan menyampaikan informasi. Kita dapat membuat artikel yang panjang dan mendalam, menyertakan berbagai jenis media seperti gambar, video, dan infografis, serta mengelompokkan tulisan-tulisan tersebut ke dalam kategori yang memudahkan navigasi bagi pembaca. Jadi, sebenarnya menulis di blog telah lama menjadi salah satu cara paling populer untuk berbagi informasi, pengalaman, dan pemikiran dengan audiens yang lebih luas.

Bagi saya pribadi, blog ini dapat dianggap sebagai tempat penyimpanan digital memori saya, seperti ruang virtual di mana saya dapat dengan bebas menuangkan pikiran dan berefleksi. Blog ini menjadi tempat perlindungan, rumah pikiran, sebuah tempat yang tenang di tengah hiruk pikuk kehidupan sehari-hari. Lebih jauh blog ini juga berfungsi sebagai portofolio yang menampilkan perkembangan saya sebagai penulis yang sedang berkembang.

Semua hal ini sejalan dengan pepatah Latin yang mengatakan “Verba volant, scripta manent”, yang berarti kata-kata yang terucap akan terbang pergi, tetapi kata-kata yang tertulis akan tetap abadi. Dalam era digital, pepatah ini mengingatkan kita akan pentingnya menyimpan informasi secara tertulis. Verba volant, scripta manent menekankan adanya kekuatan dan kekekalan kata-kata tertulis dibandingkan dengan yang terucap. Kata-kata yang tertulis memiliki daya tahan yang luar biasa, memungkinkan pemikiran dan ide untuk hidup lebih lama daripada ucapan yang segera dilupakan. Inilah yang membuat aktivitas menulis di blog bukan hanya relevan di masa lalu, dan kini saja, namun juga memberikan dapat kontribusi jangka panjang bagi dunia pengetahuan dan budaya jika dibutuhkan.

— Devieriana —

Continue Reading
1 2 3 25