Bahasa Universal itu Bernama Cinta

“There are more love songs than anything else. If songs could make you do something we’d all love one another.”Frank Zappa

Pernahkah terpikir nggak, kenapa ya begitu banyak lagu di dunia ini yang bertemakan cinta? Meski ada musisi yang mengangkat tema lain, jumlahnya tetap tidak sebanyak lagu cinta, kan?

Cinta, tema populer dalam dunia musik yang sudah ada sejak zaman dahulu. Baik musik klasik maupun musik modern, lagu-lagu cinta selalu ampuh dalam mengungkapkan perasaan yang kita miliki. Mengapa begitu banyak lagu dengan tema cinta? Mungkin karena cinta adalah pengalaman yang dapat dirasakan oleh siapa pun, di mana pun, dan kapan pun, ya. Layaknya sebuah bahasa universal, cinta dapat dipahami oleh semua orang.

Lagu-lagu cinta memungkinkan kita merasakan emosi yang terkait dengan pengalaman manusia yang paling mendasar. Dan berasa nggak kalau mendengarkan lagu cinta mirip dengan melihat cermin? Lirik-lirik yang diciptakan acapkali relevan dengan yang kita rasakan, baik itu kebahagiaan, kesedihan, kekecewaan, kerinduan, dan lainnya. Rasanya tidak mengherankan jika musik menjadi tempat yang sempurna untuk mengekspresikan berbagai perasaan yang yang kita rasakan.

Bukan cuma itu, sampai sekarang cinta juga jadi sumber inspirasi tak terbatas untuk para musisi. Bayangkan, dari kisah cinta romantis sampai pengalaman patah hati yang menyakitkan, cinta selalu berhasil membuat seniman kreatif dan menghasilkan lagu-lagu indah sentimentil pun easy listening. Selain untuk para musisi, musik juga bisa menjadi cara yang manis dan tak terbatas sebagai media untuk mengungkapkan beragam perasaan atau cerita yang sulit diucapkan melalui kata.

Ada banyak lagu bertema cinta yang tak terbatas. Salah satunya adalah lagu adalah lagu “Lantas” dari grup musik asal Bandung yang sedang naik daun, Juicy Lucy. Lagu ini mengisahkan tentang seorang pria yang mencintai dan menjalin hubungan terlarang dengan seorang wanita yang sudah memiliki pasangan. Meskipun begitu, pria tersebut tidak mampu berbuat banyak dan hanya bisa pasrah dengan situasi percintaan yang terjadi. Pun lagu “Segala-galanya” dari Juicy Lucy yang memiliki tema unik tentang tato. Lagu ini menceritakan tentang seorang anak yang merasa perlu menyembunyikan bagian dari dirinya demi menjaga perasaan ibunya. Liriknya menggambarkan konflik batin dan keputusan untuk merahasiakan sesuatu agar tidak menyakiti orang yang disayangi. Sebuah cerita tentang ketakutan bahwa kadang sebuah kebenaran dapat menyebabkan kekecewaan bagi seseorang yang istimewa. Lagu ini mewakili lagu bertema hubungan antara orang tua dan anak, serta bagaimana menjaga perasaan orang yang dicintai, khususnya ibu. Atau ada juga lagu “Love Again” oleh Celine Dion yang mengisahkan tentang proses mencintai lagi setelah patah hati. Ini adalah lagu pertamanya sejak merilis album Courage pada 2019, dan juga setelah didiagnosis dengan penyakit langka, Stiff-Person Syndrome pada bulan Desember 2022. Lagu ini menjadi bagian dari soundtrack film berjudul sama Love Again, di mana Celine Dion akan memerankan dirinya sendiri.

Dengan luasnya spektrum cinta, tidak mengherankan jika cinta tetap menjadi fokus utama dalam industri musik dunia. Lagu-lagu cinta tidak melulu berkisar pada hubungan antara dua orang kekasih, tetapi juga mencerminkan dinamika hubungan lainnya, seperti hubungan dengan pasangan atau orang tua, serta berbagai emosi yang menyertainya, tentang bagaimana cinta juga memiliki kekuatan untuk menyatukan atau mengubah hidup seseorang. Dengan begitu banyaknya pilihan lagu cinta, setiap individu dapat menemukan lagu yang relate dengan pengalaman dan perasaannya sendiri.

Seperti 2 sisi koin, musik dan cinta telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Tema cinta tampaknya akan terus menjadi salah satu yang paling menginspirasi di dunia musik. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa cinta adalah bahasa universal yang tidak akan pernah pudar daya tariknya.

Devieriana

ilustrasi dipinjam dari billboard.com

Continue Reading

PDA: Romansa di Tengah Publik

Di tengah perjalanan sebuah bus Transjakarta yang melaju dari arah Kota Tua menuju ke Balai Kota, naiklah sepasang anak muda yang sejak naik hingga turun mereka duduk bersebelahan, dan saling bergandengan tangan. Selama perjalanan, mereka beberapa kali saling melakukan hal-hal kecil kepada pasangannya satu sama lain. Mengusap/mencium pipi, membelai rambut, membetulkan kerah baju, meletakkan tangan di paha pasangan, berbisik mesra lalu terbahak, dan berpelukan, semuanya dilakukan di ruang publik di dalam transportasi umum, Transjakarta. Anyway, jarak perjalanan yang ditempuh keduanya hingga sampai di pemberhentian terakhir lumayan jauh, kan? Jadi, bagi penumpang yang duduk berhadapan dengan mereka, sepertinya lebih baik pindah ke Mars, deh.

Seiring dengan perkembangan teknologi, kemesraan bukan hanya bisa dilihat secara langsung, tetapi juga dapat dilihat melalui media sosial. PDA bisa terjadi di mana saja: di taman, pusat perbelanjaan, transportasi umum, bahkan di tempat kerja. Seperti misalnya di platform media sosial Instagram, ada akun Instagram milik sepasang selebgram muda yang aktif membagikan konten kemesraan mereka di antara konten-konten kajian keagamaan. Walaupun banyak komentar yang memuji mereka dengan kata-kata seperti “ih, lucu deh kalian”, “mesra banget”, “uwuu..,” “duh, kita mah cuman bisa nyengir aja” dan berharap untuk menemukan pasangan seperti mereka, namun di dunia maya, respon yang diterima tidak selalu positif.

“Mempertontonkan kemesraan di depan publik, hmm, kok agak gimana, ya?”

“Menurutku, meskipun mereka pasangan yang sah, sebaiknya kemesraan tidak terlalu diumbar, apalagi diunggah ke media sosial. Tidak semua orang merasa bahagia seperti mereka, dan khawatirnya malah menimbulkan ain. Ini cuma pendapatku saja, ya. Maaf kalau ada yang nggak setuju.”

“Haduh, ya udah sih biar aja. Pasangan-pasangan mereka sendiri kok kalian yang ribet! Kalau nggak suka, unfollow aja..”

Public Display of Affection (PDA) atau menunjukkan kasih sayang di tempat umum sering kali menjadi perdebatan hangat. Ada yang melihatnya sebagai bentuk cinta yang romantis, sementara lainnya merasa terganggu, tidak nyaman dengan hal tersebut. Menurut Wikipedia, pamer kemesraan atau umbar kemesraan adalah perbuatan mempertunjukkan kemesraan di depan umum, yang biasanya dilakukan oleh pasangan, seperti pacar atau pasutri.

Banyak pasangan memilih untuk menunjukkan perasaan mereka kepada publik melalui PDA. Tidak ada yang tahu secara pasti tentang maksud dan tujuan orang yang melakukan PDA. Mungkin mereka berharap gestur-gestur berpegangan tangan atau berpelukan di tempat umum dapat menunjukkan kedekatan mereka kepada orang lain. Atau malah justru sebaliknya, untuk menyembunyikan ketidakamanan dalam hubungan mereka? Lebih dari sekadar mengekspresikan kasih sayang, PDA juga tentang menunjukkan komitmen mereka di hadapan orang lain.

Masing-masing individu memiliki preferensi yang beragam dalam mengekspresikan kemesraan di depan publik. Ada yang senang memperlihatkan kasih sayang kepada pasangan mereka secara terbuka, tetapi banyak juga yang lebih suka menjaga privasi dengan tidak menunjukkan kemesraan di depan orang lain. Hal ini sering dipengaruhi oleh latar belakang pribadi, budaya keluarga, atau norma sosial yang mereka anut.

Di negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Kanada, dan sebagian besar Eropa, Public Display of Affection (PDA) sering kali dianggap sebagai hal yang lumrah dan diterima secara sosial. Namun, di beberapa negara Asia dan Timur Tengah, PDA sering kali dianggap tidak pantas atau bahkan dianggap tabu. Dalam media dan budaya populer, PDA sering digambarkan sebagai sesuatu yang romantis dan diidamkan. Film, acara TV, dan musik memiliki pengaruh besar dalam cara orang mengekspresikan perasaan cinta mereka.

Kontroversi seputar PDA melibatkan berbagai isu, tidak semua orang merasa nyaman melihat PDA, terutama jika dianggap terlalu intim. Adanya perbedaan generasi juga memengaruhi, di mana generasi yang lebih tua mungkin kurang mendukung PDA karena norma sosial pada masa lalu berbeda dengan generasi muda saat ini. Perbedaan pendapat juga muncul karena setiap individu memiliki toleransi yang berbeda terhadap kemesraan di depan umum. Isu lainnya termasuk pendapat bahwa PDA sebaiknya dibatasi untuk menjaga kesopanan di tempat umum. Namun pembatasan PDA di beberapa tempat ini mengundang pertanyaan tentang seberapa jauh norma sosial dapat membatasi kebebasan individu. Oleh karena itu, penting bagi mereka yang suka melakukan PDA untuk mempertimbangkan situasi/konteks, lokasi, serta menghormati respons dan norma budaya setempat.

Jadi, walaupun PDA bisa dianggap sebagai bentuk ekspresi cinta yang berbeda-beda maknanya bagi setiap orang dan budaya, yang terpenting adalah bagaimana kita menemukan keseimbangan antara ingin mengekspresikan kasih sayang dan tetap menjaga kenyamanan serta kesopanan di tempat umum. Hal ini penting agar kita menciptakan lingkungan yang menghargai keragaman dan saling menghormati.

— devieriana —

Ilustrasi gambar dipinjam dari sini

Continue Reading

Verba Volant, Scripta Manent

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” — Pramoedya Ananta Toer

Setelah vakum beberapa tahun lamanya, akhirnya saya mengobati kerinduan saya aktif menulis kembali. Seperti biasa, topik tulisan saya random. Topik kejadian keseharian, review film, psikologi, parenting, pekerjaan, dan sebagainya. Banyak teori yang bilang kalau menulis di blog harus ada temanya supaya ada audiens yang secara khusus tertarget, misalnya blog yang khusus me-review tentang kecantikan, gadget, atau kuliner. Tapi menurut saya menulis tema random tentang keseharian juga memiliki daya tarik tersendiri. Menulis dengan tema random bagi saya memberikan kebebasan untuk menulis apa pun yang kita suka yang mencerminkan kehidupan sehari-hari atau berbagai minat kita saat itu.

Beberapa teman baru, yang mungkin baru mengenal saya bertanya, “Kak Devi ternyata masih suka nulis, ya? Kenapa, Kak? Kan sekarang zamannya udah zaman visual, orang lebih tertarik nonton konten video ketimbang tulisan.” Saya sudah suka menulis sejak SD. Sepertinya ada saja hasil ‘tulisan’ yang saya buat waktu itu, misalnya tiba-tiba membuat tulisan fiksi anak-anak, cerita legenda, atau komik ala-ala. Pelajaran bahasa Indonesia juga menjadi salah satu pelajaran favorit saya, karena ada sesi mengarang indah. Dulu saya juga punya cara kerja yang unik dalam membuat tulisan/karangan. Kalau teman lain membuat kerangkanya dulu baru menulis, saya justru sebaliknya. Saya buat karangannya dulu, baru saya buat kerangka karangan sebagai pelengkap. Sejak kecil pula saya suka mencari kosakata-kosakata baru yang kurang lazim digunakan. Masih ingat, dulu karena sering membaca surat kabar, saya menemukan kata ‘oknum’. Dengan bangga saya gunakan kata itu dalam tugas mengarang  pada pelajaran bahasa Indonesia. Tapi karena tidak sesuai dengan tema tugas waktu itu, sehingga kata itu justru dicoret oleh guru. Tak apa, yang penting sudah sempat memakainya.

Bukan hanya itu, konten blog lebih mudah diakses dan ditemukan dalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan dengan postingan media sosial yang cepat berlalu. Ketika seseorang menulis di blog, tulisan tersebut memungkinkan untuk diindeks oleh mesin pencari seperti Google, sehingga orang lain dapat menemukan tulisan tersebut bertahun-tahun setelah dipublikasikan. Hal ini tentu sedikit berbeda dengan postingan di media sosial yang cenderung tenggelam dalam lautan konten baru yang terus bermunculan setiap detiknya. Blog juga memberikan fleksibilitas yang lebih besar dalam menyusun dan menyampaikan informasi. Kita dapat membuat artikel yang panjang dan mendalam, menyertakan berbagai jenis media seperti gambar, video, dan infografis, serta mengelompokkan tulisan-tulisan tersebut ke dalam kategori yang memudahkan navigasi bagi pembaca. Jadi, sebenarnya menulis di blog telah lama menjadi salah satu cara paling populer untuk berbagi informasi, pengalaman, dan pemikiran dengan audiens yang lebih luas.

Bagi saya pribadi, blog ini dapat dianggap sebagai tempat penyimpanan digital memori saya, seperti ruang virtual di mana saya dapat dengan bebas menuangkan pikiran dan berefleksi. Blog ini menjadi tempat perlindungan, rumah pikiran, sebuah tempat yang tenang di tengah hiruk pikuk kehidupan sehari-hari. Lebih jauh blog ini juga berfungsi sebagai portofolio yang menampilkan perkembangan saya sebagai penulis yang sedang berkembang.

Semua hal ini sejalan dengan pepatah Latin yang mengatakan “Verba volant, scripta manent”, yang berarti kata-kata yang terucap akan terbang pergi, tetapi kata-kata yang tertulis akan tetap abadi. Dalam era digital, pepatah ini mengingatkan kita akan pentingnya menyimpan informasi secara tertulis. Verba volant, scripta manent menekankan adanya kekuatan dan kekekalan kata-kata tertulis dibandingkan dengan yang terucap. Kata-kata yang tertulis memiliki daya tahan yang luar biasa, memungkinkan pemikiran dan ide untuk hidup lebih lama daripada ucapan yang segera dilupakan. Inilah yang membuat aktivitas menulis di blog bukan hanya relevan di masa lalu, dan kini saja, namun juga memberikan dapat kontribusi jangka panjang bagi dunia pengetahuan dan budaya jika dibutuhkan.

— Devieriana —

Continue Reading

Komparasi

“Kamu tuh nggak kaya adikmu. Adikmu rajin, ngatur barang-barangnya juga rapi. Kalau kamu, berantakan”

“Kamu itu beda ya sama kakakmu. Kakak kamu bahasa Inggrisnya pinter, kalau kamu kok agak kurang, ya…”

Dua percakapan di atas adalah nyata yang pernah pernah saya dan adik-adik saya alami di masa kecil. Mungkin itu hanya sebagian kecil dari banyaknya perbandingan yang kami terima. Sekali dua kali mungkin kami hanya bisa pasrah ketika dibandingkan, menghibur diri, karena kami menyadari memang seperti tu kenyataannya. Seperti misalnya, saya dulu bukan orang yang rapi dan apik dalam menjaga barang-barang saya, tapi seiring waktu manusia bisa berubah. Begitu pula dengan kedua adik saya, meskipun mereka bukan yang mahir bahasa Inggris, namun sekarang mereka memiliki karier yang baik di dunia perbankan. Tidak ada seorang pun yang ingin dibandingkan, baik dengan saudaranya sendiri bahkan jika harus dibandingkan dengan orang lain. Beruntung, setelah kami bicara baik-baik, orang tua bersikap terbuka, dan mau menerima komplain kami.

Namun di balik itu, kami merasa beruntung, meski pernah mengalami perbandingan semacam itu di masa lalu, nyatanya kami bertiga tetap chill menjalani hidup, tumbuh menjadi saudara yang saling menguatkan, memberi motivasi, dan dukungan satu sama lain. Bukan malah merasa iri ketika salah satu dari kami meraih prestasi ekstrakurikuler, akademis, atau memiliki karier yang baik, namun justru merasa bangga.

Mungkin sebagian dari kita pernah mengalami sebagai kejadian seperti kami di atas, menjadi objek yang dibandingkan, atau bahkan sebagai subjek yang membandingkan. Kektika orang tua sering membanding-bandingkan anak dengan orang lain karena hal ini berasal dari naluri manusia paling dasar. Manusia secara alamiah cenderung membandingkan sesuatu dengan yang lain. Tujuan kebiasaan ini bisa bermacam-macam, mulai dari ingin mencontohkan perilaku anak, hingga memandang pencapaian anak sebagai sebuah kompetisi. Sama seperti kita yang juga pasti pernah membandingkan sesuatu, sesederhana membandingkan cara makan bubur ayam, diaduk atau tidak. Banyak orang membandingkan dua hal itu sampai berantem. Begitu juga dengan kebiasaan orang tua yang membandingkan anaknya dengan orang lain, juga berasal dari insting dasarnya sebagai manusia.

Sedangkan bagi objek yang dibandingkan pasti akan merasa kurang nyaman, karena perbandingan semacam itu lambat laun mengikis rasa percaya diri anak, membuat anak merasa kurang, dan tidak cukup baik. Saat kita dibandingkan dengan orang lain, kita jadi cenderung fokus pada kekurangan diri sendiri dan mengabaikan kelebihan yang sebenarnya kita miliki. Hal semacam inilah bisa menyebabkan perasaan rendah diri atau bahkan kecemasan. Misalnya, ketika kita dibandingkan dengan teman yang berhasil meraih prestasi gemilang di bidang akademis atau memiliki karier yang cemerlang, sementara kita masih  tertinggal jauh di belakang, tentu bisa sangat mengecilkan hati.

Bukan hanya itu saja, perbandingan semacam ini dapat merusak hubungan sosial. Kita yang merasa selalu dibandingkan dengan pencapaian orang lain, pada akhirnya justru menciptakan jarak/konflik dalam hubungan dengan orang lain. Padahal, setiap orang memiliki perjalanan hidup dan kecepatan perkembangan yang berbeda-beda. Apa yang tampak sebagai keberhasilan bagi satu orang, namun ternyata belum tentu relevan atau tidak sesuai dengan tujuan hidup orang lain.

Sudah nonton film “Ipar Adalah Maut”? Dibintangi oleh Michelle Ziudith sebagai Nisa dan Deva Mahenra sebagai Aris, “Ipar Adalah Maut” mengisahkan cerita yang diadaptasi dari kisah nyata yang dipopulerkan oleh content creator asal Malang @elizasifaa melalui akun media sosialnya.

Kalau bicara tentang hujatan dan banyaknya komentar pedas yang ditujukan kepada sosok Rani –yang digambarkan sebagai sosok ipar antagonis yang seolah tidak memiliki hati, merebut suami kakaknya– ya sudahlah ya, mungkin sudah cukup diwakili oleh netizen. Namun, ada sesuatu yang menarik perhatian saya di podcast Deny Sumargo, Eliza Sifa mengungkapkan bahwa perselingkuhan yang terjadi antara Aris dan Rani bukan karena kegilaan Rani semata, melainkan didasari oleh salah satunya adanya dendam masa kecil. Rani dan Nisa yang selalu bersekolah di tempat yang sama sering dibanding-bandingkan. Nisa dianggap lebih cantik dan lebih pandai ketimbang Rani. Alih-alih melindungi Rani, Nisa justru merasa senang karena berbagai pujian itu. Rasa dendam masa kecil itu ternyata dibawa Rani sampai dia dewasa. Rani yang selama ini pasrah dan belum terpikir harus menyalurkan dendamnya dalam bentuk seperti apa, justru ketika dia berkesempatan tinggal bersama kakaknyalah pintu kesempatan membalaskan dendam itu terbuka lebar. Tanpa bermaksud membela Rani atau membenarkan tindakan perselingkuhan, namun penting untuk kita sadari bahwa setiap manusia memiliki latar belakang dan alasan tersendiri sebelum melakukan sesuatu.

Di sekitar kita, banyak sosok (orang tua, keluarga, teman, guru) dalam keseharian anak, yang justru tanpa sadar membandingkan anak satu dengan anak lainnya, murid satu dengan murid lainnya. Alih-alih memberikan motivasi, hal tersebut justru membuat anak menjadi demotivasi dan rendah diri. Tidak seharusnya kita membanding-bandingkan anak, apalagi jika hal itu kita lakukan di depan mereka, karena sesungguhnya setiap anak memiliki kemampuan, kecerdasan, dan bakat yang berbeda.

Mama saya pernah menganalogikan begini, “Ibarat anak ayam, meskipun dipelihara di tempat yang sama, diberi makanan yang sama, dirawat dengan cara yang sama, mereka bisa tumbuh dengan sifat yang berbeda. Analogi ini juga berlaku sama pada manusia, yang memiliki pikiran dan sisi emosi yang lebih kompleks.”

Analogi jadul itu pun bahkan terdukung oleh sebuah penelitian yang bertajuk “The Heritability of Attitudes: A Study of Twins” yang mengatakan bahwa anak kembar identik menunjukkan perbedaan dalam sikap dan ekspresi diri. Meskipun berasal dari sperma dan sel telur yang sama, perbedaan dalam kecerdasan, struktur sensorik, dan temperamen bisa menjadi faktor yang membedakan mereka. Selain itu, faktor lingkungan, perlakuan berbeda dari orang tua, teman, atau lingkungan sekitar juga dapat mempengaruhi perbedaan kepribadian anak kembar identik. Dari situ, kita dapat ambil kesimpulan bahwa meskipun saudara kandung, kembar identik sekalipun, mereka akan memiliki sifat dan sikap yang berbeda.

Penting bagi kita semua untuk menghargai keunikan dan perbedaan setiap individu, terutama dalam konteks keluarga, untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak yang lebih positif. Kita tidak pernah tahu bahwa perbandingan semacam itu dapat tertanam lekat dalam ingatan mereka hingga dewasa, yang pada akhirnya akan berdampak pada kesehatan mental mereka di masa depan.

— Devieriana —

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

Inside Out 2

Film Inside Out perdana ditayangkan di Cannes pada 18 Mei 2015 dan kemudian dirilis di Amerika Serikat pada 19 Juni 2015. Sepuluh tahun berselang setelah kesuksesan film Inside Out, Pixar kembali memanjakan para penggemarnya dengan sekuel yang dinantikan, Inside Out 2 pada 14 Juni 2024. Jika dalam sekuel pertama dikisahkan Riley berusaha mengatasi masa kanak-kanak dengan menghadapi perasaannya terkait kepindahan keluarganya dari Minnesota ke San Fransisco, sekarang Riley telah menemukan rumah baru dalam bentuk sahabat-sahabat barunya, Bree dan Grace. Dalam sekuel ini, fokus cerita lebih pada hubungan Riley dengan teman-temannya daripada keluarganya, juga tentang rumitnya perjalanan emosional Riley yang saat ini berusia 13 tahun, dan sedang mempersiapkan diri untuk masuk ke SMA. Riley sangat fokus pada olahraga hoki yang telah membuatnya meraih banyak penghargaan.

Joy, Anger, Sadness, Fear, dan Disgust dihadapkan pada tantangan tentang rumitnya dinamika emosi masa remaja. Anxiety, Ennui, Embarrassment, dan Envy merupakan karakter-karakter baru yang memperkaya alur cerita dalam Inside Out 2. Masing-masing karakter ini mempersonifikasikan emosi dan perasaan yang lebih kompleks, serta menambahkan lapisan emosi yang lebih dalam dalam perjalanan emosional Joy, Anger, Sadness, Fear, dan Disgust. 

Anxiety, yang mewakili kecemasan, memperkenalkan ketegangan dan kekhawatiran yang mendalam. Ennui, yang berarti kebosanan, membawa nuansa emosi yang lebih suram, monoton, dan membosankan. Embarrassment yang mewakili rasa malu, memperkenalkan konflik internal yang terkait dengan harga diri dan citra diri Riley. Sementara itu, Envy, yang mewakili rasa iri, membawa persaingan dan konflik interpersonal yang lebih pelik. Jujur saya kagum dengan konsep desain Envy dan Embarrasement, yang menunjukkan bahwa “iri hati” digambarkan sebagai emosi yang kecil, sementara “malu” digambarkan sebagai emosi yang besar, yang secara realistis mencerminkan definisi dari kedua emosi tersebut.

Entah mengapa rasanya sekuel kedua ini sengaja menunggu kita tumbuh (lebih) dewasa. Mungkin salah satu tujuannya adalah supaya kita bisa lebih memahami apa yang dirasakan Riley yang sudah menjadi seorang remaja. Dan, memang, bahasan di film ini jauh lebih mendalam dari apa yang saya pikirkan sebelumnya.

Riley mulai mengalami dan menghadapi berbagai emosi yang berbeda saat memasuki masa pubertas. Riley mengalami munculnya berbagai emosi baru menggantikan emosi-emosi masa kanak-kanak dengan yang lebih dewasa. Perasaan kebahagiaan tergeser oleh kepanikan, ketakutan ditutupi oleh kebosanan, dan terkadang sarkasme digunakan untuk menyembunyikan rasa malu. Ketidakpastian Riley tentang masa depannya dalam grup hoki Firehawk membuatnya cemas dan mengambil langkah yang salah. Di sinilah peran orang tua dibutuhkan untuk secara penuh mendampingi anak-anak saat mereka merasa cemas, memberikan validasi perasaan, dan membantu mereka mengambil keputusan yang tepat.

Dalam perjalanannya membentuk jati diri, Riley juga pernah berusaha untuk menjadi orang lain agar diterima dalam grup hoki Firehawk, yang salah satu anggotanya, Valentina “Val” Ortiz adalah idola Riley. Namun pada akhirnya Riley menyadari pentingnya kejujuran dan menjadi diri sendiri. Dalam keadaan ini, penting bagi kita para orang tua untuk mengedukasi anak-anak agar tetap setia pada identitas mereka sendiri, tanpa perlu meniru orang lain hanya serta merta ingin diterima dalam lingkungan tertentu. Pun halnya ketika Joy berusaha keras menghapus kenangan negatif Riley untuk membentuknya menjadi pribadi yang positif, pada akhirnya, Joy menyadari bahwa semua kenangan, baik positif maupun negatif, penting untuk perkembangan Riley, karena kenangan tersebut membentuk bagian integral dari identitas dan pengalaman hidup Riley.

Ada saat di mana Riley mengalami momen emosional saat bermain di lapangan. Akibat tindakan terlalu ambisiusnya, menyebabkan dia dihukum sementara tidak bisa bermain di lapangan. Dia menangis, kecewa, dan merasa emosional, namun akhirnya menemukan kedamaian setelah menerima dan merangkul semua emosinya, berdamai dengan dirinya sendiri, serta memperbaiki hubungannya dengan orang-orang di sekitarnya. Sadness isn’t just crying. It’s the emotion of change, acceptance and most importantly, love.

Satu momen yang cukup membekas dalam benak dan berhasil membuat saya sesenggukan di sepertiga film. Adalah saat Joy menyadari bahwa hidup Riley tidak harus selalu diisi dengan kebahagiaan. “I don’t know how to stop anxiety, maybe it’s true that when you grow old, you’ll feel less happy.” Dan sejujurnya semua itu benar. Tapi semua itu tidak menjadi masalah. Tidak masalah merasa cemas, tidak masalah merasa takut, dan tidak masalah menyadari bahwa dunia ini bukan hanya tentang kebahagiaan. Saat kita tumbuh dewasa, kita menyadari bahwa Joy (kebahagiaan) bukanlah satu-satunya emosi yang utama. Tidak masalah merasakan apa pun yang perlu kita rasakan. Kita semua adalah campuran emosi, dan itulah yang membuat kita unik dan indah. Film ini mengajarkan kita bahwa semua emosi valid. Oleh karenanya orang tua wajib mengenalkan berbagai emosi kepada anak serta mengajari mereka cara mengendalikannya.

Inside Out 2 dengan sangat akurat menggambarkan berbagai emosi yang muncul karena berbagai perubahan yang menekan dalam kehidupan seorang manusia. Komedi yang menghibur dipadu adegan yang memperluas pemikiran dan perasaan, Pixar berhasil menciptakan sebuah film yang enjoyable. Alih-alih mengandalkan kisah klise yang sudah terlalu sering digunakan, mereka berhasil menjaga agar ceritanya tetap unik, tanpa kesan menggurui. Film ini cocok dinikmati oleh anak-anak sebagai tontonan yang menghibur, sementara bagi orang tua, film ini dapat menjadi kesempatan belajar tentang pentingnya memahami kondisi emosional anak-anak.

Inside Out 2 dirilis secara eksklusif di bioskop pada 14 Juni 2024, hampir tepat sepuluh tahun setelah rilis film pertamanya pada 24 Juni 2015. Keberhasilan Inside Out 2 ini tak bisa dipandang remeh. Dengan pendapatan mencapai 295 juta dolar AS hanya dalam sepekan penayangan perdananya menjadikan Inside Out 2 sebagai salah satu film animasi dengan pembukaan penayangan terbaik sepanjang masa. Hal ini menunjukkan betapa menarik dan kuat cerita/narasi yang dimiliki oleh Inside Out 2. Tentu saja dengan keberhasilan ini, Pixar sekali lagi mengukuhkan posisinya sebagai raja animasi yang mampu menyentuh hati dan pikiran penonton dari segala usia, sekaligus menegaskan kontribusinya dalam mengangkat standar industri animasi secara keseluruhan.

— devieriana —

Ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading
1 2 3 24