Yakin Mau Jadi PNS?

 

“Keluarkan gadget kalian, dan coba tuliskan apa cita-cita kalian ketika masih SMA!”

Serentak, para CPNS yang sedang mengikuti kegiatan on boarding mengikuti perintah menteri mereka. Cita-cita semasa SMA dituliskan pada sebuah situs yang bisa diakses dari gawai masing-masing. Tak berapa lama, cita-cita itu tampil di layar proyektor lengkap dengan angka persentase. Hasilnya sedikit mencengangkan. Di antara sekian banyak bidang pekerjaan, PNS mendapat persentase paling besar.

Saya bertanya dalam hati, apakah jawaban mereka jujur atau hanya karena ditanya oleh seorang menteri? Apa iya, daya tarik PNS sebesar itu bagi kalangan remaja usia sekolah menengah sekarang? Apa benar, PNS menjadi pekerjaan impian millenials yang sedang —jika kata ini boleh dipakai secara longgar— idealis-idealisnya?

Entahlah.

Sedikit flashback ke masa SMA, saya sama sekali tidak pernah bercita-cita menjadi PNS. Terbersit pun tidak. Saya justru ingin berkarier sebagai bankir, public relation, atau psikolog. Walaupun akhirnya takdir berkata lain.

Tren memang bisa berubah kapan saja. Pekerjaan yang dulu diidolakan, bisa saja menjadi paling sedikit peminatnya. Sebaliknya, pekerjaan yang dulu dianggap remeh, justru menjadi karier impian anak muda.

***

Sejak terlibat sebagai panitia rekrutmen, saya jadi lebih paham karakter millenials ini. CPNS zaman sekarang tak bisa lagi diberi kurikulum pembekalan yang sama dengan angkatan sebelumnya. Era mereka berbeda jauh dengan generasi-generasi sebelumnya termasuk aneka problematika dan drama yang menyertainya.

Ada beberapa pengalaman unik mengenai CPNS millenials ini. Obrolan saya bersama Aji, misalnya. Sebelumnya, ia pernah menjadi karyawan di beberapa perusahaan swasta dengan core business berbeda-beda. Pekerjaan terakhirnya bahkan menjadi pengemudi angkutan online.

Long story short, sehari setelah menjalani program on boarding, ia mengirimkan pesan singkat melalui Whatsapp. Aji mengisyaratkan ketidaksanggupannya. Menjadi PNS menurutnya melelahkan, ditambah lagi jam kerja yang berantakan. Kalau boleh, ia ingin mengajukan mutasi ke daerah. Atau, kalau tidak boleh, lebih baik mengundurkan diri.

Selama saya menangani rekrutmen, rasanya baru kali ini ada CPNS yang belum sempat mendapat penugasan apa-apa, sudah mengeluhkan (bakal) pekerjaan. Ia galau setelah mendengar cerita dari senior-seniornya. Itulah yang membulatkan tekadnya untuk mundur.

Keesokan harinya, Aji minta izin bertemu. Mungkin supaya ngobrolnya lebih enak. Sebagai seorang kakak angkatan yang lebih dulu berkecimpung di dunia per-PNS-an, saya berbagi pengalaman sebisa saya. Saya berikan contoh-contoh umum dan sederhana sambil sesekali memberi motivasi dan semangat.

Saya berusaha membuka pikirannya bahwa pekerjaan apa pun pasti punya risiko. Ada enak dan enggaknya. Baik pegawai pemerintah maupun pekerja di sektor swasta, baik kantoran maupun freelancer. Harapan saya dari sharing session itu sederhana, ia mempertimbangkan ulang rencana pengunduran diri dan kembali fokus menjalani masa probation.

Rupanya obrolan dengan para senior di unit kerjanya merasuki otaknya lebih dalam ketimbang obrolan dengan saya. Sepanjang obrolan berlangsung, beberapa kali Aji menanyakan hal yang sama: apa saja syarat mutasi ke daerah, atau bagaimana prosedur pengunduran diri, alih-alih memperbaiki niat untuk kembali bekerja.

Alasan lain, Aji ingin menjaga ibunya di kampung halaman.

Lo, kalau memang niat awalnya ingin fokus merawat orang tua, kenapa sejak awal tidak mendaftar CPNS pemerintah daerah atau kementerian/lembaga yang memiliki kantor lebih dekat dengan domisili? Bukan kementerian/lembaga pusat yang sudah pasti bekerja di Jakarta?

Ia menambahkan passion-nya bukan di bidang pelayanan, apalagi keprotokolan. Aji lebih tertarik menjadi guru SD ketimbang petugas protokol. Ia mengaku tidak sanggup pulang larut malam, dinas ke luar kota atau luar negeri setiap hari, sehingga tak ada waktu berkumpul dengan keluarga. Omong-omong, ia belum berkeluarga. Usianya pun masih 25 tahun.

Kalau memang bercita-cita menjadi guru, kenapa tidak melamar formasi di Kemendikbud?

Ia menuturkan, rekrutmen CPNS tahun lalu tidak ada formasi di kementerian lain yang sesuai latar belakang pendidikannya. Ia lulusan D-3 Komunikasi.

Saya penasaran dengan semua alasan yang ia kemukakan, apa sih motivasinya melamar sebagai petugas protokol selain latar belakang pendidikan?

“Ya, karena dalam bayangan saya, jadi petugas protokol itu keren, Mbak…”

Duh!

Alasan lain yang tak kalah nggak nyambung adalah “saya juganggak menguasai public speaking”. Omong-omong, petugas protokol itu tidak pernah disyaratkan menguasai public speaking, lo! Justru seorang gurulah yang wajib punya skill public speaking.

“Ya, tapi kan cuma ngomong ke anak SD ini, Mbak. Lebih gampanglah. Beda kelas public speaking-nya dengan ke orang dewasa”, kilahnya.

Saya gemas meski akhirnya memaklumi. Apa pun itu, bagaimana pun itu, kalau pada dasarnya sudah tidak mau, enggan, tidak suka, alasan bisa dicari. Tak peduli logis atau tidak.

Beberapa CPNS lain yang sempat mengajukan surat pengunduran diri juga membuat alasan yang kurang masuk akal seperti ingin berkarier di swasta. Lo, kalau memang ingin kerja di swasta, kenapa ikut seleksi CPNS?

Ada juga yang beralasan akan mengikuti calon suami yang akan ditugaskan ke luar daerah. Eh, gimana? Calon suami? Calon?

Alasan yang tak kalah ajaib, seorang CPNS menyesal ikut seleksi karena sama saja membuka peluang korupsi. Menurutnya, PNS rentan dengan penyelewengan uang negara. Dia tak mau menjadi bagian penyelewengan itu.

Soal penyelewengan dan korupsi, sebenarnya, siapa saja berpeluang tanpa melihat status PNS atau karyawan swasta. Semua sejatinya tergantung iman, niat, kesempatan, dan kerja sama tim. Kalau memang ada niat, kesempatan bisa dicari, kerja sama bisa diupayakan, penyelewengan mungkin terjadi. Dan lagi, jika memang korupsi itu mudah, tentu banyak yang sudah kaya raya sejak masih CPNS.

***

Konon, millenials adalah generasi digital. Mereka lahir dan tumbuh besar dengan mengakrabi teknologi informasi. Jadi, kenapa sebelum melamar sebuah formasi pekerjaan, tidak googling dulu untuk mencari informasi? Setidaknya, supaya memiliki gambaran bagaimana bentuk, ritme, dan hal-hal teknis lain tentang formasi pekerjaan yang ingin dilamar.

Sebagai tambahan informasi, ketika seorang CPNS mengundurkan diri sebelum pemberkasan, panitia masih berhak mengajukan pengganti. Peserta dengan urutan satu tingkat di bawahnya masih punya peluang dimintakan Nomor Induk Pegawai (NIP) ke Badan Kepegawaian Negara. Namun, jika CPNS mundur setelah NIP jadi, formasi yang ia tinggalkan otomatis kosong sampai ada seleksi CPNS berikutnya. Itu pun kalau tak ada moratorium.

PNS memang tak selamanya enak. Ada kalanya mengalami hari sibuk penuh meeting seharian (baik internal maupun eksternal). Pulang larut malam karena deadline atau ada pekerjaan yang mendesak harus diselesaikan. Ada juga yang karena rumahnya jauh, pulang kemalaman, ia harus menginap di kantor. Pun tak sedikit yang terpaksa ngantor di hari libur karena tumpukan pekerjaan tak mungkin selesai di hari kerja.

Menjadi karyawan swasta pun saya kira sama. Bahkan pressure, standar, maupun target kerja di swasta bisa jadi lebih berat. Perusahaan dapat men-terminate-kan karyawan sewaktu-waktu karena performanya tak sesuai dengan harapan perusahaan. Sementara PNS, pemberhentiannya tidak semudah membalik telapak tangan karena rigiditas berbagai peraturan.

Tentu semua tergantung jenis pekerjaan dan unit kerja masing-masing. Tak semua atau setiap hari harus begitu juga. Intinya, pekerjaan apa pun pasti butuh kekuatan mental dan stamina. Itu yang belum tentu dimiliki oleh semua orang.

Ada baiknya pertimbangkan baik-baik sebelum melamar sebuah pekerjaan, sebijaksana mungkin. Termasuk memilih CPNS. Jangan melamar karena tren semata atau sekadar memenuhi permintaan keluarga. Setiap orang berhak menentukan masa depan karena diri sendirilah yang akan menjalani. Jika merasa enggan atau sangsi, lebih baik tidak mengikuti seleksi sejak awal.

Pilihlah pekerjaan yang sesuai bakat dan minat sehingga dapat bekerja dengan gembira, potensi diri jauh lebih tergali, dan karier berkembang maksimal. Kebanyakan orang berpikir, kesuksesan di tempat kerja akan membuat mereka bahagia. Padahal, saya yakin yang benar justru sebaliknya: kebahagiaan terhadap pekerjaanlah yang mengantar kita pada kesuksesan. Esensi sebuah pekerjaan sesungguhnya adalah ketika pekerjaan itu memberi nyawa bagi yang menjalani.

Jadi, yakin masih mau jadi PNS?

 

Continue Reading

Di Balik Topeng Media Sosial

media sosial

Media sosial adalah ruang pamer dan pintu gerbang yang sangat luas. Namun, media sosial juga ibarat pisau bermata dua. Ia dapat menjadi sahabat penuh manfaat atau musuh terjahat.

Bagi yang mampu mengelola akun media sosial dengan baik, dunia maya bisa jadi panggung yang menguntungkan. Semua orang bisa menjadi idola tanpa harus bersusah payah memopulerkan diri, mengikuti audisi, ataujob interview. Jika beruntung, panggung mereka bahkan bisa ditonton oleh banyak orang. Bonusnya, uang, barang, paket liburan, dan lainnya akan mengikuti.

Meski begitu, tak semua orang antusias memiliki akun media sosial. Rico, misalnya. Karyawan swasta di bilangan Sudirman ini memilih tidak bermain media sosial apa pun. Meski setiap platform media sosial memberi hak bagi pemilik akun untuk mengendalikan jenis informasi yang bisa dilihat oleh orang lain, tetap saja pria usia 30 tahun itu tidak tertarik.

“Aku nggak mau media sosial memperbudak hidupku, tukas lelaki berkacamata itu, orang akan selalu terpancing mengunggah apa pun yang diminta oleh media sosial. Misalnya, Facebook dengan whats on your mind-nya, Twitter dengan whats happening-nya, atau Instagram yang meminta kita mengunggah foto ini itu, disertai dengan caption tertentu.”

Berbeda dengan Anindita, mahasiswa yang pernah memiliki akun di sejumlah platform media sosial ini berkomentar, “Sebenarnya, bermain sosmed itu asyik-asyik saja selama nggak sampai kecanduan. Dulu, aku punya teman yang sangat eksis di sosmed. Awalnya sih dia menikmati popularitas itu. Tapi semakin dia dikenal orang, semakin dia dianggap baik, pintar, bijaksana, dan menyenangkan, semakin dia terjebak dalam pencitraan yang melelahkan.”

Kata-kata mutiara memang banyak bertebaran di media sosial, atau kalimat-kalimat bijak dan inspiratif yang dapat memotivasi orang lain. Anindita berpendapat, ketika seseorang terlalu sempurna di media sosial, yang terlihat justru bukanlah dirinya sendiri melainkan sebuah citra atau avatar.

“Sebagai manusia, kita pasti punya sisi baik dan buruk, kan? Dia juga manusia biasa yang bisa capek, sebel, galau, dan ngomel-ngomel juga kalau lagi marah. Sampai akhirnya dia sadar, jenuh dengan semua pencitraan yang dibangunnya itu. Ada kerinduan menjadi diri sendiri”, tuturnya.

2015 lalu, kasus serupa terjadi pada selebgram remaja asal Australia, Essena Oneill. Ia bisa dikatakan memiliki segalanya, terutama dari hasil mempromosikan/mereviewproduk di Youtube atau Instagram. Namun, Essena yang memiliki 1 juta pengikut di Instagram, 265.000 pengikut di Youtube, dan 60.000 pengikut di Snapchat itu mengaku segenap popularitas dan barang-barangbranded yang dia miliki ternyata tak membuat bahagia.

Dia pun memutuskan berhenti dari ingar bingar media sosial dan kembali menjadi diri sendiri. Essena berterus terang kepada para fans tentang kisah di balik setiap fotonya. Foto-foto sempurna itu sejatinya hasil bidikan beratus-ratus kali dengan pengeditan super lama. Hal itu tentu saja menuai pro dan kontra.

Puncaknya 27 Oktober 2015, dia menghapus lebih dari 2.000 foto di Instagram sebagai upaya melawan delusi dan adiksi terhadap media sosial. Keputusan itu diambil karena Essena merasa hidupnya selama ini terlalu dikonsumsi oleh media sosial. Dia seolah hanya hidup dalam guliran linimasa dunia dua dimensi.

Sama seperti para social media influencer lain, mudah bagi Essena untuk memperolehfollowers baru, atau mendapat likesdi setiap foto yang dia unggah. Namun, pada akhirnya, sesuatu yang mampu membuatnya bahagia adalah ketika dia bisa menginspirasi orang lain untuk membuat perubahan positif atas hidup. Bukan sekadar mendorong mereka membeli barang-barang baru sebagaimana yang diaendorse.

“Di Instagram ga ada orang miskin. Di Twitter ga ada orang bodoh. Di Path ga ada orang susah. Di Facebook semua punya temen. Di hati, kosong”, kata akun @radenrauf di Twitter. Kalimat tersebut seolah mewakili pemikiran banyak warganet. Saat tulisan ini dibuat, cuitan tersebut telah di-retweet 1800 kali.

Foto-foto yang ditampilkan di Instagram memang bukan foto yang biasa saja. Semua tampak sempurna dan istimewa. Yang tak pernah kita tahu di balik foto-foto itu adalah bagaimana kehidupan pemilik foto yang sebenarnya. Sama halnya dengan orang-orang yang berusaha menginspirasi dan memberi semangat kepada orang lain. Di saat yang sama, bisa saja mereka sendiri sedang butuh pencerahan, inspirasi, atau suntikan semangat.

Dan sebaliknya, orang-orang yang hidup biasa saja, dengan penampilan yang datar-datar saja, boleh jadi justru pemilik kebahagiaan yang seutuhnya: ikatan yang kuat dengan keluarga dan realitas sosial, serta menjadi diri sendiri tanpa sibuk berpura-pura menjadi seseorang yang berbeda.

Sekalipun sangat mudah menciptakan kesan hidup yang ideal melalui berbagai aplikasi dan filter yang impresif, bukan berarti media sosial bisa dijadikan tolok ukur kebahagiaan seseorang, pengakuan atas sesuatu hal, atau mendefinisikan penggunanya.

Tujuan media sosial sejatinya, selain sebagai alat untuk berkomunikasi dan mengekspresikan diri, adalah sebagaisneak peek. Penggalan hidup sang pengguna yang dapat menjadi indikator kepribadian pun status sosial ekonomi. Media sosial dapat menjadi salah satu bagian daripersonal branding yang sayang jika tidak dimanfaatkan sama sekali di era yang makin kompetitif ini. Bagi orang-orang berjiwa enterpreneur, publisitas danexposure memiliki peran yang sangat bagus jika dimaksimalkan.

Citra media dapat menjadi bahan makanan bagi ego manusia. Itulah mengapa terlalu mendalami peran dalam sandiwara pencitraan hanya demi mendulang jumlahfollowers, likes, serta comments/pujian yang sebenarnya tidak nyata, bisa berbahaya bagi kesehatan jiwa. Ada saatnya kita akan letih berpura-pura dan ingin tampil apa adanya.

Sebelum nafsu dan emosi mengambil kendali atas ujung jari dan mengunggah sisi rapuh dari diri kita, akal sehat harus menghentikannya agar harga diri tetap terjaga. Karena di antara ketenaran dan kemurnian, sesungguhnya cuma bersekat tipis.

 

[devieriana]

 

tulisan yang sama juga di-publish di Birokreasi

 

ilustrasi dipinjam dari sini

 

Continue Reading