Beberapa hari yang lalu, saya menemukan sebuah komentar panjang di salah satu tulisan lama saya, di blog yang lama. Komennya bukan tentang isi postingan sih, tapi justru tentang ilustrasi yang saya gunakan di postingan itu. Menurut beliau, ilustrasi yang ada dalam tulisan saya itu adalah foto miliknya ketika ada pementasan tari di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada tahun 2008. Yang membuat sedikit kurang nyaman adalah kata-kata:
“Saya tahu ini adalah postingan lama tapi soal tata krama penggunaan karya orang lain rasanya perlu diperhatikan. Saya hanya kecewa saja dan mari kita belajar dari hal ini.”
Jadi, saya dianggap tidak punya tata krama karena tidak meminta izin pada beliau dan langsung mempergunakan gambar tersebut di blog saya yang abal-abal itu, meskipun saya sudah menyertakan link ke flickr beliau.
Menanggapi statement itu saya jadi gamang sendiri. Mau marah kok ya saya sama sekali tidak punya energi untuk marah, tapi kalau saya diam saja kok sepertinya mengiyakan kalau saya tidak paham etika berinternet 🙁
Jadi, ada sebuah postingan di Kompasiana yang diunggah oleh seorang blogger. Nah, kebetulan salah satu ilustrasi di sana mempergunakan ilustrasi yang juga (pernah) saya pergunakan di blog saya untuk tulisan dengan topik tarian. Bedanya adalah, saya menyertakan link dari mana gambar itu berasal (yang gambarnya sudah di-remove oleh pemiliknya) , yaitu di flicker milik siapa waktu itu saya lupa karena sudah lama sekali (dan baru saya ketahui ketika pemilik aslinya komplain kalau itu adalah miliknya) . Credit itu saya letakkan di bagian paling bawah postingan saya. Sedangkan penulis di Kompasiana tersebut menyertakan link blog saya sebagai sumber ilustrasi.
Sebenarnya sama-sama memperhatikan etika memposting tulisan dan gambar ya, tapi ada sesuatu yang missed disini hingga menyebabkan saya disebut sebagai orang yang tidak tahu tata krama penggunaan karya orang lain, walaupun sudah menyertakan backlink dari mana saya ambil gambarnya pertama kali. Saya tidak menyalahkan sepenuhnya si penulis di Kompasiana, hanya saja dia kurang jeli melihat bahwa sebenarnya ada sumber awal gambar yang saya jadikan ilustrasi, yang seharusnya dia juga kutip sebagai credit. Jadi bukan blog saya yang langsung di-refer. Tapi justru disitulah kesalahpahaman ini bermula. Kalau saya dianggap salah karena tidak meminta izin kepada pemilik gambar aslinya, baiklah saya akan terima. Saya sudah meminta maaf langsung ke pemiliknya, dan dengan inisiatif saya sendiri saya hapus gambar tersebut dari blog saya.
Di dunia blogosphere memang umur blog saya terbilang masih sangat muda (jika dibandingkan dengan yang sudah ngeblog sejak tahun 1996). Saya juga terbilang blogger baru, karena saya baru ngeblog sekitar awal 2007, jadi baru 5 tahun. Selama 5 tahun ngeblog itu apa ya lantas saya hanya diam pasif tidak mempelajari netiket? Apakah saya lantas grubyak-grubyuk asal bikin tulisan dan klik publish tanpa mempedulikan etika penulisan blog?
Selama kurun waktu 5 tahun itu tulisan saya bertransformasi dan mengalami perombakan di sana-sini. Dari yang dulunya belum terarah, sedikit demi sedikit mulai saya arahkan. Yang dulu tata bahasanya kacau balau, pelan-pelan saya benahi. Yang dulunya saya tidak tahu bagaimana etika penulisan blog, sedikit demi sedikit saya pelajari dan saya up date. Intinya sampai sekarang saya masih dalam proses belajar.
Koreksi jika saya salah, sependek yang saya ketahui, jika memang kita ingin mengutip pernyataan orang lain dan atau ingin mempergunakan karya orang lain sebagai ilustrasi di blog kita, sebaiknya minimal mencantumkan backlink ke sumber asal, atau bisa juga dengan meminta izin langsung kepada pemilik tulisan/gambar aslinya. Bukan apa-apa, saya juga pernah mengalami tulisan di blog saya di-copy paste oleh orang lain tanpa menyebutkan sumber dari mana dia mengambil kata-kata di blognya, jangankan izin, ngelink juga enggak (saya juga heran, lha wong blog abal-abal kaya gitu kok ya di-copy paste). Berhubung saya tidak ingin hal yang sama terjadi pada saya, maka saya juga berusaha memperlakukan hal yang sama kepada karya orang lain. Kalau tidak meminta izin secara langsung, alternatifnya/minimal dengan mencantumkan credit link dari mana sumbernya. Jadi, kalau saya dibilang nggak punya etika atau tata krama mengunggah postingan di blog kok ya agak gimana, ya 😕 Tapi ya sudahlah…
Saya memang hampir selalu mempergunakan ilustrasi dalam setiap postingan saya. Entah itu hasil dokumentasi pribadi, atau mengambilnya dari mesin pencari, Google. Kita pasti sadar bahwa sebuah gambar/postingan yang sudah diunggah via internet dan telah tersimpan/terbaca dalam database google akan dengan mudah ditemukan oleh kita sebagai pengguna internet, kecuali memang postingan itu sengaja tidak dibuka untuk umum, ya (private setting). Soal nanti gambar/postingan yang kita unggah itu dimanfaatkan seperti apa oleh penggunanya ya itu sudah di luar batas kemampuan kita. Disinilah diperlukan kesadaran akan pentingnya etika berinternet.
Utamanya untuk gambar, terjadinya kemungkinan duplikasi juga sangat besar. Jika sudah terjadi hal semacam ini, kita hampir tidak bisa memastikan dari mana sumber asal gambar tersebut, dan kemana kita harus meminta izin menggunakan gambar tersebut untuk diunggah ke dalam website kita. Bisa saja gambar yang sama kita temui dari satu website ke website yang lain.
Itulah sebabnya saya lebih memilih menggunakan cara paling sederhana dengan menyertakan backlink dari mana saya mengambil gambar tersebut. Tapi setelah kejadian kemarin saya jadi mendapatkan pelajaran bahwa terkadang menyertakan backlink saja tidak cukup, karena preferensi pemberian izin terhadap penggunaan karya pribadi yang akan dipergunakan oleh orang lain bisa saja berbeda bagi masing-masing orang. Ada yang cukup menyertakan backlink, ada juga yang selain backlink juga wajib izin dari pemilik aslinya. Saya jadi membayangkan, gimana ya kalau aturan itu dipukul rata secara zaakelijk, dan ternyata pemilik sumber aslinya sudah meninggal dunia. Kemana saya harus meminta izin padahal butuh buat ilustrasi di blog ini aja? Masa harus ke kuburannya? Mending saya nggak usah pakai ilustrasi deh. Ini misalnyaa… 😀
Kalau saya pribadi, selama itu hanya untuk postingan di blog semata, bukan untuk tujuan komersil, apalagi untuk tindakan negatif/kriminal, saya masih memperbolehkan orang lain mengutip tulisan asli saya, atau meminjam dokumentasi pribadi yang saya unggah ke internet, dengan menyertakan sumber dari mana tulisan atau gambar itu berasal. Tidak zaakelijk harus meminta izin kepada saya, walaupun saya juga sudah menyediakan contact page yang bisa dihubungi kapan saja.
Jadi, soal apakah hasil karya yang sudah kita unggah di internet itu akan bermanfaat atau tidak bagi orang lain, atau apakah nantinya akan dipergunakan secara positif atau negatif semua terpulang pada niat penggunanya, karena kita tidak mungkin mengawasi pergerakan dan aktivitas yang dilakukan orang lain ke web kita selama 24 jam penuh. Sekali lagi, jangan bosan-bosan untuk tetap berada dalam koridor etika berinternet. Itu sih menurut saya.
Bagaimana menurut kalian? Let’s discuss! 🙂
[devieriana]
15 Comments
Makanya, kalo saya nampilkan gambar asli buatan saya, saya akan berikan watermark di gambar tersebut. 🙂
Memang sebuah postingan akan lebih menrik jika disertai dengan ilustrasi foto. Dan kadang untuk mendapatkannya dengan menacri di google. Di sana disediakan banyak foto, tidak ada sumber yg jelas foto itu milik siapa, hanya link saja rasanya tidak cukup. Karena memang tentu ada orang yg membuat/mengambil/memotret. Saya sendiri juga masih belajar, untuk beretika dlm blogging. karena tidak ada sekolahnya, kalau masih salah itu hal yg wajarkan. Selain itu bagi pemiliki foto yang ingin melindungi karyanya pakai saja copyrigt yg mencantumkan namanya di dalam foto itu, istilahnya apa? larkmark?
smoga hal di atas tak terulang lagi, ya kembali ke judul
anggaplah itu sebuah ‘teguran’
makanya saya akhir2 ini akhirnya memilih ilustrasi dari hasil jepretan sendiri
ya itung-itung pamer dikit *eh
aku juga biasanya cuma kasih backlink. kebanyakan kita cari ilustrasi ya dengan search di flickr, photobucket, atau malah google. kalau kebetulan sumber gambarnya adl blog, aku tinggalkan komen bahwa aku pinjam gambarnya. meskipun belum tentu juga diijinkan…
mungkin memang sebaiknya kalau pakai ilustrasi ya… gambar milik kita sendiri. atau yang jelas diijinkan oleh pemilik gambar…
ooh jadi begini: Mr.Day punya foto, dia aplot ke flickr, trus mbak Dev punya tulisan di blog lama. Nah di blog lama ini mba Dev nempelin foto dengan backlink ke flickrnya Mr.Day.
Lalu ada kompasianaer bikin tulisan, dia juga nempel foto itu. Karena mbak Dev pernah nggrundel masalah copast, tu kompasianaer nyantumin nama blog mbak Dev di postingannya. Padahal tuh foto bukan punya mbak Dev. Di sini sebenarnya awal kenggrundelan dari Mr.Day yg kemudian meremove fotonya di flickr terbesut. Coba si Kompasianaer teliti dulu sebelum nempel foto, atau minimal ngeklik foto itu dulu, pasti dia gak bakal keliru nyantumin sourcenya. Pasti si MR.Day gak nggrundel, sepertinya begitu.
Saya pernah kejadian sama persis dengan Mr.Day, tapi saya nggak relanya karena foto saya dijadikan bahan ngiklanin dagangan. Saya sih oke2 saja foto saya dipake, karena emang dasarnya ngeblog kita SHARING kan?
Kebetulan aja yang pake foto saya selebblog dan dia punya usaha jualan T-Shirt. Sebut saja namanya @pandji dan @mainbasket. Sama kayak mbak dev, aku nggrundelnya juga di postingan berjudul NGGRUNDEL (sedang disuspend), trus linknya kumention mereka. Mereka minta maaf dan saya dikasi kaos sebagai tanda maaf. Saya sih urusan foto free, asal jgn sampai yg ngambil dapat keuntungan rupiah, dollar atau mata uang surga lainnya sementara saya sendiri tidak. “Lu dapet duwek gua kudu entuk duit. Gue dum dum gratis, lu pisan harus nggratisno.”
asline mau aku kate komen titik mbak, tapi mumpung blogku disaspen dadine yo rodok akeh.
Hahaha… Ya itulah pertanda bahwa etika kita terhadap hasil karya orang lain memang masih agak rendah. Makanya sampai harus ada undang-undang HAKI yang sedemikian ketat.
Kita masih terlalu mudah untuk ‘mengambil’ hak milik orang lain.
Tapi kalau memang seperti mbak Devi ini, mestinya juga udah mulai berusaha untuk tidak sekedar menyalin saja.
BTW, apakah semua foto (yang tidak ditulis sumbernya) yang di blog ini juga hasil foto pribadi mbak Devi?
Disclaimer: komen saya ini rada ‘melenceng’ dari topik utama, tapi rasanya gatal pengen dikeluarkan.
Menurut saya, masih baik Mbak Devi itu masih niat ngasi back link ke sumber gambarnya itu. Lah… tempo hari pernah liat liat buku travel guide (bahasa Indonesia, karangan orang Indonesia… hiks) kalau tidak salah tentang kota Solo atau apa gitu. Ya… bukunya sih cukup bagus tulisannya, dan gambar2nya kayak lumayan gitu… laaah… gambarnya SEMUA cuma dikasi caption: Credit http://www.flickr.com.
Boro boro ijin dari yg punya gambar, nama orang yang upload foto tersebut ke Flickr nya juga gak ada! Dan ini adalah dari buku cetakan yang dijual di Gramedia, berarti kan penulisnya menggunakan gambar2 tersebut untuk kegiatan komersil, dan bukan pribadi, kan?
Paling dikit, harus ada kredit buat yang upload gambar itu ke Flickr dong.
Dan paling banyak, bahkan mestinya itu yg punya gambar itu berhak mendapatkan bagian dari hasil penjualan buku.
*geleng geleng.
yah… tapi berhubung waktu itu cuma sekedar iseng lewat di Gramedia, tidak sempat dicatat naman pengarang, buku, dll dsb. Tapi kejadiannya saja yang bener bener tidak terhapus dari ingatan.
Kesimpulannya? ya… saya menghargai karena Mbak Devi sudah berusaha memberi kredit pada yang punya gambar. kalo ternyata salah, ya.. kan sudah berusaha diperbaiki kesalahannya. Dan salahnya pun.. gak sampe salah gimana banget gitu lho.
*just hoping that more people will get into the same spirit of giving credit where its due.
@Yoan: saya menyebut Mbak atau Mas ini? 🙂
Sekali lagi, kesalahpahaman terjadi, hehehee. Mohon disimak, saya sudah bilang di blog lama saya:
Itu artinya apa? Saya (terlanjur) mem-publish postingan ini pukul 16.00, pas lagi di kantor, jauh sebelum ada komentar klarifikasi Mas Hari. Komentar beliau baru saya terima di komen blog saya pukul 19.44, jadi kurang lebih 4 jam setelah postingan itu ter-publish dan dibaca follower blog saya, Mbak/Mas. Jadi kalau sudah ada komentar ini itu ya gimana? Perlukah postingan ini saya hapus atau seharusnya saya tadi tidak perlu memberi tahu Mas Hari kalau ada postingan ini?
Alasan mengapa saya bikin postingan ini, jujur karena saya kepikiran :D. Oh ternyata saya (masih) kurang tepat ya memperlakukan karya orang lain. Ternyata menyertakan backlink saja tidak cukup, ya. Ada yang tetap harus meminta izin dari pemiliknya. Gitu lho Mbak/Mas. Bukan itu saja, saya sekaligus ingin berbagi pengalaman (bukan meminta pembelaan) “eh ini lho saya ada kasus begini, kalau menurut saya begini, menurutmu bagaimana”. Bukan bermaksud mencari pembenaran ya, yang berlaku secara umum di dunia blogosphere selama ini ya seperti yang sudah saya lakukan selama ini, Mbak/Mas.
Kalau soal itu saya ter-link ke link palsu ya sekali lagi mohon maaf, itu sama sekali di luar jangkauan saya. Sekali lagi niat saya kan bukan untuk mengakui gambar itu sebagai milik saya, ya. Saya tetap beritikad baik dengan menyertakan link. Kalau misal ternyata terlink ke link palsu ya… apakah itu juga salah saya, Mbak/Mas? Lagi pula tahun segitu belum ada sistem pencarian lewat gambar seperti sekarang. Yang tinggal kita copy paste, langsung ketahuan sumbernya dari mana atau ada berapa banyak gambar yang sama.
Yang dipermasalahkan dari awal kan mengapa saya tidak kontak Mas Hari untuk meminta izin kan, ya? Gimana saya mau kontak pemilik gambar kalau linknya cuma tampilan gambar saja tanpa ada kontak yang saya bisa hubungi? Kalau terlink ke link palsu berarti waktu itu ada beberapa website yang menggunakan gambar Mas Hari, dong? Toh dengan inisiatif saya sendiri saya sudah lepas gambar yang dipermasalahkan itu. Soal adanya postingan ini kan 4 jam sebelum ada komentar konfirmasi dari Mas Hari. Gitu lho :). Soal komentar para komentator yang sudah terlanjur masuk ya sudah biarkan saja.
Saya yakin Mbak/Mas Yoan paham maksud saya. Saya bikin postingan bukan untuk cari pembenaran, saya cuma bermaksud sharing kasus yang saya alami. Saya juga yakin Mbak/Mas Yoan nggak cuma sekadar lewat. Tapi, terima kasih sudah menyempatkan diri untuk membaca blog abal-abal saya ini. Salam saya buat Mas Hari yang mungkin sudah mereferensikan link tulisan ini pada Mbak/Mas Yoan 🙂
Setuju sih kalau menyertakan backlink udah cukup. Tapi kalau bisa berusaha mengontak yg bersangkutan kan akan jauh lebih baik dan bersahaja (jangan2 habis ini muncul tulisan kalo mbak Devi dianggap tidak bersahaja neh hehehe…)
Kalau mbak Devi memperbolehkan orang lain mengutip asli tulisan mbak Devi, ya itu kan mbak Devi… Orang lain kan mungkin bisa punya kepentingan dan pendapat yang berbeda.
Nah kalau pemiliknya sudah meninggal dunia, silakan lihat UU HAKI. Disana diatur secara jelas.
Internet berarti publikasi tidak terbatas, tapi tetap harus punya etika (nah entar muncul tulisan lagi kalo dikira nggak beretika lagi hehehe…)
Prinsip saya, silakan keluarkan kamera sendiri dan berusahalah memotret sendiri.
Untuk link yang disertakan (http://l.yimg.com/g/images/photo_unavailable.gif), sebenarnya secara teknis itu mestinya bukan link aslinya. Karena setahu saya pemilik foto memposting di Flickr, bukan di yimg.com. Hati-hati dengan ‘web palsu yang membantu mencari materi di internet’. (Maap, saya juga bukan ahlinya di internet).
Dan satu lagi yang agak aneh menurut saya: di beberapa komentar dan tulisan sudah jelas kalau kelihatannya sudah meminta maaf dan saling memaafkan. Tapi ternyata muncul juga tulisan ini yang seolah-olah menjadi pembenaran pribadi hehehe…
Jangan-jangan pemilik foto juga udah membuat tulisan yg ‘membela dirinya’. Nah kalo udah gini tinggal banyak-banyakan pendukung dari komentar aja nih… Yang paling banyak yang menang hehehe…
Anggaplah ini semua pembelajaran: bahwa ternyata tidak semua manusia itu seperti yang kita inginkan.
(Maaf saya nggak sengaja nyemplung disini karena kebetulan lewat)
sebagai orang awam daku merasa galau…. 😐
itu bapak2ny minta dipukpuk dulu sama saya mungkin, kalau masih celewet…
setuju pendapat kang gajahpesing..hehe..saya masih muda dalam dunia blog juga kurang paham aturan yang pasti..hehehe tetep semangat ngeblog ya mbak :p
internet kan luas jangkauannya, dengan memberikan credit link sebenarnya sudah mewakili permintaan izin, mungkin orang yang upload fotonya belum memahami benar akan kalimat “Think Before Posting” 😀
Sejauh yang saya tahu emang backlink itu sudah cukup sih, tapi kalo akhirnya yang punya merasa keberatan dan menuntut agar si pengguna gambar meminta izin kepadanya ya mungkin bener kata mbak devi, preferensi. Tapi tapi tapiiii…. kalo dianggap ga beretikaaa… haduuuhhh… pak paknya lebaii deh iiihh… 😐 lagian di sumber yg diambil mbk devi ada tulisannya “photo by xxx, alamat di xxx, untuk penggunaan lebih lanjut harap menghubungi xxx” ga sih? Kalo ga ya bener dong cukup kasi backlink… Huwuuuum….
Agak problem juga ya Mbak, dan mungkin itu juga yang menyebabkan postingan ini sekarang ga ada gambar ilustrasinya. Mungkin dengan menambahkan watermark pada image bisa menjadi alternatif solusi. Watermark tersebut berisi informasi sumber gambarnya.
Tidak perlu jauh ke UU HaKI sepertinya ya, yang membedakan antara pelanggaran hak cipta, khususnya entah itu mengutip atau menampilkan sebuah karya orang lain dalam bentuk foto misalnya, adalah pecantuman sumber/link dari bahan yang kita gunakan. Itu sudah!