Like a Box of Chocolates

Disclaimer : Tulisan ini bukan bermaksud menggurui. Disarikan dari hasil perenungan, diskusi, dan curhat beberapa galauers tentang pasangan hidup. Postingan ini saya dedikasikan untuk semua masyarakat Republik Jomblo Happy Indonesia. I love you, Guys! :-*

———-
“Life is like a box of chocolates, you never know what your gonna get..”
— Forest Gump —
Beberapa waktu yang lalu saya dikejutkan oleh sebuah berita bahagia dari salah seorang sahabat yang setelah berkali-kali gagal dalam urusan percintaan namun akhirnya beberapa hari lagi akan segera melangsungkan pernikahan. Terharu sekaligus bahagia. Untuk pertama kalinya saya merasakan perasaan seemosional ini ketika mendengar seseorang yang berniat akan mengakhiri masa lajang. Sahabat saya ini termasuk istimewa. Dia baru menemukan jodoh di usia yang hampir masuk kepala lima. Sahabat terbaik yang dulu sering memercayakan kisah cintanya pada saya, baik suka, duka, jatuh cinta, atau ketika patah hati.

Uniknya kami belum pernah sekalipun bertemu. Pertemanan kami yang hampir berjalan 4 tahun itu berjalan sebagai kisah persahabatan murni. Tidak melibatkan perasaan sama sekali. Karena kami berdua memang merasa lebih nyaman dengan status hubungan yang seperti ini. Usianya yang terpaut jauh dari saya membuat saya juga nyaman bercerita tentang apa saja, seperti bercerita pada seorang kakak. Begitu pun sebaliknya. Dia sangat menghargai saya, tidak pernah sekalipun menganggap saya anak bawang yang opininya bisa saja diragukan kedewasaannya.

Saya sadar bahwa mungkin saya tidak selalu mampu memberikan solusi terbaik untuknya, hanya beberapa saran yang menurut saya masuk akal saja. Soal nanti akan diterapkan beneran dalam pengambilan keputusan atau tidak ya terserah dia. Kan yang menjalani hidup dia juga 😀

Nah, ngomong-ngomong masalah cinta & pasangan hidup memang selalu menjadi tema yang tidak akan pernah habis untuk dibahas, ya? Selalu saja ada energi untuk menuliskannya dalam berbagai versi & bahasa. Kita nyata diciptakan berpasang-pasangan namun kita tidak pernah tahu kapan & dimana akan bertemu dengan pasangan hidup kita.

Kita —utamanya para perempuan— semasa kecil pasti punya dong gambaran tentang sosok ideal seorang pasangan hidup. Nanti pengennya punya pasangan yang tipenya begini, begini, begini. Ingin yang sifatnya bla, bla, bla, bla. Secara fisik begini, begini, begini, dan sebagainya. Yang namanya keinginan ingin memiliki pasangan hidup yang sempurna itu wajar saja, bukan? Saya dulu juga begitu. Menikah kan niatnya cuma sekali seumur hidup, dan kalau bisa dapat yang sempurna sekalian. Begitu, kan? Iya, idealnya..

Saya punya beberapa sahabat perempuan yang kehidupannya nyaris sempurna. Hampir semua dia miliki. Pribadi yang hangat & menyenangkan, karir yang bagus, gaji dalam digit rupiah diatas enam, keluarga yang sangat mendukung, dan dikelilingi sahabat-sahabat yang menyenangkan. Hanya satu yang dia belum miliki, pria yang tepat sebagai pasangan hidup. Definisi pria yang tepat disini bisa disimplifikasi sebagai pria single, tidak sedang terikat hubungan & pernikahan dengan siapapun, mapan (setidaknya dia punya pekerjaan sehingga mampu menafkahi keluarga kelak, walaupun istri juga sebagai wanita bekerja), dan punya kepribadian yang baik. Soal wajah mungkin bisa nomor sekianlah, ya. Tapi misalnya Tuhan berbaik hati mau ngasih yang seganteng Bradley Cooper sih disyukuri (banget). Ah, ini sih saya juga mau! ;))

Siapa sih yang tidak ingin menemukan pasangan hidup sesegera mungkin? Kalau ada yang bilang “enggak” bisa kita artikan masih “pending”. Tapi bukan berarti “nggak mau”, kan? Nah, masalahnya kan jodoh itu tidak bisa dibeli layaknya kita ingin beli tomat di pasar. Tidak bisa asal comot sesuka hati, mana yang kelihatan matang lalu kita beli dan bawa pulang. Nanti bisa kita langsung makan atau dibikin jus. Hidup juga bukan jalan tol yang mulus dan bebas hambatan, dong? Begitu pula halnya proses dalam menemukan jodoh.

Kita tidak pernah mengira “path” apa yang sedang kita jalani. Urusan jodoh selalu jadi misteri terbesar Tuhan yang tidak pernah bisa ditebak kapan datangnya, layaknya takdir hidup & matinya manusia. Ada yang sudah ngoyo banget, tapi jodoh yang diharapkan belum datang juga (padahal usia sudah “layak” berkeluarga). Tapi ada juga yang santai-santai saja eh jodoh malah datang sendiri. Unik, ya? 🙂

Kalau bicara masalah usia, idealnya sebuah pernikahan bukanlah sebuah hal yang dilakukan karena emosi, sekedar pantes-pantesan, atau karena tuntutan usia. Menikah, selain masalah hati dan kesiapan mental, juga masalah waktu. Logikanya, seberapa ngoyonya kita kalau Yang Diatas belum bilang “ya”, ya kita belum akan bertemu dengan si dia. Tapi kalau Tuhan sudah mengizinkan, “voila!”, yakin deh, segala rencana akan dimuluskan oleh-Nya.

Saya juga punya sahabat yang sudah pacaran hampir 7–8 tahun lamanya, sudah berniat akan melanjutkan hubungan serius ke jenjang pernikahan. Namun sayangnya, menjelang acara lamaran salah satu diantara mereka justru memutuskan pertunangan dan memilih untuk menikah dengan orang lain :(. Ada juga kisah seorang sahabat yang sudah menanti pasangan hidup sedemikian lama, namun ketika kemudian hari dipertemukan dengan “the prince charming” ternyata sifatnya tak lebih baik dari tokoh Ja’far ( penasihat sekaligus penyihir jahat di film Aladdin) :|.

“Tapi bete kali Dev kalau ditanyain melulu soal kapan gue nikah? Perasaan baru kemarin deh ketemu di acara kondangan, masa pas ketemu lagi di acara reunian dia nanya beginian lagi, sih?:((“

Oh, ya udah berarti yang nanya emang nggak ada kerjaan, sih. Gampar aja. sih! ;)). Euh, jadi inget sama Bude saya deh kalau begini, bedanya sekarang saya lagi sering dikejar-kejar sama pertanyaan, “kamu sudah hamil lagi, belum?” :|. Arrggh! *makan kuaci biji kedondong*. Curhat! :))

Saya juga sudah pernah merasakan betapa tidak nyamannya ketika dihujani teror pertanyaan “kapan menikah?”, “sudah ada calonnya, kan?”, dll. Capek memang kalau didengerin, ya. Tapi ya itulah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa kita memang hidup diantara kultur masyarakat yang “terlalu peduli dengan urusan pribadi orang lain”. Tapi kalau mau berpikir posistif nih, mungkin tujuan mereka tanya ini itu tentang “the kapan things” itu sebenarnya untuk menunjukkan saking sayangnya mereka sama kita. Oh, bukan? Ya sudah, anggap saja karena mereka ingin jadi wedding organizer, penyandang dana, atau penyedia katering. Nah, siapa tahu kan? :-”

Nah, buat yang sedang galau menanti jodoh yang tak kunjung datang, percaya deh.. someday, somehow, somewhere, you’ll find your life mate soon! Banyak orang yang sudah menikah saja belum tentu bahagia (even they pretend to be happy). So, as long as you are happy with your own life, surrounded by fun-loving friends, you’ll be just fine. Jangan menikah hanya karena desakan orang lain, masalah usia, atau jabatan yang sudah dimiliki, yang sehingga justru akan membuat kita —terutama para perempuan— membuat pilihan yang salah. Juga jangan pernah memutuskan untuk menikah karena orang lain sudah menikah lebih dulu. Menikah itu bukan masalah kalah atau menang diantara teman, siapa yang bakal menikah atau dapat jodoh duluan. Nikmati saja semua alur proses pencarian itu, tidak ada salahnya kok untuk berhati-hati. Kan kita juga inginnya hanya menikah sekali untuk seumur hidup ya. Boleh kok agak keluar sedikit dari lingkungan yang ada, siapa tahu “si dia” itu justru nyempil di tempat-tempat yang tidak pernah kita duga sekalipun ;).

“Aduh, tapi kalau nggak ada pacar itu hidup terasa hampa, tau! Masa yang lain pacaran, gue galau aja tiap malam minggu? 🙁 *ngemut sofa*

Eh, pernah dengar kisah Margareth Maxwell istri John C Maxwell seorang pembicara & pakar kepemimpinan yang memberikan statement bahwa suaminya tidak pernah memberikan kebahagiaan yang dia cari, belum? Bayangkan nih ya, seorang pakar, pembicara, yang sering “menguliahi” orang tentang hidup, kebahagiaan, kepribadian, dan kepemimpinan, ternyata dia tidak cukup ahli untuk memberikan kebahagiaan kepada istrinya sendiri. Oh, no! 😮

Namun apa jawaban sebenarnya dari Margareth Maxwell ini?

“Tidak ada seorang pun di dunia ini yang bertanggung jawab atas kebahagiaanku selain diriku sendiri”
Jadi intinya, tidak ada orang lain yang bisa membuat kita bahagia, baik itu pasangan hidup kita, sahabat kita, hobi, maupun harta/uang kita. Pola pikir kitalah yang menentukan apakah kita bahagia atau tidak, bukan faktor luar. Kebahagiaan yang hakiki itu sebenarnya ada dalam diri kita sendiri kok.

Pernah nonton film He’s Just Not That Into You? Ada sebuah pesan moral yang saya dapatkan ketika menonton film itu. Kebahagiaan bukan hanya tergantung pada status apakah kita “menikah” atau “single”, melainkan apakah hati dan pikiran kita bahagia? Happiness is entirely a state of mind. Ada banyak hal yang bisa kita bagi bersama orang lain yang justru akan menimbulkan kebahagiaan tersendiri untuk kita.

Tidak ada kata terlambat untuk menikah. Kalau memang harus menunggu sedikit lebih lama, ya kenapa tidak? Toh semua itu untuk sesuatu yang sangat berharga dalam hidup, kan? Sampai datangnya seseorang yang tidak akan pernah menjadi sebab penyesalan kita karena telah salah memilih. Percaya deh, segala sesuatu akan indah pada waktunya kok 😉

“Soul mates. It’s extremely rare, but it exists. It’s sort of like twin souls tuned into each other”
– Serendipity –
[devieriana]

 

picture taken from here

Continue Reading

Jiwa-Jiwa Yang Tulus

Remember, if you ever need a helping hand, you’ll find one at the end of your arm….
As you grow older you will discover that you have two hands. One for helping yourself, the other for helping others.

– Audrey Hepburn –

Pernahkah kalian berada dalam sebuah keadaan panik, “sibuk” menyelamatkan nyawa seseorang yang tidak pernah kalian kenal sebelumnya? Jangankan kenal, bertemu face to face pun juga belum pernah. Kalian ikut panik, ikut deg-degan, seolah-olah ikut berada dalam sebuah ruangan ICU bersama orang yang akan kalian tolong itu, menunggu detik demi detik terlewati, menyaksikan seseorang yang barangkali saja saat itu tengah berjuang melawan maut.

Saya pernah, dan mungkin itu juga yang dirasakan oleh sebagian besar anggota milis Blood For Life.  Kepanikan itu terjadi terutama ketika mencarikan pendonor yang memiliki golongan darah langka, misalnya yang memiliki rhesus negatif (golongan darah yang banyak dimiliki oleh ekspatriat). Merasakan betapa sulitnya mencari pendonor yang darahnya sesuai dengan kebutuhan pasien. Ikut panik karena ternyata calon pendonor yang sudah stand by dan dijagakan bisa memenuhi kebutuhan darah si pasien ternyata kualitas darahnya kurang memenuhi syarat. Panik ketika pasien mengalami masa kritis karena belum mendapatkan donor darah. Ikut menangis ketika orang yang akan kami bantu ternyata harus diambil oleh-Nya dan kami belum sempat membantu secara maksimal.

Namun ada kalanya ikut bahagia ketika stok darah yang dibutuhkan terpenuhi, atau pasien bisa pulang kembali ke rumah dalam kondisi yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Ikut terharu ketika ada keajaiban-keajaiban yang terjadi secara misterius di saat-saat kritis dan itu berujung dengan terselamatkannya si pasien.

Lebih dari itu, sebenarnya bukan itu inti yang ingin saya bagikan hari ini. Saya akan berbagi tentang sebuah kisah mengharukan yang datang dari seorang penyandang tuna netra bernama Pak Iwa.

Pak Iwa adalah seorang tuna netra. Dia sudah rutin mendonor sejak masih berusia masih 18 tahun. Namun sayang pada tahun 2001, tepat dua minggu menjelang pernikahan dilangsungkan, Pak Iwa terkena glaukoma (tekanan pada bola mata). Setelah mereka menikah, ternyata sang isteri lebih memilih untuk tidak melanjutkan pernikahan, salah satu penyebabnya karenaglaukoma yang diderita oleh Pak Iwa itu. Sang isteri kemudian memilih untuk menikah lagi dengan pria yang memiliki kondisi fisik lebih normal.

Pak Iwa sebenarnya sudah tidak mempermasalahkan hal tersebut. Dia sudah pasrah akan kondisi dirinya. Hanya satu yang dia rasakan, yaitu kesedihan yang mendalam karena tidak ada lagi yang akan mengantarnya ke PMI untuk mendonor.

Beruntung ada seorang tukang ojeg yang bersedia mengantarkan Pak Iwa ke PMI, dan akhirnya menjadi tukang ojeg langganan. Namun lagi-lagi malang bagi Pak Iwa, tukang ojeg ini harus pindah sehingga tidak bisa lagi mengantarkan Pak Iwa ke PMI.

Saat ini Pak Iwa sudah menikah lagi. “Alhamdulillah, sekarang saya sudah bertemu isteri yang baik.” Namun ketika ditanya mengapa sang isteri tidak ikut mengantarkan ke PMI untuk mendonor? Dia menjawab :

“Isteri saya juga buta, Mbak. Kami sama-sama tuna netra. Biasanya kami mendonor berdua, sekarang isteri saya sedang hamil muda, saya takut dia keguguran kalau kecapekan. Lagipula orang hamil kan tidak boleh mendonor… “

Airmata saya langsung menggenang. Subhanallah, ternyata ada ya orang yang punya hati semulia Pak Iwa? Bayangkan, disela-sela kekurangan fisiknya ternyata Pak Iwa masih memikirkan nasib sesamanya yang membutuhkan. Dia masih meluangkan waktu untuk menyumbangkan darahnya secara rutin ke PMI.

Ketika ditanya apa motivasinya rutin melakukan donor darah, dia hanya menjawab dengan kalimat sederhana namun luar biasa artinya. “Saya hanya ingin menikmati hidup, dan salah satu kenikmatan yang saya rasakan adalah ketika saya diizinkan berbagi dalam keterbatasan saya.”

Teman-teman, hal paling berharga yang bisa Pak Iwa sumbangkan untuk orang lain itu tak lain adalah darahnya.

Pak Iwa saat ini bekerja di Metro TV sebagai seorang operator. Namun demikian dia mengaku sangat menikmati pekerjaannya. Selain berkomunikasi dalam bahasa lisan, Pak Iwa juga mampu berkomunikasi via tulisan.

“HP saya menggunakan software pembaca layar (untuk HP namanya Talks untuk PC/laptop namanya JAWS dan itu yang paling umum). Tapi untuk HP syaratnya harus HP dengan operating system Symbian sehingga tidak terlalu banyak pilihan. Karena hanya Nokia yang menyediakan handset dengan OS Symbian, saya menggunakan Nokia 5320.”

Tuhan menciptakan makhluknya dengan segenap kelebihan dan kekurangan. Namun tidak semua yang diciptakan kurang sempurna itu lantas sama sekali tidak bisa bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya, contohnya adalah Pak Iwa (dan mungkin masih banyak Pak Iwa-Pak Iwa lainnya yang tidak kita ketahui profilnya). Sejatinya, bagaimanapun kondisi dan keterbatasan yang dimiliki oleh seseorang, mereka masih ingin merasakan bahwa hidup mereka bisa bermanfaat untuk orang lain.

Jika kita terlahir sebagai manusia yang dikaruniai kesehatan dan kelengkapan fisik, apakah tidak sewajarnya kita lebih mampu membantu sesama secara lebih maksimal? Kita tidak pernah tahu kapan kita akan membutuhkan bantuan orang lain. Jika Pak Iwa saja sanggup menolong sesama, mengapa kita tidak? 🙂

When you are working not for reward but only for love, then everything will go very smoothly..

Mari lebih peduli. Mari berbagi.. 🙂

[devieriana]

 

 

sumber gambar : tighenthoughtstogether

Continue Reading

#Bined03 : Bincang Santai Tapi Seru

“Mbak, jaga kesehatan ya, kan kamu hari Jumat ngemsi”, demikian bunyi BBM Kreshna siang hari seminggu sebelum acara Bincang Edukasi tanggal 30 September 2011. Sedikit menunjukkan perhatian, walaupun ada butuhnya disitu, dan saya pun mengiyakan. Toh saya juga tidak ingin mengecewakan sahabat saya itu dengan tampil buruk di muka audiens dia nanti. Uhuk! *batuk beneran*

Tapi apa daya, justru di hari Minggu, tepat beberapa hari sebelum acara Bincang Edukasi berlangsung saya justru mengalami radang tenggorokan dan dilanjutkan batuk hingga saya pun demam. Mungkin efek kecapekan juga, karena hampir tiap minggu nonstop sebelum acara saya tidak punya waktu untuk istirahat. Ada saja kegiatan yang membuat saya harus keluar rumah seharian. Efeknya saya pun ambruk. Sakit ini mungkin salah satu cara badan saya berkomunikasi dan minta waktu untuk istirahat.

Dengan segera saya menuju klinik di kantor (itu juga karena dipaksa sama sahabat saya yang satu lagi yang dengan setia hampir setiap jam mengontrol saya, sekadar bertanya apakah saya sudah ke klinik atau belum). Entahlah, kalau saya nggak segera ke klinik mungkin suara saya akan tetap seperti suara nenek sihir. Singkat cerita batuk saya pun mereda dan alhamdulillah tidak membatukkan diri selama saya memandu Bincang Edukasi malam itu hingga acara selesai. *sujud syukur*

Seperti Bincang Edukasi sebelumnya, acara kali ini masih diadakan di @atamerica – Pacific Place, dengan menghadirkan 5 pembicara yang merupakan praktisi pendidikan yang sangat berkompeten di bidangnya dan akan berbagi ilmu serta pengalaman-pengalaman mereka dalam durasi 17 menit. Dalam Bincang Edukasi Meetup #3 kali ini menghadirkan Novi Hardian, Lala Purwono, Petrus Briyanto Adi, Chandra Marsono, dan Najeela Shihab sebagai pembicara.

Acara dibuka oleh Mbak Adelaine dari @atamerica yang menjelaskan sedikit tentang @atamerica beserta program-program kegiatannya, baru setelah itu menyerahkan acara sepenuhnya pada saya.

It’s a show time!

*****

Sebagai pembicara pertama yaitu Mas Novi Hardian dari Sekolah Alam Indonesia. Mas Novi ini adalah Direktur Akademik di Sekolah Alam Indonesia. Malam itu beliau berbagi cerita tentang suka dukanya selama 10 tahun mengelola Sekolah Alam Indonesia.

“Kami memiliki mimpi kelak anak-anak yang bersekolah di Sekolah Alam Indonesia akan menjadi generasi yang memimpin,” demikian kata Mas Novi membuka paparannya malam itu.

Sekolah Alam Indonesia adalah sekolah yg tidak hanya berbasis alam, tapi juga berbasis komunitas di mana yayasan, guru dan orang tua bertanggung jawab pada pelaksanaan pendidikan. Sekolah Alam Indonesia berdiri sejak tahun 1998 dan berlokasi di Ciganjur. Bisa dijumpai di situs http://sekolahalamindonesia.org.

Ada beberapa alasan mengapa dibentuk Sekolah Alam. Diantaranya adalah karena adanya keprihatinan akan kualitas hasil pendidikan nasional. Sekolah menjadi bisnis, sehingga biaya pendidikan menjadi semakin mahal. Hubungan lembaga sekolah dengan orangtua siswa semakin tereduksi sebatas penjual jasa dan konsumen. Akibatnya, peran orangtua dalam pendidikan anak-anaknya pun semakin menyempit.

Beberapa alasan itulah yang menjadi landasan awal berdirinya Sekolah Alam. Sekolah Alam memberikan sebuah konsep pembelajaran yang memanfaatkan alam semesta sebagai media belajar, sekaligus memanfaatkna kekuatan komunitas dalam menyelenggarakan pendidikan. Kenapa memilih alam? Karena alam menyediakan segala sesuatu yang bisa kita pelajari. Learning is fun, anytime, anywhere.

Dalam slide terebut Mas Novi menayangkan metamorfosa Sekolah Alam tahun 2001 hingga 2000. Sekolah Alam yang awalnya hanyalah sebuah bangunan sederhana diatas tanah rawa, pelan-pelan berubah menjadi sekolah dengan lingkungan yang hijau dan teduh. Para konseptor Sekolah Alam ini juga meyakini bahwa mutu pendidikan di Indonesia ditentukan oleh 3 faktor, yaitu guru yang berkualitas, metode pengajaran yang tepat, dan ketersediaan sumber-sumber ilmu.

Lalu, apa maksud sekolah yang berbasis komunitas? Tidak ada pemilik individual. Pemilik sekolah adalah semua pemangku berkepentingan. Siapa saja mereka? Mereka adalah guru, orangtua, karyawan, dan siswa. Penyelenggaraan pendidikan tidak berorientasi pada profit semata. Kalau boleh saya meminjam istilah Mas Novi, “pendidikan anak adalah fardhu ain yang dikerjakan secara berjamaah”. Tumbuh kembang sekolah adalah tanggung jawab bersama.

Di akhir paparan Mas Novi menyebutkan bahwa, pendidikan yang berkualitas bukan hanya untuk kalangan tertentu saja, tapi untuk semua. Setiap anak itu unik. Mereka punya potensi yang bisa dikembangkan. Oleh karena itu mereka berhak mendapatkan peluang yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik sesuai dengan potensinya.

Ah, sudah selayaknya saya menjura dalam-dalam buat Mas Novi dan segenap pengajar di Sekolah Alam. Thumbs up! :-bd

 

*****

Malam itu praktisi homeschooling Mira Julia (bisa dijumpai di akun twitter @_lala_ ) menjadi pembicara yang kedua. Secara pribadi, ini adalah topik yang selalu mengulik rasa penasaran saya tentang bagaimana seorang anak bisa menjalani pendidikan yang maksimal di rumah. Mbak Mira Julia –yang akrab dipanggil Mbak Lala– membagikan tips dan pengalamannya tentang bagaimana beliau menggunakan konsep homeschooling sebagai cara untuk memberikan pendidikan bagi putranya sehingga mampu mengantarkan putra tercintanya lulus Ujian Nasional SD dengan hasil yang baik. Kuncinya adalah di konsep : belajar itu dilakukan karena membutuhkan dan menyukai.

Pendidikan itu identik dengan istilah belajar-mengajar. Menurut Mbak Lala ada dua perbedaan signifikan tentang cara pandang patut dicermati antara metode pengajaran sekolah dan homeschooling. Yang pertama, sekolah berpandangan bahwa anak itu ibarat kertas putih kosong yang harus diisi. Sementara cara pandang homeschooling adalah setiap anak terlahir jenius, tinggal kita sebagai pengajar dan orangtua yang menggali potensi anak. Jadi bukan hanya melulu menjejalkan materi, tapi juga mengeluarkan apa yang mereka miliki. Cara pandang berikutnya yang berbeda adalah di fokus pendidikan. Fokus sekolah adalah menjadikan anak pintar. Sedangkan homeschooling berfokus pada bagaimana menjadikan anak sebagai pembelajar mandiri. Oh ya, ternyata kebiasaan mengobrol dan bertukar pikiran (berdiskusi) dengan anak juga merupakan fondasi terbaik dalam pendidikan anak lho. Jadi, mulailah sering menjalin komunikasi dengan anak 😉

Mbak Lala mengutip pernyataan Robert T. Kiyosaki, “arti kata Education dalam bahasa asalnya adalah Educare, yang artinya mengeluarkan”. Jadi, jika menilik arti kalimat yang dikemukakan oleh Robert T. Kiyosaki tersebut berarti konsep homeschooling ini sudah dalam konsep pengajaran yang sesuai.

Oh ya, ada hal menarik yang dikemukakan oleh Alvin Toffler, dalam slide yang dipaparkan oleh Mbak Lala itu menyebutkan bahwa yang dinamakan buta huruf abad ke-21 itu bukanlah orang yang tidak mampu membaca/menulis, tapi orang-orang yang tidak mampu melakukan learn, unlearn, dan relearn. Semoga kita bukan termasuk dalam golongan orang yang buta huruf itu ya :-s

Homeschooling membebaskan anak untuk mengeksplorasi dunianya. Namun lebih dari itu, homeschooling juga mengajak orangtua untuk ikut berperan aktif dalam kualitas pendidikan anak-anaknya. Karena seperti yang diutarakan oleh Naomi Aldort, seorang penulis buku parenting :

“Raising Our Children, raising ourselves..”

 

*****

Pembicara ketiga memberikan tema pembelajaran yang tak kalah menariknya dengan dua pembicara sebelumnya. Kali ini kita menghadirkan Mas Petrus Briyanto Adi yang bisa dijumpai di akun twitter @pbadi, lebih akrab dipanggil Adoy. Mas Adoy ini adalah produser, composer dan musisi band Cozy Street Corner. Dia juga composer, co-produser dan musisi di BONITA & the husBand. Kali ini Mas Adoy akan berbagi tentang Valuing Music Project. Penasaran kan apa itu Valuing Music Project? Sama, saya juga 😀

Mas Adoy membuka presentasinya dengan membawakan sebuah lagu yang berjudul Rumah Temanku. Walaupun dibawakan secara sederhana tapi asli keren banget, suaranya itu lho meneduhkan (pohon kali’ teduh). Dia mengatakan bahwa pada dasarnya tidak ada seorang pun yang tidak musikal. Musikal artinya mampu menginderai dan merespon musik. Dia lalu meminta kita untuk memejamkan mata, membayangkan sebuah lagu yang paling berkesan dan paling kita ingat. Saya pun mulai memutar ingatan saya pada lagu Mama yang pernah dinyanyikan oleh Spice Girls. Lagu itu berkesan karena sangat “saya dan Mama” banget :D. Beberapa diantara kami ditanya apa lagu yang ada dalam benak kami dan sebutkan apa alasannya menyukai/mengingat lagu tersebut. Ternyata bisa ditarik kesimpulan bahwa musik itu bukanlah sebuah objek, melainkan experience. Setuju! 😉

Tidaklah terlalu berlebihan jika ada yang mengatakan tanpa musik dunia akan hampa. Sama seperti hidup, peak experience atau tingkatan paling advance dalam musikal adalah fase ketika ketika kita bisa memberi makna dalam musik. Namun kenyataan yang ada di dunia pendidikan kita adalah ketika di sekolah murid diminta untuk hafal not, tahu hitungan, birama, dst. Yang intinya pendidikan musik itu tidak ada kaitannya dengan pengalaman. Hmm, atau mungkin maksudnya biar murid “melek” notasi dulu kali ya? CMIIW..

Mas Adoy mengatakan bahwa ada irisan antara musik dengan pendidikan. Ada hubungan antara musik dan pendidikan, karena sejatinya musik bisa menciptakan atmosfer yang memudahkan proses belajar. Selain itu musik juga berfungsi sebagai sarana survival, teman hidup, cara untuk mengekspresikan diri, dll. Keren ya? Padahal selama ini mungkin kita hanya menganggap musik sebagai salah satu sarana hiburan. Eh tapi kalau saya, musik itu juga bisa sebagai sarana untuk relaksasi diri dan pembangkit mood lho. Curhat dikit gapapa ya 😉

Di akhir presentasi Mas Adoy mengajak kita untuk membayangkan satu kualitas baik yang membuat hidup lebih baik lagi. Pilih dua suku kata saja. Wiih, mau bikin lagu apa lagi nih Mas Adoy dengan kata-kata itu ya? ;;). Saya pun memilih kata “indah”.

“Aku indah, kamu indah, semuanya indah. Bersama semua, dunia semakin indah”.

JREEENG! 😉

*****

Setelah kita sedikit dihibur sama Mas Adoy, kita kembali ke topik yang serius tapi masih tak kalah menariknya. Kita menghadirkan Mas Chandra Marsono yang membawakan topik Cross Culture Management. Mas Chandra Marsono ini adalah Dosen di STIE Trianandra, Business Development Manager di Oxford Course Indonesia Education, Founder & Board of Director di PT Sedna: Writers Academy, TOEFIS, dan Committee Member di FreSh [Freedom of Sharing]. Wiih, banyak ya jabatannya? 😀

Nah, sekarang apa itu Cross Culture Management? Cross Culture Management itu adalah cara bagaimana memahami kultur budaya seseorang, dan menggunakannya untuk mendapatkan sebuah hubungan yang kondusif dan saling menghormati.

Pertanyaan menarik yang dilontarkan oleh Mas Chandra, “ketika bertemu dengan orang asing banyak orang Indonesia yang minder, kenapa?”. Budaya itu diwariskan, tidak terletak pada DNA manusia. Budaya juga akan membentuk asumsi dasar, norma, dan nilai. Budaya mencitra dalam diri seseorang hingga dia berusia 7 tahun melalui Mental Conditioning. Jadi kalau ada orang Indonesia yang minder ketika bertemu dengan orang asing berarti ada budaya Indonesia yang membentuk perilaku seperti itu. Dari mana saja pengaruh itu didapatkan? Bisa dari orangtua, lingkungan, sekolah, dan pribadi.

Nah, itulah jawabannya 🙂

 

*****

Sebagai pembicara terakhir adalah Mbak Najeela Shihab, pendiri Sekolah Cikal & Rumah Main Cikal. Malam ini Mbak Ela –demikian beliau kerap dipanggil– akan berbagi pengalaman dan kisah tentang konsep & mimpi-mimpi pendidikan yang coba diterapkan melalui Sekolah Cikal.

“Saya punya pengalaman sekolah ‘sukses’. Kuliah cepat & lulus cumlaude. Tapi saya merasa tidak bermakna,” demikian Mbak Ela membuka paparannya malam itu. Dari situlah bermula ide terbentuknya Sekolah Cikal dan Rumah Main Cikal.

Belajar itu sequential atau continuous? Sekolah Cikal percaya bahwa belajar itu continuous. Sekolah Cikal berdiri 13 tahun yang lalu, berawal dari preschool. Hingga saat ini sudah berdiri SD, SMP, dan tahun ini mulai berdiri SMA-nya. Sekolah Cikal juga sudah berada di Jakarta dan Surabaya, dalam waktu dekat segera menyusul berdiri di kota-kota lainnya.

Sekolah Cikal menerapkan sistem Five Stars Competencies:
1. Emmotionally, spiritually, and morally rich;
2. Skilfull and an effective thinker;
3. Breadminded and phisically sound;
4. Self-regulated learner;
5. Empowering member of just, sustainable, and peaceful global society

Mbak Ela menyebutkan bahwa kurikulum pendidikan itu ada 2, intangible curriculum (tidak konkret, abstrak) & tangible curriculum (nyata). Alasan mengapa Sekolah Cikal didirikan adalah karena sesungguhnya pendidikan itu dibentuk oleh intangible curriculum, karena Sekolah Cikal percaya bahwa creativity comes from a diciplined mind.

Dalam slide-nya Mbak Ela juga menyebutkan bahwa konspirasi terbesar pendidikan adalah school then life dan school for life. Ada hal yang harus dipilih antara apakah kita sekolah dulu baru kerja untuk hidup (meskipun pekerjaan itu nantinya tidak ada hubungannya dengan dunia pendidikan yang pernah dijalani), ataukah sekolah itu harus mampu merepresentasikan dunia yang akan dihadapi sehingga anak siap utk terjun kesana? Sepertinya (idealnya) pilihan kedua ya, walaupun banyak yang “terjerumus” dalam pilihan pertama. Iya, termasuk saya ;))

 

*****

Ketika jarum jam menunjukkan pukul 21.00, berakhir pulalah acara Bincang Edukasi Meetup #3. Alhamdulillah semua berjalan lancar dan menyenangkan. Ada banyak pembelajaran yang saya dapatkan malam itu, dan utamanya bisa bertemu dengan beberapa teman baru yang sebelumnya hanya saya kenal di timeline.

Terima kasih juga buat Mas Adoy yang sudah memberikan pencerahan seusai acara Bincang Edukasi tentang apa itu suara Voice Over. Ternyata itu adalah istilah untuk suara yang sering digunakan untuk iklan, sulih suara, suara MC, dan suara yang biasa digunakan dalam acara-acara kenegaraan. Suara yang “utuh”.

Uhuk! I’m honored.. *menjura*

Terima kasih buat semuanya. Sampai bertemu dalam Bincang Edukasi Meetup #4 bulan November nanti ya 🙂
:-h

 

 

[devieriana]

 

dokumentasi pribadi

Continue Reading