Komparasi

“Kamu tuh nggak kaya adikmu. Adikmu rajin, ngatur barang-barangnya juga rapi. Kalau kamu, berantakan”

“Kamu itu beda ya sama kakakmu. Kakak kamu bahasa Inggrisnya pinter, kalau kamu kok agak kurang, ya…”

Dua percakapan di atas adalah nyata yang pernah pernah saya dan adik-adik saya alami di masa kecil. Mungkin itu hanya sebagian kecil dari banyaknya perbandingan yang kami terima. Sekali dua kali mungkin kami hanya bisa pasrah ketika dibandingkan, menghibur diri, karena kami menyadari memang seperti tu kenyataannya. Seperti misalnya, saya dulu bukan orang yang rapi dan apik dalam menjaga barang-barang saya, tapi seiring waktu manusia bisa berubah. Begitu pula dengan kedua adik saya, meskipun mereka bukan yang mahir bahasa Inggris, namun sekarang mereka memiliki karier yang baik di dunia perbankan. Tidak ada seorang pun yang ingin dibandingkan, baik dengan saudaranya sendiri bahkan jika harus dibandingkan dengan orang lain. Beruntung, setelah kami bicara baik-baik, orang tua bersikap terbuka, dan mau menerima komplain kami.

Namun di balik itu, kami merasa beruntung, meski pernah mengalami perbandingan semacam itu di masa lalu, nyatanya kami bertiga tetap chill menjalani hidup, tumbuh menjadi saudara yang saling menguatkan, memberi motivasi, dan dukungan satu sama lain. Bukan malah merasa iri ketika salah satu dari kami meraih prestasi ekstrakurikuler, akademis, atau memiliki karier yang baik, namun justru merasa bangga.

Mungkin sebagian dari kita pernah mengalami sebagai kejadian seperti kami di atas, menjadi objek yang dibandingkan, atau bahkan sebagai subjek yang membandingkan. Kektika orang tua sering membanding-bandingkan anak dengan orang lain karena hal ini berasal dari naluri manusia paling dasar. Manusia secara alamiah cenderung membandingkan sesuatu dengan yang lain. Tujuan kebiasaan ini bisa bermacam-macam, mulai dari ingin mencontohkan perilaku anak, hingga memandang pencapaian anak sebagai sebuah kompetisi. Sama seperti kita yang juga pasti pernah membandingkan sesuatu, sesederhana membandingkan cara makan bubur ayam, diaduk atau tidak. Banyak orang membandingkan dua hal itu sampai berantem. Begitu juga dengan kebiasaan orang tua yang membandingkan anaknya dengan orang lain, juga berasal dari insting dasarnya sebagai manusia.

Sedangkan bagi objek yang dibandingkan pasti akan merasa kurang nyaman, karena perbandingan semacam itu lambat laun mengikis rasa percaya diri anak, membuat anak merasa kurang, dan tidak cukup baik. Saat kita dibandingkan dengan orang lain, kita jadi cenderung fokus pada kekurangan diri sendiri dan mengabaikan kelebihan yang sebenarnya kita miliki. Hal semacam inilah bisa menyebabkan perasaan rendah diri atau bahkan kecemasan. Misalnya, ketika kita dibandingkan dengan teman yang berhasil meraih prestasi gemilang di bidang akademis atau memiliki karier yang cemerlang, sementara kita masih  tertinggal jauh di belakang, tentu bisa sangat mengecilkan hati.

Bukan hanya itu saja, perbandingan semacam ini dapat merusak hubungan sosial. Kita yang merasa selalu dibandingkan dengan pencapaian orang lain, pada akhirnya justru menciptakan jarak/konflik dalam hubungan dengan orang lain. Padahal, setiap orang memiliki perjalanan hidup dan kecepatan perkembangan yang berbeda-beda. Apa yang tampak sebagai keberhasilan bagi satu orang, namun ternyata belum tentu relevan atau tidak sesuai dengan tujuan hidup orang lain.

Sudah nonton film “Ipar Adalah Maut”? Dibintangi oleh Michelle Ziudith sebagai Nisa dan Deva Mahenra sebagai Aris, “Ipar Adalah Maut” mengisahkan cerita yang diadaptasi dari kisah nyata yang dipopulerkan oleh content creator asal Malang @elizasifaa melalui akun media sosialnya.

Kalau bicara tentang hujatan dan banyaknya komentar pedas yang ditujukan kepada sosok Rani –yang digambarkan sebagai sosok ipar antagonis yang seolah tidak memiliki hati, merebut suami kakaknya– ya sudahlah ya, mungkin sudah cukup diwakili oleh netizen. Namun, ada sesuatu yang menarik perhatian saya di podcast Deny Sumargo, Eliza Sifa mengungkapkan bahwa perselingkuhan yang terjadi antara Aris dan Rani bukan karena kegilaan Rani semata, melainkan didasari oleh salah satunya adanya dendam masa kecil. Rani dan Nisa yang selalu bersekolah di tempat yang sama sering dibanding-bandingkan. Nisa dianggap lebih cantik dan lebih pandai ketimbang Rani. Alih-alih melindungi Rani, Nisa justru merasa senang karena berbagai pujian itu. Rasa dendam masa kecil itu ternyata dibawa Rani sampai dia dewasa. Rani yang selama ini pasrah dan belum terpikir harus menyalurkan dendamnya dalam bentuk seperti apa, justru ketika dia berkesempatan tinggal bersama kakaknyalah pintu kesempatan membalaskan dendam itu terbuka lebar. Tanpa bermaksud membela Rani atau membenarkan tindakan perselingkuhan, namun penting untuk kita sadari bahwa setiap manusia memiliki latar belakang dan alasan tersendiri sebelum melakukan sesuatu.

Di sekitar kita, banyak sosok (orang tua, keluarga, teman, guru) dalam keseharian anak, yang justru tanpa sadar membandingkan anak satu dengan anak lainnya, murid satu dengan murid lainnya. Alih-alih memberikan motivasi, hal tersebut justru membuat anak menjadi demotivasi dan rendah diri. Tidak seharusnya kita membanding-bandingkan anak, apalagi jika hal itu kita lakukan di depan mereka, karena sesungguhnya setiap anak memiliki kemampuan, kecerdasan, dan bakat yang berbeda.

Mama saya pernah menganalogikan begini, “Ibarat anak ayam, meskipun dipelihara di tempat yang sama, diberi makanan yang sama, dirawat dengan cara yang sama, mereka bisa tumbuh dengan sifat yang berbeda. Analogi ini juga berlaku sama pada manusia, yang memiliki pikiran dan sisi emosi yang lebih kompleks.”

Analogi jadul itu pun bahkan terdukung oleh sebuah penelitian yang bertajuk “The Heritability of Attitudes: A Study of Twins” yang mengatakan bahwa anak kembar identik menunjukkan perbedaan dalam sikap dan ekspresi diri. Meskipun berasal dari sperma dan sel telur yang sama, perbedaan dalam kecerdasan, struktur sensorik, dan temperamen bisa menjadi faktor yang membedakan mereka. Selain itu, faktor lingkungan, perlakuan berbeda dari orang tua, teman, atau lingkungan sekitar juga dapat mempengaruhi perbedaan kepribadian anak kembar identik. Dari situ, kita dapat ambil kesimpulan bahwa meskipun saudara kandung, kembar identik sekalipun, mereka akan memiliki sifat dan sikap yang berbeda.

Penting bagi kita semua untuk menghargai keunikan dan perbedaan setiap individu, terutama dalam konteks keluarga, untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak yang lebih positif. Kita tidak pernah tahu bahwa perbandingan semacam itu dapat tertanam lekat dalam ingatan mereka hingga dewasa, yang pada akhirnya akan berdampak pada kesehatan mental mereka di masa depan.

— Devieriana —

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

Inside Out 2

Film Inside Out perdana ditayangkan di Cannes pada 18 Mei 2015 dan kemudian dirilis di Amerika Serikat pada 19 Juni 2015. Sepuluh tahun berselang setelah kesuksesan film Inside Out, Pixar kembali memanjakan para penggemarnya dengan sekuel yang dinantikan, Inside Out 2 pada 14 Juni 2024. Jika dalam sekuel pertama dikisahkan Riley berusaha mengatasi masa kanak-kanak dengan menghadapi perasaannya terkait kepindahan keluarganya dari Minnesota ke San Fransisco, sekarang Riley telah menemukan rumah baru dalam bentuk sahabat-sahabat barunya, Bree dan Grace. Dalam sekuel ini, fokus cerita lebih pada hubungan Riley dengan teman-temannya daripada keluarganya, juga tentang rumitnya perjalanan emosional Riley yang saat ini berusia 13 tahun, dan sedang mempersiapkan diri untuk masuk ke SMA. Riley sangat fokus pada olahraga hoki yang telah membuatnya meraih banyak penghargaan.

Joy, Anger, Sadness, Fear, dan Disgust dihadapkan pada tantangan tentang rumitnya dinamika emosi masa remaja. Anxiety, Ennui, Embarrassment, dan Envy merupakan karakter-karakter baru yang memperkaya alur cerita dalam Inside Out 2. Masing-masing karakter ini mempersonifikasikan emosi dan perasaan yang lebih kompleks, serta menambahkan lapisan emosi yang lebih dalam dalam perjalanan emosional Joy, Anger, Sadness, Fear, dan Disgust. 

Anxiety, yang mewakili kecemasan, memperkenalkan ketegangan dan kekhawatiran yang mendalam. Ennui, yang berarti kebosanan, membawa nuansa emosi yang lebih suram, monoton, dan membosankan. Embarrassment yang mewakili rasa malu, memperkenalkan konflik internal yang terkait dengan harga diri dan citra diri Riley. Sementara itu, Envy, yang mewakili rasa iri, membawa persaingan dan konflik interpersonal yang lebih pelik. Jujur saya kagum dengan konsep desain Envy dan Embarrasement, yang menunjukkan bahwa “iri hati” digambarkan sebagai emosi yang kecil, sementara “malu” digambarkan sebagai emosi yang besar, yang secara realistis mencerminkan definisi dari kedua emosi tersebut.

Entah mengapa rasanya sekuel kedua ini sengaja menunggu kita tumbuh (lebih) dewasa. Mungkin salah satu tujuannya adalah supaya kita bisa lebih memahami apa yang dirasakan Riley yang sudah menjadi seorang remaja. Dan, memang, bahasan di film ini jauh lebih mendalam dari apa yang saya pikirkan sebelumnya.

Riley mulai mengalami dan menghadapi berbagai emosi yang berbeda saat memasuki masa pubertas. Riley mengalami munculnya berbagai emosi baru menggantikan emosi-emosi masa kanak-kanak dengan yang lebih dewasa. Perasaan kebahagiaan tergeser oleh kepanikan, ketakutan ditutupi oleh kebosanan, dan terkadang sarkasme digunakan untuk menyembunyikan rasa malu. Ketidakpastian Riley tentang masa depannya dalam grup hoki Firehawk membuatnya cemas dan mengambil langkah yang salah. Di sinilah peran orang tua dibutuhkan untuk secara penuh mendampingi anak-anak saat mereka merasa cemas, memberikan validasi perasaan, dan membantu mereka mengambil keputusan yang tepat.

Dalam perjalanannya membentuk jati diri, Riley juga pernah berusaha untuk menjadi orang lain agar diterima dalam grup hoki Firehawk, yang salah satu anggotanya, Valentina “Val” Ortiz adalah idola Riley. Namun pada akhirnya Riley menyadari pentingnya kejujuran dan menjadi diri sendiri. Dalam keadaan ini, penting bagi kita para orang tua untuk mengedukasi anak-anak agar tetap setia pada identitas mereka sendiri, tanpa perlu meniru orang lain hanya serta merta ingin diterima dalam lingkungan tertentu. Pun halnya ketika Joy berusaha keras menghapus kenangan negatif Riley untuk membentuknya menjadi pribadi yang positif, pada akhirnya, Joy menyadari bahwa semua kenangan, baik positif maupun negatif, penting untuk perkembangan Riley, karena kenangan tersebut membentuk bagian integral dari identitas dan pengalaman hidup Riley.

Ada saat di mana Riley mengalami momen emosional saat bermain di lapangan. Akibat tindakan terlalu ambisiusnya, menyebabkan dia dihukum sementara tidak bisa bermain di lapangan. Dia menangis, kecewa, dan merasa emosional, namun akhirnya menemukan kedamaian setelah menerima dan merangkul semua emosinya, berdamai dengan dirinya sendiri, serta memperbaiki hubungannya dengan orang-orang di sekitarnya. Sadness isn’t just crying. It’s the emotion of change, acceptance and most importantly, love.

Satu momen yang cukup membekas dalam benak dan berhasil membuat saya sesenggukan di sepertiga film. Adalah saat Joy menyadari bahwa hidup Riley tidak harus selalu diisi dengan kebahagiaan. “I don’t know how to stop anxiety, maybe it’s true that when you grow old, you’ll feel less happy.” Dan sejujurnya semua itu benar. Tapi semua itu tidak menjadi masalah. Tidak masalah merasa cemas, tidak masalah merasa takut, dan tidak masalah menyadari bahwa dunia ini bukan hanya tentang kebahagiaan. Saat kita tumbuh dewasa, kita menyadari bahwa Joy (kebahagiaan) bukanlah satu-satunya emosi yang utama. Tidak masalah merasakan apa pun yang perlu kita rasakan. Kita semua adalah campuran emosi, dan itulah yang membuat kita unik dan indah. Film ini mengajarkan kita bahwa semua emosi valid. Oleh karenanya orang tua wajib mengenalkan berbagai emosi kepada anak serta mengajari mereka cara mengendalikannya.

Inside Out 2 dengan sangat akurat menggambarkan berbagai emosi yang muncul karena berbagai perubahan yang menekan dalam kehidupan seorang manusia. Komedi yang menghibur dipadu adegan yang memperluas pemikiran dan perasaan, Pixar berhasil menciptakan sebuah film yang enjoyable. Alih-alih mengandalkan kisah klise yang sudah terlalu sering digunakan, mereka berhasil menjaga agar ceritanya tetap unik, tanpa kesan menggurui. Film ini cocok dinikmati oleh anak-anak sebagai tontonan yang menghibur, sementara bagi orang tua, film ini dapat menjadi kesempatan belajar tentang pentingnya memahami kondisi emosional anak-anak.

Inside Out 2 dirilis secara eksklusif di bioskop pada 14 Juni 2024, hampir tepat sepuluh tahun setelah rilis film pertamanya pada 24 Juni 2015. Keberhasilan Inside Out 2 ini tak bisa dipandang remeh. Dengan pendapatan mencapai 295 juta dolar AS hanya dalam sepekan penayangan perdananya menjadikan Inside Out 2 sebagai salah satu film animasi dengan pembukaan penayangan terbaik sepanjang masa. Hal ini menunjukkan betapa menarik dan kuat cerita/narasi yang dimiliki oleh Inside Out 2. Tentu saja dengan keberhasilan ini, Pixar sekali lagi mengukuhkan posisinya sebagai raja animasi yang mampu menyentuh hati dan pikiran penonton dari segala usia, sekaligus menegaskan kontribusinya dalam mengangkat standar industri animasi secara keseluruhan.

— devieriana —

Ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

Beyond the Report Card

Pagi itu, saya, suami, dan Alea, bersiap untuk menghadiri penerimaan rapor di sekolah. Kami sengaja tiba di sekolah 30 menit lebih awal untuk mengantisipasi segala kemungkinan. Di depan kelas, sudah ada beberapa orang tua yang sudah mendapat giliran sebelumnya. Saya pun bergabung di antara mereka, sekadar say hello dan berkoordinasi tentang pembagian kenang-kenangan untuk guru Alea. Di antara topik percakapan pagi itu jauh dari bahasan tentang nilai atau prestasi akademis. Sebaliknya, kami lebih banyak berdiskusi tentang rencana liburan, destinasi menarik, dan kegiatan lainnya. Meskipun ada yang sempat menceritakan hasil rapor anaknya yang naik/turun dari semester lalu, namun topik itu segera berganti dengan obrolan ringan lainnya.

Tibalah giliran Alea tiba untuk masuk ke kelas untuk menerima rapor. Jantung saya berdegup makin kencang meski mencoba menenangkan diri dan menaruh harapan yang paling realistis. Saya tanamkan dalam pikiran saya, apapun hasilnya, saya yakin itu adalah pencapaian terbaik yang Alea bisa raih selama kelas 4. Setelah mempresentasikan tentang target dan realisasi pembelajaran semester 2 dalam Student-Led Conference, tibalah penyerahan rapor kelas 4 semester 2. Meski diselingi dengan candaan-candaan di antara Miss/Mr-nya Alea, namun hal itu tidak cukup mampu mengompromikan detak jantung saya yang makin menjadi-jadi. Buku rapor pun dibuka, satu persatu nilai mata pelajaran mulai dibandingkan dengan semester sebelumnya. Saya menyimak dengan saksama. Rasa haru tiba-tiba saja menyeruak. Ada rasa hangat yang menghampiri. Tertera nilai-nilai Alea yang hampir semua meningkat secara signifikan dibandingkan dengan semester sebelumnya. Alhamdulillah, Ya Rabb.

Jujur, setiap kali terima rapor, saya butuh lebih mempersiapkan mental dalam menerima hasil belajar Alea. Karena dalam kesehariannya, Alea adalah anak yang lebih banyak berkomunikasi dalam bahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia, sementara mata pelajaran di sekolah meskipun bilingual, banyak pelajaran berbahasa indonesia yang menuntut pemahaman secara menyeluruh. Selama ini Alea harus struggle menghadapi berbagai pelajaran yang berbahasa Indonesia yang perlu dihafal. Apalagi waktu kemarin mata pelajaran IPAS, di mana bab terakhirnya membahas tentang kerajaan-kerajaan di Indonesia. Bukan suatu hal yang mudah bagi Alea menghafalkan berbagai istilah berbahasa Sansekerta. Seringkali untuk menghafal beberapa istilah bahasa Indonesia, Alea harus menghubungkan dengan kata tertentu supaya mudah diingat. Dia pun membutuhkan waktu belajar yang sedikit lebih lama supaya mendapatkan gambaran dan pemahaman yang lebih mendalam. Kecuali di mata pelajaran bahasa Inggris, saya tidak perlu menghabiskan waktu yang lama untuk mendampingi Alea belajar.

Bahasa Inggris bagi Alea layaknya bahasa ibu, karena kesehariannya baik berkomunikasi dengan kami di rumah (meskipun kami selalu berbahasa Indonesia, namun jawaban Alea 90% menggunakan bahasa Inggris) maupun dengan teman-temannya di sekolah atau bermain Roblox pun Alea konsisten menggunakan bahasa Inggris. Sedikit intermezzo, ketika kami menginap di salah satu hotel di Bali, di kolam renang dia bisa langsung mingle dengan sekelompok anak keluarga turis asing asal Australia. “Mama, I made friends with some of Australian kids. May I met them again tommorrow in the pool?”  Alea adalah seorang native speaker.

Dan seperti biasa, seusai sesi terima rapor, saya selalu berbagi kabar dengan aunty-nya Alea (adik saya), dan eyangnya Alea (Mama saya). Sama, mereka pun bersyukur atas pencapaian akademik Alea. Tapi entahlah, sepertinya Mama bisa membaca pikiran saya meski jarak jauh. Tiba-tiba saja Mama berpesan, “Sudah, jangan membanding-bandingkan Alea dengan anak lainnya. Setiap anak punya latar belakang yang berbeda-beda, tumbuh dalam lingkungan yang unik, dididik oleh orang tua yang berbeda, serta menganut nilai-nilai yang bervariasi. Pelajaran-pelajaran Alea jauh lebih menantang daripada pelajaran kamu yang dulu. Jadi beri dia kesempatan untuk berkembang sesuai dengan kemampuannya sendiri. Kamu sebagai orang tua wajib memberi dukungan supaya Alea bisa terus memperbaiki diri.” Ah, Mama. Bagaimana Mama bisa tahu apa yang sedang saya pikirkan? Tak terasa, air mata mulai menggenang di pelupuk mata.

Malamnya, ketika semua sudah terlelap, pikiran saya tetap sibuk. Sibuk berkontemplasi dan mengevaluasi diri sendiri. Mencurahkannya ke dalam bentuk tulisan sebagai pengingat diri. Sebagai ibu bekerja yang juga mahasiswa, saya merasa belum adil dalam meluangkan waktu untuk berbagai peran dalam hidup saya. Acapkali saya belum bisa memberikan waktu yang maksimal untuk Alea. Dalam beberapa semester kemarin saya berjibaku mengatur keseimbangan hidup. Belum lagi batas waktu penyelesaian tugas kuliah dan jadwal ulangan Alea yang saling berkejaran, hal itu sering membuat saya cranky. Memang inti dari semua ini adalah manajemen waktu.

Sedikit flashback ke masa saya masih sekolah, nilai ulangan dan rapor saya tidak selalu dihiasi dengan angka-angka sempurna. Tak jarang nilai saya lebih pantas dikatakan mengenaskan dibanding sempurna. Beberapa kendala yang saya alami mungkin kombinasi antara keterbatasan saya dalam mencerna pelajaran, atau mood belajar yang tidak selalu stabil. Jadi kalau ada nilai mata pelajaran yang di atas 80, sudah selayaknya dia diperlakukan layaknya sebuah mahakarya yang patut diselebrasi. Entahlah, apakah kedua orang tua saya pernah bangga pada saya waktu itu. Titik kulminasi prestasi akademis saya adalah saat menuntaskan pendidikan di sekolah menengah atas dan bangku kuliah. Di luar itu, saya adalah siswa dengan nilai yang rata-rata.

Sebagai orang tua, melihat anak berhasil dan selalu menjadi yang terbaik di kelas adalah suatu kebahagiaan dan kebanggaan. Prestasi anak merupakan hasil dari kerja keras mereka dan dukungan orang tua. Namun, dalam lingkungan yang kompetitif, penting untuk menyadari bahwa kemampuan anak tidak bisa diukur secara hitam-putih. Meskipun penting untuk memastikan anak meraih prestasi baik di sekolah dan menunjukkan peringkat, sejatinya terdapat aspek non-akademis yang lebih berpengaruh dalam menentukan kesuksesan anak di masa depan. Hidup penuh ketidakpastian, hidup bukan layaknya soal ujian kelas yang selalu punya kunci jawaban. Banyak kejutan tak terduga muncul di berbagai tikungan kehidupan, kemampuan sosial, emosional, dan mengambil risiko memainkan peran penting dalam kesuksesan anak.

Setiap anak memiliki minat dan bakatnya sendiri, dan proses pendidikan adalah perjalanan seumur hidup. Mungkin di sekitar kita ada siswa yang menyukai Matematika namun tidak jago di bahasa Inggris, ada siswa yang menyukai Sejarah namun tidak pintar di Matematika, dan ada pula siswa yang kurang pintar di bidang akademis namun jago dalam olahraga atau aktivitas fisik, karena setiap anak memiliki minat dan bakatnya masing-masing. Setiap anak itu unik dan istimewa. Akan tidak adil rasanya, jika anak hanya dinilai dari ranking atau nilai akademisnya. Anak juga perlu memahami bahwa you’re not the center of the universe, tidak semua keinginan bisa terwujud, kehidupan tidak akan selalu sesuai harapan, dan ini merupakan bagian penting dalam pembelajaran menghadapi tantangan dan penyesuaian diri. Dengan memahami bahwa hidup tidak selalu berjalan mulus, anak-anak dapat belajar untuk menjadi lebih tangguh, fleksibel, dan mampu mengatasi rintangan yang mungkin terjadi di masa depan. Memberikan pemahaman ini juga dapat membantu mereka mengembangkan sikap positif terhadap kegagalan dan ketidakpastian, yang pada akhirnya akan membantu mereka tumbuh dan berkembang sebagai individu yang kuat dan mandiri.

Pasti bukan hal mudah bagi kita yang hidup di zaman tolok ukur kepandaian dilihat dari nilai rapornya. Tapi mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus mengubah mindset bahwa nilai rapor hanya sebagai salah satu indikator untuk mengetahui titik lemah, titik unggul, dan progress belajar anak, sehingga kita sebagai orang tua tahu di titik mana harus membantu anak belajar. Dan, penekanan yang berlebihan pada ranking dan nilai akademis sejatinya dapat memberikan tekanan psikologis (kecemasan, rendahnya rasa percaya diri, dan persepsi yang keliru tentang nilai diri) pada anak. Untuk itulah, orang tua wajib memerhatikan kesehatan emosional anak, serta memberikan apresiasi terhadap beragam bakat dan minat yang dimiliki oleh setiap anak. Sesekali boleh lho mengajak mereka keluar rumah, menikmati lingkungan, bergaul, belajar dengan cara praktik langsung.

Setiap anak memiliki potensi dan kelebihan yang tidak selalu tercermin dalam pencapaian akademis. Ketika orang tua memerhatikan aspek non-akademis, kesehatan mental, dan motivasi intrinsik anak, akan membantu menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan berkelanjutan bagi anak-anak tercinta.

Semangat mendampingi anak-anak belajar dan berkembang, Parents!

— Devieriana —

sumber gambar dipinjam dari https://www.educationworld.com/teachers/beyond-report-card-alternative-ways-assess-student-progress

Continue Reading