Seperti biasa, siang ini saya masih berkutat dengan pekerjaan rutin harian. Bedanya, dalam beberapa minggu ini saya tidak sendiri tapi ditemani oleh seorang mahasiswi magang. Sebagai kakak pendamping yang baik saya bukan cuma mengajarkan tentang pekerjaan sehari-hari tapi juga pengetahuan lain di luar pekerjaan yang wajib diketahui oleh seorang (calon) Sekretaris. Oh ya, kebetulan yang magang di tempat saya ini seorang mahasiswi jurusan Sekretaris 😉
Ada cerita unik-unik menyebalkan yang terjadi kemarin dan hari ini. Uniknya, berkenaan dengan orang yang sama; menyebalkannya karena ternyata ulah si oknum masih sama dengan kemarin. Oh, bukan dengan adik mahasiswi magang itu, kok. Tapi dengan agent salah satu bank yang lokasinya ada di pojokan Harmoni, dekat dengan kantor saya.
Jadi ceritanya ada telepon dari salah satu bank untuk konfirmasi data karyawan (biasanya untuk pengajuan pinjaman atau kepemilikan kartu kredit). Seperti biasa, saya pun memberikan informasi standard, bahwa untuk konfirmasi data karyawan bisa menghubungi ke rekan saya yang memang khusus menangani data base; saya beri nama contact person-nya beserta nomor yang bisa dihubungi. Lagi pula saya juga tidak punya aplikasinya, dan mana mungkin saya hafal di luar kepala nama dan jabatan seluruh karyawan yang jumlahnya mencapai 2.000 karyawan lebih. Itulah mengapa saya informasikan agar menghubungi ke bagian yang berwenang; jadi bukan karena saya tidak mau membantu, tapi justru supaya informasi yang dibutuhkan itu valid.
Di awal percakapan semua masih terdengar ‘normal’ walaupun nada suara si agent terdengar tajam di telinga saya. Si agent mulai ngotot, keukeuh ingin melakukan konfirmasi data karyawan melalui saya saja. Lho, kan saya nggak punya aplikasinya. Lagi pula kalau saya harus mondar-mandir ke kubikel seberang juga akan memakan waktu. Iya kalau data yang diminta cuma untuk satu orang, lha kalau lebih, apa bukan kasih PR itu namanya? 😐
Sebenarnya kalau cuma dijudesin sama orang sih sudah biasa. Toh pekerjaan saya sebelumnya juga banyak berhubungan dengan berbagai macam karakter pelanggan yang menelepon ke callcentre, yang isi percakapannya bukan cuma ingin meminta informasi tentang produk saja, tapi juga curhat, komplain, meluapkan emosi. Hal yang membuat kurang nyaman adalah ketika si agent menutup telepon tanpa mengucap greeting pun, baik salam penutup maupun terima kasih.
Apakah masalahnya sudah selesai? Oh, belum dong, karena ternyata hari ini saya kembali berhadapan dengan orang yang menelepon saya kemarin siang. Bedanya saya sempat menanyakan nama dan kepentingannya apa. Uniknya, terasa sekali dia masih menyimpan kekesalan yang kemarin setelah tahu yang menjawab teleponnya saya lagi. Mungkin pagi tadi dia gambling, “aku coba telepon lagi, deh. Siapa tahu yang jawab teleponku orangnya beda…”
Oh, No! Ternyata mbak-mbak yang bawel itu yang mengangkat!
Mungkin seperti itu yang ada di pikirannya ketika tahu dia harus kembali berhadapan dengan saya. Ketika menerima teleponnya pin berpikir dia sudah mengubah intonasi dan cara bicaranya. Oh, No! Ternyata saya salah berekspektasi, karena gaya bicara si agent malah jauh lebih judes.
“Saya ini bukan mau konfirmasi data karyawan, Mbak! Saya cuma mau tanya, ada yang namanya Bu Heriyani nggak di situ? Ada nggak yang bagian admin? Kalau nggak ada ya sudah, gitu lho!”
*nada tajam dan intimidatif*
Lah, kalau habis nanya nama dan kerja bagian apa, terus kalau kebetulan datanya ada, apa nanti tidak akan merembet ke pertanyaan lainnya? Bukankah itu jatuhnya tetap verifikasi? Karena verifikasi data bank kebanyakan data yang ditanyakan biasanya sama.
Saya sebenarnya tidak ingin mempermasalahkan hal-hal seperti itu. Tapi justru ingin menggarisbawahi bahwa mau di mana pun kita bekerja, etika berkomunikasi itu tetap perlu dijaga. Bukan hanya dalam hubungan, lingkungan dan situasi formal saja, tapi juga dalam hubungan, lingkungan, dan situasi nonformal; tentu saja dengan kadar, tujuan, dan konteks yang sesuai. Hal ini dilakukan supaya tidak muncul miskomunikasi yang akan berujung pada timbulnya berbagai macam prasangka dan salah paham.
Just my two cents…
[devieriana]
ilustrasi dipinjam dari sini