Tentang Twitwar Offline Itu

social media

Akhir-akhir ini saya sudah tidak seaktif tahun-tahun lalu dalam menggunakan sosial media mainstream, utamanya twitter dan facebook. Kalaupun iya masih login ya kalau sedang ingin login saja, sekadar ingin melihat berita apa yang sedang hits di media-media itu. Kalau bicara tentang frekuensi membuka socmed yang mana, mungkin justru lebih sering membuka blog daripada twitter/facebook (walaupun up date-nya pun jarang 😆 ).

Kurang lebih seminggu yang lalu, di Twitter, terjadi ‘kehebohan’. Apa itu? Ada yang twitwar! Halah biasa! Eh, kalau di twitter terjadi twitwar antarakun mungkin kedengarannya sudah biasa ya. Tapi twitwar yang kemarin bukan sekadar twitwar antarpemilik akun seperti biasanya, tapi twitwar yang berujung perkelahian antara 2 orang dewasa yang masing-masing mempunyai perbedaan pendapat tentang politik, dan akhirnya berujung pada perkelahian fisik di Istora Senayan. Dalam hitungan detik, berita perkelahian tak elok tersebut menjadi viral di berbagai sosial media.

Ketika berita itu diunggah ke media online saya tertawa sendiri sambil bergumam, “oh, ternyata twitwarnya beneran dilanjutin ke berantem ya? 😆 “. Saya memang sempat mengikuti perdebatan mereka di twitter walaupun tidak terlalu intens. Tapi saya tidak terlalu ambil pusing, karena seperti yang sudah-sudah pasti cuma berujung debat kusir.

Awalnya adalah ketika ada salah satu akun mengetwit tentang kunjungan Presiden Joko Widodo ke Malaysia untuk membicarakan prospek kolaborasi dengan produsen mobil Malaysia Proton untuk memproduksi mobil nasional Indonesia. Ketika akun tersebut sedang membahas kemungkinan program kolaborasi tersebut ternyata ada pengguna twitter lainnya yang mengkritik rencana tersebut. Dari situlah adu kicau terjadi; saling adu argumen yang akhirnya meningkat jadi aksi saling bully.

Twitter adalah sebuah ranah di mana cyberbullying (atau sering disebut bullying 2.0 atau kekejaman online) sering diterapkan, utamanya pada situasi ketika para pengguna teknologi digital terlibat dalam perilaku menyakiti pengguna internet/teknologi digital lainnya. Bentuk cyberbullying ini bisa bermacam-macam; bisa berupa celaan, cercaan, atau hinaan kepada satu sama lain. Bisa juga berupa kata-kata atau tindakan yang bersifat mempermalukan/melecehkan dan atau membahayakan orang lain. Bukan itu saja, yang paling sering dilakukan adalah dengan menciptakan akun-akun anonim dan digunakan untuk menyerang pemilik akun yang menjadi sasaran dengan menggunakan kalimat-kalimat atau ilustrasi yang bersifat merendahkan. Bentuk lain dari cyberbullying adalah melakukan aksi pengecualian (exclusion); aksi yang secara khusus dan sengaja mengecualikan seseorang dari kelompok online, seperti misalnya memutuskan hubungan dari media sosial padahal awalnya kedua pihak ini saling berhubungan atau berteman. Dan masih banyak lagi bentuk tindakan-tindakan cyberbullying lainnya yang mungkin tanpa sadar kita sendiri pernah (khilaf) melakukannya.

Brian Solis mengatakan, “Social Media is more about sociology and psychology more than technology”.

Ketika kita bicara tentang sosial media, kita bukan hanya akan bicara tentang teknologi semata, tapi bicara tentang sosial media secara menyeluruh, baik itu secara strategis, perspektif, dan sisi psikologis para penggunanya.

Lalu, apa menariknya perkelahian dua orang yang berawal dari twitwar di twitter itu? Tidak ada menariknya sama sekali. Tapi ada hal yang bisa dipelajari di sini. Pertama, dua orang yang adu jotos di Istora seminggu yang lalu adalah dua orang yang sudah dinyatakan matang secara usia. Tapi pada kenyataannya usia bukanlah ukuran kedewasaan dalam bertindak dan berpikir. Kedua, walaupun banyak yang mengklaim dirinya sudah lama dan mahir bersosial media, nyatanya tidak semuanya paham bagaimana ‘bermain’ di sosial media; buktinya masih ada yang membawa-bawa emosi online ke offline. Ketiga, setelah insiden adu jotos kemarin, saya yakin tidak ada satupun yang peduli tentang siapa yang sebenarnya jadi pemenang, yang terlihat hanyalah dua orang dewasa yang sama-sama kehilangan martabat dan akal sehat.

Sekadar tips ringan, ada baiknya kalau kita sudah merasa jenuh bersosial media, atau mudah terbawa emosi hanya karena membaca status sebuah akun, tidak ada salahnya untuk off sejenak dari dunia sosial media. Biasanya pikiran kita akan lebih fresh ketika kita kembali mengunjungi laman sosial media kita.

Ya, akhirnya sosial media hanyalah taman bermain bagi pengguna internet… seperti saya…

“Social media is changing the world, and we’re all here witnessing it”
Ian Somerhalder

 

[devieriana]

 

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

Antara medok & Megapolitan

Kemarin timeline saya mendadak muncul bahasan yang berhubungan dengan logat yang ‘medok’. Berawal dari tweet @KeiSavourie yang menyatakan keheranannya melihat benturan budaya yang terjadi di Surabaya. Menurutnya, salah satu syarat menjadi kota megapolitan itu dengan tidak terlalu banyak menggunakan bahasa daerah, karena menurutnya penggunaan bahasa daerah menunjukkan semangat kesukuan dan eksklusifisme, jadi kurang cocok dengan modernisme.

Alhasil sore itu pun timeline saya penuh adu kicau antara Kei dengan beberapa akun lainnya. Menurut saya pribadi apa yang di-tweet Kei juga kurang tepat kalau ingin menjadi sebuah ‘teori’ baru tentang modernisasi dengan  menjadikan logat medok daerah menjadi salah satu parameter pantas tidaknya sebuah kota berpredikat sebagai kota megapolitan.

Kebetulan saya orang Jawa Timur, saya lahir di Surabaya yang besar di Surabaya dan Malang. Saya paham betul dengan pergaulan dan bahasa sehari-hari yang digunakan oleh orang-orangnya. Mayoritas kami menggunakan bahasa Jawa dengan logat Suroboyoan yang kental. Saya sendiri kalau di rumah berkomunikasi dalam 2 bahasa, Jawa dan Indonesia. Kalau bercakap-cakap dengan teman-teman kami ortu lebih memilih bercakap dengan menggunakan bahasa Indonesia, alasannya: “anak sekarang jarang ada yang bisa berbahasa daerah sesuai dengan tingkatan bahasanya.”

Bahasa Jawa memiliki 3 tingkatan bahasa, yaitu krama inggil, krama madya, dan ngoko. Krama inggil (krama alus) adalah bahasa yang digunakan saat berbicara dengan orang yang lebih tua. Krama madya digunakan saat berbicara dengan orang yang sebaya atau jarak usianya tidak terpaut jauh di atas kita. Sedangkan ngoko digunakan saat berbicara dengan orang yang sebaya/lebih muda. Walaupun demikian penggunaan bahasa Jawa halus (krama inggil dan krama madya) di kalangan orang-orang Surabaya tidak sehalus di Jawa Tengah. Kebanyakan sudah bercampur dengan kata-kata sehari-hari yang ‘lebih kasar’. Kasar di sini bukan berarti bahwa arek Suroboyo itu identik dengan kekasaran, ya. Tapi lebih merujuk ke sikap tegas, lugas, dan terus terang. Sikap basa basi yang diagung-agungkan orang Jawa ‘tidak berlaku’ di kehidupan arek Suroboyo \m/

Nah, ngomong-ngomong soal medok, ketika saya pindah ke Jakarta sekitar 6 tahun yang lalu, logat saya juga medok tapi masih dalam tahap yang bisa dimaafkan ;)). Sempat dijadikan bahan becandaan karena logat saya dianggap ‘lucu’ di antara logat Jakarta mereka yang kental, tapi saya sih santai saja, malah lucu. Apalagi ketika mereka mengira berbahasa Jawa itu mudah, ‘cuma’ mengubah kata-kata yang berakhiran “a” menjadi “o”, seperti nama jadi nomo, lupa jadi lupo. Nggak gitu juga, kali! :))

Untungnya logat medok saya itu sama sekali tidak terdengar ketika masih bertugas di call centre. Bahkan setelah ‘pensiun’ sebagai call centre officer, saya sempat mengisi kelas calon-calon call centre officer dan ikut menguji mereka bersama para rekan ‘alumnus’ officer yang lain. Kami harus jeli mendengarkan mereka bicara baik secara langsung maupun via telepon, memastikan mereka sejak awal bebas dari logat kedaerahan; mencermati kata-kata yang mengandung huruf: d, b, p, f, v, r, l; dan tentu saja mereka harus bebas cadel. Mengapa harus bebas dari logat kedaerahan? Call centre sebagai pusat pelayanan pelanggan di seluruh Indonesia idealnya suara yang terdengar juga bebas logat kedaerahan. Tentu akan terdengar lebih enak didengar ketika logat kami terdengar ‘seragam’ walaupun call centre kami tersebar di 4 kota besar, dengan 4 logat khas yang berbeda pula: Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan.

Sebagai seorang yang kurang paham pergaulan di Surabaya, saya memaklumi Kei. Pada praktiknya nggak segitunya jugalah. Di forum-forum formal, di sekolah, kampus, di beberapa kantor/instansi, bahasa pengantarnya menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Jawa digunakan sebagai bahasa pergaulan sehari-hari non formal. Intinya bahasa Indonesia tetap dipergunakan di waktu dan tempat yang sesuai. Sebenarnya sih akan sama saja kalau kita pergi ke daerah lain, pasti akan terdengar orang bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa daerah mereka, kan?

Setiap kota pasti punya keunikan tersendiri, pun halnya Surabaya. Salah satu keunikan Surabaya selain logat orang-orangnya yang medok, juga ragam bahasa yang jauh lebih banyak, karena meskipun Jawa adalah suku mayoritas yang ada di sana, Surabaya juga menjadi tempat tinggal berbagai suku bangsa di Indonesia, di antaranya suku Madura, Tionghoa, Arab, dan sisanya merupakan suku bangsa lain seperti Bali, Batak, Bugis, Manado, dll.


Membaca tweet di atas membuat saya jadi antara ingin tertawa dan menangis dalam waktu yang bersamaan :((. Duh, pelestarian budaya Jawa kan bukan ‘cuma’ dari memedokkan gaya bicara saja, Kak. Kalau cuma kaya begitu, apa kabar itu para bule yang mahir memainkan gamelan dan menari tarian daerah kita padahal mereka sehari-harinya bicara dalam bahasa asing? Aduh, jadi pengen tepokin jidatnya siapa gitu, deh 😐

Oleh kota mana pun predikat megapolitan itu nantinya akan disandang, biarkan dia berkembang sesuai dengan kultur masyarakatnya. Modernisasi toh bukan cuma diukur dari bahasa apa yang digunakan oleh mayoritas penduduknya, dan atau dari medok/tidak logat mereka, tapi harus dilihat secara holistik. Siapa tahu justru local wisdom justru bisa bersanding dengan modernisasi? Saya tinggal di sana sudah puluhan tahun, kalau ada yang bilang ada pemaksaan penggunaan satu bahasa kepada suku/ras lain yang ada di Surabaya, di mana letak pemaksaannya, ya? 😕

Kembali lagi ke konsep megapolitan, saya sempat membacanya di  . Saya kutipkan sedikit:

“Megapolitan adalah kota dengan ciri-ciri: (1) jumlah penduduk yang sangat besar; (2) jaringan yang tercipta menggambarkan keterkaitan bukan saja berskala nasional tapi juga internasional; (3) dari sudut ruang, menggambarkan adanya keterkaitan antar berbagai kota secara individual bahkan penggabungan.”

Bagaimana? Adakah di sana yang menyebutkan medok/tidaknya penduduk di suatu daerah menjadi parameter pantas tidaknya sebuah kota berstatus megapolitan? ;;) Ya siapa tahu predikat kota megapolitan selanjutnya justru bukan Surabaya, tapi kota lain di luar Pulau Jawa misalnya, secara fisik kota, infrastruktur, dan syarat-syarat lain-lainnya sudah terpenuhi dan siap dinyatakan sebagai kota megapolitan, apa iya hanya gara-gara masyarakatnya berlogat medok kedaerahan lantas predikat kota megapolitannya dicabut? Ya kan lucu.

Ok, mungkin Kei ingin menyampaikan hal yang jauh lebih luas dari apa yang sudah dia tuliskan kemarin, tapi berhubung cara/kalimat penyampaiannya ada yang kurang tepat akhirnya menimbulkan mispersepsi banyak pihak, dan parahnya dia sendiri jadi terjebak dalam logical fallacy.

Menyatakan ide/opini dalam bahasa tulis (yang dibatasi karakter) itu ternyata tidak mudah, ya? :p

Just my two cents

 

 

[devieriana]

 

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

Rape is not a joke!

Bagi yang sudah sering bermain di ranah social media pasti familiar dengan yang namanya twitter, kan? Tempat dimana kita bisa berceloteh dan menceracau tentang apa saja. Tempat berbagi hal positif sekaligus negatifnya.

Pasti kita juga sudah tidak asing dengan hashtag memetwit atau twit memedi, atau twit horor, atau twit menyeramkan yang kerap ‘disajikan’ tiap malam Jumat, kan? Kisahnya sendiri ada yang berdasarkan pengalaman nyata, atau hanya cerita rekaan belaka. Tapi yang jelas pasti bertema horor. Namun dalam perkembangannya, #memetwit mengalami penyimpangan ide, mungkin maksudnya untuk mengubah timeline malam Jumat menjadi tidak melulu berisi cerita horor ya, sehingga ada yang memodifikasinya dengan memberikan tweet-tweet lucu walaupun dengan tetap menggunakan tema dan tokoh seram.

Tapi, ketika menyimak timeline twitter dengan hashtag #hororgagal beberapa minggu yang lalu kok rasanya itu adalah timeline dengan tema horor komedi yang paling nggak lucu. Apa lucunya kalau yang dijadikan bahan lelucon adalah perkosaan?

“Bang.. Ingatkah kau yang telah memperkosaku? | Perkosa apaan sih Neng, masuk aja enggak! #eaaaa”

“Bang, ingatkah kau telah memperkosaku? | Se-se-setan! | Apa? Jadi gue dulu diperkosa sampai mati??? #hororgagal #barunyadar

“Bang , kau telah memperkosaku | m4caa ce3hhh | iya bang | 0u9hT c3muN9udht eaaa | (?_?’!l) #diperkosa ababil #hororgagal”

Itu adalah sebagian kecil contoh tweet yang dibuat untuk lucu-lucuan, yang awalnya di-tweet oleh seseorang dan lalu menyebar dalam bentuk retweet oleh banyak orang, termasuk oleh para selebtwit yang memiliki ribuan follower pun ikut ‘khilaf’ menge-tweet dengan tema yang sama.

Ok, katakanlah saat itu saya yang sedang tidak berada dalam frekuensi kelucuan yang sama dengan mereka. Atau, mungkin saya yang waktu itu lagi sensi sehingga merasa sangat kurang nyaman menyimak timeline malam itu. Kalau memang perkosaan adalah hal yang lucu dan pantas dijadikan bahan becandaan, kok sampai sekarang saya belum bisa menemukan di mana letak kelucuannya, ya? Bukankah perkosaan itu adalah musibah yang seharusnya disikapi dengan empati, tapi mengapa malah dijadikan bahan lelucon, ya? 😕

Bersyukurlah, karena keluarga dan orang-orang terdekat kita masih dijaga keselamatannya oleh Tuhan sehingga terhindar dari berbagai tindak kriminal, termasuk salah satunya perkosaan. Tapi coba deh sejenak kita lihat di luar sana, ada berapa banyak perempuan korban perkosaan; rape survivors & sexual abuse yang bukan hanya terluka secara fisik, namun juga psikis, dan bahkan ada yang harus menanggung hasil perkosaan yaitu kehamilan yang tidak dikehendaki. Bagaimana perjuangan mereka untuk tetap survive, dan berusaha melupakan kejadian pahit yang pernah dialaminya? Ibaratnya, mereka  sedang menyimpan sebuah kotak pandora di dalam sebuah ruang rahasia yang tidak ingin mereka buka, tidak ingin mengeluarkan isinya, apalagi memamerkannya sebagai benda istimewa pelengkap mebel. Kebanyakan mereka tidak punya teman untuk bertukar cerita; kalau ada teman pun belum tentu mereka sanggup untuk bercerita; cenderung menjadi sosok yang introvert, dan memilih untuk menyimpan lukanya sendiri. The silent cry!

Seringkali terjadi, walaupun mereka sudah diberikan layanan medis, psikologis, dan pendampingan hukum, namun tetap saja luka dan ingatan tentang kejadian buruk itu tidak bisa serta merta hilang begitu saja bersama waktu. Tak jarang kelebatan kejadian masa lalu yang buruk itu mendadak berlompatan muncul silih berganti. Belum lagi jika ada trigger yang mengingatkan kembali pada kejadian itu. Coba bayangkan, apa yang akan kita lakukan jika yang menjadi korban perkosaan itu adalah orang terdekat kita? Naudzubillah mindzalik, ya. Kalau sampai seperti itu, apa iya kita masih sanggup menggunakan kata perkosaan sebagai bahan becandaan?

Pernah baca tentang kisah nyata siswi SMA di Jepang berusia 17 tahun yang bernama Junko Furuta yang meninggal di tahun 1988 setelah diperkosa beramai-ramai selama 44 hari, disiksa secara biadab, dan akhirnya dimutilasi oleh teman-temannya sendiri? Kalau belum, silakan search di google, baca sendiri kisahnya hingga selesai, dan rasakan feel penderitaan Junko Furuta hingga menjelang ajal. Fakta lain yang juga tak kalah menyakitkan adalah para pembunuh Furuta sekarang adalah manusia-manusia yang bebas dari jeratan hukum dengan alasan kurang adanya bukti kuat yang mendukung bahwa mereka adalah pelakunya. Lagi, setelah membaca kisah sedih itu, masih layakkah perkosaan menjadi bahan lelucon/becandaan?

Jika dulu kita mengenal adagium “mulutmu harimaumu”, sekarang di era social media ada istilah “tweet-mu, harimaumu”, “postinganmu harimaumu”, atau “statusmu, harimaumu”. Sekali saja kita menerbitkan postingan/status/tweet dan lalu menekan tombol publish/enter, seketika itu juga orang lain akan melihat, membaca, mengomentari, dan bahkan menyebarluaskannya sampai dengan batas yang tidak mampu kita tentukan. Mungkin saja kita tidak bermaksud buruk, namun toh tetap saja bisa diterima secara berbeda oleh orang lain. Itulah saat dimana kita sudah kehilangan kendali terhadap efek apa yang akan timbul kemudian. Sekalipun kita berkomunikasi secara tidak langsung di ranah maya, namun perlu diingat bahwa yang kita ajak berkomunikasi, yang membaca statement kita itu juga manusia, yang punya punya perasaan, martabat, dan harga diri. Bukan berarti tidak boleh mengeluarkan pendapat, akan tetapi lebih berhati-hati ketika akan mengeluarkan statement, apalagi yang sifatnya pribadi.

Think before you post!

Jika Anda peduli dengan para korban perkosaan dan sexual abuse, silakan support dan follow @lenteraID. Atau jika berkenan untuk menjadi relawan atau sekedar ingin berbagi cerita silakan mengirim email ke lenteraid[at]gmail[dot]com. Semoga kita bisa saling menguatkan.. 🙂

 

[devieriana]

 

ilustrasi dari sini

Continue Reading

Totem Pro Parte

Internet telah menjadi sebuah media sosial yang perkembangannya sangat pesat. Mau tidak mau internet telah menjadi salah satu pelengkap gaya hidup manusia, karena (rasanya) kalau tidak mengakses internet sehari saja seperti ada yang kurang lengkap dan ketinggalan informasi. Melalui internet kita bisa mendapatkan segala akses informasi dari berbagai penjuru hanya dengan sekali klik. Namun internet juga bagaikan pisau bermata dua, bisa bermanfaat tapi sekaligus ‘membunuh siapa saja yang kurang bijak ketika menggunakannya. Zaman sekarang memang eranya keterbukaan dan kebebasan berpendapat, namun jika kita kurang bijak menggunakannya bukan feedback positif yang kita dapatkan tapi justru sebaliknya.

Sebut saja twitter atau facebook yang notabene tingkat penggunanya di Indonesia cukup banyak. Facebook merupakan sebuah jejaring sosial tempat bersilaturahmi dengan teman lama, yang dilengkapi dengan media untuk memposting link tulisan/video/foto, mengomentari status teman, bermain games, dll. Manfaatnya, tentu saja bagi tiap orang bisa saja berbeda-beda, pun halnya dengan tingkat preferensi penggunaannya. Sedikit berbeda dengan twitter yang jauh lebih simple tampilannya, dia adalah jejaring informasi dalam 140 karakter. Soal informasinya bermanfaat atau tidak tentu saja tergantung siapa yang kita follow. Kalau kita anggap bermanfaat ya silahkan di follow, kalau tidak ya lewatkan saja, atau kalau ternyata setelah di follow ternyata kita merasa kurang sreg dengan isi twitnya ya gampang, tinggal unfollow saja, seperti kata Pramono Anung di akun twitternya :

“DEMOKRASI di Twitter nggak perlu gedung baru, nggak ada study banding, boleh menghujat, Suka di-follow, sebel-Unfollow, SEMUA SENANG”

Namun perlu hati-hati juga, semakin banyak jumlah follower atau teman yang ada dalam friendlist kita seharusnya membuat kita harus lebih berhati-hati ketika memposting status. Tentu masih ingat nasib beberapa orang yang “keseleo lidah” dan akhirnya membuat dia dicerca, dikritik, dimaki-maki, dan bahkan ada yang langsung menutup akunnya karena tidak kuat menghadapi kritikan pedas para pengguna social media yang lain karena telah mengeluarkan pernyataan yang menyinggung beberapa kalangan tertentu dan atau memberikan opini sepihak yang tidak pada tempatnya. Sebut saja kasus facebook-nya Ivan Brimob dengan status Polri dan cicaknya. Tifatul Sembiring dengan twit jokes AIDS-nya. Ada juga Mario Teguh (sayangnya akun itu telah dihapus) dengan twit tentang wanita yang pas untuk teman pesta, clubbing, merokok, mabuk dan bergadang sampai pagi tidak mungkin direncanakan jadi istri. Dan yang masih fresh, twit Hanung Bramantyo berikut ini :

hanung-bramantyo3

Kita memang bebas menulis apapun di akun social media kita, namun ada baiknya jika kita juga mampu menggunakannya secara bijak dan bertanggung jawab. Mengingat status kita disana bisa diakses & direspon secara langsung oleh orang lain, dari sanalah kita akan “bertemu” dengan banyak teman baru yang datang dari berbagai kalangan (dan kita pastinya tidak bisa mengenalinya satu-persatu), dari sanalah pula ‘sejarah’ kita bisa makin dikenal oleh orang lain atau justru malah akan tenggelam dalam hujatan pengguna social media yang lain hanya karena kita ‘keseleo lidah’.

Satu hal yang perlu diingat oleh semua pemilik akun social media :

” jika kita hanya mengetahui sedikit saja tentang sesuatu, atau hanya kulit luarnya, jangan pernah mengkritisi, mengambil kesimpulan secara sepotong-sepotong dan bahkan membuat opini sendiri secara totem pro parte, yakni menggeneralisasi sebuah kondisi padahal hanya untuk mengambil sebagian informasi saja. Seperti apa yang dikatakan oleh Bob Dylan, “don’t criticize what you can’t understand”, karena kebanyakan orang hanya melihat dari luarnya tanpa tahu isi didalamnya seperti apa..”

Nah, saya punya sedikit intermezo. Saya akan share sebuah video. Yang saya tanyakan adalah ketika Anda melihat video ini sebelum diputar, gambar apa sih yang ada dalam pikiran Anda? Iklan shampoo? Wanita berambut panjang? Rambut indah dan terawat? Atau mungkin ada yang lain? 😉

Nah kalau sudah menonton, coba bandingkan dengan apa yang ada dalam bayangan Anda tadi. Lalu maksudnya apa? Dari situlah kita bisa melihat bahwa apa yang kita lihat luarnya saja belum tentu sama dengan apa yang sebenarnya terjadi.

Ready?
Selamat menonton ya 🙂

[devieriana]

screen capture dari twitter

Continue Reading

Twitter vs Facebook

““Indonesia is the third largest tweet producer in the world

Beberapa tahun belakangan ini facebook boleh jumawa bisa menggantikan posisi kejayaan situs-situs jejaring sosial macam friendster, multiply , plurk , koprol dan beberapa situs sejenis lainnya. Ya memang sih temen-temennya bakal itu ke itu juga, lha wong cuma migrasi situs ;)). Tapi agaknya kali ini facebook harus mulai waspada dengan mulai berpindah hatinya beberapa pengguna facebook ke akun twitter. Ya situs mikroblogging yang mengijinkan para cicitcuiters mengoceh dalam 140 karakter itu.

Buat sebagian orang facebook dirasakan masih cukup bisa mengakomodir kebutuhan bersosialisasi terutama dengan teman-teman lama yang mungkin sudah jauh di negeri seberang atau bahkan hilang di antah berantah (saking nggak tahu kabarnya). Tapi twitter menyediakan media yang jauh lebih simple & berbeda daripada pendahulu-pendahulunya. Di facebook memang fiturnya jauh lebih komplit karena bisa apa saja disitu, mulai posting status, youtube, link, tag foto, tag teman, main games & kuis. Sedangkan twitter “hanya” menyajikan kolom sepanjang 140 karakter yang membuat kita bisa menulis status atau bahkan melakukan retweet dan berbalas tweet dengan rekan lainnya. Tapi kalau mau posting foto, video, atau link tetap masih bisa, tapi tampilannya jelas berbeda dengan facebook. Ya iyalah kalau bikin produk baru tapi fiturnya sama saja dengan yang sudah ada ya buat apa 🙂 . Hmm, cuma itu saja? Ya enggaklah, kalau sudah aktif di twitter dijamin akan ketagihan. Halah ;))

Tanpa mengurangi rasa hormat,  teman-teman di kantor (terutama) banyak yang masih asyik bersosialisasi melalui facebook. Tiap istirahat pasti bukanya facebook. Sementara saya sudah jarang-jarang bukanya. Buka kalau inget, buka kalau pengen. Beberapa diantara teman saya sering tanya apa bedanya twitter dengan facebook, apa kelebihannya, dimana letak keasyikannya, dll. Wah kalau soal itu jawabnya bisa panjang ya. Karena bisa jadi nanti kembalinya ke selera individu juga. Jadi saya cuman menjelaskan saja, tapi nggak mengajak, hehehe.. Soalnya sudah ada yang pernah saya ajak coba bikin akun twitter  tapi ternyata responnya begini :

“Ah, ternyata nggak asyik ah. Kok bisa sih kamu suka banget maininnya? Bagusan juga facebook..”

Haiyaaa.. baiklah teman, mungkin jalan kita berbeda. Kita tak mungkin bersatu. Halah ;))

Ya sekali lagi kembali ke selera sih ya. Kalau saya jujur nih, sudah (nyaris) bosan sama facebook. Alasannya? Ya karena cuma begitu-begitu saja big grin. Pakai facebook buat komen iseng atau kebanyakan sih buat posting link blog ini kalau kebetulan ada postingan baru 🙂

Semua situs punya era kejayaan masing-masing. Pergantian situs yang akan, sedang, sudah booming itu hanya masalah waktu. Setiap kali ada situs baru yang menawarkan sesuatu yang lebih berbeda & segar pasti akan dengan segera diikuti oleh banyak orang yang membuat akun baru. Jadi, akankah situs facebook akan menurun kejayaannya dalam beberapa waktu ke depan & digantikan dengan situs lainnya? We’ll wait & see.. \m/

Eh, eh, foursquare juga lucu loh 😉

[devieriana]

Continue Reading