Sesungguhnya, membawa anak ke kantor ketika sedang tidak ada support village itu bukan perkara mudah. Apalagi jika itu dilakukan setiap hari selama hampir satu bulan setengah. Banyak cerita yang ‘nano-nano’ ketika membawa anak ikut ke kantor. Tapi bagaimanapun, profesionalisme baik sebagai ibu maupun sebagai pegawai kantoran harus tetap dijaga. Risiko seorang ibu bekerja.
Bukan kali pertamanya saya membawa Alea ke kantor. Sejak Alea balita pun sudah pernah ikut saya ke kantor kalau kebetulan eyangnya harus pulang selama beberapa waktu. Terhitung sudah hampir satu bulan ini Alea saya bawa ke kantor karena eyangnya sedang umroh, plus akungnya juga sedang sakit di Surabaya, jadi otomatis Alea tidak ada yang menjaga/mengasuh.
“Emangnya nggak ribet bawa anak ke kantor?” Pertanyaan itu pasti ada. Jawabannya, ya awalnya pasti ribetlah. Tapi dinikmati saja. Salah satu proses ribetnya menjadi orangtua bekerja itu ketika anak tidak ada yang menjaga di rumah, alternatif solusinya kalau nggak orangtuanya yang cuti, ya anaknya yang dibawa ke kantor. Nah, berhubung saya tidak memungkinkan mengambil cuti sampai sebulan lamanya, ya Alea saya bawa ke kantor. Ribet dikit nggak apa-apalah. Alhamdulillah sejauh ini Alea nggak pernah rewel sih anaknya.
Salah satu cara supaya anak tetap betah di tempat kerja orangtuanya itu mudah saja. Penuhi dulu apa yang jadi kebutuhannya. Bawakan makanan dan mainan favoritnya, insyaallah anak akan nyaman. Tapi sebenarnya hal penting lainnya adalah lingkungan kerja (orangtua) yang nyaman, sih. Jujur ruangan kerja saya sebenarnya tidak nyaman untuk ukuran anak-anak. Penuh berkas, sempit, dan tidak ada lucu-lucunya. Tapi justru di situlah seninya. Semuanya tergantung bagaimana kita menjadikan anak tetap betah sampai waktu pulang tiba.
Nah, selama membawa anak ke kantor ada cerita seru apa? Oh, banyak. Tapi ada satu moment yang tidak akan saya lupakan, yaitu membawa Alea ke acara pelantikan. Deg-degan nggak, tuh? Super!
Dari awal ketika saya tahu kalau akan ada pelantikan pejabat Administrator dan Pengawas pada tanggal 2 Mei 2018, hati saya sudah gamang. Sebagaimana diketahui, hampir di setiap acara pelantikan atau acara-acara lainnya, atasan berkenan meminta saya untuk menjadi pembawa acara. Kalau saya dalam kondisi normal, sedang tidak membawa bocah sih cincay saja. Tapi jelas akan lain cerita ketika saya harus membawa Alea ke sebuah acara yang superformal. Memandu acara tentu jadi saat yang sedikit deg-degan dan mengkhawatirkan.
Durasi acaranya sih cuma 30 menit, tapi sepanjang 30 menit itulah khidmat-khidmatnya acara pelantikan. Apalagi pelantikannya dipimpin langsung oleh Menteri Sekretaris Negara. Kebayang bagaimana khawatirnya saya, kan? Memandu acara sekaligus mengawasi anak.
Jujur, saya was-was. Walaupun Alea sudah saya brief sejak beberapa hari sebelum hingga menjelang acara berlangsung, tetap saja pada praktiknya tidak semudah itu bagi balita usia 3 tahun 10 bulan itu. Apalagi ketika harus berada di tengah-tengah orang asing yang berkumpul dalam satu ruangan. Ketidaknyamanan itu menyergap Alea bahkan sejak awal masuk Gedung 3, menuju foyer Aula Serbaguna
Alea adalah anak yang tidak bisa langsung akrab dengan orang baru. Apalagi jika jumlahnya langsung banyak. Jangankan dicolek, ditanya siapa namanya saja, dia enggan menjawab. Apalagi kalau yang bertanya itu bukan orang yang dikenal. Itulah mengapa saya hanya bisa mempercayakan Alea ke beberapa teman yang kebetulan sudah dekat dengan Alea, untuk mem-back up saya.
Sebelum acara dimulai, saya cium kening Alea, usap kepalanya, dan bisikkan ke telinganya, “Nak, Mama tugas dulu sebentar, ya…”
Sepanjang acara berlangsung, doa dan wirid tak henti-henti saya baca dalam hati. Semoga Alea tidak rewel selama acara berlangsung. Mungkin terdengar egois, ya. Bagaimana mungkin saya menuntut seorang balita untuk bisa memahami acara orang dewasa yang sedang saya pandu. Bagaimana mungkin saya menuntut Alea bersikap sama dengan orang dewasa lainnya, sementara jiwanya jiwa main-main. Saya paham sebesar apa risiko yang harus saya tanggung kalau saya berani membawa Alea ke dalam ruangan pelantikan. Saya harus siap menghadapi risiko tak terduga misalnya Alea tiba-tiba rewel di tengah acara. Tapi entah kenapa, dalam hati saya yang paling dalam, saya percaya kalau Alea memahami tugas ibunya, dia paham kata-kata saya. Mungkin feeling seorang ibu, ya.
Lima menit pertama, aman. Sepuluh menit, lima belas menit berikutnya, aman. Dua puluh lima menit, hingga tiga puluh menit lengkap, alhamdulillah aman.
Luar biasa, Alea! Terima kasih, Nak…
Selama 30 menit itu Alea tidak rewel, tidak uring-uringan. Dia konsen dengan film Mini Mouse di gawai saya, hingga akhir acara. Konon, memberikan gawai kepada anak, sebenarnya kurang baik efeknya. Tapi bagi sebagian orangtua memberikan anak tontonan di gawai mungkin bisa menyelamatkan keadaan ketika dibutuhkan. Tentu saja untuk sementara waktu.
Lalu sudahkah itu saja? Berikutnya, ketika saya diminta mengajar tentang MC dan dirigen oleh Kementerian Sosial di Royal Amarroossa, Bogor. Dilema lagi, kan? Tidak mungkin saya mengajak Alea selama mengajar di kelas, sekalipun itu cuma mini class yang pesertanya cuma 10 orang. Akhirnya, senjata terakhir saya gunakan. Saya minta bantuan adik saya untuk menjaga Alea sementara saya pergi ke Bogor selama setengah hari. Alhamdulillah, adik saya menyanggupi. Pun, ketika saya harus bertugas sebagai pembaca saritilawah di acara buka bersama di lingkungan Sekretariat Lembaga Kepresidenan beberapa waktu lalu. Walaupu ada drama-drama sedikit, tapi alhamdulillah teratasi.
Kalau jadi petugas upacara Hari Kebangkitan Nasional, saya sudah izin belum bisa bertugas sebagai pembawa acara, karena akan lebih tidak mungkin lagi kalau saya harus membawa Alea ikut dalam upacara yang durasi dan prosesinya lebih lama daripada pelantikan.
Bersyukur punya atasan dan lingkungan yang sangat suportif dan kooperatif menyikapi para ibu bekerja yang dalam waktu tertentu terpaksa harus membawa anak mereka ke kantor.
Bagaimana dengan kalian? Adakah moment deg-degan ketika harus membawa Si Kecil ke kantor?
[devieriana]