An Unexpected Stay, A Life Reset

“Sometimes we need to pause for a moment to realize how much we’ve been through. Only in silence, the body and soul find their way to heal”


I never thought a regular Wednesday would end with me lying on a hospital bed, staring at white ceilings and counting the beeps of machines. It wasn’t part of the plan. I mean, who plans to swap weekend Netflix for an IV drip and a hospital gown that doesn’t quite cover your dignity? But sometimes, life doesn’t ask for your permission—it just throws you straight onto a gurney.

Rabu (26/2) itu saya masih melanjutkan aktivitas seperti biasa—menyelesaikan pekerjaan rutin, ikut tes percakapan Bahasa Inggris, lalu munggahan bersama teman-teman kantor menyambut Ramadan. Tidak ada pertanda apa pun. Saya pikir hari itu akan berakhir seperti biasanya: pulang, istirahat, dan bersiap untuk hari esok. Tapi ternyata, semesta punya rencana lain.

Menjelang pulang kantor, perut saya mendadak terasa kembung, nyeri, melilit, dan perih yang makin lama makin menusuk. Saya pikir, ah ini cuma gangguan pencernaan biasa, bisa jadi akibat saya ada salah makan di munggahan—yang biasanya akan berangsur hilang dengan olesan minyak kayu putih dan tidur. Tapi makin lama rasa sakitnya makin intens. Posisi apa pun terasa salah. Mau berdiri atau duduk, salah. Miring ke kiri sakit, ke kanan pun tak nyaman. Karena saya pulang kantor pun sudah sore menjelang malam, akhirnya mencoba konsultasi via aplikasi kesehatan, HaloDoc. Berdasarkan keterangan yang saya berikan, dokter menyebut ada kemungkinan maag—keluhan yang belum pernah saya alami seumur hidup. Saya diberi resep, meminum obat yang diberikan sambil terus ber-husnuzan beneran cuma maag, dan esok hari saya pulih seperti semula.

Namun ternyata meski obat sudah saya minum, antara mata dan kondisi tubuh yang kesakitan, memberikan respon yang tidak sinkron. Saya justru tidak bisa tidur sampai pagi. Belum lagi ditambah adanya masalah baru, saya juga mengalami diare. Dengan kondisi tubuh yang awur-awuran ini menyebabkan tubuh saya makin lemas, nafsu makan juga mulai terganggu.

Keesokan harinya, dengan sisa tenaga, saya mencoba pergi ke klinik dekat rumah dengan naik taksi. Ternyata di klinik ini pun hasil pemeriksaan tak jauh berbeda—diduga gangguan asam lambung. Apakah memang asam lambung, maag, atau gerd deritanya sesakit ini, ya? Sama seperti harapan saya pada dokter sebelumnya, kali ini pun saya berharap bahwa saya akan segera pulih setelah menelan obat-obatan yang diresepkan. Siapa tahu beda dokter, beda resep, bisa sembuh.

Tapi ternyata saya salah. Kondisi saya malah makin memburuk. Demam yang naik turun, diare yang tak kunjung membaik, ditambah lagi nyeri yang mulai mendera di area ulu hati. Saya nyaris tidak bisa berdiri tegak, jalan membungkuk menahan sakit. Melihat kondisi saya yang tak kunjung membaik itu, akhirnya persis di 1 Maret 2025 adik saya mengantar ke RS MMC Kuningan. Di sana, saya langsung ditangani oleh dr. Fatih Anfasa, Sp.PD. Melihat kondisi saya yang lemah dan mengenaskan itu, beliau langsung menyarankan rawat inap. Dugaan awal: tipes, TBC usus, atau mungkin infeksi organ dalam lainnya.

Dari observasi yang dilakukan selama saya rawat inap, hasil laboratorium menunjukkan saya positif tipes, defisiensi vitamin D, dan HB saya 7. Haduh, kok banyak sekali. Namun di luar itu, saya merasa ada yang tidak beres dengan perut saya. Meski suhu tubuh perlahan normal dan keluhan lain nyaris tak terasa, perut saya tetap terasa penuh dan kembung, padahal asupan makanan sangat sedikit.

Sementara itu, di tengah kondisi saya yang sedang dirawat di rumah sakit, fokus pikiran saya terbelah ke mana-mana. Meski fisik saya di ruang rawat inap, namun pikiran saya selalu terjaga di rumah, terlebih lagi saat itu bertepatan dengan pekan UTS. Ini adalah kali pertama saya tidak bisa mendampingi Alea belajar mempersiapkan diri menghadapi ujian. Selama ini, meski ada papanya di rumah pun, Alea selalu lebih memilih belajar bersama saya—meskipun saya galak. Dia belum terbiasa belajar sendiri, sehingga tetap butuh pendampingan. Dalam kondisi seperti ini, solusinya adalah sepulang sekolah Alea datang ke rumah sakit sambil membawa buku-buku pelajarannya, lalu belajar di sisi ranjang saya. Meskipun jauh dari kondisi ideal, saya tetap berusaha semampu mungkin untuk hadir mendampingi.

Puncaknya adalah ketika Rabu sore (6/3), saat saya sedang menemani belajar, tiba-tiba perut bagian bawah terasa nyeri sekali. Rasa sakitnya datang begitu tiba-tiba, disusul suhu tubuh yang naik hingga 38,3°C. Segera saya dibawa ke ruang radiologi untuk menjalani USG abdomen. Sayangnya, karena nyeri yang sangat mengganggu, proses pemeriksaan tidak bisa dilakukan dengan maksimal. Jangankan disentuh atau ditekan, terkena kain baju sendiri saja rasanya sensitif.

Keesokan harinya, saya dijadwalkan menjalani pemeriksaan CT scan abdomen dengan zat kontras (zat yang digunakan dalam pemeriksaan medis seperti CT scan untuk memperjelas gambar, sehingga membantu dokter melihat struktur tubuh dengan lebih detail). Jadi, CT scan abdomen dengan zat kontras membantu dokter mendeteksi tumor, kista, infeksi, peradangan, penyumbatan usus atau saluran empedu, serta gangguan pembuluh darah di perut. Sebelum pemeriksaaan, saya diminta untuk memimum cairan kontras, dan lalu berpuasa sejak pukul 07.00, untuk memastikan usus kosong sehingga hasil scan-nya hasilnya akurat, selain itu juga untuk menghindari efek samping yang mungkin muncul akibat zat kontras, seperti mual atau muntah. Kalau ditanya rasa cairannya bagaimana, jelas jauh dari kata enak—di lidah saya, aftertaste-nya seperti minum cairan berasa logam.

Proses pemeriksaan ini umumnya berlangsung sekitar 30 menit hingga satu jam, bergantung pada jenis pemindaian dan kebutuhan medis. Usai pemeriksaan, saya kembali ke kamar untuk beristirahat sambil menanti hasil, dengan perasaan yang campur aduk. Akankah hasilnya ‘baik-baik saja’ atau justu parah?

Dan benar saja, siang itu kamar rawat saya mendadak ramai—bukan oleh keluarga atau teman yang datang menjenguk, melainkan lima dokter yang masuk bersamaan: dokter spesialis bedah digestif, dokter obgyn, dokter bedah umum, dokter spesialis penyakit dalam, dan dokter anestesi. Mereka menanyakan apa saja keluhan yang saya rasakan, lalu menginfokan hasil CT scan abdomen pagi tadi. Dokter Arief Gazali menjelaskan bahwa kondisi di dalam perut saya cukup kompleks—ada kista, ada cairan, endometriosis, adenomiosis, dan perlekatan di usus. Jujur, mendengar  semua penjelasan itu, pikiran saya langsung penuh. Saya ini kenapa, ya Allah? Sampai akhirnya dokter Darmawan Lesmana memutuskan, “hari Jumat setelah Jumatan kita operasi, ya. Laparoskopi aja, lukanya kecil aja kok, jadi pemulihannya lebih cepat.”

Jumat, tanggal 7 Maret 2025, tepat pukul 12 siang, saya dibawa masuk ke ruang operasi. Tak ada lagi yang bisa saya upayakan, selain berserah diri sepenuhnya kepada Sang Kuasa. Saya pasrahkan pula semua tindakan kepada tim medis yang menangani saat itu. Saat ranjang saya mulai didorong menuju ruang operasi, sejatinya ada rasa takut meski sudah berserah. Di dalam hati saya tak henti merapal doa agar lebih tenang. Hingga akhirnya anestesi disuntikkan, saya pun perlahan tertidur—dan setelah itu, semuanya gelap.

Saya baru benar-benar siuman sekitar pukul 20.45 malam. Hampir sembilan jam berlalu, dan saya sama sekali tak tahu apa saja yang telah terjadi selama saya tak sadarkan diri. Di ruang pemulihan/transisi ada suster yang berjaga menunggu hingga saya siuman. Keluhan pertama yang saya rasakan justru bukan rasa nyeri di area bekas operasi, tapi rasa pegal di bagian punggung. Wajar saja, tubuh saya berjam-jam terbaring di atas meja operasi yang keras dan datar. Beberapa saat kemudian, saya mulai merasakan ketidaknyamanan di area hidung dan tenggorokan. Rupanya, ada dua jenis selang yang terpasang—satu untuk oksigen, dan satu lagi selang sonde yang digunakan untuk mengalirkan nutrisi langsung ke lambung. Tak lama setelah saya sepenuhnya sadar, tubuh saya dipindahkan ke ICCU dan langsung dibalut dengan selimut penghangat untuk menjaga suhu tubuh tetap stabil setelah prosedur medis.

Tak lama, suami saya datang ke ICCU. Wajahnya tampak lelah dan cemas. Rupanya selama saya berada di meja operasi, ia sempat beberapa kali dipanggil oleh dokter, dan harus menandatangi formulir persetujuan tindakan kedokteran—karena prosedur yang awalnya hanya direncanakan sebagai laparoskopi harus diubah menjadi major surgery dan itu jelas membuatnya khawatir.

Dengan suara lirih, ia berkata, “maafin aku ya, Mih. Aku sudah menyetujui dokter melakukan sesuatu atas tubuhmu tanpa persetujuanmu. Tapi semua buat kebaikan dan kesehatanmu. Sekali lagi, maafin aku, ya. Alhamdulillah, aku bersyukur kamu sudah melalui masa kritis, alhamdulillah kamu masih hidup…”

Hah, masih hidup? Apa maksudnya?

Suami saya belum sempat bercerita panjang lebar lantaran dia harus bolak-balik mengurus berbagai urusan administratif dan lainnya. Tak lama kemudian, adik saya datang bersama Alea yang terlihat lelah karena sudah menunggu sejak pulang sekolah hingga saya siuman. Adik saya menjelaskan apa yang terjadi saat operasi berlangsung. Dokter menemukan infeksi yang cukup serius di rahim saya, gabungan antara kista, adenomiosis, endometriosis, perlekatan di usus dan liver. Jadi, yang awalnya, dokter hanya merencanakan laparoskopi, namun selama prosedur berlangsung, kondisi yang ada memaksa perubahan rencana menjadi bedah mayor. Pembersihan usus dan liver tetap dilakukan. Sayatan vertikal dibuat dari atas pusar hingga ke bagian bawah perut. Prosedur yang semula hanya bertujuan untuk membersihkan saja, namun demi melihat kompleksitas masalah di dalam rahim, dokter memutuskan untuk melakukan histerektomi (pengangkatan rahim) guna mengatasi berbagai kondisi medis yang menyerang sistem reproduksi, dan mencegah keluhan yang sama terjadi berulang di masa yang akan datang.

Saya tercenung. Ternyata 8 jam lalu, ada peristiwa besar yang baru saja mengubah perjalanan hidup saya. Namun entah kenapa, saya tenang sekali mendengar cerita itu, hanya sedikit terkejut namun tidak menangis atau sedih. Semenerima itu. Risiko yang harus saya tanggung karena kesehatan saya jauh di atas segalanya. Meski akhirnya ada bagian tubuh—yang pernah menjadi tempat bagi anak saya bertumbuh—harus dilepaskan.

Dan, ketika semua orang sudah kembali ke rumah masing-masing, dan saya sendirian di ICCU, saya terjaga penuh—dengan segenap penyerahan diri memohon kepada Yang Maha Kuasa, agar saya diberi kesempatan untuk pulih, menjalani hidup yang lebih sehat, lebih ringan, dan tetap bisa membersamai keluarga tercinta.

Singkatnya, tak lama setelah keluar dari ICCU, sekitar pukul 15.00 saya dipindahkan kembali ke ruang rawat inap. Seharusnya, inilah momen awal untuk mulai latihan ringan: miring ke kanan dan kiri, lalu mencoba duduk, berdiri, hingga perlahan berjalan. Namun ternyata tubuh saya belum mampu. Bukan hanya karena rasa nyeri yang masih terasa, tapi juga secara mental saya belum sesiap itu. Berbeda dengan saat melahirkan Alea dulu—operasi sesar karena placenta previa sudah diinformasikan sejak awal, sehingga memberi saya waktu menyiapkan fisik dan mental. Namun tidak untuk kali ini. Operasi datang begitu mendadak, tanpa memberi waktu saya mempersiapkan diri lahir batin.

Butuh waktu tiga hari setelah operasi sampai akhirnya saya memberanikan diri untuk duduk, lalu perlahan berdiri dan mencoba melangkah pelan. Memang agak terlambat. Apalagi melihat perban yang rasanya begitu besar membalut area perut. Like, wow! Awalnya saya merasa belum sanggup menekuk bagian perut untuk duduk. Ternyata, setelah dicoba, saya mampu juga—meski masih terengah-engah. Mulanya saya hanya berjalan pelan di dalam kamar, hingga akhirnya berani melangkah keluar, menapaki koridor di lantai tempat saya dirawat.

Alhamdulillah, tanggal 15 Maret 2025 saya diizinkan pulang. Hasil laboratorium menunjukkan banyak perbaikan. Hati saya rasanya hangat—lega, bahagia, dan sangat bersyukur. Akhirnya saya diperbolehkan pulang, setelah 15 hari menjalani perawatan di rumah sakit. Tentu, saya pulang dengan membawa berbagai macam obat yang harus saya minum secara rutin sampai tiba waktu kontrol berikutnya.

Namun ternyata, titik paling menantang justru datang setelah saya kembali ke rumah.

Tanpa lagi ada perawat yang sigap membantu mengurangi nyeri, tanpa oksigen tambahan, atau alat bantu lain saat tubuh mulai lemah. Mau tak mau saya harus mengandalkan diri sendiri. Kemampuan kaki belum sepenuhnya kembali, baru bisa melangkah pelan. Napas terasa sesak karena batuk, sementara mual dan muntah datang mendadak akibat perut yang kosong, seiring dengan hilangnya selera makan. Tak mengherankan jika berat badan saya merosot drastis—dari 54,5 kg menjadi 42,3 kg. Saya sampai bingung saat mencoba pakaian, karena hampir semua baju saya berukuran S-M, tapi sekarang sepertinya ukurannya lebih kecil dari itu. Yang dulu terasa pas, sekarang semuanya longgar. Apa iya saya harus pakai baju ukuran kids?

Selama di rumah, setiap hari saya berusaha menantang diri melakukan aktivitas-aktivitas baru untuk melatih mobilitas dan memulihkan kekuatan otot—yang dulu sudah biasa dan bisa dilakukan, seperti mandi (selama di rumah sakit saya hanya mandi seka, itupun dibantu oleh perawat), keramas, memotong kuku kaki, menyapu lantai, mencuci baju atau piring kotor, atau sekadar menyelesaikan pekerjaan rumah lainnya, karena pascaoperasi besar melakukan hal-hal kecil seperti ini seperti sebuah pencapaian baru. Dan yang paling mengharukan adalah, ketika di pulang kontrol dari rumah sakit, ternyata saya sudah bisa pulang sendiri naik Gojek! Ah, rasanya ingin memberi pelukan ke diri sendiri, menyadari bahwa semua anggota tubuh saya seberusaha itu untuk pulih.

Kini, saya sudah kembali ke kantor dan menjalani aktivitas seperti biasa. Bahkan, pada tanggal 9 April lalu, saya sudah memandu acara Halal Bihalal di lingkungan Sekretariat Lembaga Kepresidenan. Saya juga berusaha menjalani hidup yang lebih sehat dengan rutin berolahraga, mengonsumsi makanan bergizi, dan menjalani aktivitas sehari-hari dengan semangat positif.

Melalui tulisan ini, dengan setulus hati, saya ingin berterima kasih kepada keluarga tercinta atas kasih sayang dan dukungan yang tak pernah surut, kepada sahabat-sahabat yang setia memberi perhatian dan bantuan tulus selama saya dirawat di rumah sakit, para perawat yang telah dengan sabar merawat saya selama di rumah sakit, serta kepada para dokter luar biasa yang telah menjadi bagian penting dalam perjalanan penyembuhan saya:

Berkat tangan dingin, keputusan cepat, dan ketulusan hati Bapak/Ibu Dokter, saya bisa menceritakan kembali kisah ini dengan penuh rasa syukur. Terima kasih telah menjadi bagian dari mukjizat kecil dalam hidup saya.

– Devi Eriana –

Continue Reading

Mistakes Are Okay

Sejak Alea bisa diajak berkomunikasi (usia pra TK), saya sering membagikan percakapan saya dengan Alea (7 tahun) di media sosial Instagram dalam bentuk IGstory. Percakapan yang sederhana, kadang lucu, kadang mengharukan, atau cerita parenting lainnya tentang bagaimana saya dan Alea saling berproses. Karena proses belajar itu bukan melulu dari saya untuk Alea, tapi sering kali justru dari Alea saya belajar bagaimana menjadi seorang ibu, menjadi orang tua.

Meskipun Alea adalah anak saya, tapi nyatanya saya dan Alea bukan sebuah pribadi yang sama dan identik. Ada hal-hal bawaan yang berbeda dari kami berdua. Salah satu contoh paling mendasar adalah saya orangnya kalau panik bawaannya ngegas. Tapi tidak dengan Alea. Dia adalah anak yang selalu tenang dalam menghadapi permasalahannya. Dalam mengerjakan ulangan pun demikian. Ketika teman-temannya sudah selesai, kalau dia belum selesai ya akan diselesaikan sampai selesai, tanpa panik atau terburu-buru. Bahkan saking tenangnya, mengerjakan soal matematika saja dia sambil bersenandung, sementara yang mendampingi sudah kasih aba-aba dan instruksi layaknya pelatih Paskibraka supaya dia segera menyelesaikan ulangannya.

Pun halnya ketika sesi Pembelajaran Tatap Muka (PTM), pernah ada suatu ketika dia terlambat datang ke sekolah karena bangun kesiangan. Berpamitan dan turun dari mobil dengan tenang, masuk ke halaman sekolah dengan tanpa berlari-lari, mencuci tangan dan menjalani prosedur sebelum masuk kelas dengan tanpa terburu-buru, dan bergabung di kelas dengan tanpa rasa canggung.

Mungkin beberapa doa malam saya waktu mengandung dia dulu ada yang diijabah oleh Tuhan. Alea memiliki keistimewaan tersendiri. Dia memiliki kecerdasan dan kepekaan sosial yang tinggi. Banyak hal tak terduga yang keluar dari pemikirannya, jauh di luar apa yang saya pikirkan sebelumnya. Entah apakah ini gift dari Sang Maha Pencipta atau ada hubungannya dengan kebiasaan ngobrol dengan saya sebelum tidur.

Hampir setiap malam sebelum tidur, kami sempatkan untuk ngobrol. Bukan topik yang serius, tapi topik ringan seputar aktivitas keseharian, tentang teman, tentang apa yang kami pikirkan tentang sesuatu. Intinya topiknya bisa tentang apapun. Selain untuk memperkuat bonding antara ibu dan anak, juga untuk menyisipkan nilai-nilai baik sebelum dia tidur.

Seperti halnya obrolan beberapa malam lalu. Ada seorang teman yang menceritakan bagaimana dia merespon anaknya ketika salah hitung dalam soal matematika sederhana.

“Alea, tadi temen Mama cerita, kalau anaknya salah ngejumlahin gitu. Dia kan dikasih soal sama mamanya, 6+0=…. Anaknya temen Mama jawabnya 6+0=0. Temen mama marah, dong. Masa 6+0=0, kan harusnya 6. Ya, kan? Menurut Alea gimana?”

“That’s okay, Mama. She’s still learning. So, making mistake is fine. Because it’s a proof that she’s trying…”

Jujur, saya seperti bukan sedang berbincang dengan anak usia 7 tahun. Bahkan saya sempat mengira Alea bakal mengeluarkan respon, “Hah?!”, “WHAT?!”, atau bahkan menertawakan kesalahan yang diperbuat sebayanya. Tapi ternyata saya sudah bersuuzon.

Sebenarnya kalimat-kalimat bijak seperti ini bukan sekali dua kali keluar dari pemikiran Alea. Bahkan pernah sekali dua kali justru saya yang diberi nasihat. Lucu sih kadang, seolah mendengarkan diri saya sendiri dalam versi anak-anak ketika dia menasihati saya. Tapi saya selalu membiarkan dia berproses dengan caranya. Saya percaya bahwa di setiap harinya, ada penyerapan kalimat, kata, perbuatan, tingkah laku, dan nasihat. Ada spons raksasa dalam otak dan dirinya yang siap menyerap banyak hal.

Dulu, Alea pun bukan anak yang selalu percaya diri. Ada kalanya dia memilih untuk tidak mencoba karena khawatir berbuat salah yang membuat papa mamanya marah. Perlu waktu untuk menjadikan dia anak yang mau terbuka, mencoba belajar banyak hal, dan menjadi anak yang percaya diri. Dan kuncinya memang ada di cara bagaimana kita berkomunikasi, cara kita memperlakukan dia.

Kami pun sebagai orang tua tidak pernah yang menuntut dia harus mengerjakan segala sesuatu harus benar dan sempurna. Di usianya yang masih belia rasanya terlalu naif untuk menuntut sebuah kesempurnaan tanpa melalui sebuah proses pembelajaran, penerimaan diri, atau melalui kesalahan-kesalahan. Toh kita saja yang sudah setua ini masih sering membuat kesalahan, kan?

Pernah suatu saat ketika dia masih TK, dan dia belajar Matematika sederhana, dia ada salah menghitung dan dia begitu merasa bersalah. Padahal saya waktu itu baik-baik saja, tidak menyalahkan, pun membuat dia terhakimi. Tapi reaksinya di luar dugaan. Dia sedih, merasa bersalah, dan lalu meminta maaf. Respon saya waktu itu ya otomatis memeluk sambil mencium dia, karena sebenarnya setidak apa-apa itu. That’s not a big deal, Alea.

“So is it good if I make mistake? Will you not get mad at me, Mama?”

Ya, of course it’s fine. Mama nggak menuntut Alea jadi anak yang supersempurna, yang nggak pernah bikin kesalahan. Learning is a continuous process in life. And making mistakes is a part of learning process. When we learn new things, we tend to make mistakes, which is natural and common. Mistakes happen. We all make them, it is part of what makes us human. Bikin salah waktu belajar itu nggak apa-apa, lain kali waktu mengerjakan soal harus lebih hati-hati, lebih teliti lagi, ya. OK?”

“Okay, then…”

“I just want you to be a happy human being, Alea. Just be you. Be the best version of you…”

Tidaklah terlalu penting menjadi sosok yang sempurna. Namun yang jauh lebih penting dari itu, saya ingin melihat Alea tumbuh jadi anak yang gembira, anak yang bahagia, anak yang tumbuh dengan versi terbaik dirinya. Karena dengan menjadi anak yang bahagia, dia akan bisa menularkan kebahagiaan di lingkungan manapun dia berada. Lebih luas lagi, semoga kelak dia bisa membawa banyak kebermanfaatan bagi sesamanya.

  • devieriana

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

Menuju Reuni Perak Bhawikarsu ’96

reuni/re·u·ni/ /réuni/ n pertemuan kembali (bekas teman sekolah, kawan seperjuangan, dan sebagainya) setelah berpisah cukup lama.

Reuni sekolah. Sebuah kata yang buat sebagian orang menyenangkan, tapi belum tentu bagi sebagian lainnya. Ada yang senang karena akan bertemu lagi dengan teman-teman lama, tapi ada juga yang lebih baik tidak perlu ada reuni, tidak usah bertemu lagi karena satu dan lain hal.

Saya memilih ada di antara senang atau tidak senang. Karena? Ya karena biasa saja. Kenangan masa SMA saya tidak banyak. Selain saya dulu bukan anak yang cukup punya percaya diri, juga karena rumah saya agak jauh, jadi sepulang sekolah saya memilih langsung pulang ketimbang harus kumpul-kumpul sana sini. Ya, kehidupan sosial saya di masa SMA memang agak suram, tapi entah kenapa saya justru menikmati ketidakhebohan di masa SMA dulu. Lebih nyaman bergaul seperlunya. Itulah kenapa foto-foto dokumentasi masa SMA tidak banyak, karena dulu saya seantisosial itu.

Dan di tahun 2021, adalah tahun di mana angkatan saya memasuki masa reuni perak. Sebuah angka yang istimewa karena di tahun 2021 ini juga bertepatan dengan usia SMAN 3 Malang yang ke-69. Sebuah deretan angka yang menurut saya unik, “tahun 2021 (berurutan), 25 tahun (perak), 96 (angkatan saya di SMA), 69 tahun (usia SMA saya)”

Dan, ndilalah di perhelatan reuni perak ini saya didapuk sebagai salah satu anggota panitia inti bersama 9 orang teman lainnya. Semoga ketika harus membelah diri, saya bisa membagi waktu, ya.

Meski acaranya baru akan diselenggarakan di 7-8 Agustus 2021, tapi persiapannya sudah menghangat sejak awal tahun 2021. Zoom meeting demi zoom meeting dilakukan hampir di tiap akhir pekan. Bahasannya pun beragam. Ada tentang merchandise, pra acara, dokumentasi foto/video, biaya yang harus dipersiapkan, hingga meeting yang isinya mendengarkan perdebatan teman-teman panitia. Biasalah, tensi akan meningkat seiring dengan waktu yang semakin dekat.

Dan uniknya, sekarang kan sudah bulan April 2021, ya. Sebagai anggota Tim Acara, jujur, kalau kami berempat ditanya acara reuninya mau berkonsep seperti apa, masih abstrak sekali. Lho, kan sudah tinggal 4 bulan lagi, masa belum punya konsep apa-apa? Nah, entah bagaimana ceritanya, kebetulan Tim Acara yang anggotanya terdiri dari 4 orang procrastinators. Di mana biasanyaide-ide kreatif baru akan terwujud di menjelang hari H. Bisa jadi apa yang dikonsepkan di awal, berubah pada saat eksekusi karena ada satu dan lain hal yang membuatnya harus berubah/menyesuaikan. Jadi kita akan tunggu seperti apa bentuknya nanti, ya. Jadi deg-degan!

Ibarat sayur, pertemanan yang nyaris berusia 25 tahun ini pun harus dihangatkan dan disegarkan lagi supaya ketika tepat di perhelatan puncak acara nanti, kami semua masih merasa ikut beracara, ikut melihat dan merasakan apa saja perubahan signifikan setelah 25 tahun tak bersua.

Untuk menghangatkan acara, pelbagai acara pra reuni pun mulai disiapkan. Salah satunya yaitu acara yang bertajuk JAM KOSONG. Konsep acara ala semi talk show yang ber-tagline “Pelajaran favorit pemersatu bangsa” ini digarap secara santai dengan menggunakan platform zoom meeting dan tayang perdana di 30 Januari 2021. Acara yang tidak terpikirkan akan menangguk antusiasme banyak teman ini pun akhirnya menjadi gelar acara bulanan dengan topik dan pembicara yang bergantian dari satu teman ke teman lainnya.

Saya pun sempat menjadi salah satu orang yang ketiban sampur memandu acara JAM KOSONG episode keempat di 10 April 2021, yang bertajuk “Parental Burnout: Atasi Sebelum Jadi Depresi“, bersama teman pembicara yang juga seorang psikolog, Fifi Febriani Ekawati.

Memikirkan konsep acara reuni yang masih di awang-awang hingga saat ini tuh memang bikin PR. Belum lagi panitia inti yang cuma 10 orang dan masing-masing harus menjalani peran ganda dalam kepanitiaan, back to back dengan teman lainnya mengurus ini itu, selain tentu saja menjalani kehidupan masing-masing sebagai warga sipil dalam pekerjaan dan kehidupan berkeluarga.

Semoga seluruh rangkaian acara bisa tereksekusi dengan sempurna di hari H nanti. SEMANGAT!

  • devieriana

Continue Reading

Siapa Cepat, Dia Dapat!

flashsale

Sebagai warga instagram, sepertinya kurang ngehits kalau belum follow akun-akun ngehits yang jumlah follower-nya ratusan ribu bahkan sampai jutaan. Iya, buat seru-seruan, atau syukur-syukur bisa menginspirasi diri sendiri dari segi apapun.

Selain mengikuti akun milik tokoh tertentu, saya juga mengikuti beberapa akun gosip dan online shop yang belum tentu saya rajin buka akunnya juga, hihihik. Nah, pasti tahu dong, kalau akun-akun online shop yang follower-nya puluhan/ratusan ribu itu sering mengadakan flashsale, alias jualan dalam satu hari yang bisa ludes dalam hitungan menit/jam.

Paling sering sih mantengin akun online shop baju muslim dan hijab yang kenamaan yang itu. Iya, yang modelnya kalau nggak mbak yang itu, ya mbak yang satunya lagi yang wajahnya mirip. Beberapa hari sebelum flashsale, biasanya mereka memberikan teaser produk apa saja yang akan mereka jual di hari yang telah ditentukan. Namanya flashsale pasti jumlahnya terbatas, biasanya mereka hanya menyediakan sekian ratus/ribu pieces, tapi sudah dipastikan yang berminat pasti ratusan ribu. Jadi sistemnya siapa cepat dia dapat.

Saking banyaknya yang berharap bisa dapat item hijab impian, mereka sampai berdoa di kolom komen, “bismillah, semoga aku dapet yang ini…”. Mungkin semacam menyugesti diri sendiri ya, saking kepengennya. Biasanya di sana juga ada beberapa jasa titip yang ikut nimbrung menawarkan jasanya, barangkali ada calon konsumen yang mau titip beli ke mereka. Tapi sejauh ini sih saya belum pernah pakai jasa titip untuk beli-beli barang, karena ya saya orangnya nggak ngoyo, kalau dapet ya syukur, enggak ya berarti belum rezeki.

Nah, setelah mengintip sneak peek di beberapa postingan akun hijab itu, kebetulan ada beberapa item yang saya suka. Segera saya atur tanggal, hari, dan jam sesuai dengan yang dijanjikan, untuk membeli item yang saya incar, bukan itu saja, untuk mempercepat proses pengiriman pesan whatsapp sudah saya copy formatnya sesuai dengan format yang diminta oleh penjual, jadi tinggal copy dan send saja. Sesekali ingin merasakan bagaimana sih euforianya belanja rebutan itu.

Dulu banget, pernah ada pengalaman belanja rebutan tapi nggak rebutan. Lah, gimana maksudnya? Iya, di akun instagram itu barang yang dimaksud sudah sold out saking banyaknya yang minat. Tapi ndilalah, mungkin para pembeli itu lupa/tidak tahu bahwa sebenarnya barang yang mereka cari itu juga dijual secara online di salah satu situs belanja fashion muslimah terkemuka di Indonesia, semacam kerja sama gitu, contohnya BrandIni x BrandItu. Berhubung hijab yang saya inginkan itu juga masih terpampang di situs tersebut jadi saya beli di web saja, dan dapat dong. Hihihik..

Kembali lagi ke cerita belanja rebutan tadi, di hari yang telah ditentukan, perasaan saya sudah campur aduk, antara deg-degan dan penasaran. Ketika si admin mengumumkan “send your chat now”, segera saya kirim order di waktu yang hampir tidak ada jeda sejak pengumuman selesai upload, pukul 09.00 sharp! Sent!

Centang dua abu-abu. Setidaknya sudah terkirimlah ya.

Sambil menunggu balasan whatsapp, saya mengerjakan hal lainnya. Sesekali saya cek handphone sekadar memastikan bahwa pesan saya sudah dibaca, syukur-syukur sekalian dibalas dengan total yang harus saya transfer.

Pukul 14.09 notifikasi whatsapp saya berbunyi. Yes! Dari online shop yang saya tunggu-tunggu. Hmmm, kira-kira saya dapat nomor antrean berapa ya.

“Maaf, sold, mbak sayang”

Tweew! Hiks. Ternyata jari saya masih kurang cepat dibandingkan dengan konsumen lainnya. ya…

Trus, kapok nggak belanja rebutan gitu? Agak-agak mengandung kapok juga sih, walaupun sensasi harap-harap cemasnya itu sih yang kadang bikin kangen, hihihihik

Sebenarnya sih semua online shop sistem penjualannya ya siapa cepat dia dapat, karena jumlah barang yang diproduksi kan tidak banyak, kecuali mereka memberlakukan sistem purchase order (PO). Kalau sistem PO biasanya mereka memproduksi sesuai dengan jumlah pesanan, jadi kita pasti dapat.

Ada untungnya juga saya bukan orang yang kalap belanja (online) ya, apalagi kalau duitnya nggak ada, hiks. Jadi mau belanja di mana saja kalau memang barang itu rezeki jadi milik kita, pasti akan jadi milik kita kok. Sesimpel itu.

Iya, ini lebih ke menghibur diri karena kalah set
*scroll-scroll online shop*

 

[devieriana]

 

picture source: here

Continue Reading

Batuk Yang Tak Kunjung Sembuh Itu (2)

Jadi ceritanya, kurang lebih 2 bulan yang lalu, saya mengalami lagi batuk pilek yang nggak sembuh-sembuh. Diawali dari Alea yang flu, lalu menular ke mama, ke saya, dan ke suami. Ketika yang lain berangsur sehat kembali, tinggallah saya yang masih didera batuk pilek yang bukannya makin sembuh tapi justru makin menjadi-jadi.

Saya itu sebenarnya paling sebal sama yang namanya batuk, karena kalau sudah batuk pasti sembuhnya lama. Seperti kejadian 2 tahun yang lalu, ketika saya mengalami batuk yang ‘nggak biasa’ lantaran hampir 3 bulan saya batuk-batuk nggak jelas. Sudah berbagai obat saya minum, sudah berbagai dokter saya datangi, tapi toh batuk saya tak kunjung sembuh. Hiks…

Setelah ‘absen’ selama 2 tahun, ternyata si batuk itu datang lagi menghampiri saya. Sama seperti tahun sebelumnya. Sembuhnya pun lama, hampir 2-3 bulanan. Mulai dokter umum, hingga dokter spesialis sudah saya datangi. Mulai obat tradisional, sampai obat yang harganya bikin ngelus dada sudah saya konsumsi, tapi nyatanya batuk itu tak kunjung pergi, malah ditambah sesak nafas yang rasanya sangat menyiksa.

Puncaknya pas upacara 1 Juni 2017 kemarin, kok ndilalah saya pas tidak sedang jadi petugas upacara. Biasanya kan kalau nggak ngemsi, ya baca UUD. Di upacara kali ini kebetulan sama sekali tidak tugas, dan tidak sedang mem-back up petugas lainnya. Di tengah upacara berlangsung, lha kok mendadak saya batuk tak berhenti-henti. Jeda sebentar, batuk lagi, jeda sebentar, batuk lagi, begitu seterusnya. Hingga puncaknya pas di mobil saya batuk-batuk sepanjang jalan sampai tiba di rumah. Bisa dibayangkan betapa tersiksanya saya waktu itu, kan? Dan gara-gara batuk itulah saya terpaksa membatalkan ibadah puasa saya karena harus minm obat untuk meredakan batuknya. Hiks…

Akhirnya, dengan tekad bulat ingin sembuh beneran, keesokan harinya saya memutuskan untuk ke RS St. Carolus, khusus untuk konsultasi ke dokter spesialis paru. OMG! Pulmonologist! Ya Tuhan, baru kali ini saya mendatangi dokter penyakit kelas berat begini. Padahal dulu kalau flu saya cukup ke dokter umum saja sudah sembuh, ini kok ya pakai ‘tour’ ke dokter spesialis THT, spesialis penyakit dalam, dan sekarang malah ke spesialis paru. Pas ulang tahun pula.

Berhubung saya belum pernah sama sekali ke dokter spesialis paru, dan tidak ada rekomendasi sebelumnya harus ke dokter spesialis paru mana yang bagus, akhirnya saya pilih saja secara random, dr. Muherman Harun, SpP. Alasannya simple saja, jadwal praktiknya siang, pukul 12.00-14.00, jadi saya bisa ambil waktu sebentar ke RS. Carolus yang lokasinya tidak terlalu jauh dari kantor, yaitu daerah Salemba.

Siang itu antrean pasien di dr. Muherman tidak terlalu banyak, tapi memang rata-rata waktu konsultasinya lama. Mungkin beginilah tipikal dokter yang menangani penyakit kelas berat, konsultasinya (harus) lama dan detail. Pikir saya. Setelah menunggu selama kurang lebih 30 menit, akhirnya nama saya pun dipanggil. Di dalam, saya sudah ditunggu oleh seorang perawat dan dokter senior yang kalau saya taksir usianya mungkin di atas 80 tahun, tapi masih terlihat sehat dan segar bugar sih. Setelah menceritakan keluhan kesehatan yang saya alami, beserta riwayat penyakit sebelumnya, dan beliau menginterview saya dengan beberapa pertanyaan seputar anak dan suami untuk memastikan apakah ada hubungan dengan penyakit yang saya derita (kebetulan saya dan suami memang ada alergi, jadilah Alea pun ‘mewarisi’ hal yang sama dengan kami berdua), beliau pun mulai memeriksa saya dengan saksama.

Nah, herannya, seharian itu ndilalah saya sama sekali pas tidak ada batuk pilek, beda dengan hari sebelumnya yang batuk-batuk luar biasa ditambah dengan sesak nafas yang bikin tersiksa seharian. Saya pikir-pikir kok kasusnya jadi sama seperti rambut ya. Coba deh, kalau kita sudah niat mau potong rambut, rambut kita itu seolah berubah jadi lebih lembut, lebih enak diaturnya, lebih sehat, jadi sayang mau motong. Begitu juga dengan sakit yang saya alami kemarin. Giliran diperiksa dokter, eh seperti orang yang sedang nggak sakit. Hrrr…

Setelah dicek, dokter pun menuliskan resep untuk saya.

Me: Jadinya, saya sakit apa, Dok?

Him: Bronkhitis. Itu pun levelnya ringan kok

Me: Bronkhitis saja, Dok?

Him: Oh, maunya sama apa?

Me: Hahaha, bukan gitu. Dua tahun lalu kan saya juga mengalami hal yang sama; dan dideteksi oleh dokter kena faringitis, rhinofaringitis, bronkhitis, dan asthma. Nah 3 penyakit lainnya itu udah enggak ada ya, Dok? Maksud saya itu…

Him: Kamu bronkhitis aja kok. Sama seperti cucu saya, dia juga bronkhitis. Dia terapi renang, sekarang renangnya jago. Renang itu bagus untuk paru-paru. Kalau kamu bisa renang, akan jauh lebih bagus. Anak kamu nanti juga harus bisa renang ya. Usia 3 tahun sudah harus dikenalkan dengan renang, usia 5 tahun sudah harus mulai bisa…

Me: Ok, Dok.

Him: Ok, kalau kamu makan gorengan, minum es, makan yang manis-manis, atau pas kecapekan, kamu sering batuk/pilek, nggak?

Me: Mmmh… kebetulan saya memang bukan fans makanan dan minuman itu sih, Dok. Dari dulu memang sengaja mengurangi

Him: Kenapa?

Me: Tenggorokan saya kayanya sensitif deh, jadi sering banget radang

Him: Ok, habis ini kamu saya beri obat yang kalau sudah kamu minum nanti kamu bebas mau makan apa saja. Kamu boleh makan gorengan yang paling enak, makan es, makan/minum yang manis juga boleh. Minggu depan kamu ke sini lagi, khusus untuk cerita apa yang kamu rasakan setelah kamu minum obat dari saya. Ok, ya?

Me: Siap, Dok!

Tak berapa lama setelah mengantri di farmasi, saya menerima obat yang jumlahnya hanya 10 biji, yang aturan minumnya hanya di pagi hari setelah sarapan, dan sore hari jika diperlukan. Harganya pun tidak tertera di kuitansi, atau saya yang siwer, ya? Eh, tapi beneran nggak tertera harganya lho. D kasir saya hanya membayar Rp90.000,00 sejumlah sisa biaya kekurangan pembayaran jasa dokter spesialis yang tidak ditanggung oleh asuransi, tidak ada biaya obat sama sekali. Berbeda dengan dokter (di rumah sakit) sebelumnya yang meresepkan banyak sekali obat, hampir 1 tas plastik yang terdiri dari antibiotik, sirup obat batuk, sampai inhaler, yang harga totalnya bisa beli high heels Guess. Lha ini, dokter Muherman hanya meresepkan 1 jenis obat saja tapi alhamdulillah ternyata manjur. Batuk saya berhenti total hanya dalam waktu 3 hari!

MYXJ_20170608154200_save
Mencari dokter yang ‘mengerti’ penyakit kita itu sama seperti mencari jodoh. Cocok-cocokan. Buktinya saya dan Alea yang dalam 2 tahun ini sering ‘berkelana’ dari dokter ke dokter akhirnya menemukan dokter yang ‘cocok’ dengan sakit yang kami derita setelah ‘berkelana’ dari dokter satu ke dokter lainnya, dari rumah sakit satu ke rumah sakit lainnya.

Kesehatan itu terasa begitu mahal ketika kita dihadapkan dengan lembar kuitansi dokter spesialis plus kuitansi farmasi rumah sakit. Sekalipun itu ditanggung oleh asuransi, akan tetap nyesek ketika melihat nominal yang tertera di sana.

Semoga kita senantiasa dihindarkan dari segala macam penyakit. Aamiin…
Sehat selalu yaaaa…

[devieriana]

Continue Reading
1 2 3 44