Pilih mana?

career-choices-2

Di sebuah pagi, saya mengetik pesan di smartphone sambil sesekali menyesap secangkir teh poci di kantin,

“Bro, lagi di mana, Bro?”

“Hahaha, aku lagi di kementerian anu, lagi nunggu giliran :D”

“Giliran? Maksudnya kamu lagi ada kerjaan di sana?”

“Nunggu giliran buat ikut test CPNS, sesiku masih nanti, jam 09.40. Hihihik… Doain yak!”

Saya yang awalnya ingin menanyakan hal yang lain, jadi surprise sendiri. Bukan
apa-apa, selama ini saya mengenal dia sebagai sosok yang paling anti sama hal yang berbau tes CPNS-CPNS-an, di setiap kalimat yang keluar dari bibirnya sama sekali tidak tergambar keinginan untuk menjadi seorang PNS. Pokoknya emoh ajalah. Nah, kalau tiba-tiba mendengar dia ikut test CPNS ya jelas heran. Ada angin apa kiranya sehingga dia tertarik untuk ikut tes CPNS?

Peserta ujian CPNS itu dari berbagai kalangan, kalau bukan fresh graduate, yang belum bekerja sama sekali, atau yang sudah bekerja. Motivasinya pun bermacam-macam, ada yang cuma iseng, ingin mencoba kemampuan/peruntungan, tapi banyak juga yang memang serius ingin cari kerja.

Seperti beberapa waktu yang lalu, saya dicurhati seorang teman via email. Dia mengaku sedang galau karena ‘terjebak’ dalam excitement akan diterima sebagai CPNS di salah satu kementerian (sudah sampai tahap interview user). Tapi uniknya di saat yang sama dia masih sangat nyaman dengan posisi dan lingkungan tempat dia bekerja sekarang. Bermula dari iseng dan sekadar ingin mengukur kemampuan diri sendiri secara rutin dia mengikuti tes CPNS selama 3 tahun berturut-turut. Hingga akhirnya tahun ini dia dinyatakan lolos seleksi Tes Kemampuan Dasar dan berhak ikut tahap selanjutnya. Melihat pengumuman itu mendadak dia galau sendiri; galau membayangkan bagaimana kalau setelah dijalani ternyata menyandang status sebagai PNS itu tidak sesuai dengan harapan dan jiwanya. Bagaimana kalau ternyata menjadi PNS itu pekerjaannya jauh lebih membosankan dibandingkan dengan pekerjaannya sekarang; dan banyak lagi ‘bagaimana-bagaimana’ lainnya. Ya wajar sih, karena di dalam mindset-nya PNS masih identik dengan birokrasi yang ribet, mengurus apa-apa sulit, belum lagi dari segi materi dan budaya kerja yang menurut dia masih kalah jauh dari swasta.

Kita sederhanakan saja, sebenarnya semua pekerjaan itu pasti ada sisi positif dan negatifnya; tergantung dari sisi mana kita melihat, kan? Begitu juga dari segi tantangan kerja dan pendapatannya. Kalau orang Jawa bilang, “urip kuwi sawang sinawang”, cuma melihat kulit luarnya saja…
*benerin blangkon*

Tapi ada kalanya kita butuh move on ketika pekerjaan yang sekarang dirasakan kurang memberikan kenyamanan, atau kita butuh pengalaman yang jauh lebih menarik/menantang, atau kita butuh pengembangan karir yang lebih signifikan. Ya kenapa tidak? Mungkin ini saatnya kita mengajukan pengunduran diri. Banyak kok yang sudah enak kerja di swasta, malah resign dan jadi PNS atau berwiraswasta. Pun sebaliknya, ada yang awalnya jadi PNS lalu resign dan melamar kerja di perusahaan swasta/BUMN karena katanya lebih sesuai dengan jiwanya.

Pekerjaan itu seperti jodoh; cocok-cocokan. Awal mula saya menjadi PNS juga sempat stress sendiri karena harus merasakan perubahan yang sangat drastis; baik secara lingkungan, sistem kerja, gaji, budaya kerja, dan lain-lain. Soal pindah tempat kerja memang bukan hal baru buat saya, tapi karena kebetulan bidang pekerjaan yang saya isi sebelumnya masih saling berkorelasi jadi penyesuaiannya tidak terlalu sulit.

Soal cocok-cocokan tadi, kalau memang setelah dijalani ternyata pekerjaan itu dirasa kurang nyaman, kurang ada tantangannya, atau karirnya dirasa kurang berkembang, ya sudah, tinggal mengajukan surat pengunduran diri saja. Atau, kalau ternyata yang di dalam mindset kita kisarannya masih di besaran gaji, ya mungkin inilah saat yang tepat untuk berkarir di sektor swasta karena jelas lebih menjanjikan pendapatan yang lebih besar daripada menjadi PNS. Seperti yang pernah saya tulis di sini 😉

Jadi, gimana? Masih galau? 😀

 

[devieriana]

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

Jangan jadi PNS!

Beberapa hari yang lalu saya menerima pesan dari teman di twitter, minta waktu buat ngobrol katanya. Ya, berhubung saya lagi santai ya saya layani. Obrolan via BBM itu pun berlangsung “gayeng”, santai & akrab. Maklum dia memang salah satu teman lama tapi terbilang jarang ngobrol sama saya.

Intinya dia mengajak diskusi tentang pekerjaan. Kebetulan dia seorang karyawan swasta yang bekerja di salah satu perusahaan asing terkemuka di Jakarta. Pertanyaan pertama telak, masalah gaji. Kalau ditanya masalah pendapatan besar atau kecil pasti jawabannya adalah relatif. Saya tidak bilang gaji saya besar atau kecil, tapi alhamdulillah cukup (setidaknya buat saya). Karena berapa pun pendapatan kita kalau pengeluaran & kebutuhan hidup kita juga membutuhkan biaya yang besar ya pasti akan merasa kurang. Itulah kenapa saya jawab : alhamdulillah, cukup.

Dia seorang pria, single, dan akan menikah. Sekarang ini sedang mempertimbangkan untuk pindah kerja dengan syarat gajinya paling tidak sama besar dengan tempat kerjanya sekarang, pekerjaannya tidak terlalu hectic, dan waktu luangnya banyak. Waduh, sempat puyeng juga saya ketika dimintai pendapat. Kalau tempat kerja yang seperti itu adanya dimana ya? :-?. Ya, jadi bos saja, buka usaha sendiri, wiraswasta gitu :).

Dia juga sempat heran kenapa saya pindah dari tempat kerja saya yang lama dan memilih berkarir memilih berkarir sebagai PNS. Apakah gaji sebagai PNS lebih besar dari tempat kerja saya yang sebelumnya? Karena dia justru sedang ingin pindah ke perusahaan tempat kerja saya yang lama. Tapi dia jadi mikir lagi ketika tahu saya pindah, jangan-jangan karena beban kerjanya terlalu tinggi, gajinya sedikit, atau ada sebab lainnya apa. Aduh, asli saya jadi mikirnya kok dia naif banget ya. Karena yang namanya kerja dimana-mana itu ya pasti ribet. Soal gaji besar/kecil itu sifatnya relatif, ada tunjangan apa saja buat karyawannya ya itu tergantung kebijakan yang punya perusahaan. Kalau soal waktu ya itu pinter-pinternya kita menyiasatinya saja, ya kan?

Saya jadi PNS itu sebenarnya tidak sengaja, seperti cerita saya disini. Kalau saja saya tidak ikut seleksi CPNS ya mungkin sampai sekarang saya masih di kantor yang lama, berkutat dengan quality assurance, hectic bikin laporan,  menangani komplain ketidaksesuaian penilaian, melakukan assuring hasil kerja anak buah saya, ribet melakukan coaching dan konseling ke anak buah.

Sekarang gini, ini sekedar sharing ya. Tujuan bekerja memang salah satunya adalah mencari gaji/pendapatan. Gaji besar dengan iming-iming status jabatan tertentu dan tunjangan ini itu pasti  jadi magnet terbesar para pencari kerja. Iya dong, buat apa kerja kalau tidak ada hasilnya, kan? Tapi apa iya lantas semua dipukul rata bekerja cuma dilihat dari besaran gaji yang diterima saja? Bagaimana kalau gaji besar tapi kompensasinya harus dibayar dengan berkurangnya waktu untuk diri sendiri dan keluarga, beban kerja yang tinggi, ditambah dengan fisik yang kelelahan. Kalau ada yang berpendapat, “kalau memang konsekuensi tugas dan tanggung jawab pekerjaan ya harus dijalani dong..”. Ok, mungkin ada yang rela hidup seperti itu, tapi ketika sudah berkeluarga nanti pasti ada orientasi-orientasi yang akan berubah, bukan lagi cuma materi yang dikejar, tapi pasti akan mempertimbangkan quality time bersama keluarga.

Dia lalu tanya lagi apakah THP (take home pay) saya masuk 2 digit? Saya lagi-lagi cuma bisa tertawa :)). Ya buat saya itu lucu. Bayangkan ya, untuk CPNS macam saya kok sudah punya gaji dua digit? Ini niat nanya apa ngasih tebakan? :-?. Masuk akal nggak sih kalau belum apa-apa gaji saya sudah menyamai gajinya deputi? Semua pasti ada aturan dan standarnya dong, Mas.. 🙂

Teman : tapi standar gaji staf di tempat kerja lama kamu dua digit lho, Dev..

Saya : bentar, aku tanya sama kamu. Tempat kerjaku yang lama itu swasta apa negeri?

Teman : ya 50-50, kan yang 50% dikuasai oleh Singtel

Saya : status pegawainya swasta atau PNS?

Teman : errr.. swasta

Saya : lha ya sudah, kenapa kok kamu membandingkan standar gaji swasta sama negeri? Ya jelas beda dong. Kalau mau membandingkan ya apple to apple. Jangan apple to durian. Bonyoklah ;))

Teman : tapi kelebihan pekerjaanmu yang sekarang nggak ada PHK mendadak ya, Dev. Beda sama kalau jadi pegawai swasta, isinya ketar-ketir melulu..

Saya : ya semua pekerjaan itu pasti ada segi positif dan negatifnya. Semua pasti punya resiko, tinggal gimana kita menjalaninya aja sih..

Teman : ya udah, aku nitip info kalau-kalau ada informasi kerjaan yang sesuai sama spesifikasiku ya..

Saya  : mmh, yang waktunya lebih luang, kerjaan nggak terlalu overload, dan yang penting gajinya sama dengan tempat kerjamu sekarang ya? ;))

Teman : hihihi, iya.. Kalau pakai ijazah S2 gimana? bisa?

Saya : apanya? dapet gaji 2 digit?

Teman : iyaa.. :))

Saya : bentar deh, tuntutan-tuntutan itu tadi untuk standar cari kerjaan di swasta apa PNS sih? 🙁

Teman : ya aku maunya di departemen atau BUMN gitulah..

Saya : jadi, pengen jadi PNS?

Teman : ya aku maunya sih kaya begitu.. Tapi kan aku nggak tau rejekiku dimana.. Ya, nitip ajalah, kalau ada info-info yang sesuai dengan kualifikasiku ya..

Saya : woogh, nyarinya dimana ya PNS yang kaya begitu.. #-o

Jadi saran saya ya, selama orientasinya masih berkutat di besaran gaji, mending jangan jadi PNS deh, apalagi yang baru jadi CPNS minta gajinya langsung dua digit ;)). Karena semua orang juga tahu gaji PNS masih kalah jauh dengan gaji pegawai swasta lho ;). Kalau mengumpulkan materi mending kerja di swasta dulu, bisa sembari menabung kan? Nah nanti kalau sudah bosan dan ingin punya lebih banyak waktu dengan keluarga sambil nyambi buka usaha dirumah boleh deh jadi PNS (eh, keburu tua nggak sih?) ;)).

Semua pekerjaan pasti ada plus minusnya, tidak mungkin ada pekerjaan yang semuanya sesuai dengan keinginan kita. Apalagi kena kata-kata “urip iku sawang sinawang”, rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau. Melihat si A kerja disitu kok kayanya enak, ikutlah kita kerja satu perusahaan dengan si A. Tapi ketika sudah dijalani baru merasa ternyata kerjaan si A tidak seindah yang kita bayangkan, sama hectic-nya dengan pekerjaan kita yang sebelumnya :-o.

Rezeki itu sudah ada yang mengatur, pun halnya dengan pilihan karir. Soal mau berkarir sebagai pegawai swasta atau pegawai negeri tinggal memilih mana yang paling sesuai dengan hati nurani kita, mana yang lebih sreg untuk dijalani. Memilih pekerjaan itu sama seperti memilih jodoh, semuanya kembali ke masalah hati 🙂

Oh ya, tadi pagi saya menemukan link bagus untuk sekedar dibuat baca-baca tentang How to find a job you will love . Semoga bermanfaat ya :-bd

[devieriana]

ilustrasi dari sini

Continue Reading

Namanya Juga Usaha..

Cara penerimaan pegawai itu ada beberapa macam. Ada yang secara manual : kirim lamaran via pos, atau datang langsung sekaligus interview dengan user (walk in interview). Ada juga yang secara online dengan mengisi form via internet. Untuk seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) kebanyakan sudah melalui sistem online, hanya waktu pemberkasan saja yang memang diharuskan untuk datang langsung.

Proses penerimaan calon pegawai negeri sipil memang berbeda dengan swasta yang bisa sewaktu-waktu bisa memasukkan aplikasi lamaran. Kalau penerimaan cpns hanya dilakukan di waktu-waktu yang telah ditentukan oleh masing-masing kementerian/departemen saja. Tapi itu pun masih sering seseorang yang tetap mengirimkan lamaran walaupun belum ada penerimaan lagi. Via pos dan tak jarang juga disampaikan secara langsung ke Biro Kepegawaian. Kalau di instansi tempat saya bekerja, banyak surat lamaran yang ditujukan langsung ke Presiden RI atau Menteri. Bahkan ada lho seorang teman yang saya baru ngeh kalau itu teman saya di Telkomsel gara-gara baca surat lamaran & lihat fotonya, ternyata dia mengirimkan ke alamat.. Cikeas ;)). Lha ya ngapain coba? Ya jawaban yang kita berikan pun akan standar, para pelamar yang terlanjur mengirimkan lamaran akan diminta mengikuti prosedur penerimaan calon pegawai negeri sipil jika formasi yang dibutuhkan sudah ada.

Tapi kemarin saya sempat baca surat lamaran yang lumayan membuat trenyuh. Surat lamaran seorang bapak yang telah mengabdi menjadi seorang pelayan di sebuah instansi di Surabaya selama 10 tahun & berstatus sebagai pegawai outsource yang kontraknya diperpanjang setiap tahun. Kalau dia bukan seorang lulusan sarjana mungkin orang akan maklum ya. Lha tapi ini dia kebetulan adalah seorang sarjana strata 1 yang seharusnya bisa mendapatkan karir yang jauh lebih baik daripada menjadi seorang pencuci piring kan? Itu yang membuat saya heran sekaligus penasaran. Apa ya yang membuat dia bertahan menjadi seorang pencuci piring selama puluhan tahun? Skill? Kemauan? Percaya diri? Saya yakin selama itu dia bukan nggak pernah berusaha. Pasti dia sebelumnya sudah mencoba mencoba kesana kemari sebelum akhirnya dia “mengabdikan diri” sebagai seorang pelayan.

Saya nggak bilang kalau profesi pelayan itu nggak layak lho ya. Tanpa mereka kadang pekerjaan kita juga keteter. Tapi kalau dibandingkan dengan latar belakang pendidikannya kok sayang ya. Bukankah akan lebih baik jika dia memilih karir yang sesuai dengan tingkat pendidikannya? Apalagi dia sudah berkeluarga & memiliki 1 anak. Seharusnya ada lebih banyak peluang yang bisa dia dapatkan di luar sana. Sebenarnya ada banyak pemikiran yang melintas di pikiran saya waktu membaca surat lamaran itu. Ada banyak kenapa & kalimat tanya disana. Hmm… 😕

Kalau mau, kita nggak harus jadi pegawai. Banyak ahli yang menyarankan kita untuk berwirausaha, karena (kalau kita niat & ulet) hasilnya akan lebih besar daripada jadi pegawai kantoran. Tapi sayangnya memang nggak semua bisa menjalani itu dengan sempurna. Karena selain dibutuhkan waktu, kemauan, keuletan, juga modal yang cukup (lihat-lihat jenis usaha yang dibuka). Nah, kalau kebetulan ada peluang usaha yang bisa dikembangkan jadi usaha yang lebih besar kenapa nggak dicoba?

Terlepas dari itu semua, selain tetap berusaha untuk meraih kehidupan yang lebih baik tentu harus tetap bersyukur dengan apa yang telah kita dapatkan & jalani sekarang. Karena di luar sana ada banyak sekali yang kehidupannya jauh dibawah kita..

[devieriana]

Continue Reading

Masa Inkubasi

Judul postingan ini nggak ada hubungannya sama isi tulisannya. Ngasal aja, seolah mengumpamakan saya sedang dalam masa inkubasi. Berasa jadi virus sama kuman nggak sih? :D. Hmm, ternyata lama juga saya nggak update blog yah? Maklumlah ya, sejak saya memutuskan resign mendadak kemarin (hanya dalam tempo seminggu sejak pemanggilan di Setneg) saya kejar setoran, kerja ngebut, paling tidak menyelesaikan 90% kewajiban sayalah. Kasian leader pengganti saya nanti kalau kerjaan masih banyak yang belum selesai. So, pikiran , energi, konsentrasi semua tercurah ke penyelesaian kerjaan yang seharusnya selesai tanggal 4 jadi dikebut harus selesai tanggal 31 Januari 2010.

Jadi ya begitulah, selama beberapa hari ini saya memasuki masa inkubasi. Halah kok malah kaya virus :)) . Penyesuaian dengan pekerjaan & status yang barulah intinya. Karena selama lebih dari 6 tahun saya bekerja di perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia itu membuat mindset, kultur & cara bekerja saya sangat swasta. Kalau saya sekarang bekerja jadi PNS tentunya ya jauh berbeda. Sempet agak kaget sedikit. Apalagi berhubungan dengan surat menyurat tingkat tinggi. Dulunya kan saya cuma pegang urusan surat menyurat internal antar bagian aja. Kalau sekarang sudah antar instansi & departemen. Bayangkan betapa stressnya saya di awal hari kerja saya.

Tapi untungnya disana semua baik & helpful. Sebagai PNS newbie (walaupun sudah sekian tahun bekerja sebagai pegawai swasta tentu buat mereka jelas saya newbie, wong masih nggak tahu apa-apa). Untungnya banyak anak mudanya, gaul pula. Jadi ya nggak berasa dalam lingkungan PNS jaman dulu, berasanya fun. Eh ya sebenernya belum fun-fun amat juga sih Gimana mau fun, wong hari ini saya dikasih kabar yang bikin hati saya meloncat kaget  :

teman  : “nanti kamu juga bakal kaya saya, nanganin ini sendirian..”

saya  : “hah, apa? sendiriaaaan? kapan?”

teman  : “sekitar bulan Juli paling..”

saya  : “kamu mau kemana mas?”

teman  : “aku pindah bagianlah..”

saya  : *stress, pengen pingsan*

Saya khawatir? Takut? Paranoid? Jelas. Tapi kalau saya seperti itu terus pasti bukan hal yang positif buat saya juga kan? Khawatir, takut menghadapi sesuatu yang baru & belum kita kenal, takut keluar dari zona nyaman itu hal yang lumrah & sering dialami oleh semua orang. Lha kalau kaya begitu terus ya nggak bakal maju-maju. Jalan ditempat.

Khawatir dan takut adalah dua hal yang berbeda, sekalipun nyaris mirip. Rasa takut punya objek yang jelas, contoh : saya takut sama kucing, saya takut sama bos saya yang galak, saya takut sama hantu. Tetapi khawatir  tidak, lebih abstrak. Ada perasaan tak menentu terhadap sesuatu yang tak jelas. Ketakutan, paranoid terhadap sesuatu yang asing, sesuatu yang baru, sesuatu yang belum pernah dijalani sebelumnya itu pasti pernah dirasakan semua orang. Punya rasa seperti itu wajar-wajar saja. Tapi jika berlebihan dan sudah mengganggu, itu namanya sudah tak wajar. Kekhawatiran sifatnya hanya sementara, karena ketika kita sudah terjun didalamnya kekhawatiran itu ternyata tidak terbukti & menjadi sesuatu yang biasa, yang menyenangkan, yang belum pernah kita bayangkan sebelumnya. Kekhawatiran yang diciptakan oleh pikiran. “Aduh, besok mau kerja di tempat yang baru nih, bisa ga ya? Kira-kira nanti temennya asik-asik kaya di tempat kerja yang lama ga ya? Lingkungan kerjanya nanti enak nggak ya? Kerjaanku nanti sulit nggak ya?” dan sejuta pertanyaan paranoid yang lain, padahal ya belum tentu, wong belum dijalani. Sama ketika saya mengalami perpindahan dari officer ke team leader kapan hari. Saya sudah berpikir kerjaan saya bakal ribet, sulit. Tapi setelah dijalani ya nggak gitu-gitu amat, lama-lama juga biasa :).

Ya semoga kekhawatiran itu nggak terjadi. Mengingat saya kan bakal berkarir lama disini, bahkan sampai di usia senja saya nanti (nah, jadi mikirin usia senja kan? 😀 ).

[devieriana]

Continue Reading