Di sebuah pagi, saya mengetik pesan di smartphone sambil sesekali menyesap secangkir teh poci di kantin,
“Bro, lagi di mana, Bro?”
“Hahaha, aku lagi di kementerian anu, lagi nunggu giliran :D”
“Giliran? Maksudnya kamu lagi ada kerjaan di sana?”
“Nunggu giliran buat ikut test CPNS, sesiku masih nanti, jam 09.40. Hihihik… Doain yak!”
Saya yang awalnya ingin menanyakan hal yang lain, jadi surprise sendiri. Bukan
apa-apa, selama ini saya mengenal dia sebagai sosok yang paling anti sama hal yang berbau tes CPNS-CPNS-an, di setiap kalimat yang keluar dari bibirnya sama sekali tidak tergambar keinginan untuk menjadi seorang PNS. Pokoknya emoh ajalah. Nah, kalau tiba-tiba mendengar dia ikut test CPNS ya jelas heran. Ada angin apa kiranya sehingga dia tertarik untuk ikut tes CPNS?
Peserta ujian CPNS itu dari berbagai kalangan, kalau bukan fresh graduate, yang belum bekerja sama sekali, atau yang sudah bekerja. Motivasinya pun bermacam-macam, ada yang cuma iseng, ingin mencoba kemampuan/peruntungan, tapi banyak juga yang memang serius ingin cari kerja.
Seperti beberapa waktu yang lalu, saya dicurhati seorang teman via email. Dia mengaku sedang galau karena ‘terjebak’ dalam excitement akan diterima sebagai CPNS di salah satu kementerian (sudah sampai tahap interview user). Tapi uniknya di saat yang sama dia masih sangat nyaman dengan posisi dan lingkungan tempat dia bekerja sekarang. Bermula dari iseng dan sekadar ingin mengukur kemampuan diri sendiri secara rutin dia mengikuti tes CPNS selama 3 tahun berturut-turut. Hingga akhirnya tahun ini dia dinyatakan lolos seleksi Tes Kemampuan Dasar dan berhak ikut tahap selanjutnya. Melihat pengumuman itu mendadak dia galau sendiri; galau membayangkan bagaimana kalau setelah dijalani ternyata menyandang status sebagai PNS itu tidak sesuai dengan harapan dan jiwanya. Bagaimana kalau ternyata menjadi PNS itu pekerjaannya jauh lebih membosankan dibandingkan dengan pekerjaannya sekarang; dan banyak lagi ‘bagaimana-bagaimana’ lainnya. Ya wajar sih, karena di dalam mindset-nya PNS masih identik dengan birokrasi yang ribet, mengurus apa-apa sulit, belum lagi dari segi materi dan budaya kerja yang menurut dia masih kalah jauh dari swasta.
Kita sederhanakan saja, sebenarnya semua pekerjaan itu pasti ada sisi positif dan negatifnya; tergantung dari sisi mana kita melihat, kan? Begitu juga dari segi tantangan kerja dan pendapatannya. Kalau orang Jawa bilang, “urip kuwi sawang sinawang”, cuma melihat kulit luarnya saja…
*benerin blangkon*
Tapi ada kalanya kita butuh move on ketika pekerjaan yang sekarang dirasakan kurang memberikan kenyamanan, atau kita butuh pengalaman yang jauh lebih menarik/menantang, atau kita butuh pengembangan karir yang lebih signifikan. Ya kenapa tidak? Mungkin ini saatnya kita mengajukan pengunduran diri. Banyak kok yang sudah enak kerja di swasta, malah resign dan jadi PNS atau berwiraswasta. Pun sebaliknya, ada yang awalnya jadi PNS lalu resign dan melamar kerja di perusahaan swasta/BUMN karena katanya lebih sesuai dengan jiwanya.
Pekerjaan itu seperti jodoh; cocok-cocokan. Awal mula saya menjadi PNS juga sempat stress sendiri karena harus merasakan perubahan yang sangat drastis; baik secara lingkungan, sistem kerja, gaji, budaya kerja, dan lain-lain. Soal pindah tempat kerja memang bukan hal baru buat saya, tapi karena kebetulan bidang pekerjaan yang saya isi sebelumnya masih saling berkorelasi jadi penyesuaiannya tidak terlalu sulit.
Soal cocok-cocokan tadi, kalau memang setelah dijalani ternyata pekerjaan itu dirasa kurang nyaman, kurang ada tantangannya, atau karirnya dirasa kurang berkembang, ya sudah, tinggal mengajukan surat pengunduran diri saja. Atau, kalau ternyata yang di dalam mindset kita kisarannya masih di besaran gaji, ya mungkin inilah saat yang tepat untuk berkarir di sektor swasta karena jelas lebih menjanjikan pendapatan yang lebih besar daripada menjadi PNS. Seperti yang pernah saya tulis di sini 😉
Jadi, gimana? Masih galau? 😀
[devieriana]
ilustrasi dipinjam dari sini