Kemarin timeline saya mendadak muncul bahasan yang berhubungan dengan logat yang ‘medok’. Berawal dari tweet @KeiSavourie yang menyatakan keheranannya melihat benturan budaya yang terjadi di Surabaya. Menurutnya, salah satu syarat menjadi kota megapolitan itu dengan tidak terlalu banyak menggunakan bahasa daerah, karena menurutnya penggunaan bahasa daerah menunjukkan semangat kesukuan dan eksklusifisme, jadi kurang cocok dengan modernisme.
Alhasil sore itu pun timeline saya penuh adu kicau antara Kei dengan beberapa akun lainnya. Menurut saya pribadi apa yang di-tweet Kei juga kurang tepat kalau ingin menjadi sebuah ‘teori’ baru tentang modernisasi dengan menjadikan logat medok daerah menjadi salah satu parameter pantas tidaknya sebuah kota berpredikat sebagai kota megapolitan.
Kebetulan saya orang Jawa Timur, saya lahir di Surabaya yang besar di Surabaya dan Malang. Saya paham betul dengan pergaulan dan bahasa sehari-hari yang digunakan oleh orang-orangnya. Mayoritas kami menggunakan bahasa Jawa dengan logat Suroboyoan yang kental. Saya sendiri kalau di rumah berkomunikasi dalam 2 bahasa, Jawa dan Indonesia. Kalau bercakap-cakap dengan teman-teman kami ortu lebih memilih bercakap dengan menggunakan bahasa Indonesia, alasannya: “anak sekarang jarang ada yang bisa berbahasa daerah sesuai dengan tingkatan bahasanya.”
Bahasa Jawa memiliki 3 tingkatan bahasa, yaitu krama inggil, krama madya, dan ngoko. Krama inggil (krama alus) adalah bahasa yang digunakan saat berbicara dengan orang yang lebih tua. Krama madya digunakan saat berbicara dengan orang yang sebaya atau jarak usianya tidak terpaut jauh di atas kita. Sedangkan ngoko digunakan saat berbicara dengan orang yang sebaya/lebih muda. Walaupun demikian penggunaan bahasa Jawa halus (krama inggil dan krama madya) di kalangan orang-orang Surabaya tidak sehalus di Jawa Tengah. Kebanyakan sudah bercampur dengan kata-kata sehari-hari yang ‘lebih kasar’. Kasar di sini bukan berarti bahwa arek Suroboyo itu identik dengan kekasaran, ya. Tapi lebih merujuk ke sikap tegas, lugas, dan terus terang. Sikap basa basi yang diagung-agungkan orang Jawa ‘tidak berlaku’ di kehidupan arek Suroboyo \m/
Nah, ngomong-ngomong soal medok, ketika saya pindah ke Jakarta sekitar 6 tahun yang lalu, logat saya juga medok tapi masih dalam tahap yang bisa dimaafkan ;)). Sempat dijadikan bahan becandaan karena logat saya dianggap ‘lucu’ di antara logat Jakarta mereka yang kental, tapi saya sih santai saja, malah lucu. Apalagi ketika mereka mengira berbahasa Jawa itu mudah, ‘cuma’ mengubah kata-kata yang berakhiran “a” menjadi “o”, seperti nama jadi nomo, lupa jadi lupo. Nggak gitu juga, kali! :))
Untungnya logat medok saya itu sama sekali tidak terdengar ketika masih bertugas di call centre. Bahkan setelah ‘pensiun’ sebagai call centre officer, saya sempat mengisi kelas calon-calon call centre officer dan ikut menguji mereka bersama para rekan ‘alumnus’ officer yang lain. Kami harus jeli mendengarkan mereka bicara baik secara langsung maupun via telepon, memastikan mereka sejak awal bebas dari logat kedaerahan; mencermati kata-kata yang mengandung huruf: d, b, p, f, v, r, l; dan tentu saja mereka harus bebas cadel. Mengapa harus bebas dari logat kedaerahan? Call centre sebagai pusat pelayanan pelanggan di seluruh Indonesia idealnya suara yang terdengar juga bebas logat kedaerahan. Tentu akan terdengar lebih enak didengar ketika logat kami terdengar ‘seragam’ walaupun call centre kami tersebar di 4 kota besar, dengan 4 logat khas yang berbeda pula: Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan.
Sebagai seorang yang kurang paham pergaulan di Surabaya, saya memaklumi Kei. Pada praktiknya nggak segitunya jugalah. Di forum-forum formal, di sekolah, kampus, di beberapa kantor/instansi, bahasa pengantarnya menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Jawa digunakan sebagai bahasa pergaulan sehari-hari non formal. Intinya bahasa Indonesia tetap dipergunakan di waktu dan tempat yang sesuai. Sebenarnya sih akan sama saja kalau kita pergi ke daerah lain, pasti akan terdengar orang bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa daerah mereka, kan?
Setiap kota pasti punya keunikan tersendiri, pun halnya Surabaya. Salah satu keunikan Surabaya selain logat orang-orangnya yang medok, juga ragam bahasa yang jauh lebih banyak, karena meskipun Jawa adalah suku mayoritas yang ada di sana, Surabaya juga menjadi tempat tinggal berbagai suku bangsa di Indonesia, di antaranya suku Madura, Tionghoa, Arab, dan sisanya merupakan suku bangsa lain seperti Bali, Batak, Bugis, Manado, dll.
Membaca tweet di atas membuat saya jadi antara ingin tertawa dan menangis dalam waktu yang bersamaan :((. Duh, pelestarian budaya Jawa kan bukan ‘cuma’ dari memedokkan gaya bicara saja, Kak. Kalau cuma kaya begitu, apa kabar itu para bule yang mahir memainkan gamelan dan menari tarian daerah kita padahal mereka sehari-harinya bicara dalam bahasa asing? Aduh, jadi pengen tepokin jidatnya siapa gitu, deh 😐
Oleh kota mana pun predikat megapolitan itu nantinya akan disandang, biarkan dia berkembang sesuai dengan kultur masyarakatnya. Modernisasi toh bukan cuma diukur dari bahasa apa yang digunakan oleh mayoritas penduduknya, dan atau dari medok/tidak logat mereka, tapi harus dilihat secara holistik. Siapa tahu justru local wisdom justru bisa bersanding dengan modernisasi? Saya tinggal di sana sudah puluhan tahun, kalau ada yang bilang ada pemaksaan penggunaan satu bahasa kepada suku/ras lain yang ada di Surabaya, di mana letak pemaksaannya, ya? 😕
Kembali lagi ke konsep megapolitan, saya sempat membacanya di . Saya kutipkan sedikit:
“Megapolitan adalah kota dengan ciri-ciri: (1) jumlah penduduk yang sangat besar; (2) jaringan yang tercipta menggambarkan keterkaitan bukan saja berskala nasional tapi juga internasional; (3) dari sudut ruang, menggambarkan adanya keterkaitan antar berbagai kota secara individual bahkan penggabungan.”
Bagaimana? Adakah di sana yang menyebutkan medok/tidaknya penduduk di suatu daerah menjadi parameter pantas tidaknya sebuah kota berstatus megapolitan? ;;) Ya siapa tahu predikat kota megapolitan selanjutnya justru bukan Surabaya, tapi kota lain di luar Pulau Jawa misalnya, secara fisik kota, infrastruktur, dan syarat-syarat lain-lainnya sudah terpenuhi dan siap dinyatakan sebagai kota megapolitan, apa iya hanya gara-gara masyarakatnya berlogat medok kedaerahan lantas predikat kota megapolitannya dicabut? Ya kan lucu.
Ok, mungkin Kei ingin menyampaikan hal yang jauh lebih luas dari apa yang sudah dia tuliskan kemarin, tapi berhubung cara/kalimat penyampaiannya ada yang kurang tepat akhirnya menimbulkan mispersepsi banyak pihak, dan parahnya dia sendiri jadi terjebak dalam logical fallacy.
Menyatakan ide/opini dalam bahasa tulis (yang dibatasi karakter) itu ternyata tidak mudah, ya? :p
Just my two cents
[devieriana]
ilustrasi dipinjam dari sini