Demam, Mau Pinter?

Sebenarnya saya kurang percaya sama yang namanya mitos. Ada hal-hal yang selama masih bisa dilogikakan, saya akan cenderung lebih percaya logika ketimbang mitosnya. Seperti mitos-mitos kehamilan dan perawatan anak, selalu saya usahakan untuk membandingkannya dengan opini dokter atau pakar yang lebih paham, bukan apa-apa, supaya kita tetap menjadi orangtua yang logis, smart, dan tetap aware. Namanya juga orangtua yang anaknya lahir dan hidup di era internet jadi mau tidak mau kita juga harus menyesuaikan diri.

Seperti misalnya ketika Alea tiba-tiba demam tinggi, ada yang bilang, “Udah, gapapa. Tenang aja, itu berarti anak kamu mau pinter…” Saya sih mengamini, semoga begitu adanya. Memang, konon, kalau anak tiba-tiba demam tinggi tandanya mau pinter, atau ada kebisaan baru, atau ada suatu perubahan yang terjadi dalam tubuhnya. Mitos ini sudah ada sejak zaman nenek moyang kita. Tapi apa iya seorang anak yang ‘mau pinter‘ itu harus didahului dengan demam/sakit?

Alea selama ini alhamdulillah jarang sakit. Ketika akan bisa tengkurap atau tumbuh gigi pun biasa saja, tidak disertai demam terlebih dahulu. Memang ada, bayi-bayi yang ketika akan tumbuh gigi badannya demam karena terjadi radang di gusinya. Kalau Alea demam/flu sih pernah, namanya kondisi badan manusia pasti ada up and down-nya, seperti orang dewasa kan juga begitu. Apalagi kondisi badan bayi/balita yang masih rentan terhadap virus, kondisi lingkungan yang tidak selamanya bersahabat, dan aktivitas bayi/balita yang cenderung meningkat. Jadi kalau bayi/balita mulai demam/batuk/pilek itu bagian dari tumbuh kembang mereka.

Nah, ceritanya saya ada dinas ke Bogor. Sepulang dinas, ketika Alea sedang memeluk saya, kok agak badannya terasa agak ‘anget‘ ya? Ketika saya ukur dengan termometer, memang benar ada sedikit kenaikan suhu badan, menjadi 38 derajat celcius. Tapi berhubung Alea tidak mengalami penurunan aktivitas, tetap semangat merangkak ke sana-ke mari, dan makannya pun lahap seperti biasa, jadi saya tidak seberapa khawatir. Jadi treatment-nya hanya saya beri minum air putih yang lebih sering, plus ASI kapan pun dia minta, plus sedia obat penurun demam anak yang diberikan oleh dokter just in case demamnya makin tinggi.

-----------Alea memang tidak rewel, tapi dia jadi lebih manja. Maunya dekat dengan saya. Hingga tidur pun dia tidak mau tidur di tempat tidur, maunya tidur di gendongan. Hingga akhirnya semakin malam, saya rasakan kok suhu tubuhnya semakin tinggi, dan puncaknya sekitar pukul 12 malam suhu tubuhnya mencapai 39.3 derajat celcius. Jujur, saya mulai panik. Tidak biasanya Alea demam setinggi ini. Paniknya karena obat penurun panasnya tidak bereaksi, dan suhu tubuhnya semakin tinggi, sementara dokter spesialis anak pasti tidak ada yang buka kalau Sabtu/Minggu. Masa iya harus ke UGD? Jangan dulu deh. Selain mengompres dahinya dengan air hangat suam-suam kuku, saya juga mencoba metode skin to skin, untuk menurunkan demam pada bayi. Hingga akhirnya saya ikut tertidur dalam kondisi duduk setelah berjaga sampai hampir pukul 4 pagi.

Ketika saya bangun, Alea masih dalam keadaan tidur pulas. Saya raba dahi, badan, dan telapak kakinya. Alhamdulillah suhu badannya mulai turun. Ketika saya ukur, suhu badannya sudah turun menjadi 37.9 derajat celcius. Sedikit lega, walaupun badannya masih terasa agak panas.

Hari itu Alea menjalani aktivitas seperti biasa. Dia makan dengan porsi seperti biasa, minum vitamin seperti biasa, tapi untuk air putih saya berikan lebih sering supaya dia lebih sering pipis jadi demamnya bisa lebih cepat turun lagi. Dan siangnya suhu badannya berangsur-angsur menjadi normal, terakhir saya ukur suhunya 36.7 derajat celcius. Alhamdulillah. Keesokan harinya saya sengaja ambil cuti dadakan untuk stand by, jaga-jaga kalau suhu badannya naik lagi. Tapi syukurlah suhu badannya stabil, jadi hari Selasa saya bisa kembali ngantor.

Percaya/tidak percaya, seminggu setelah kejadian demam tinggi itu dia mulai bisa jalan. Awalnya 1-3 langkah, lalu jatuh. Hari berikutnya menjadi 5 langkah, dan seterusnya hingga akhirnya lancar dengan sendirinya. Ah, saya jadi terharu… *kecup Alea*.

----------Jadi entahlah, ada hubungannya atau tidak antara demam dan ‘mau jadi pinter‘ itu tadi kok ndilalah pas habis demam dia bisa jalan. Padahal sih kalau menurut pemeriksaan dokter, waktu demam kemarin dikarenakan oleh virus. Tapi berhubung daya tahan tubuhnya bagus, jadi demamnya tidak terlalu lama.

Kalau yang pernah saya baca, demam itu semacam alarm dalam tubuh yang ‘menginformasikan’ bahwa sedang terjadi ‘sesuatu’ dalam tubuh (anak) kita. Jadi sama sekali tidak ada hubungannya dengan ‘mau pinter‘. Kalau memang habis demam kebetulan dia nambah kebisaan ya memang sudah waktunya.

Kalau kata dokter, penyebab demam anak itu banyak sekali, tetapi kalau demam yang terjadi pada bayi/balita/anak kebanyakan disebabkan oleh infeksi virus atau flu yang disertai batuk/pilek. Kebetulan waktu itu Alea memang juga pilek. Pada umumnya, penyakit yang disebabkan oleh virus ini bersifat self limiting disease, atau akan sembuh dengan sendiri oleh kekebalan/pertahanan tubuh dirinya. Jadi memang tidak perlu obat khusus. Ketika ada virus/kuman yang masuk ke dalam tubuh, secara otomatis tubuh akan memberikan reaksi dengan cara menghasilkan zat yang menyebabkan suhu tubuh naik. Dengan suhu tubuh yang naik ini akan membuat sel pertahanan tubuh dapat bekerja lebih optimal. Begitulah penjelasan dokter yang menangani Alea waktu itu.

Mitos itu antara percaya dan tidak percaya sih. Ada teman yang ketika hamil sama sekali tidak diperbolehkan makan lele, karena lele dipercaya dapat membuat kepala bayi membesar sangat cepat sama seperti kepala ikan lele sehingga akan menyulitkan proses persalinan. Dia juga tidak makan belut karena belut kan licin, khawatir anaknya tidak bisa diatur. Padahal belut dan lele itu kandungan nutrisinya bagus, kolesterolnya rendah, mengandung lemak baik yang bisa mencegah kelelahan pada ibu hamil, dan juga mengandung protein dan mineral yang baik untuk pertumbuhan janin. Dulu, oleh dokter saya malah disuruh makan apa saja yang enak-enak, hehehe…

Jadi, ini tips dari dokternya Alea, kalau anak tiba-tiba demam, selama dia masih riang, masih beraktivitas seperti biasa, orang tua tidak perlu terlalu panik. Level aktivitas anak kita adalah indikator yang jauh lebih akurat daripada angka pada termometer. Kecuali dia mengalami dehidrasi dan kejang, itulah saat kita mulai waspada.

Jadi, benarkah demam itu tanda anak mau pinter?

 

 

[devieriana]

Continue Reading

Nikmati Saja

IMG-20150902-WA009

Jadi sebenarnya hari ini saya itu tiba-tiba saja galau. Di week end kemarin saya total di rumah menemani Alea mulai pagi dia bangun tidur sampai malam hari dia tidur. Buat saya yang seorang ibu bekerja kebersamaan bersama Alea termasuk dalam daftar me time. Kalau ibu-ibu lain yang kesehariannya sudah bersama bocah mungkin me time-nya akan berkebalikan dengan saya, misalnya dengan nyalon-nyalon lucu atau sekadar meluangkan waktu khusus untuk diri sendiri. Ya kan namanya mengasuh anak sekaligus mengurus rumah kan lumayan PR ya, Bu… Jadi maklumlah kalau ada waktu khusus buat refreshing. Nah, berhubung saya cuma ketemu sama Alea setelah jam pulang kantor dan week end jadilah saya menyebut kebersamaan saya bersama Alea adalah termasuk me time.

Di usia balita saya yang bulan ini menginjak 14 bulan, saya lagi jatuh cinta banget sama dia. Jatuh cinta karena Alea sedang lucu-lucunya, mulai bisa menirukan omongan orang, lagi suka menonton film animasi dan mendengarkan lagu-lagu anak, suka menari, dan sedang suka bersosialisasi dengan anak-anak lain baik yang sebayanya maupun yang jauh lebih besar daripada dia. Pokoknya dia sedang seperti sebuah spons besar yang menyerap sebanyak-banyaknya air. Tapi bukan Spongebob, hehehe…

Kalau saya sedang ada di rumah, apapun aktivitas Alea maunya sama saya. Mulai makan, minum, pup, main, sampai bobonya. Seolah meminta ‘kompensasi’ dari ketidakhadiran di setiap hari kerja. Jadi, begitu ada mamanya, dia girang banget. Setelah sekian lama, oh.. ternyata begini ya rasanya punya ‘buntut’. Ke mana-mana ada yang mengikuti.

Kalau soal drama pascalahiran sudah berlalu, kini beralih ke drama sebelum ngantor. Setiap pagi, kalau dia sudah bangun dia pasti maunya ikut saya membikin sarapan. Padahal dapur itu kan kurang aman buat bayi/balita. Tapi ya bagaimana lagi, dia maunya ikut ke mana pun saya melangkahkan kaki, jadi kadang ya terpaksa kalau sudah tidak bisa dibujuk oleh papa atau eyangnya ya dia ikut saya membuat sarapan di dapur.

Kalau tiba waktunya saya berdandan, dia pun ikut sibuk ‘berdandan’. Mengusapkan kuas blush on ke wajahnya secara random dengan ekspresi kegelian. Usai mengeluarkan seluruh isi tas make up saya, biasanya kalau sudah menemukan barang yang disukai, Alea pasti langsung memojokkan diri dan asyik dengan barang ‘temuannya’ itu. Contohnya kuas blush on yang sudah dipreteli atau lipstik. Lipstik saya yang sudah hampir habis jadi belepotan ke mana-mana karena dicolek-colek Alea. Lucunya, kalau saya tanya, “siapa yang nakal mainan lipstik Mama?”. Dengan lucu dia menjawab, “Aea…”. Alea.

Kalau sudah selesai dandan, aktivitas berikutnya adalah seterika. Saya selalu menyeterika baju yang akan dipakai hari ini sebelum berangkat ke kantor. Biasanya untuk membuat dia ‘sibuk’ adalah dengan menyetelkan video film animasi kegemarannya atau video lagu anak. Tapi kalau dia sedang ‘drama’ pasti ada saja caranya meminta perhatian. Misalnya tiba-tiba minta menyusu atau minta pangku di tengah aktivitas saya menyeterika. Jadi, kadang eyangnyalah yang suka membujuk dengan mengajak main sesuatu di ruang tamu, atau apapun yang bisa mengalihkan perhatiannya sementara saya menyeterika.

Kalau lagi mellow, ada juga perasaan iba melihat begitu inginnya saya ada buat dia, menemani dia setiap hari. Melihat tangan mungilnya memeluk saya erat sembari dia menyusu dan menonton film favoritnya (Baymax, Frozen, Penguin of Madagascar, Barney, dan Gazoon); melihat dia makan dengan lahap ketika saya suapi, atau tertidur lelap di pelukan saya, itu precious banget…

Mama saya pernah bilang begini, dulu…
“Nikmati saja setiap waktu bersama anak-anakmu. Karena masa kecil tidak akan pernah kembali. Hidup juga tidak akan pernah berulang dan begitu-begitu saja karena pasti akan ada perubahan.”

Diam-diam saya merenung. Iya juga ya, nikmati saja setiap detik kebersamaan bersama Alea. Membayangkan bahwa dalam beberapa bulan ke depan Alea akan mulai sekolah playgroup. Dia akan mulai bersosialisasi, punya teman, punya lingkungan baru. Dan tanpa terasa dia akan memulai kehidupannya sebagai anak sekolah, dan seterusnya sampai akhirnya dia dewasa dan punya kehidupan sendiri.

Sederhana saja, saya dan suami ingin memberikan Alea kasih sayang semaksimal mungkin yang kami bisa, dan harapan kami semoga Alea memiliki masa kecil yang bahagia, di tengah kehidupannya sebagai seorang anak yang kedua orangtuanya bekerja.

Btw, tadi pagi agak sepi nih, nggak ada yang ngegrecoki aktivitas pagi, soalnya Alea masih tidur pulas sampai waktunya kami berangkat kerja…

****

– ditulis dalam multitasking mode (smsan, watsapan, mengoreksi berkas, input ke aplikasi, dan kegiatan clerical lainnya, sambil mengejar waktu mendekati jam pulang kantor –
[devieriana]

Continue Reading

Batuk Yang Tak Kunjung Sembuh Itu

coughDari dulu, musuh utama saya adalah batuk. Karena kalau batuk, yang ‘menderita’ bukan cuma saya, tapi juga orang yang ada di sekitar saya; bukan cuma keluarga, tapi juga teman yang dengar saya batuk. Bukan cuma iba, tapi juga pasti akan meminta saya untuk segera ke dokter supaya ada solusi buat batuk saya. Padahal saya sebenarnya paling malas ke dokter, masa dikit-dikit ke dokter, dikit-dikit ke dokter. Ke dokter kok dikit-dikit… *eh, lho?!*

Kalau soal flu/pilek/demam ringan/pusing, masih bisa saya taklukkan dengan obat yang biasa dijual umum. Atau kalau misalnya parah, dan sudah mengganggu aktivitas di kantor ya paling saya ke klinik kantor untuk minta obat. Jadi, catatan di kartu pasien saya di klinik itu sama dari atas ke bawah: batuk, pilek, demam, radang; begitu saja diulang-ulang. Lha wong memang yang suka menghampiri saya ya itu-itu melulu.

Hingga akhirnya di sekitar bulan Juni kemarin saya mulai didera batuk. Awalnya ya biasa, radang, demam, pilek, trus mulai deh batuk-batuk ringan. Berhubung obat umum yang biasa saya minum sudah tidak mempan, terpaksalah saya ke dokter, itu pun selang setelah 3 minggu batuk pileknya tak kunjung reda, bahkan sudah mulai dibilang berat. Dua kali saya datang ke dokter kantor dengan resep yang berbeda tak mempan, akhirnya saya menyerah. Udah, nggak ke dokter-dokter lagi, bosen. Lho, gimana deh, sakit parah kok malah nggak ke dokter. Bahkan lebaran kemarin saya nggak cihuy sama sekali, lha wong bunyi batuknya sudah seperti perokok berat. Padahal kan saya nggak merokok 🙁 . Sudah habis vitamin dan obat batuk berbotol-botol hasilnya tetap nihil. Sepertinya ini adalah batuk terparah yang pernah saya alami deh… *sedih*

Mama sempat menyarankan saya untuk pergi ke internist untuk memastikan batuk apa sih sebenarnya yang kerasan banget di badan saya ini. Tapi saya sempat menolak, bukan apa-apa, saya malah takut. Takut kalau ternyata di dalam paru-paru saya ada apa-apanya. Iya, saya aneh ya? Bukannya malah bagus kalau ketahuan penyakitnya apa biar cepat diobati, mengingat saya kan punya balita yang lagi lengket-lengketnya sama saya. Sempat antara geli dan sedih kalau Alea ditanya sama papanya, “gimana kalau Mama batuk?”. Dengan ekspresi lucu Alea menirukan gaya saya batuk, “uhuk, uhuk, uhuk!”

Akhir bulan lalu akhirnya saya beranikan diri ke rumah sakit untuk mengecek kondisi saya. Jangan ke internist dulu deh, ke THT aja. Dengan diantar suami, saya pun ke RS Medistra yang kebetulan dekat dengan tempat tinggal saya. Di sana saya diperiksa oleh dr. Nirmala, Sp.THT. Ya saya ceritakan apa keluhan saya yang sudah mengalami kebosanan tingkat akut dengan batuk yang saya derita ini. Setelah dicek sana-sini, dokter bilang batuk saya ini berawal dari pilek, bisa juga karena alergi (entah debu, atau udara dingin), jadilah radang dan sebagian lendirnya turun hingga menyebabkan batuk. Dalam hati saya alhamdulillah, berarti tidak semengkhawatirkan apa yang ada di dalam pikiran saya sebelum ke rumah sakit. Oleh dokter saya dikasih obat yang dosisnya ringan saja mengingat saya masih menyusui. Awalnya kalau memang sudah parah, mau dikasih obat yang mengandung morfin, tapi risikonya ya saya bakal teler berat. Lha ya nanti anak saya ikutan teler dong? Nggaklah, jangan, ini aja dulu. Toh belum seberapa berat.

Selama mengonsumsi obat itu, lumayanlah batuk pileknya berkurang, tapi masalah datang lagi, ketika obat itu habis lha kok batuk pileknya datang lagi :(( *stress* . Sampai akhirnya saya menyerah, ya sudah… saya ke spesialis penyakit dalam :((. Sore itu, sepulang kantor saya langsung ke RS Medistra lagi sambil terbatuk-batuk. Suara saya sudah serak tak ‘berbentuk’ lagi. Sesampainya di loket pendaftaran saya tanpa memilih dokter (karena saya belum pernah ke internist mana pun di sini), akhirnya saya dipilihkan dengan dr. Telly Kamelia, SpPD. Setelah menunggu selama 30 menit, dr. Telly pun datang. Dokter yang ramah dan komunikatif, itulah kesan pertama saya pada dokter berhijab di depan saya itu.

Saya diinterview hingga detail kira-kira apa penyebab batuk yang tak kunjung sembuh ini. Dicari penyebabnya, mulai faktor dari dalam keluarga, teman, lingkungan rumah, lingkungan kerja, aktivitas sehari-hari, dan banyak lagi pertanyaan lainnya. Hingga akhirnya tiba di kesimpulan yang sama dengan dr. Nirmala, SpTHT, sepertinya saya alergi debu dan udara dingin. Setelah diperiksa dada, punggung, hidung, tenggorokan, akhirnya penyakit saya ‘ketemu’, saya didiagnosa terkena rhino-faringitis, faringitis, dan bronchitis. Intinya saluran pernafasan saya terkena infeksi, gitu deh kira-kira kesimpulannya. Dan saya harus foto thorax untuk lebih memastikan apa yang ada di sekitaran paru-paru saya. Sampai sekarang foto thoraxnya belum saya ambil, nanti saja sekalian pas kontrol lagi hari Rabu, 16/09/2015. Semoga sih nggak sampai ada apa-apa di paru-paru saya ya, hiks… 🙁

resep
Alhamdulillah, sepertinya obatnya mulai bereaksi. Kata dokter sengaja memang diberi obat yang agak tinggi dosisnya, nanti ketika kontrol kedua akan dilihat hasilnya apakah ada perubahan/tidak. Kalau memang manjur, akan pelan-pelan dikurangi dosisnya. Baru setelahnya akan diterapi. Syarat terapinya saya harus total washed out dari segala konsumsi obat, vitamin, atau jamu selama kurang lebih satu minggu. Kalau terapi itu diberikan sekarang ketika saya masih sakit, kata dokter tidak bisa. Karena saya jadi tidak punya tameng untuk menangkal penyakitnya. Jadi biar sembuh dulu baru diterapi.

Dalam sakit kemarin, walaupun ‘cuma’ batuk, saya jadi merasakan betapa kesehatan itu amat sangat berarti. Pilek sedikit saja, itu sudah pengaruh ke mana-mana. Sudah saatnya jaga kondisi kesehatan dengan lebih baik lagi, mengingat kondisi badan saya termasuk rentan, plus saya bukan pehobi olahraga pula *self keplak*.

Baik-baik jaga kondisi badan ya, temans. Sehat itu mahal dan ribet (sekalipun biaya ditanggung asuransi). Ribet karena tetap harus pergi ke rumah sakit, ketemu dokter, nebus obat, and the blablabla. Semoga kita selalu diberikan kesehatan, supaya bisa memanfaatkan usia, kesempatan, dan hari-hari yang diberikan Allah dengan lebih baik lagi, terutama bersama orang-orang tercinta. Aamiin…

 

 

[devieriana]

 

sumber ilustrasi: nedandlarry.com dan pribadi

Continue Reading

Makrempong

friendship

‘Makrempong’ adalah salah satu nama dari 10 grup whatsapp yang ada di handphone saya. Baru 10 grup? Ah, cuma dikiiit… Dibentuk pertama kali oleh salah satu teman sekitar bulan April 2015. Isinya pun cuma 11 orang, tapi ramenya mengalahkan puluhan orang yang ada di grup whatsapp lainnya. Kebetulan kami bersebelas ini teman satu angkatan ketika baru masuk di operator merah tahun 2004. Sejak awal dipertemukan di Surabaya, kami sudah mendadak akrab begitu saja, semacam sudah punya chemistry.

Kami ‘lulus’ dari operator merah sekitar tahun 2006. Sejak saat itu kami terpisah menjalani karir berikutnya di kota masing-masing. Ada yang ‘meneruskan’ di operator yang sama dengan beda bendera, ada juga yang menjadi PNS, ada yang menjadi staf di oil company, staf di hotel, menjadi guru, atau ibu rumah tangga. Sampai akhirnya salah satu dari kami berinisiatif membentuk grup watsapp, dan voilaa… jadilah grup bernama ‘Makrempong’, yang artinya emak-emak yang rumpi, bawel, dan rempong tentu saja. Eh, padahal 11 orang itu sebenarnya terdiri dari 10 orang perempuan, dan 1 orang laki-laki, tapi berhubung mayoritas adalah perempuan, jadilah 1 orang laki-laki itu kita anggap perempuan juga… *toyor para emak di grup*

Dari sekian banyak grup yang ada di handphone saya, ada 4 grup yang keaktifannya luar biasa. Luar biasa menghabiskan daya batere handphone, maksudnya. Mereka adalah whatsapp grup kantor, whatsapp grup SMA, whatsapp group SMP, dan whatsapp group ‘Makrempong’ itu tadi. Keempat-empatnya punya karakter yang berbeda-beda. Kalau di grup kantor isinya variatif, selain sebagai grup hore-hore juga bisa digunakan untuk koordinasi kedinasan. Kalau grup SMP dan SMA isinya hampir sama, ngobrol ngalor ngidul, dengan topik yang beragam, mulai serius sampai dengan OOT dan absurd. Sedangkan grup Makrempong walaupun sama-sama rame tapi sedikit beda. Bedanya ada di chemistry di antara kami bersebelas. Jiyeee…

friendship makrempongDi Makrempong, topik apapun bisa dibahas, mulai topik yang berat sampai yang remeh-temeh. Topik tentang keuangan, keluarga, parenting, pekerjaan, curhat tentang pasangan, pendidikan anak, soal tetangga yang menyebalkan, curhat soal pekerjaan, sampai tips dan trik bercinta pun ada. Intinya Makrempong adalah ruang untuk katarsis dan membahas topik yang all in!

Tapi dari sekian banyak grup yang saya ikuti, saya melihat Makrempong adalah grup yang isinya paling tulus. Mungkin karena anggota grupnya tidak terlalu banyak, jadi masing-masing bisa chat secara ‘personal’ di grup. Lagi pula kami juga sudah mengenal pribadi masing-masing sejak 11 tahun yang lalu jadi kami bisa jadi diri sendiri dan nyaman ngobrol tanpa harus jaga image. Intinya adalah toleransi, saling percaya, dan kasih sayang kami terhadap satu sama lainlah yang membuat pertemanan kami awet hingga saat ini.

Bahkan tak jarang, kalau sedang ada topik yang hangat, penting, dan itu memicu komentar para anggota grup, saya bisa ketinggalan hingga ratusan chat lantaran baru sempat mengecek handphone selang setelah sekian menit/jam kemudian. Kalau sudah ketinggalan sekian ratus chat begitu ya sudah, pasrah saja, kalau sudah senggang, baru deh saya sempatkan untuk scroll up membaca satu persatu chat yang masuk. Eh, padahal di grup lainnya saya belum tentu begitu, bahkan sering saya skip-skip saja.

Namanya saja grup yang isinya 11 orang yang punya kepala berbeda, jadi tidak selamanya kami isinya selalu happy, atau punya pemikiran yang sama dan sejalan dalam melihat sesuatu. Pasti adalah saat-saat di mana salah satu dari kami sedang labil, baper (sensitif), down, dan atau menjengkelkan bagi sebagian orang, entah itu karena bawaan PMS, stress di kantor, masalah di rumah, atau memang sudah saatnya menjengkelkan, hehehe. Tapi justru itulah yang seninya persahabatan. Kalau Makrempong isinya orang-orang yang emosinya lurus-lurus saja kok malah kurang seru ya. Perbedaan itu justru membuat persahabatan kami semakin berwarna.

Konon, katanya, kita bisa punya teman sampai puluhan hingga ratusan teman, tapi jumlah sahabat yang dimilikinya tak pernah melebihi jumlah jari di kedua tangannya. Entahlah, benar atau tidak. Tapi kebetulan yang ada di Makrempong ini kok jumlahnya pas, persis sama dengan kedua jari tangan saya ya… hehehehe…

“Family isn’t always blood. It’s the people in your life who want you in theirs. The ones who accept you for who you are. The ones who would do anything to see you smile, and who love you no matter what.”
– unknown –

[devieriana]

sumber ilustrasi dipinjam dari sini dan dokumentasi pribadi

Continue Reading