Selamat Jalan, Pa…

“His heritage to his children wasnt words or possessions, but an unspoken treasure, the treasure of his example as a man and a father.

— Will Rogers Jr. —

Pagi itu, jalanan Jakarta tak seperti biasanya, lengang. Wajar, karena hari itu bertepatan dengan libur nasional, 1 Juni 2018. Di saat yang sama saya juga tengah menjalankan tugas di kantor sebagai pembawa acara di upacara peringatan Hari Lahir Pancasila. Walaupun jalanan lengang, namun tak demikian halnya dengan pikiran dan benak saya. Ada kecamuk rasa galau di sela menjalankan tugas, terutama setelah mendengar Papa kembali masuk rumah sakit untuk yang kedua kalinya pasca pulang umrah.

Selepas umrah di tanggal 5 Mei 2018, kondisi Papa pelan-pelan mulai menurun. Diawali dengan keluhan di lambung yang menurut diagnosa dokter mengalami peradangan, berlanjut ke keluhan-keluhan kesehatan lainnya. Namun yang membuat hati saya tidak tenang adalah, kali ini Papa sempat tak sadarkan diri sehingga harus dirawat di ruang ICU.

Selepas upacara, saya pun segera memesan tiket sembari mengemasi beberapa barang bawaan dan pakaian seperlunya untuk dibawa pulang ke Sidoarjo, dengan harapan semoga Papa segera pulih.

Sesampainya di rumah sakit, nyatanya bukan hal yang mudah saat menyaksikan tubuh yang dulu gagah perkasa, kini terbaring lemah digerogoti penyakit hingga tak berdaya, pasrah dalam bantuan alat-alat medis. Dan ketika perawat mengizinkan saya masuk ke ruang High Care Unit tempat Papa dirawat, saat itu pulalah air mata tak mampu saya bendung. Laksana mendapat tamparan keras yang bertubi-tubi, tangis saya pun pecah.
“Maafkan Devi yang tidak mampu menjaga Papa dengan baik, ya…”

Tiba-tiba kenangan bersama Papa satu persatu berlompatan dalam ingatan saya. Kenangan tentang bagaimana Papa mengenalkan bahasa Inggris kepada saya, mengiringi saya menyanyi dengan menggunakan gitar kesayangannya, membelikan buku-buku dongeng dan kaset Sanggar Cerita. Tentang bagaimana Papa merespon pertanyaan konyol saya di tengah malam buta tentang kemungkinan saya jadi seorang model kelak ketika saya dewasa nanti. Tentang bagaimana ekspresi kekhawatiran Papa ketika melihat saya menangis dengan jari telunjuk yang berdarah-darah, gara-gara saya jepret sendiri dengan menggunakan stapler. Saking penasarannya saya tentang fungsi alat ini.

Dan yang paling mengharukan adalah bagaimana perjuangan Papa menyediakan air bersih untuk kami sekeluarga lantaran hampir di setiap malam air di rumah kami selalu mati. Terbayang bagaimana Papa harus berjuang mengalahkan dinginnya malam, menempuh jarak 1 km bolak-balik, mengisi jeriken demi jeriken hingga penuh, menaikkannya ke atas motor, menuangnya ke dalam bak kamar mandi kami hingga penuh supaya bisa kami pakai untuk kebutuhan sehari-hari esok pagi. Itu semua dilakukan setiap hari tanpa mengeluh. Teringat pula saat Papa mengantar jemput saya ketika masih sekolah, bahkan ketika saya pulang kerja. Iya, waktu saya masih kerja di Malang. Dan bahkan pernah, ketika motor kami hilang, Papa pun tetap menjemput saya dengan naik angkot. Masyaallah, sesayang, sepeduli, dan semelindungi itu Papa sama saya

Dan, malam itu pahlawan keluarga kami meringkuk dalam balutan selimut rumah sakit warna cokelat. Sosok yang dulunya gagah tegap itu kini nyaris tinggal tulang berbungkus kulit. Dengan penuh perjuangan menekan emosi, saya bisikkan lembut ke telinga Papa,

“Pa, ini Devi datang sama Alea dan Echa. Pa, besok papa harus sehat, ya. Kan besok aku ulang tahun. Aku nggak minta kado apa-apa selain besok Papa bangun dalam keadaan sehat. Ya, Pa, ya…Nanti kalau Papa udah sehat, kita jalan-jalan lagi, yuk! Sekarang Papa bobo aja dulu, besok pagi pas aku ke sini Papa bangun, ya…”

Kalimat-kalimat yang meluncur dari bibir saya malam itu sesungguhnya untuk memberi sugesti pada diri saya sendiri. Sugesti bahwa Allah masih memperkenankan saya punya Papa esok hari. Sugesti bahwa besok pagi, saya bisa diberikan kesempatan untuk berulang tahun bersama Papa. Saya percaya walaupun dalam keadaan tidak sadar, Papa mendengar apa yang saya bisikkan tadi. Malam itu saya pasrahkan segenap doa dan harapan saya kepada Tuhan. Karena di saat seperti ini hanya keajaiban doa dan perkenan Tuhan saja yang mampu membangunkan Papa keesokan hari.

Keajaiban itu nyata adanya. Di pagi buta, adik saya Echa yang semalaman menjaga papa di rumah sakit mengabari via pesan singkat Whatsapp kalau Papa sadarkan diri, sempat membuka mata, dan bahkan sempat menitikkan air mata.

Masyaallah… Tuhan mendengar ‘obrolan’ saya dengan Papa semalam. Tuhan memperkenankan Papa bangun di hari istimewa saya, 2 Juni 2018. Dengan penuh semangat saya pun bergegas menuju rumah sakit yang kebetulan jaraknya tak jauh dari rumah. Cukup berjalan kaki selama 10 menit saja saya sudah tiba di rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, emosi saya teraduk-aduk. Ada banyak rasa yang berkecamuk. Semacam paduan rasa bahagia, haru, namun sekaligus sedih luar biasa. Entah kenapa, jauh di sudut hati saya merasa inilah ulang tahun terakhir saya bersama Papa. Semacam firasat yang ingin saya enyahkan jauh-jauh.

Papa melihat kedatangan saya dari balik gordyn pemisah pasien. Beliau tersenyum samar di balik alat bantu pernapasan. Terlihat ada setitik air yang menggulir di sudut mata, yang segera dihapus oleh Echa, adik saya.

“Assalamualaikum, Papa…”

“Waalaikumsalam… Vi, selamat ulang tahun, ya. Semoga panjang umur, sehat selalu, dan
dilindungi Allah SWT. Aamiin…”

Kalimat-kalimat itu terucap dengan susah payah, meluncur di antara lidah yang sudah kelu, suara Papa nyaris tak terdengar. Saya mengamininya dalam keharuan luar biasa dan dalam tangis yang setengah mati saya tahan agar tidak tumpah ruah. Saya peluk lembut tubuh ringkih berbalut selimut cokelat itu, sembari menyelipkan ucapan terima kasih karena Papa sudah menyempatkan diri untuk sadar, siuman, bahkan mengucapkan selamat ulang tahun. Kado yang luar biasa indah dari Papa sekaligus Tuhan.

Hari itu kami bertiga berada di sisi Papa lengkap. Di moment itu kami saling mengungkapkan apapun yang selama ini tidak pernah (sanggup) kami ungkapkan di depan Papa. Rasa sayang kami, rasa cinta kami, rasa terima kasih dan penghargaan kami kepada Papa atas semua yang telah beliau berikan kepada keluarga. Walaupun lebaran masih kurang beberapa hari, tapi kami sudah saling meminta maaf dan memaafkan lebih dulu. Sembari menata dan mempersiapkan hati jika hari itu ternyata menjadi hari terakhir kebersamaan kami bersama Papa.

Ibarat nyala lilin yang sesaat sebelum padam, nyalanya akan membesar sesaat. Seperti itulah yang terjadi pada Papa. Fenomena lilinnya Papa itu ternyata di hari ulang tahun saya. Hasil ngobrol bareng Mastein , fenomena lilin itu semacam sebuah kondisi pasien yang sedang sakit parah, terlihat seolah-olah membaik, bisa diajak ngobrol, dll, sebelum akhirnya kondisinya kembali menurun, dan lalu berpulang.

Setelah dirawat kurang lebih 6 hari lamanya, Papa mengembuskan napasnya yang terakhir tepat setelah saya selesai membacakan surat As Sajdah di samping beliau, diiringi bisikan kalimat syahadat yang tak putus-putus di telinga beliau oleh kedua adik saya secara bergantian, di hari Rabu, 6 Juni 2018, pukul 16.24 di Rumah Sakit Umum Daerah
Sidoarjo, dalam usia 72 tahun.

Walaupun kami sudah menyiapkan mental sedemikian rupa, tetap saja bukan hal yang mudah untuk menerima kenyataan bahwa kami sekarang sudah menjadi anak yatim. Bahkan untuk menceritakannya kembali di blog ini pun saya butuh waktu yang lama sekali.

Tapi di balik ini semua kami bersyukur bahwa ada banyak kebaikan yang menyertai kepergian Papa. Papa pergi sepulang umrah, tidak terlalu lama sakit, dan alhamdulillah diberikan sakratul maut yang mudah. Bahkan kami yang mendampingi Papa pun nyaris tak sadar kapan Papa mengembuskan napasnya yang terakhir. Dan yang membuat terharu adalah sampai pukul 2 dini hari pun masih banyak yang takziah mendoakan, baik dari
tetangga, kerabat, teman SMA Papa, dan teman-teman dari Persaudaraan Setia Hati Terate. Masyaallah…

Konon, rindu paling menyakitkan adalah merindukan seseorang yang telah tiada. Tapi kami yakin dan percaya, bagaimana pun pedih dan sakitnya sebuah rasa kehilangan, Tuhan selalu ada untuk mendengarkan segala doa dan harapan.Tuhan selalu menyediakan cara untuk memulihkannya kembali.

Terima kasih untuk segala hal baik yang telah Papa lakukan semasa hidup untuk kami. Walaupun raga Papa tak lagi ada bersama kami, doa kami tak akan pernah putus buat Papa. Istirahatlah dengan tenang di sana ya, Pa. Jangan pernah khawatirkan kami, karena percayalah, para malaikat kecilmu ini telah menjadi anak-anak tangguh lebih dari yang Papa bayangkan.

Selamat beristirahat. Semoga kelak kita bertemu di surga-Nya ya, Pa…

 

 

[devieriana]

 

PS: ditulis tepat di hari ke-40 kepergian Papa

Continue Reading

Pickpocket

pickpocketSejak akhir bulan kemarin saya harus belajar melupakan dan mengikhlaskan kepergian smartphone saya gara-gara kecopetan di bus sepulang dari diklat beberapa waktu yang lalu. Iya, smartphone yang sudah menemani saya selama kurang lebih 4 tahun ini mendadak raib dari dalam tas. Pffft, padahal sepertinya tingkat kewaspadaan saya sudah lumayan tinggi, tapi mungkin tingkat kelihaian para pencopet untuk menjarah isi tas saya jauh lebih tinggi.

Sore itu bertepatan dengan hari terakhir saya menjalani kegiatan di Pusdiklat Setneg. Dengan langkah cepat dan tergopoh-gopoh menghindari guyuran hujan yang semakin deras, saya bersama seorang teman protokol dari Setwapres langsung menaiki salah satu metromini yang biasa kami naiki dan kebetulan sedang mengetem di pojok perempatan Fatmawati. Sebagian besar bangkunya masih kosong, tapi kami terpaksa duduk di tempat yang terpisah karena kebanyakan sudah diduduki oleh penumpang yang menunggu sebelumnya.

Tak lama bus pun sudah dijejali penumpang. Saya mendekap tas ransel saya, waktu itu saya masih sempat mengirim pesan ke teman di seberang kursi, bilang kalau nanti bayarnya sendiri-sendiri saja, karena biasanya kami suka bergantian membayarkan. Setelah itu saya langsung memasukkan kembali HP ke dalam tas. Selama perjalanan saya juga dalam kesadaran penuh, tidak tertidur. Tapi mungkin keberadaan saya (dan beberapa penumpang lainnya) waktu itu sudah diincar, alhasil ketika turun saya sudah mendapati tas ransel saya resletingnya sudah terbuka di bagian atas dan samping. Beruntung dompet saya tidak ikut terjarah meskipun posisinya sudah mengkhawatirkan karena berada di salah satu kompartemen tas yang resletingnya terbuka tadi :cry:.

Yang saya rasakan saat itu perpaduan antara rasa cemas, sedih, panik, dan menyesal parah. Wajar, karena baru saja kehilangan barang yang sudah setia menemani selama 4 tahun terakhir ini, apalagi itu adalah kado ulang tahun dan saya tahu bagaimana kisah di balik itu, plus harus kehilangan semua kontak yang sudah terkumpul selama 4 tahun ini, sekaligus data-data lain yang belum sempat saya backup dan pindah ke hardisk. Tapi untuk mengharapkan smartphone saya kembali lagi kok rasanya hopeless juga, karena pastinya metromini dan pencopetnya itu entah sudah sampai di mana. Dan entah kenapa kecurigaan saya jatuh pada pria yang tadi duduk persis di belakang saya. Bukan menuduh, feeling saya bilang begitu karena sebelum saya turun dia ‘heboh’ pindah-pindah tempat duduk tanpa alasan yang jelas :|. Tapi, ya sudahlah, mungkin memang sudah waktunya harus ganti gadget yang baru *modus*.

Kemarin waktu meeting dengan teman-teman Indonesia Bercerita, mereka malah share tentang cerita-cerita lucu yang berhubungan dengan kecopetan dan kemalingan. Mungkin kalau menyaksikan atau mengalami sendiri di waktu itu belum tentu bisa sambil cekikikan menertawakan ‘tragedi’ yang dialami, ya. Tapi ketika kita sudah ikhlas dan cerita itu di-recapture ternyata bisa jadi hal yang lucu.

Seperti kisah seorang teman pria yang nyaris kehilangan HP di KRL. Iya, nyaris, karena setelah berdoa, dan dicari sedemikian rupa, HP yang sejak awal cuma disimpan di dalam saku celana sejak sebelum masuk KRL itu tiba-tiba ‘ditemukan’ terselip di sela kaki para penumpang KRL yang berseberangan arah dengan tempatnya berdiri, dan justru diinfokan oleh orang yang sebelumnya dia duga pencopet karena dari awal gerak-geriknya lumayan mencurigakan. Hmmm, agak suudzon sih, tapi kadang memang perlu demi meningkatkan kewaspadaan.

“Mas, HP-nya jatuh tuh, di sana, di bawah kursi…”

Lha iya, kok bisa-bisanya Mas itu tahu kalau itu HP milik si teman, dan kenapa jatuhnya jauh dari lokasi awal tempat si teman berdiri. HP ditemukan dalam kondisi ‘compang-camping’, baret sana-sini karena terinjak-injak penumpang lainnya. Tapi tak urung teman saya itu pun berterima kasih kepada Si Mas Misterius yang ‘menemukan’ HP-nya kembali. Doa orang teraniaya itu memang manjur.

Ada lagi kisah unik teman lainnya yang berhasil merebut kembali dompet dari tangan pencopet tanpa ada perlawanan samasekali dari Si Pencopetnya. Lucunya Si Pencopet malah terbengong-bengong, seolah baru sadar kalau barang jarahannya sudah diambil kembali oleh korbannya :lol:.

Tapi ada juga cerita lainnya. Ada seorang teman yang sadar kalau dia habis kecopetan langsung menangis tersedu-sedu. Bukan karena dompetnya yang hilang, tapi gara-gara tasnya yang berharga sekian juta itu menjadi korban usaha penyiletan para pencopet. Aduh, lagian kenapa harus pakai tas mahal-mahal sih kalau ‘cuma’ naik angkutan umum? 🙁 *simpan tasnya Angel Lelga ke lemari besi*

Namanya musibah/pencurian itu ada saja jalannya, ya? Kita yang sudah berhati-hati masih bisa lengah dan kecolongan. Kejadian kemarin benar-benar menjadi pelajaran berharga buat saya untuk lebih meningkatkan kewaspadaan selama di angkutan/tempat umum, melakukan backup data di HP secara berkala, dan menyimpan barang-barang yang dianggap penting/berharga di bagian tas yang lebih aman dan terlindungi. Semoga kejadian ini tidak terjadi lagi di kemudian hari.

Setelah melakukan blokir sana-sini dan pergantian berbagai macam passwor dan simcard, sekarang saya pakai handphone zaman Patih Gajahmada masih berkuasa. Ya sudahlah, yang penting bisa dipakai untuk sms/telepon. Walaupun diledek teman-teman, apalagi kalau sedang terima telepon,

“Lho, handphone-nya bisa bunyi tho?”

atau

“Ih, itu kan handphone zaman purbakala banget, sebangsa menhir, dolmen, pepunden berundak, sama artefak gitu, Kak”

HIH! Lebay memang. Padahal ya masih merk yang sama dengan smartphone saya sebelumnya walaupun tipenya agak down grade. Tetap bersyukur karena masih ada yang mau meminjamkan gadget ini biar saya tetap bisa dihubungi via sms/telepon.
*elus dada dengan tabah*
*dadanya mas-mas ganteng*

Ngomong-ngomong, nggak ada yang berencana urunan buat beliin saya gadget baru, apa?
:mrgreen:

 

[devieriana]

 

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

And.. it happened again ..

Innalilahi wa inna illaihi rajiun .. Kayanya baru beberapa waktu lalu saya mendengar kabar duka tentang salah satu anak buah yang mengandung & kehilangan bayinya, eh tadi malam jam 21.00 mendadak saya terima sms yang mengejutkan lagi.. Salah satu mantan teman sekantor yang sekarang udah resign & menetap di Bogor yang lagi hamil 7 bulan juga kehilangan bayinya..

Shock lagi. Seperti mimpi.. Rasanya baru kemarin saya ikut sedih karena salah satu anak buah saya kehilangan bayinya, sekarang salah satu teman baik saya juga mengalami hal itu, sudah usia kandungan 7 bulan pula.. Jadi keinget lagi , saya juga kehilangan bayi saya saat usia 6 bulan dalam kandungan karena tali plasentanya terpilin-pilin sehingga si bayi tidak dapat asupan makanan & oksigen..

Sedih bangetlah, pasti. Tapi ya wis diikhlaskan aja, apapun itu, pasti Allah udah punya rencana yang indah buat kalian, buat kita.. Kita kan nggak pernah tahu apa rencana Allah selanjutnya. Insyaallah segala kebaikan akan tercurah setelah kita mendapat musibah ini..

Amien3x ya rabbal alamieen..

Tabah ya dear .. >:D<

* dedicated to Noeny & Faisal *

[devieriana]

Continue Reading

11 Agustus 2008

Lama saya nggak update blog yah, karena kemarin-kemarin saya lagi depresi & males berat. Tapi lama-lama kok jadi kangen sama tulis-menulis yah. Padahal kemarin habis “musuhan” sama blog & sosialisasi di dunia maya 🙂 . Wajarlah terasa masih ada beban berat yang mengganjal hati & pikiran yang belum bisa hilang sampai sekarang. Ya mungkin karena kejadiannya masih baru. Ibarat luka operasi yang masih belum kering, jadi masih berasa ngilu & perih.

Beberapa waktu yang lalu kayanya berat banget menerima kenyataan bahwa kita harus rela kehilangan sesuatu. Sesuatu yang nyaris jadi milik kita, sesuatu yang sudah kita tunggu-tunggu, sesuatu yang akan membuat hidup kita terasa lebih lengkap. Namun kenyataannya “hak” itu belum bisa jadi hak kita karena keburu diambil lagi sama Pemiliknya..

Lost.. Saya kehilangan calon baby saya dalam kandungan usia 6 bulan. Dunia rasanya runtuh aja waktu saya lihat wajah dokter yang tertunduk lesu sambil memegang alat USG dan menyatakan “Maaf, saya tidak bisa menemukan detak jantung bayi ibu lagi…”.

DHHHIIIAAARR .. berasa tersambar petir di siang bolong..

Ingin rasanya berteriak, merasa nggak terima.. Ingin bilang kalau dokternya bohong, semua itu nggak bener. Cari detak jantung bayi saya sampai ketemu!Tapi jelas nggak mungkin saya bilang kaya begitu.  Jangankan buat  ngomong, untuk menyangga tubuh saya sendiri saja rasanya berat banget. Seolah-oolah rumah sakit itu mendadak rubuh menimpa tubuh kecil saya. Perjalanan dari RS ke rumah juga terasa jauhnya berkilo-kilo. Malam itu rasanya lebih panjang daripada malam-malam biasanya. Saya hanya tidur selama 2 jam. Tak sabar rasanya menunggu pagi untuk melakukan USG ulang di RS yang berbeda.. Malam itu saya gunakan untuk membaca Qur’an seperti biasa, tapi kali ini dengan linangan airmata.. Huruf-huruf Qur’anku terlihat buram karena tak mampu lagi membendung luapan airmata yang spontan menganak sungai..

Pagi..

Pagi yang biasanya cerah hari itu seakan-akan  ikut berduka bersama kami. Mendung sejak semalam & hujan menyertai sepanjang perjalanan kami ke RS Medistra. Kamipun berangkat ke RS dengan nyaris sudah tanpa harapan, dengan tubuh yang sedikit menggigil kehujanan tapi terasa ringan. Entah hanya perasaan saya saja atau memang kandungan saya terasa lebih ringan lantaran tidak ada nyawa lagi didalamnya. Pikiran saya sudah blank tidak menentu. Mata saya sudah sembab sejak semalam. Keluarga & teman-teman bergiliran telpon & sms mengucapkan ikut berduka cita. Saya bukan tak peduli, tapi lebih sibuk menenangkan pergumulan batin saya yang belum sepenuhnya ikhlas..

USG untuk kesekian kali mengatakan hal yang sama, bayi saya sudah tidak bernafas. Terlihat dia sedang tertidur pulas untuk selamanya diatas plasentanya. Ya, placenta previa. Plasentanya menutupi jalan lahir anak saya, sehingga saya terpaksa harus operasi cesar. Dr Rama Tjandra yang menangani saya waktu itu dengan bijak bilang , “yah sudah.. direlakan yaa.. Mungkin Allah belum berkenan menitipkan si kecil pada kalian berdua..  Insyaallah nanti segera dapat penggantinya yang jauh lebih baik, lebih sehat.. Walau bagaimanapun , si kecil tetap harus dilahirkan, karena buat apa lagi dia berlama-lama di kandungan ibunya sementara dia sendiri sudah tidak bernyawa, nanti malah meracuni tubuh ibunya.. Jadi, nanti sore kita lakukan operasi pukul 16.00 yah.. Sekarang udah harus puasa.. “, kata dokter yang sudah setengah baya itu bijak & menenangkan sekali..

Waktu sudah menunjukkan pukul 08.00 wib. Tubuh saya  rasanya sangat limbung, otak rasanya mampet nggak bisa, airmata mengembung di pelupuk mata.. Lost.. Yah.. I lost my little angel.. 🙁

Siang

Kunjungan tak terduga di RS Medistra dari seluruh staf kantor PT Gema Graha Sarana (kantor suami) & all staf backoffice callcentre Telkomsel-Jakarta (kantor saya).  Kesedihan jelas masih tergambar di wajahku & suami meskipun sesekali saya meningkahi dengan canda & tawa walaupun mungkin terasa dipaksakan. Gimana mau becanda wong ada yang meninggak kok becanda. Tapi sedikit terhibur dengan kehadiran mereka sebelum saya menuju ke ruang operasi cesar untuk melahirkan bayi perempuan tercinta nanti pukul 16.00 wib.

Sore..

Waktu rasanya bergulir begitu cepat. Seperti tiba-tiba meloncat ke pukul 16.00 & tiba-tiba saja saya sudah berada di Ruang Operasi lengkap dengan kostum & headcap. My goodness, we’re gonna be separated.. 🙁 . Saya hanya bisa mengingat saat saya didorong menuju ruang operasi, saya melihat tim dokter sudah siap dengan kostum & peralatannya masing-masing. Lalu ada seorang dokter anastesi yang menyuntikkan sesuatu di punggung dekat tulang belakang (cmiiw) lalu beberapa saat kemudian saya merasa kesemutan, dingin, tebal, dan seolah ada yang mengalir dari arah kaki menuju kepala saya. Pening sekali. Setelah itu saya sudah tidak ingat apa-apa lagi.. Ketika saya membuka mata, waktu sudah menunjukkan pukul 18.05 wib. Itu berarti saya tidak  sadarkan diri selama kurang lebih 2 jam karena anestesi.

Malam yang panjang & berat..

Malam itu sekitar pukul 02.00 dini hari saya mendadak menggigil hebat padahal AC di kamar sudah dikecilkan. Antara lapar & entah pengaruh obat yang jelas saya merasa sangat kedinginan. Belum lagi ruangan yang hanya tersekat kelambu disebelah saya ibu yang juga habis melahirkan. Suara tangisan bayinya memecah keheningan malam. Saat itu saya merasa dunia sedang tidak berpihak pada saya. Kenapa bayi itu ada disebelah saya? Sambil menggigil kedinginan saya menangis dibawah selimut. Suami yang mendampingi saya agaknya juga bisa merasakan “topan badai” yang sedang saya alami. Ya karena kegagaln itu bukan hanya milik saya, tapi juga milik dia.

Ya Allah, beri hamba kekuatan untuk menjalani cobaanmu ini Ya Allah. I believe, there’s a blessing in every disguise..

Amien..

[devieriana]

Continue Reading