Pada Agustus 2024, saya mendapatkan kesempatan istimewa untuk tampil dalam acara Pelepasan PNS Purnatugas Kementerian Sekretariat Negara—acara tahunan yang biasanya sayalah yang menjadi MC-nya. Namun, tahun ini ada yang berbeda. Alih-alih menjadi MC, saya justru memutuskan untuk tampil sebagai pengisi acara, sebuah perubahan yang sangat signifikan, ya.
Ada cerita unik di balik keputusan menari itu saya diambil. Sejujurnya, saya sempat ragu. Sudah puluhan tahun saya meninggalkan panggung tari, apa iya saya masih bisa menari? Apa iya gerakannya masih luwes? Selama ini teman-teman hanya mendengar cerita saya tentang masa lalu sebagai penari, tanpa adanya bukti konkret yang bisa mereka lihat di masa sekarang, sehingga klaim saya tersebut hingga saat ini belumlah akurat.
Sejak usia 8 tahun, saya bergabung dengan sebuah sanggar tari di Malang, di mana saya ditempa untuk dapat menguasai tari Jawa klasik dan kreasi baru oleh Bapak Alm. Pompong Supardjo, seorang budayawan dan pelatih tari asal Singosari, Kabupaten Malang. Setiap semester, kami mengikuti ujian kenaikan tingkat di depan para penguji di Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya. Kebetulan, beliau juga merupakan teman mama saya ketika masih aktif di Wilwatikta. Dulu, saat mama masih remaja, mama saya seorang penari, sementara Pak Pompong menjadi pengendang (pengrawit) dalam pertunjukan wayang orang dan sendratari kolosal Ramayana, serta berbagai tarian kolosal lainnya yang digelar di taman terbuka (amphiteater) Taman Tjandra Wilwatikta, Pandaan, Jawa Timur.
Jauh sebelum acara tiba, teman-teman dan atasan saya juga sempat meragukan, “Serius, kamu bisa menari?” Ada yang bertanya, “Memang kamu penari, Dev? Kapan latihannya?” hingga ada yang berseloroh, “Jangan becanda lho, Devi!” Mendengar semua itu saya cuma bisa tertawa. “Jadi, menari itu sebenarnya satu-satunya bakat yang belum sempat saya tunjukkan sejak lulus kuliah dan mulai bekerja, apalagi sejak di Setneg. Lucunya, belum sempat saya unjukkan, justru bakat baru seperti MC yang ditemukan oleh Pak Cecep (mantan Deputi Bidang Administrasi Aparatur). Menari, entah kenapa, masih belum ada kesempatan.”
Akhirnya, dengan mantap, saya putuskan untuk menari, dan pilihan saya jatuh pada Tari Punjari dari Banyuwangi. Bagi saya, Tari Punjari lebih dari sekadar tarian, lebih dari itu, ia membawa saya ‘pulang’ ke masa lalu, ke masa-masa di mana saya masih aktif menari. Kembali ke panggung tari, bukan sekadar membawakan koreografi tarian, juga tentang bagaimana menunjukkan pada diri sendiri bahwa ada bagian dari diri yang masih hidup—sesuatu yang lebih personal dan mendalam.
Tari Punjari adalah tari kreasi baru pertama yang berhasil saya kuasai dengan baik, yang lalu menjadi tonggak keberanian saya untuk tampil di panggung, dan berhasil meraih kemenangan di berbagai kompetisi, tampil di berbagai acara. Dan uniknya, karena saking seringnya saya membawakan tari Punjari, mendapatkan julukan “Devi Punjari”.
Tari Punjari sendiri merupakan karya dari Bapak Sayun Sisiyanto, seorang budayawan Banyuwangi yang begitu berjasa dalam melestarikan seni dan budaya daerah. Tarian ini, tersohor sekitar tahun 1990-an, yang memadukan seni jaran (kuda lumping) dan seni angklung.
Kembali membawakannya setelah vakum menari selama bertahun-tahun tentu bukan hal mudah. Detail gerakan yang dulu terasa begitu mudah dan otomatis kini terasa seperti teka-teki yang harus dirangkai ulang. Selama dua bulan penuh saya berlatih secara mandiri melalui Youtube, mengulang gerakan demi gerakan, dan menghidupkan kembali detail-detail kecil yang dulu merupakan ciri khas saya. Yang menarik, seiring waktu, Tari Punjari telah mengalami banyak modifikasi dalam gerakannya. Namun, untuk pertunjukan kali ini, saya memilih versi yang mendekati orisinal—sebagai penghormatan pada karya Bapak Sayun Sisiyanto dan akar budaya Banyuwangi.
Saat hari pertunjukan tiba, perasaan saya campur aduk—gugup, haru, dan juga bangga. Begitu musik mulai mengalun, saya membiarkan tubuh saya yang ‘berbicara’. Di atas panggung, wiraga, wirama, dan wirasa menyatu dengan sendirinya. Nyatanya, tarian ini memang lebih dari sekadar gerakan fisik. Lebih jauh, Tari Punjari adalah perjalanan waktudi mana saya kembali bertemu dengan diri saya yang dulu— seorang anak kecil yang berjuang mengatasi rasa takut dan ketidakpercayaan diri di atas panggung, yang akhirnya berkembang menjadi sosok yang sebaliknya, dan siap bersaing dalam kompetisi.
Tapi kali ini, saya menari dengan rasa syukur dan bangga, bahwa perjalanan itu telah membawa saya sejauh ini. Kembali menari menjadi pengingat yang manis bahwa setiap langkah yang pernah kita ambil selalu punya cerita yang layak untuk dirayakan.