Tentang Resolusi

new year resolution

Tahun 2014 sudah di depan mata dan tinggal hitungan hari. Biasanya orang-orang akan mulai disibukkan dengan membuat catatan rencana atau resolusi untuk setahun ke depan baik itu di blog, diary (kalau masih ada), di kertas warna-warni yang akan ditempelkan di tembok, atau di media manapun yang sekiranya memungkinkan.

Resolusi sendiri lebih kurang merujuk kepada sebuah komitmen yang dibuat oleh masing-masing individu untuk tujuan pribadi atau umum, biasanya sih lebih ke pribadi ya. Contoh resolusi yang paling umum biasanya tentang keinginan untuk mengubah kebiasaan dan gaya hidup yang buruk menjadi lebih baik, atau keinginan membeli atau meraih sesuatu yang belum tercapai di tahun sebelumnya.

Jujur, saya adalah orang yang paling jarang membuat resolusi di tahun baru, dan lebih cenderung ke let it flow. Tapi bukan berarti saya tidak punya daftar rencana sama sekali. Rencana pasti ada, tapi memang jarang saya publish di blog/social media, lebih ke catatan pribadi saja.

Buat saya resolusi itu tidak harus dibuat menjelang pergantian tahun. Resolusi itu bisa dibuat kapan saja, bahkan setiap hari. Jadi kalau bisa dilakukan setiap hari mengapa harus menunggu tahun depan? Mungkin ini terkait dengan kebiasaan. Orang lebih memilih momentum peluncuran resolusi yang bersama-sama karena di saat itu banyak orang yang sama-sama mengeluarkan daftar harapan/keinginan terhadap sesuatu yang baru/lebih baik di tahun yang akan datang.

Beberapa hari yang lalu saya bertemu dengan seorang sahabat di salah satu mall di bilangan Jakarta Selatan. Ndilalah, topik obrolan kami tak jauh-jauh dari soal resolusi. Sebenarnya tanpa sadar, setiap orang pasti pernah membuat/punya resolusi, tapi cara pencapaiannya yang berbeda-beda. Seringkali orang ‘terlena’ membuat daftar panjang resolusi, tapi nyatanya niatnya cuma menyala-nyala di saat membuat/menulis resolusi saja atau paling banter di awal tahun, selanjutnya menguncup begitu saja. Nanti tahun depan bikin resolusi lagi yang daftarnya tidak jauh berbeda dengan yang sudah pernah ada di tahun sebelumnya.

Nah, sebenarnya bikin resolusi yang baik itu seperti apa, sih? Resolusi itu bisa dibagi menjadi tiga, yaitu resolusi jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Soal waktu pencapaiannya bisa kita sendiri yang menentukan. Sebelum membuat daftar resolusi tahun ini, coba buka dulu daftar resolusi tahun sebelumnya, buat daftar apa saja yang sudah terwujud, dan apa saja yang belum terwujud.

Kalau kata sahabat saya, membuat resolusi itu bisa diibaratkan seperti akan maju perang. Kita harus punya strategi untuk mencapainya. Memang ilmu tidak ada batasnya, tapi terkadang kita bisa mengambil pelajaran/ilmu dari apa yang sudah pernah kita lalui di tahun sebelumnya untuk mencapai apa yang kita inginkan di tahun ini untuk evaluasi. Ya, siapa tahu apa yang di tahun lalu berhasil kita capai, tapi ketika cara yang sama itu diterapkan di tahun ini belum tentu berhasil dilakukan, atau malah justru sebaliknya.

Yang terjadi selama ini ketika kita mengalami kegagalan, spontan kita langsung bilang, “Yah, gagal deh…:-(” . Padahal itu sudah menjadi sebuah kalimat negatif yang punya kans untuk menguncupkan semangat kita. Tuhan itu adalah prasangka hambanya. Jadi kuncinya ada di mindset. Mindset kita yang harus diubah, kalau sekarang belum berhasil, besok pasti berhasil! Prasangka dan kata-kata kita harus dipositifkan terlebih dulu.

Sahabat saya lalu mmberi sebuah pertanyaan begini, “Kalau udah bikin resolusi pnjang-panjang nih, trus nggak ada yang berhasil, gimana caranya menenangkan hati?” . Nah, itu juga pertanyaan yang juga berjumpalitan di kepala saya saat itu :-p.

Salah satu caranya dengan bikin rencana jangka pendek, menengah, dan panjang. Tulis atau gambar rencana-rencana itu dalam berbagai bentuk yang mudah diingat. Misalnya rencana jangka pendek ditulis dalam sebuah bangun segitiga, beri warna tertentu, lalu beri tagline, misalnya: “I have a dream” dengan font yang catchy. Tuliskan di bawahnya apa saja rencana jangka pendek yang ingin kita capai, tidak harus banyak, yang penting realistis. Lalu, bikin lagi rencana jangka menengah dengan bentuk yang lain, misalnya bulat, beri warna kuning, beri tagline yang berbeda dengan yang sebelumnya, misalnya: “Target Terwujud”, lakukan cara yang sama. Yang terakhir, bikin bentuk lain untuk menuliskan rencana jangka panjang, misalnya bentuk hati, beri warna, tagline, dan rencana-rencana yang diharapkan tercapai.

Nah, bagaimana kalau ternyata yang tercapai terlebih dulu bukan target jangka pendeknya, tapi justru justru target jangka panjangnya? Tuhan itu bekerja dengan sangat random. Dia paling tahu kapan saat yang paling tepat untuk memberikan apa yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan. Tapi bukan berarti karena kita tahu Tuhan bekerja dengan random lantas kita, “ya udah sih, serahkan aja sama yang Di Atas, toh Dia yang paling tahu apa yang paling pas buat kita…” Ya udah, kalau caranya seperti itu mau lulus kuliah tahun berapa juga nggak akan pernah tahu :mrgreen:

Sahabat saya lagi-lagi memberikan sebuah contoh yang paling simple untuk bisa saya pahami. Proses pencapaian resolusi itu kurang lebih seperti apa yang pernah dia lakukan dalam sebuah seminar. Dia bertanya pada audience-nya,

“Siapa yang mau duit Rp 500.000,00 hari ini juga?”

Serentak seluruh isi kelas mengangkat tangan, tanda mereka semua ingin mendapatkannya. Sahabat saya lalu meminta mereka mengetik sebuah sms berisi resolusi mereka di HP masing-masing. Secepat kilat mereka mulai sibuk mengetik di HP masing-masing. tak lama kemudian sahabat saya itu menyebutkan nomor HP tujuan dan meminta mereka semua mengirimkan ke nomor HP yang dia sebutkan tadi, karena siapa yang smsnya dia terima lebih dulu dialah yang berhak memperoleh uang senilai Rp500.000,00. Spontan kelas menjadi gaduh. Di sanalah terlihat proses sebuah resolusi itu ‘dikabulkan’. Ada yang mendengarkan nomor yang disebutkan tadi dengan sungguh-sungguh dan saat itu langsung mengirimkan sms, ada yang kurang mendengarkan dengan baik penyebutan nomornya, ada yang ketika akan mengirimkan sms ternyata tidak ada pulsa, ada yang punya pulsa dan mendengarkan dengan sungguh-sungguh ternyata ketika mengirim pesan terkena bad connection, dll.

Ini juga merupakan catatan untuk saya pribadi, intinya adalah, menuliskan resolusi itu tetap perlu, yang penting niatnya harus ada. Selain berusaha jangan lupa terus berdoa dan jangan pernah putus asa, karena Tuhan paling tahu kapan saat yang paling tepat untuk kita mencapai apa yang kita inginkan, dan memberikan apa yang kita butuhkan ;).

“Happiness keeps you sweet. Trials make you strong. Sorrows make you humble. Success makes you glowing, and God keeps you going. May you have a greatest New Year of 2014!”

[devieriana]

 

ilustrasi dipinjam dari http://bestjacksonpersonaltrainer.com

Continue Reading

Know Your Limit

Semalam, salah satu teman kantor me-whatsap saya. Dia melampirkan sebuah capture kalimat yang berbunyi:

path

Ketika membaca kalimat itu entah mengapa saya jadi sedih, meski saya tidak mengenal orang yang dimaksud dalam capture tersebut (Mita Diran a.k.a @mitdoq), tapi tiba-tiba teringat beberapa sahabat saya yang bekerja tak kenal waktu. Karena tuntutan pekerjaan tak jarang mereka hanya sempat istirahat selama beberapa jam dan harus segera siap/stand by untuk kembali bertugas atau menyelesaikan deadline.

Dulu, sewaktu saya masih belum berkeluarga, masih euforia-euforianya dengan pekerjaan, hampir sebagian besar waktu saya berikan untuk pekerjaan. Bahkan di waktu-waktu yang seharusnya saya luangkan bersama keluarga pun harus rela saya lepas demi menyelesaikan deadline. Kadang saya berpikir, kok saya seperti nggak punya kehidupan selain pekerjaan dan kantor, ya? Tapi seolah tidak punya pilihan lain, saya kembali tenggelam dengan kesibukan saya di kantor. Sempat juga saya mengeles, “ya nanti kalau sudah berkeluarga kan konsentrasinya bakal beda, nggak ke pekerjaan lagi. Sekarang mumpung masih single, gapapa kali…”

Nah, apakah setelah menikah saya terlepas begitu saja dengan tugas dan deadline? Tidak juga. Bahkan ketika saya cuti pun, cuma fisik saya saja yang (sepertinya) cuti; secara fisik saya di Surabaya, tapi pikiran saya ada di Jakarta. Bagaimana mau merasakan cuti kalau saya masih terima telpon, masih kirim dan terima email, masih mengecek pekerjaan anak buah (walau telpon/sms hanya untuk sekadar mengecek kondisi di lapangan, ada kesulitan/nggak). Bisa saja sih saya matikan HP dan email selama cuti. Tapi nyatanya tidak bisa semudah itu karena ada tuntutan tanggung jawab disana. Di saat itulah saya mulai merasa seperti diperbudak oleh pekerjaan dan deadline.

Bahkan ketika saya sudah beralih status menjadi PNS pun kesibukan itu masih ada. Bedanya, kesibukan saya waktu itu lebih ke kegiatan komunitas. Hampir setiap akhir pekan ada saja jadwal kegiatan di sana-sini. Bahkan di sela-sela jam kerja atau pulang kerja pun saya ada jadwal meeting. Akibatnya, tubuh saya jadi mudah drop. Apalagi saya bukan orang yang sering berolah raga untuk menjaga kebugaran tubuh. Badan saya pun menjadi rentan sakit, sering kena flu, radang, demam, dan sebangsanya.

Sama seperti kasus Mita Diran, salah satu rekan kerja suami di tempat kerjanya yang dulu juga bernasib sama. Kerja di sebuah perusahaan kontraktor membuatnya tidak lagi kenal waktu. Demi terselesaikannya target pekerjan sesuai dengan jadwal dia relakan fisiknya bekerja ekstra keras. Rasa capek luar biasa yang mendera tubuhnya tidak lagi dirasakannya, kurangnya waktu istirahat, jadwal makan yang tidak teratur, konsumsi kopi, rokok, dan suplemen penambah stamina yang berlebihan demi ‘menjaga’ agar fisiknya tetap fit dan terjaga, membuatnya harus dirawat di RS sebelum menghembuskan nafas yang terakhir di sana.

Kita itu manusia, bukan robot atau mesin. Bahkan robot/mesin saja punya waktu/jadwal untuk maintenance, kenapa tubuh enggak? Tubuh juga punya alarm yang akan memperingatkan kita ketika dia butuh istirahat. Tapi yang ada seringkali justru manusianya yang bandel, mengabaikan peringatan itu dengan alasan, “kalau nggak diselesaikan sekarang keburu kerjaan yang lain datang dan numpuk-numpuk”, atau iya, bentar lagi, nanggung nih…. Capek yang seharusnya dibawa istirahat justru menjadi pemicu untuk menggunakan obat/suplemen penambah stamina. Baru sadar kalau ternyata tubuh punya batas ketika sudah ambruk, terbaring di rumah sakit :(.

Kalau kata Nick Deligiannis :

“Remember, a professional is a person who never allowed himself to dissolve in the job and no longer have time for personal life”

Buat yang masih suka bekerja tak kenal waktu, know your limit. Love and listen to your body.

 

[devieriana]

Continue Reading

Pickpocket

pickpocketSejak akhir bulan kemarin saya harus belajar melupakan dan mengikhlaskan kepergian smartphone saya gara-gara kecopetan di bus sepulang dari diklat beberapa waktu yang lalu. Iya, smartphone yang sudah menemani saya selama kurang lebih 4 tahun ini mendadak raib dari dalam tas. Pffft, padahal sepertinya tingkat kewaspadaan saya sudah lumayan tinggi, tapi mungkin tingkat kelihaian para pencopet untuk menjarah isi tas saya jauh lebih tinggi.

Sore itu bertepatan dengan hari terakhir saya menjalani kegiatan di Pusdiklat Setneg. Dengan langkah cepat dan tergopoh-gopoh menghindari guyuran hujan yang semakin deras, saya bersama seorang teman protokol dari Setwapres langsung menaiki salah satu metromini yang biasa kami naiki dan kebetulan sedang mengetem di pojok perempatan Fatmawati. Sebagian besar bangkunya masih kosong, tapi kami terpaksa duduk di tempat yang terpisah karena kebanyakan sudah diduduki oleh penumpang yang menunggu sebelumnya.

Tak lama bus pun sudah dijejali penumpang. Saya mendekap tas ransel saya, waktu itu saya masih sempat mengirim pesan ke teman di seberang kursi, bilang kalau nanti bayarnya sendiri-sendiri saja, karena biasanya kami suka bergantian membayarkan. Setelah itu saya langsung memasukkan kembali HP ke dalam tas. Selama perjalanan saya juga dalam kesadaran penuh, tidak tertidur. Tapi mungkin keberadaan saya (dan beberapa penumpang lainnya) waktu itu sudah diincar, alhasil ketika turun saya sudah mendapati tas ransel saya resletingnya sudah terbuka di bagian atas dan samping. Beruntung dompet saya tidak ikut terjarah meskipun posisinya sudah mengkhawatirkan karena berada di salah satu kompartemen tas yang resletingnya terbuka tadi :cry:.

Yang saya rasakan saat itu perpaduan antara rasa cemas, sedih, panik, dan menyesal parah. Wajar, karena baru saja kehilangan barang yang sudah setia menemani selama 4 tahun terakhir ini, apalagi itu adalah kado ulang tahun dan saya tahu bagaimana kisah di balik itu, plus harus kehilangan semua kontak yang sudah terkumpul selama 4 tahun ini, sekaligus data-data lain yang belum sempat saya backup dan pindah ke hardisk. Tapi untuk mengharapkan smartphone saya kembali lagi kok rasanya hopeless juga, karena pastinya metromini dan pencopetnya itu entah sudah sampai di mana. Dan entah kenapa kecurigaan saya jatuh pada pria yang tadi duduk persis di belakang saya. Bukan menuduh, feeling saya bilang begitu karena sebelum saya turun dia ‘heboh’ pindah-pindah tempat duduk tanpa alasan yang jelas :|. Tapi, ya sudahlah, mungkin memang sudah waktunya harus ganti gadget yang baru *modus*.

Kemarin waktu meeting dengan teman-teman Indonesia Bercerita, mereka malah share tentang cerita-cerita lucu yang berhubungan dengan kecopetan dan kemalingan. Mungkin kalau menyaksikan atau mengalami sendiri di waktu itu belum tentu bisa sambil cekikikan menertawakan ‘tragedi’ yang dialami, ya. Tapi ketika kita sudah ikhlas dan cerita itu di-recapture ternyata bisa jadi hal yang lucu.

Seperti kisah seorang teman pria yang nyaris kehilangan HP di KRL. Iya, nyaris, karena setelah berdoa, dan dicari sedemikian rupa, HP yang sejak awal cuma disimpan di dalam saku celana sejak sebelum masuk KRL itu tiba-tiba ‘ditemukan’ terselip di sela kaki para penumpang KRL yang berseberangan arah dengan tempatnya berdiri, dan justru diinfokan oleh orang yang sebelumnya dia duga pencopet karena dari awal gerak-geriknya lumayan mencurigakan. Hmmm, agak suudzon sih, tapi kadang memang perlu demi meningkatkan kewaspadaan.

“Mas, HP-nya jatuh tuh, di sana, di bawah kursi…”

Lha iya, kok bisa-bisanya Mas itu tahu kalau itu HP milik si teman, dan kenapa jatuhnya jauh dari lokasi awal tempat si teman berdiri. HP ditemukan dalam kondisi ‘compang-camping’, baret sana-sini karena terinjak-injak penumpang lainnya. Tapi tak urung teman saya itu pun berterima kasih kepada Si Mas Misterius yang ‘menemukan’ HP-nya kembali. Doa orang teraniaya itu memang manjur.

Ada lagi kisah unik teman lainnya yang berhasil merebut kembali dompet dari tangan pencopet tanpa ada perlawanan samasekali dari Si Pencopetnya. Lucunya Si Pencopet malah terbengong-bengong, seolah baru sadar kalau barang jarahannya sudah diambil kembali oleh korbannya :lol:.

Tapi ada juga cerita lainnya. Ada seorang teman yang sadar kalau dia habis kecopetan langsung menangis tersedu-sedu. Bukan karena dompetnya yang hilang, tapi gara-gara tasnya yang berharga sekian juta itu menjadi korban usaha penyiletan para pencopet. Aduh, lagian kenapa harus pakai tas mahal-mahal sih kalau ‘cuma’ naik angkutan umum? 🙁 *simpan tasnya Angel Lelga ke lemari besi*

Namanya musibah/pencurian itu ada saja jalannya, ya? Kita yang sudah berhati-hati masih bisa lengah dan kecolongan. Kejadian kemarin benar-benar menjadi pelajaran berharga buat saya untuk lebih meningkatkan kewaspadaan selama di angkutan/tempat umum, melakukan backup data di HP secara berkala, dan menyimpan barang-barang yang dianggap penting/berharga di bagian tas yang lebih aman dan terlindungi. Semoga kejadian ini tidak terjadi lagi di kemudian hari.

Setelah melakukan blokir sana-sini dan pergantian berbagai macam passwor dan simcard, sekarang saya pakai handphone zaman Patih Gajahmada masih berkuasa. Ya sudahlah, yang penting bisa dipakai untuk sms/telepon. Walaupun diledek teman-teman, apalagi kalau sedang terima telepon,

“Lho, handphone-nya bisa bunyi tho?”

atau

“Ih, itu kan handphone zaman purbakala banget, sebangsa menhir, dolmen, pepunden berundak, sama artefak gitu, Kak”

HIH! Lebay memang. Padahal ya masih merk yang sama dengan smartphone saya sebelumnya walaupun tipenya agak down grade. Tetap bersyukur karena masih ada yang mau meminjamkan gadget ini biar saya tetap bisa dihubungi via sms/telepon.
*elus dada dengan tabah*
*dadanya mas-mas ganteng*

Ngomong-ngomong, nggak ada yang berencana urunan buat beliin saya gadget baru, apa?
:mrgreen:

 

[devieriana]

 

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading