Bincang Edukasi Meetup #6

Tanggal 20 Mei 2012 yang lalu, masih bertempat di At America – Pacific Place Jakarta, Bincang Edukasi Meetup #6 kembali digelar. Masih dengan MC yang sama, dan dengan format acara yang sama, kita menghadirkan 5 orang presentan yang akan berbagi ide, ilmu, dan pengalamannya dalam dunia pendidikan selama 17 menit tanpa sesi tanya jawab, dan di sesi berikutnya akan ada sesi diskusi pendidikan dengan penonton.

Penyelenggaraan Bincang Edukasi Meetup #6 ini sengaja kita pindahkan menjadi di akhir pekan untuk mengetahui perbandingan animo penonton antara Bincang Edukasi yang diselenggarakan di hari kerja dan di akhir pekan. Ternyata, acara yang kemarin ini jumlah yang hadir jauh lebih banyak dari pada acara sebelumnya, karena hampir semua bangku di At America terisi penuh. Yaay! \:D/. Nah, siapa sajakah pembicara kita kali ini? Check it out! 😉

Sebagai pembicara pertama kita menghadirkan Nia Daianti dari Education USA, yang mengambil topik tentang tata kelola workshop di sekolah-sekolah di Amerika (semacam mengajar dengan metode lokakarya). Dalam slide pembukanya, Nia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan workshop ini adalah sekelompok kecil siswa yang berkumpul dalam waktu tertentu dan mendiskusikan hal tertentu dengan tema tertentu yang dalam kelompok itu siswa bisa berdiskusi, berbagi ide, saling memberi masukan kepada rekan lainnya dalam kelompok tersebut. Jadi sebelum bertemu, siswa sudah harus mempersiapkan diri dan mempelajari materi yang akan didiskusikan. Metode ini menitikberatkan siswa sebagai pusat proses belajar mengajar (student centrered). Sedangkan fokus pembelajaran workshop ini adalah konteks/materi pembelajarannya.

Untuk mempersiapkan sebuah workshop, sebelumnya siswa harus mempelajari dulu semua materi dan teori-teori yang akan dibahas dalam workshop tersebut. Guru juga harus membuat pedoman (guidelines) yang jelas bagi siswa, sekaligus membuat handout. Sedangkan siswa wajib menulis semacam resume, yang merupakan respon mereka terhadap materi yang sedang menjadi fokus bahasan.

Tujuan dari metode pembelajaran ini adalah untuk memotivasi siswa agar berani mengemukakan pendapat, dan meningkatkan wawasan mereka. Selain itu kegiatan ini juga bertujuan untuk berbagi ide dengan rekan sekelasnya guna menjembatani perbedaan antara teori dan praktik, sekaligus mengajak siswa untuk belajar berpikir kritis, dan membangun hubungan antarsiswa. Manfaat lain yang lebih besar dari metode workshop ini adalah ingin membuat siswa merasa dibutuhkan, membangun sense of ownership, membangun komunitas yang berbasis lingkungan, belajar mengekspresikan constructive critism, mempraktikkan kemampuan berpikir secara kritis dan analitis, serta membangun self confidence.

Inspiring, ya? 😉

—–

Presentan kedua, ada 3 orang ganteng, karena kebetulan semuanya laki-laki ;)). Ada Petrus Briyanto Adi (Adoy), Iga Massardi, dan Ruchul Ma’ani dari Kursus Gitar Gratis (KGG), yang akan berbagi tentang inisiatif kelas gitar mingguan gratis. Menarik, ya? Pencetusan ide Kelas Gitar Gratis ini bermula dari obrolan santai antara Iga Massardi dan Adoy yang menginginkan adanya kelas gitar gratis yang bisa diikuti oleh siapa saja yang mau belajar. Dari situlah ide kelas gitar gratis bagi semua orang terwujud. Ruchul Ma’ani yang awalnya ingin belajar gitar justru ditawari menjadi salah satu pengajar, karena sejak awal masuk mungkin sudah terlihat cukup expert, ya? ;))

Kelas Gitar Gratis (KGG) ini pertama kali diselenggarakan di Taman Suropati, sekitar bulan Agustus 2011, pukul 16.00 s.d. pukul 17.00. Siapa saja yang boleh ikut KGG ini? Siapa saja boleh, asalkan niat dan punya gitar (boleh punya sendiri, boleh pinjam temannya), yang penting datang ke sana sudah membawa gitar. Ingat ya, gitar! Bukan suling!

Tujuan diadakannya pembelajaran di ruang terbuka semacam ini supaya belajar gitar terasa jauh lebih menyenangkan, rileks, dan tidak membosankan. Cara pendaftarannya pun cukup mudah, sambil promosi akun, biar sekalian nambah follower sih ini namanya, cukup follow akun twitter @KGGJkt, @igamassardi, @pbadi, dan @pinknista. Gampang, kan? ;))

Nah, bagaimana membuat supaya proses belajar bisa terfokus sesuai dengan tingkat kemampuan siswa? Tentu saja siswa akan “disaring” terlebih dahulu untuk mengetahui grade kemampuan mereka. Selanjutnya akan dibentuk cluster-cluster kecil sesuai dengan grade masing-masing siswa.

Nah, bagi yang ingin belajar musik secara gratis, bisa langsung follow akun tersebut di atas, dan mulai ikuti kelasnya setiap hari Minggu di Taman Suropati Menteng, pukul 15.00.

—–

Pembicara yang ketiga ada Lyra Puspa dari Pillar Business, yang siang itu berbagi tentang pentingnya pendidikan kewirausahaan bagi anak. Beliau mengatakan bahwa kewirausahaan itu tidak selalu identik dengan masalah kaya, dan atau masalah uang. Kewirausahaan menurut dia adalah kemandirian (ekonomi, politik, berpendapat, mengatur hidup dengan lebih baik), kesejahteraan (bukan kekayaan), ketika menjadi seorang enterpreuner kita tidak lagi menyalahkan pemerintah, membuka lowongan kerja bagi diri sendiri dan orang lain, memberi solusi bagi diri sendiri, orang lain dan bangsa. membangun jati diri dan kemandirian kita.

Motivasi saja tidak cukup, tapi perlu didukung strategi yang tepat, pendidikan kewirausahaan yang berkesinambungan, dan pendampingan. Seperti contohnya di Amerika, sebuah enterpreunership yang dilakukan tanpa pendampingan, usaha kecil rata-rata gagal 50% dalam 5 tahun pertama. Itu menunjukkan betapa pentingnya pendidikan kewirausahaan. Ketika seorang mulai membuka usaha, dia diibaratkan seperti bayi, belum bisa apa-apa, yang penting punya dulu – bagaimana dia penetrasi pasar dan survive – ketika sudah survive bagaimana dia bisa profitable dan tumbuh berkembang – ketika dia sudah profitable bagaimana dia bisa mengelola secara profesional – ketika sudah bisa mengelola secara profesional bagaimana dia bisa menduplikasi. Kewirausahaan tidak hanya diajarkan tapi ditularkan. Di dalam pendidikan kewirausahaan ada mentoring: training (technical dan strategic), coaching (menggali apa yang ada dalam diri mereka), advising (menularkan dari pengalaman yang sudah ada lebih dahulu), therapy (menghilangkan rasa takut gagal), leveraging melalui integrasi, dan publikasi berbasis data.

Enterpreunership bukan hanya bermodal semangata saja tapi juga dibutuhkan riset. Hingga akhirnya enterpreunership adalah habit dan lingkungan.

—–

Pembicara berikutnya adalah Nisa Faridz dari Sampoerna School of Education yang akan membahas tentang konsep pendidikan bagi calon guru yang diterapkan oleh Sampoerna School of Education. Di awal paparannya Nisa menyampaikan sebuah cerita uniknya tentang bagaimana dia mendapatkan banyak pelajaran berharga saat di lapangan softball. Dari situlah dia memandang apa itu pendidikan, pendidikan bisa didapatkan di mana saja.

Ketika dia selesai S2 dia ingin kembali ke sekolah, dia ingin menjadi praktisi pendidikan, punya sekolah sendiri, sekecil apapun itu, dia akan membangun sekolah sesuai dengan idealismenya dalam mendidikn murid2nya nanti. Menjadi dosen itu diluar rencananya, dari apa yang dia ketahui jabatan dosen adalah jabatan yang berorientasi pada jabatan akademik dan struktural, dan itu sama sekali bukan cita-cita dia. Dia hanya ingin berkarya dan berkontribusi nyata bagi pendidikan dengan mengajar secara langsung atau punya sekolah sendiri.

Di Sampoerna School of Education, Nisa mengajar tentang Metode Penelitian. Tapi ketika sampai di bab Etika penelitian dia tidak ingin menceramahi bagaimana meneliti dengan etis, dia hanya meminta mereka menceritakan melalui drama, melalui gambar/poster, bagaimana penelitian itu dilakukan secara etis. Karena jiwa Nisa yang ingin selalu ingin dekat dengan sekolah, guru, dan siswa, ketika menyelesaikan S2-nya dia bergabung dengan Sampoerna Foundation Teacher Institute.

Dengan bergabung dengan Sampoerna Foundation Teacher Institute dia benar-benar merasakan bagaimana sebuah institusi berusaha walk the talk, benar-benar mencoba menjalankan sebuah teori. Mereka menginginkan bahwa semua pengajar lulusan Sampoerna School of Education adalah educators yang bisa mengajar dengan pendekatan pembelajaran aktif. Artinya dosennya juga wajib paham dan bisa menjalani proses pembelajaran yang aktif itu seperti apa.

Etika Profesional Guru adalah salah satu mata kuliah yang jarang ditemui di kampus lain tapi diajarkan di Sampoerna Foundation Teacher Institute. Tantangan guru Indonesia di abad 21 adalah guru yang punya etika. School Experience Program merupakan program yang dijalankan setiap semester. Sejak semester 1 mahasiswa praktikum di sekolah rekanan Sampoerna Foundation Teacher Institute, semacam lab school. Bagusnya, ketika akan skripsi mereka sudah tahu akan mencari topik apaapa, karena mereka sudah terbiasa dihadapkan dengan isu-isu yang real terjadi di dunia pendidikan seperti apa. Mahasiswa juga diajak berpikir ilmiah sejak awal.
School is cultural landscape where the community members share their knowledge skills, interests, and beliefs, it is an organics place where fresh culture may be cultivated (Butcher, 2010)

—–

Pembicara terakhir kita adalah Bapak Nurrohim dari Sekolah Masjid Terminal Depok, yang akan berbagi kisah tentang inisiatif sekolah berbasis kecerdasan majemuk bagi anak jalanan di Depok. Sekadar informasi, Sekolah Master (Masjid Terminal) ini mendapatkan penghargaan sebagai Sekolah Alternatif Terbaik Se-Jawa Barat \m/

Sekolah Master ini adalah sekolah alternatif untuk masyarakat marjinal, anak-anak tidak mampu yang awalnya didirikan di sekitaran Depok, yang pertama kali didirikan di Depok oleh Pak Nurrohim tahun 2000. Siapa saja yang bisa bergabung dengan Sekolah Master ini? Pak Nurrohim sambil berseloroh mengatakan, “persyaratannya cuma 3, miskin, hidup, mau. Udah, bisa diterima!” Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum berbasis kebutuhan. Awalnya Sekolah Master ini kelasnya terbuat dari kontainer bekas. Sampai dengan sekarang sudah ada 10 Sekolah Master, diantaranya ada 4 pesantren yang berbasis enterpreuner, yang menghasilkan santri-santri siap guna.

Jika kita berbicara tentang kesejahteraan sosial anak, kita bukan hanya bicara tentang pendidikan, tapi jug bicara tentang hak-hak mereka yang terampas. Rata-rata anak jalanan tidak punya akte kelahiran dan kartu keluarga, yang merupakan prasyarat diterimanya masuk sekolah formal. Tapi tidak di Sekolah Master, mereka bisa tetap mendapatkan hak mendapatkan pendidikan, di mana mereka bisa mengikuti ujian nasional sebanyak 4x dalam setahun, dan bisa diikuti dari jalur mana pun. Kalau pemerintah ada program wajib belajar 9 tahun, kalau di Sekolah Master belajar tidak mengenal usia, bisa sampai kapan saja, selama hayat dikandung badan :D.

—–

Dari beberapa kali saya mengikuti acara Bincang Edukasi, hingga akhirnya dipercaya sebagai salah satu kurator Bincang Edukasi Jakarta bersama Dana Oktiana (walaupun masih belum maksimal) ambience yang dibangun terasa sangat menyenangkan. Pembicaraan yang awalnya terasa akan berat buat saya yang bukan berkutat di dunia pendidikan, ternyata acara ini dikemas secara ringan, serius tapi santai. Senang rasanya bisa jadi bagian dan memiliki semangat yang sama dengan para education evangelist, para inisiator pendidikan.

Intinya adalah pendidikan adalah hak setiap manusia. Belajar bisa dilakukan kapan saja, dan di mana saja, asalkan kita punya kemauan.

Sampai jumpa di Bincang Edukasi Meetup #8 di Atamerica, Pacific Place sekitar bulan Juli 2012 :-h

 

[devieriana]

Continue Reading

Wacana Kejujuran

“Indonesia ini mentalnya udah terpuruk bener ya, Dev…”
“Kok tiba-tiba bilang kaya gitu, Mbak?
“Duh, trenyuh aku… Hmm, ini masalah anakku, dia kan hari ini Ujian Nasional…”
“Trus, kenapa?”
“Anakku di sekolah kan prestasinya lumayan, selalu 3 besar. Semalem pas aku lagi nememin dia belajar, dia curhat sama aku…”
“Cerita apa, Mbak?”

Lalu mengalirlah sebuah cerita yang boleh dibilang basi-basi mengenaskan. Saya bilang basi, karena ini bukan kasus pertama. Tapi ini juga kasus yang mengenaskan. Ketika orangtua dengan susah payah mengajarkan kejujuran pada anak, ternyata sekolah, yang notabene sebagai tempat pendidikan anak ternyata mengajarkan hal yang tidak jujur.

Anak teman saya itu “dibriefing” oleh guru-gurunya di sekolah supaya besok ketika ujian berlangsung, sekitar pukul 9 pagi diminta untuk pura-pura ke kamar kecil. Di sana nanti oleh si oknum guru akan diberikan kunci jawaban yang harus dihafalkan, dan disebarkan ke teman-teman di kelasnya. Ironisnya, si oknum guru itu berpesan, “kamu nanti sebarkan ini ke teman-teman kamu. Sama temen itu jangan pelit-pelit, ya…” Jauh di dalam hati kecil si anak itu sebenarnya menolak, itulah kenapa dia terpaksa curhat pada ibunya, “Bu, sebenarnya aku nggak boleh bilang ini ke Ayah/Ibu sama Bu Guru, tapi aku nggak enak. Masa aku udah belajar tapi jawabannya harus aku contekkan ke temen-temenku…”

Nah, ternyata cerita ini bukan hanya dialami oleh teman ini saja, teman lain yang juga memiliki anak yang seusia dan sama-sama Ujian Nasional pun curhat hal yang sama.

“Sama kali, Dev… anak gue juga. Tadi pagi yang biasanya berangkat jam 6, jam 05.30 udah pamit. Pas gue tanya ngapain berangkat pagi-pagi bener. Katanya ada briefing dulu sama gurunya di sekolah. Gue awalnya sih percaya dia beneran ada briefing karena ini kan UN hari pertama. Lah, nyatanya barusan gue telepon tadi katanya briefingnya itu ya bagi-bagi kunci jawaban. Gimana gue nggak gemes, Dev…”

“Trus, anaknya Mbak nyontek juga?”

“Dia bilang sih enggak, katanya: “Enggak kok Bun, soalnya ternyata lebih gampang daripada soal try out. Kakak bisa ngerjain sendiri kok. Temen yang lain sih banyak yang nyontek, tapi kakak ngerjain aja sendiri…”

Kembali mengutip apa yang dulu pernah saya tuliskan juga di postingan #IndonesiaJujur: Tip of an Iceberg:

“Ada semacam paradigma yang berkembang di Indonesia, tidak lulus ujian itu sama seperti menghadapi vonis kematian. Tampak begitu menyeramkan, bukan hanya bagi siswa tapi juga bagi sekolah. Karena jika pada kenyataannya ada banyak siswa yang tidak lulus ujian nasional, maka akan menyebabkan jatuhnya peringkat dan kredibilitas sekolah di mata masyarakat. Semakin tinggi nilai yang diraih siswa dan besarnya prosentase kelulusan siswa, akan menjadi pengukur keberhasilan guru dalam mendidik siswanya. Nah, adanya tuntutan untuk mengusahakan agar siswa bisa lulus semua ini menyebabkan siswa dan sekolah pun akhirnya seperti menghalalkan segala macam cara untuk menghadapi Ujian Nasional.

Seperti halnya make up yang berfungsi untuk memperindah dan mengoreksi wajah, sekolah yang sebenarnya tidak sanggup mendidik anak untuk  mampu menjawab UAN ikut memakai make up. Anak didik bisa lulus dengan nilai bagus tapi dari hasil menyontek. Sehingga hasil pendidikan yang bisa dibawa anak setelah lulus tetap  tidak terpecahkan, karena orientasinya masih berkutat pada kisaran nilai yang bagus. Jadi, selama root cause-nya tetap sama ya selamanya akan tetap ada usaha untuk “mengakali” ujian demi nilai bagus dan membentuk citra pendidikan yang berhasil. Padahal pada kenyataannya tidak begitu.”

Dalam hati diam-diam merasa skeptis sendiri. Sekarang aja sudah sedemikian kacaunya, lha gimana zaman anak saya sekolah nanti? 😕

 

 

[devieriana]

Continue Reading

Tentang Memaafkan

 

Sekitar tahun 2004-2005, saya pernah membaca trilogy David Pelzer True Story, yang terdiri dari buku yang berjudul A Child Called It, The Lost Boy, dan A Man Named Dave. Sebuah trilogy mengharukan tentang bagaimana kisah nyata seorang anak terbuang dan menderita, yang mencoba bertahan hidup melawan child abuse yang dilakukan oleh ibu kandungnya sendiri, hingga sampai pada kisah dia dewasa dan mulai menemukan jati dirinya. David Pelzer menuturkannya dalam bahasa yang sangat menyentuh, hingga kita bisa merasakan apa yang dialaminya dulu.

Dari ketiga buku itu yang paling berkesan adalah buku yang berjudul A Man Called Dave. Dalam buku ini Dave bercerita tentang keberhasilannya menemukan jati diri, dan terlebih lagi adalah kekuatannya yang luar biasa untuk memaafkan orang-orang yang pernah menyakitinya dulu.

Ngomong-ngomong tentang memaafkan, ternyata memaafkan itu bukan perkara mudah. Butuh kebesaran hati dan keikhlasan luar biasa untuk mau memaafkan orang yang telah menyakiti hati. Jujur, saya juga pernah mengalami hal yang kurang mengenakkan dengan seseorang, dan sampai sekarang saya belum mampu memaafkan apa yang sudah dia lakukan beberapa waktu yang lalu.

Sebenarnya untuk urusan maaf-memaafkan saya adalah orang yang paling mudah memaafkan, karena pada dasarnya bukan tipikal pendendam. Kalau ada yang kurang sreg dan lalu saya melampiaskannya dengan ngomel, saya pikir masih wajar, toh tidak sampai berlarut-larut. Setelah semua uneg-uneg sudah tersampaikan, dan saya juga sudah berhasil menguasai emosi, biasanya sudah tidak ada lagi yang saya simpan untuk diungkit-ungkit. Saya juga berusaha melupakan apa yang sudah membuat saya marah, jengkel, dll itu seketika ketika kami saling meminta maaf. Saat itu juga kasus itu selesai. Bahkan sering kali saya sudah memaafkan mereka jauh sebelum mereka meminta maaf.

Tapi entah kenapa, untuk sebuah kasus yang tidak bisa saya ceritakan detailnya di sini, sampai sekarang saya belum bisa memaafkan. Kasus yang buat saya luar biasa, karena melibatkan seorang public figure yang dikenal sangat bersih pencitraaannya di media. Untuk sebuah urusan yang awalnya saya tidak berminat untuk ikut terlibat di dalamnya, akhirnya malah jadi terseret ke mana-mana, ikut dimaki-maki (mulai yang berbahasa Inggris, bahasa Indonesia, bahasa binatang, sampai bawa-bawa istilah kaum zaman dahulu). Orang tua saya saja tidak pernah memaki anak-anaknya, lha kok dia yang baru lahir tahun berapa sudah sefasih itu memaki-maki orang seenak perut. Bahkan yang paling jahat, dia menggunakan ‘kekuatan hitam’ untuk menyakiti sahabat saya.  Bukan itu saja, dia juga memutarbalikkan fakta, dan  menempatkan dirinya sebagai korban. Hadeeeh….  L-)

Saya dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang tidak dibiasakan berkata kasar; apalagi memaki atau ‘ringan tangan’. Dulu, kalau ada salah satu dari kami yang ketahuan Mama ngomong kasar sedikit saja (baik itu ke teman atau saudara), sebagai hukumannya kami harus menahan panas dan pedasnya cabe merah yang dilumat mentah-mentah di bibir kami sampai habis. Tindakan yang lumayan keras, tapi efeknya terasa sampai sekarang 😕

Saya tidak peduli apakah dia artis film/sinetron, model, pengusaha, dll… buat saya dia butuhkan saat ini adalah pendidikan tentang manner, karena saya curiga sepertinya di keluarganya tidak pernah diajarkan tentang bagaimana harus berbicara dengan sesama manusia. Seringkali saya tersenyum miris melihat hampir setengah juta follower dia di twitter yang memuja dan menyanjung fisiknya, memuji betapa baik dan manis sikapnya, tanpa tahu bagaimana kepribadian asli sosok yang mereka puja itu :-q

Saya bukan orang yang berhati malaikat; yang dengan mudah memaafkan orang lain. Saya bukan nabi, pun Tuhan yang Maha Pemaaf. Dalam hal tertentu ada prinsip-prinsip hidup yang tidak bisa diutak-atik, terutama jika itu berkaitan dengan saya dan keluarga. Saya tahu, ada kalanya kemarahan yang tidak harus dibalas dengan kemarahan. Ada dendam yang tidak harus dibalas dengan dendam. Ada perlakuan buruk yang tidak harus dibalas dengan perlakuan yang sama buruknya. Tapi untuk kasus yang satu itu mungkin cuma waktu yang akan menyembuhkan saya.

Seperti yang saya bilang tadi, memaafkan bukan perkara yang mudah. Semoga seiring dengan waktu, kelak saya akan lebih dewasa, lebih terbuka hati, sehingga bisa ikhlas memaafkan orang yang telah menyakiti saya, dan melupakan kejahatan apa yang telah dia lakukan beberapa waktu yang lalu. Semoga saya segera diberikan kesadaran bahwa mempertahankan rasa marah, benci, dan sakit hati itu sangat melelahkan.

Tidak selamanya kita hidup di masa lalu, life must go on. Again, semoga saya segera diberikan kemudahan untuk memaafkan. Aamiin… [-o<

[devieriana]

 

 

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading