Kisah Bapak Tua dan Sejarah Masa Lalu

Di pagi menjelang siang hari ini, ada seorang bapak tua yang berbaju rapi, berpeci hitam, berjaket hitam yang di sisi dada kanannya terbordir logo Veteran Republik Indonesia, dan dada jaket sebelah kiri terbordir gambar lingkaran bendera beberapa negara, datang ke biro saya. Bapak itu sebenarnya sudah pernah ke kantor beberapa waktu yang lalu untuk menyampaikan berkas surat berkaitan dengan dirinya. Kalau dibaca, surat beliau alur ceritanya ‘lompat-lompat’, maksudnya tidak kronologis, kurang runut, dan sedikit membingungkan. Tapi kalau mendengarkan cerita beliau, saya agak pahamlah maksudnya.

Bapak itu curhat sekitar 30 menit; kelihatannya sebentar ya, tapi kalau 30 menit itu untuk mendengarkan orang bercerita tentang sejarah dan setengah marah-marah itu kok agak gimana, ya. Mau memotong nggak tega, kalau didengarkan kok ya kerjaan pas banyak. Tapi ya sudah, hitung-hitung nostalgia jadi customer service-lah. Kalau marah-marah sih sebenarnya beliau bukan marah sama saya, tapi sama pemerintah, sama pelaku sejarah lainnya yang menurut beliau tidak semestinya berbuat ‘dzalim’ (kepada beliau), tidak seharusnya mengubah, menghilangkan, dan memodifikasi sejarah seenak perut. Masih menurut cerita beliau, dulu beliau adalah orang dekat Presiden Soekarno. Tapi karena satu dan lain hal beliau tidak bisa lagi dinyatakan sebagai pegawai negeri, dan bahkan dinyatakan sebagai anggota komunis. Kesal, sedih, marah, dan kecewa, itulah yang dirasakan bapak ini, karena melekatnya label komunis itu menjadikan bapak itu tidak lagi bisa mendapatkan hak-hak keuangannya.

Emosional, itu yang saya tangkap dari sepanjang cerita di pertemuan pertama dan kedua ini. Ya wajarlah, siapapun tidak ada yang mau bernasib seperti itu. Tapi ‘ajaibnya’ ekspresi emosional itu bisa seketika lumer ketika beliau bercerita tentang keluarga; isteri, anak, dan cucu. Pun ketika beliau bertanya tentang anak dan keluarga saya nadanya berubah menjadi jauh lebih hangat.

Seperti halnya keluarga yang lain, semenjak tidak lagi mempunyai pekerjaan tetap, beliau tetap berusaha memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang ayah, suami, dan kepala keluarga yang baik. Demi cintanya kepada keluarga, demi memberikan pendidikan yang layak kepada kedelapan buah hatinya, akhirnya menjadi seorang supir taksi adalah pilihan pekerjaan selanjutnya. Hasil jungkir baliknya sebagai seorang supir taksi itu tidak sia-sia, karena selain beliau bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, beliau juga bisa membeli tanah di sekitaran Pancoran. Tapi dari semua itu ada saat yang membahagiakan sekaligus membanggakan; ketika dia bisa menuntaskan pendidikan kedelapan putra/putrinya. Bahkan matanya tampak berbinar ketika menceritakan keberhasilannya mengantarkan salah satu putra/putrinya menjadi dokter spesialis kandungan.

Entah kenapa, ketika mendengarkan kisah hidup bapak itu, terlepas dari benar tidaknya cerita yang sudah disampaikan, mata saya tiba-tiba terasa panas dan berair. Terharu. Saya membayangkan sosok di depan saya ini adalah Papa saya. Seorang yang sudah setua ini masih harus jungkir balik memperjuangkan keadilan atas hak-haknya sebagai manusia, dan meluruskan apa yang dia ketahui tentang sejarah. Dia tidak lagi peduli ketika berkas-berkas dan laporannya itu masuk dalam klasifikasi surat yang tidak ada harganya oleh berbagai instansi. Menurutnya, selama it worth fighting for, semua akan dijabanin.

Di akhir ‘sesi’ curhat, sambil memasukkan kertas-kertas yang tadinya dikeluarkan untuk ditunjukkan pada saya, bapak itu berpesan,

“Buat kamu, buat siapapun yang menerima kunjungan saya di setiap instansi, saya selalu berpesan. Siapapun kalian, apapun jabatan dan pekerjaan kalian, lakukan semuanya dengan hati, dengan tulus, ikhlas. Berikan yang terbaik untuk bangsa ini. Sisa umur saya paling tidak lama, tapi selama saya mampu, sebelum saya mati, saya ingin apa yang saya perjuangkan ini ada hasilnya, ada titik terangnya. Satu saja cita-cita saya, saya ingin orang Indonesia bisa tahu sejarah bangsa mereka yang sesungguhnya; bukan hasil rekayasa seperti yang sekarang ini kalian pahami. Itu saja…”

Suaranya sedikit parau. Tenggorokan saya tiba-tiba tercekat, tak mampu berkata-kata.

“Saya pamit dulu. Terima kasih sudah diterima baik di sini. Salam buat keluargamu ya, Devi… MERDEKA!”

Saya pun tersenyum. Mau tak mau, saya pun mengepalkan tangan kanan saya sambil berujar hal yang sama, “Merdeka!”

Hati-hati di jalan, Pak. Semoga Tuhan senantiasa menyertai segala usaha, dan perjuanganmu…

 

 

[devieriana]

Continue Reading

Makrempong

friendship

‘Makrempong’ adalah salah satu nama dari 10 grup whatsapp yang ada di handphone saya. Baru 10 grup? Ah, cuma dikiiit… Dibentuk pertama kali oleh salah satu teman sekitar bulan April 2015. Isinya pun cuma 11 orang, tapi ramenya mengalahkan puluhan orang yang ada di grup whatsapp lainnya. Kebetulan kami bersebelas ini teman satu angkatan ketika baru masuk di operator merah tahun 2004. Sejak awal dipertemukan di Surabaya, kami sudah mendadak akrab begitu saja, semacam sudah punya chemistry.

Kami ‘lulus’ dari operator merah sekitar tahun 2006. Sejak saat itu kami terpisah menjalani karir berikutnya di kota masing-masing. Ada yang ‘meneruskan’ di operator yang sama dengan beda bendera, ada juga yang menjadi PNS, ada yang menjadi staf di oil company, staf di hotel, menjadi guru, atau ibu rumah tangga. Sampai akhirnya salah satu dari kami berinisiatif membentuk grup watsapp, dan voilaa… jadilah grup bernama ‘Makrempong’, yang artinya emak-emak yang rumpi, bawel, dan rempong tentu saja. Eh, padahal 11 orang itu sebenarnya terdiri dari 10 orang perempuan, dan 1 orang laki-laki, tapi berhubung mayoritas adalah perempuan, jadilah 1 orang laki-laki itu kita anggap perempuan juga… *toyor para emak di grup*

Dari sekian banyak grup yang ada di handphone saya, ada 4 grup yang keaktifannya luar biasa. Luar biasa menghabiskan daya batere handphone, maksudnya. Mereka adalah whatsapp grup kantor, whatsapp grup SMA, whatsapp group SMP, dan whatsapp group ‘Makrempong’ itu tadi. Keempat-empatnya punya karakter yang berbeda-beda. Kalau di grup kantor isinya variatif, selain sebagai grup hore-hore juga bisa digunakan untuk koordinasi kedinasan. Kalau grup SMP dan SMA isinya hampir sama, ngobrol ngalor ngidul, dengan topik yang beragam, mulai serius sampai dengan OOT dan absurd. Sedangkan grup Makrempong walaupun sama-sama rame tapi sedikit beda. Bedanya ada di chemistry di antara kami bersebelas. Jiyeee…

friendship makrempongDi Makrempong, topik apapun bisa dibahas, mulai topik yang berat sampai yang remeh-temeh. Topik tentang keuangan, keluarga, parenting, pekerjaan, curhat tentang pasangan, pendidikan anak, soal tetangga yang menyebalkan, curhat soal pekerjaan, sampai tips dan trik bercinta pun ada. Intinya Makrempong adalah ruang untuk katarsis dan membahas topik yang all in!

Tapi dari sekian banyak grup yang saya ikuti, saya melihat Makrempong adalah grup yang isinya paling tulus. Mungkin karena anggota grupnya tidak terlalu banyak, jadi masing-masing bisa chat secara ‘personal’ di grup. Lagi pula kami juga sudah mengenal pribadi masing-masing sejak 11 tahun yang lalu jadi kami bisa jadi diri sendiri dan nyaman ngobrol tanpa harus jaga image. Intinya adalah toleransi, saling percaya, dan kasih sayang kami terhadap satu sama lainlah yang membuat pertemanan kami awet hingga saat ini.

Bahkan tak jarang, kalau sedang ada topik yang hangat, penting, dan itu memicu komentar para anggota grup, saya bisa ketinggalan hingga ratusan chat lantaran baru sempat mengecek handphone selang setelah sekian menit/jam kemudian. Kalau sudah ketinggalan sekian ratus chat begitu ya sudah, pasrah saja, kalau sudah senggang, baru deh saya sempatkan untuk scroll up membaca satu persatu chat yang masuk. Eh, padahal di grup lainnya saya belum tentu begitu, bahkan sering saya skip-skip saja.

Namanya saja grup yang isinya 11 orang yang punya kepala berbeda, jadi tidak selamanya kami isinya selalu happy, atau punya pemikiran yang sama dan sejalan dalam melihat sesuatu. Pasti adalah saat-saat di mana salah satu dari kami sedang labil, baper (sensitif), down, dan atau menjengkelkan bagi sebagian orang, entah itu karena bawaan PMS, stress di kantor, masalah di rumah, atau memang sudah saatnya menjengkelkan, hehehe. Tapi justru itulah yang seninya persahabatan. Kalau Makrempong isinya orang-orang yang emosinya lurus-lurus saja kok malah kurang seru ya. Perbedaan itu justru membuat persahabatan kami semakin berwarna.

Konon, katanya, kita bisa punya teman sampai puluhan hingga ratusan teman, tapi jumlah sahabat yang dimilikinya tak pernah melebihi jumlah jari di kedua tangannya. Entahlah, benar atau tidak. Tapi kebetulan yang ada di Makrempong ini kok jumlahnya pas, persis sama dengan kedua jari tangan saya ya… hehehehe…

“Family isn’t always blood. It’s the people in your life who want you in theirs. The ones who accept you for who you are. The ones who would do anything to see you smile, and who love you no matter what.”
– unknown –

[devieriana]

sumber ilustrasi dipinjam dari sini dan dokumentasi pribadi

Continue Reading

“You cant make everyone happy…”

happiness

Di suatu sore, di salah satu sudut sebuah coffee shop.

“Akhir-akhir ini kok gue ngerasa kayanya hidup gue nggak ada benernya di mata orang lain. Ada aja yang salah. Mulai pilihan pekerjaan gue yang bukan kantoran kaya orang kebanyakan, selera fashion gue yang sering dibilang aneh sama orang lain, pilihan parfum gue yang katanya baunya santer banget, koleksi tas dan sepatu gue yang katanya modelnya itu-itu melulu, atau komentar tentang cowok gue. Banyak, deh. Ntar lama-lama muka gue juga salah di mata mereka”, gerutu seorang teman.

Saya tertawa sendiri mendengar gerutuannya. Jangan-jangan dia hidup saja sudah salah… *silet-silet nadi di bawah pancuran*

By the way, kita memang hidup di lingkungan masyarakat yang selalu ‘peduli’ dengan apa yang kita lakukan. Judgmental folks. Orang akan selalu memberikan ‘penilaian’ terhadap apa yang kita lakukan. Kalau penilaiannya positif berarti kita ‘aman’. Tapi kalau ternyata negatif, berarti… you’re dead! Kita merasa khawatir kalau orang lain tidak sependapat dengan kita. Khawatir kalau keputusan yang kita ambil itu ternyata mengecewakan orang lain. Orang akan melihat kita sebagai makhluk galaksi lain kalau kita ‘berbeda’ atau ‘unik’ di mata mereka. Alhasil, apapun akan kita lakukan asalkan orang lain senang.

Dulu, saya adalah orang yang paling takut membuat orang lain kecewa, padahal saya pun tak jarang dikecewakan oleh orang lain. Pokoknya dulu, kalau sampai membuat seseorang kecewa atau tidak senang itu akan membuat saya jadi orang yang paling merasa bersalah. Saya akan dibanjiri dengan pikiran-pikiran yang obsesif tentang bagaimana caranya memperbaiki situasi supaya orang lain tidak kecewa lagi, happy lagi dengan apa yang saya lakukan.

Apalagi waktu masih jadi anak baru di salah satu kantor. Ketika senior saya komentar begini-begitu tentang baju yang saya pakai, esoknya saya mengubah cara berpakaian saya. Atau ketika ada teman yang tidak setuju dengan opini saya, saya lantas berusaha menyesuaikan dengan apa yang mereka bilang. Kalau ada teman yang minta tolong, saya tidak bisa menolak. Kalau menolak, saya khawatir teman saya akan kecewa. Pokoknya saya sangat peduli dengan apa kata orang. Jangan sampai saya jadi terlihat ‘beda’ dengan orang lain. Jangan sampai saya mengecewakan mereka. Jangan sampai teman/lingkungan saya tidak suka sama saya. Akhirnya kok saya merasa bukan jadi diri sendiri ya. Apa-apa takut salah, khawatir di-bully, takut dicemooh. Itu dulu.

Sampai akhirnya saya sadar bahwa, we cant make everyone happy all of the time. And we shouldn’t. People will always have an opinion not only on what we do, but on almost everything.

society
Kita jelas tidak bisa selalu membuat orang lain selalu senang. Oleh karenanya, kita juga tidak perlu berharap agar orang lain menyenangkan kita. Dont even try to think about it, because it’s pointless. Akan selalu ada orang-orang di luar diri kita yang tidak suka dengan apa yang kita lakukan, atau tidak setuju dengan keputusan yang kita ambil. Akan selalu ada orang-orang yang akan membuat kita merasa bersalah atau tidak nyaman dengan diri kita sendiri. Wajar.

Masa iya, demi memuaskan orang lain, kalau ada orang lain bilang muka kita jelek, terus kita buru-buru operasi plastik ke Korea biar semua orang tidak merasa ‘terganggu’ dengan wajah kita? Atau, kalau misalnya ada satu orang yang sedang bad mood, adalah kewajiban semua orang jadi untuk menjaga mood-nya sepanjang hari supaya terus stabil? Hei, kita ini bukan malaikat penjaga mood yang berkewajiban membuat orang lain selalu senang. Our mood and feelings are still our own responsibility and decision.

Jadi ingat, dulu pernah ada seorang teman yang meminta saya untuk mengganti avatar saya di Whatsap, karena dia kurang suka dengan baju yang saya pakai. Baju saya dianggap ‘kurang pantas’ menurut dia. Sempat berpikir, di mana letak tidak sopannya, ya? Saya pakai baju lengan panjang dengan kerah model V-neck, posenya pun biasa saja, bukan pose-pose yang ‘menantang’ umat manusia layaknya pose cover majalah dewasa. Tapi ya sudahlah, berhubung saya malas ribut dengan teman, akhirnya saya langsung mengganti sesuai ‘request’. Selesai. Tapi dongkol. Hahahaha…

Nah, penting juga tuh untuk tidak melakukan sesuatu karena keterpaksaan, karena apapun hasilnya tidak akan maksimal dan memuaskan hati. Menjadi orang yang baik itu penting, tapi (disarankan) jangan sampai orang lain mengambil keuntungan dari kemurahan hati kita. Katakan ‘iya’ kalau memang benar-benar sanggup, tapi jangan segan untuk menolak jika memang tidak mampu. Bukan berarti kita tidak boleh menolong orang lain lho. Menolong orang lain jelas boleh. Tapi menolong yang bagaimana dulu, itu yang perlu kita pilah. Kuncinya satu: ikhlas; jangan ngedumel di belakang.

Makin ke sini, kalau ada komentar apapun tentang saya, saya sikapi saja dengan lebih santai. Selama masukan itu bersifat positif dan membangun, pasti akan saya terima dengan hati terbuka. Tapi kalau komentarnya agak ‘kurang penting’ ya sudah, terima kasih saja buat atensinya. Saya tidak bisa memaksa orang lain untuk menyukai saya dan apapun yang saya lakukan, pun sebaliknya. If people like it, great. But if some dont, it is OK! Intinya, nggak masalah.

Ada saatnya kita memberi kesempatan dan ruang bagi diri sendiri untuk bahagia, bukan melulu menyenangkan orang lain. Sesekali bolehlah, tapi tidak selalu. Belajar berkata tidak, kalau memang tidak bisa, tidak sanggup, atau tidak mau. Jadi diri sendiri akan jauh lebih melegakan ketimbang menjadi orang yang selalu menyenangkan/memuaskan orang lain, padahal ada keterpaksaan di balik itu semua.

Instead of trying to make others happy, make yourself happy and share that happiness with others.

Just my two cents…

[devieriana]

 

ilustrasi diambil secara semena-mena dari Pinterest ini dan Pinterest itu

Continue Reading

“I’m not always right, but i’m never wrong”

i am always right
Anyway, saya suka sekali memperhatikan karakter dan sifat/sikap orang lain, karena dari situ kadang saya bisa belajar tentang karakter manusia :D.

Dari sekian banyak teman yang saya kenal, saya memang dekat dengan salah seorang kakak tingkat saya waktu kuliah dulu. Sebut saja Kak Anggrek (karena penggunaan nama ‘Bunga’ sudah terlalu mainstream). Kebetulan dia dari fakultas dan jurusan yang berbeda. Saya mengenalnya sebagai sosok yang sederhana namun wawasannya sangat luas, sehingga ketika diajak diskusi apapun enak-enak saja. Dia juga sangat luwes dalam menilai sesuatu, tidak judgemental, menilai sesuatu dari 2 sudut pandang. Kebetulan dia juga seorang pengajar di salah satu universitas. Sepertinya kalau jadi, tahun depan dia juga akan ambil post doctoral di US atau negara lainnya. Tapi di balik semua kelebihan yang dia miliki itu dia adalah seorang yang sangat rendah hati; tidak menunjukkan siapa dia atau apa yang dia punya.

Sebaliknya, ada seorang teman yang lain yang berkebalikan dengan teman yang tadi. Sebut saja Kak Raflesia Arnoldi :mrgreen: . Di socmed, sering kali dia mengunggah quotation-quotation buatannya yang kebanyakan berisi tentang hidup, “how life should be” kepada yang lain. Menganggap socmed adalah sekolahan, dia adalah guru, sedangkan follower adalah murid-muridnya. Tak heran kalau status-status yang dibuatnya banyak menggunakan kalimat-kalimat yang terkesan menggurui lainnya.

Uniknya, dia bisa dengan ‘bangga’ mengkritik/mem-bully seseorang di social media (sebut saja Path, yang bisa tagging nama seseorang), atau siapapun yang tidak setuju dengan pemikirannya. Pernah juga dia memarahi salah satu follower-nya di Path. Kok rasanya kurang etis ya? Kalau memang dia membuat salah, kenapa tidak diselesaikan saja di media yang lebih privat? Kenapa harus diumbar di socmed? Apa sih tujuan sebenarnya dengan mengumbar kesalahan orang lain di ranah publik? Supaya yang satu terlihat salah dan lainnya terlihat benar, begitu? Namun sebaliknya ketika kalimat-kalimatnya, pemikiran-pemikirannya, asumsi-asumsinya itu ada yang mengkritisi, serta merta dia langsung menunjukkan ketidaksukaannya. Kalau sampai ada orang lain yang dia anggap menyaingi/menandingi dirinya, dia akan berusaha untuk membela diri, berperilaku layaknya orang yang tahu segalanya, padahal tujuan utamanya cuma satu. Menjaga harga diri. Hal itu selalu akan dilakukan secara spontan ketika dia diposisikan lebih rendah atau ketika dia diperlakukan kurang sesuai dengan apa yang dia mau. Baginya, apa yang dia katakan itu sudah yang paling benar, jadi jangan dibantah. Semacam sabda pandita ratu (?). Kalau sampai ada yang membantah/menyanggah, itu sama saja cari masalah. Bisa-bisa seharian dia ‘menyampah’ di akun socmednya dengan menyindir orang yang ‘berani’ menyanggah opininya. Eh, saya pernah lho sengaja mengkritisi dia dan berakhir dengan bbm yang panjang kali lebar kali tinggi, plus dibikinkan status sindiran di Path 😆 . Padahal sayanya biasa saja, lha wong memang niatnya cuma pengen ngisengin Kak Raflesia ini saja kok :mrgreen:

Entahlah, sepertinya kok masih jarang ya ada orang yang rela ‘menyembunyikan’ kemampuannya demi menghormati orang lain. Kalaupun ada, dia pasti adalah orang yang sudah ada di level sadar, bahwa apa yang dimilikinya itu cuma sebagian kecil kemampuan yang dianugerahkan oleh Tuhan kepadanya; dan percaya bahwa ada banyak orang yang jauh lebih mampu, lebih pandai, lebih mumpuni ketimbang dirinya. Jadi, pikirnya, kalau cuma sekadar untuk show off ya buat apa? Bukankah akan lebih baik jika kemampuan yang dimiliki itu diajarkan saja tanpa perlu dipamerkan/diperlihatkan ke banyak orang, ya? Walaupun agak susah juga sih kadang, karena batas antara niat tulus berbagi ilmu dan pamer kemampuan itu terlalu tipis. Tapi ya semuanya terpulang pada niat masing-masing sih.

Kemampuan terhadap penguasaan satu ilmu dengan ilmu lainnya pasti berbeda-beda. Kalau misalnya ada satu orang yang lebih mumpuni dibandingkan orang lainnya ya wajar. Jadi jangan menuntut level penguasaan yang sama terhadap sesuatu, karena sebenarnya ada hal yang jauh lebih penting untuk dicermati, yaitu ketika kita berani mengaplikasikan ilmu yang kita miliki itu untuk memberi manfaat bagi orang di sekitar kita, jadi bukan sekadar retorika semata. Kalau sudah sanggup mengaplikasikan keilmuan tersebut, nah… silakan membagikan ilmu yang dimiliki itu kepada orang lain dengan sepenuh hati.

IMHO. No matter what skills you have, but what is more important is how you enable others

Mungkin apa yang saya tulis ini cuma masalah perspektif, cara pandang. Bisa saja apa yang saya pikirkan ini berbeda dengan apa yang kalian pikirkan. Wajar, lha wong memang isi kepala kita juga beda. Tapi sebenarnya saya cuma ingin curhat, bahwa…

orang-orang yang seperti Kak Raflesia Arnoldi ini sejatinya ada… 😐
I’m not always right, but i’m never wrong. Paradoks.

[devieriana]

picture source here

Continue Reading

Balada Dinda

gantian duduk

Beberapa waktu yang lalu hampir semua akun socmed, media cetak dan elektronik ramai membahas status Path seorang perempuan yang bernama Dinda, yang curhat tentang kekesalannya terhadap para ibu hamil yang (menurut dia) manja karena selalu minta dikasihani dan minta tempat duduk. Pertama kali saya membaca status ini di Path jujur saya merasa geli, trenyuh, sekaligus prihatin pada Dinda. Geli karena statusnya kok kekanakan sekali padahal sepertinya usia Dinda sudah lebih dari cukup untuk lebih peka terhadap lingkungan sekitarnya. Tapi, ah… bukannya usia bukan ukuran kedewasaan seseorang, ya? Trenyuh dan prihatin, lantaran dia sendiri seorang perempuan yang suatu saat juga akan merasakan menjadi seorang ibu hamil. Tapi kalau ditilik dari kelancarannya menulis status semacam itu di Path sepertinya Dinda ini masih muda, belum menikah, dan belum pernah merasakan menjadi ibu hamil 😀

Well, terlepas dari curhatan Dinda, saya punya cerita sendiri tentang suka duka menjadi ibu hamil dan transportasi publik. Saya merasakan sendiri bagaimana perjuangan menggunakan sarana transportasi umum ketika hamil. Kebetulan saya bukan tipikal orang yang suka merepotkan orang lain. Pun ketika naik transportasi umum. Kalau dikasih tempat duduk ya terima kasih, kalau enggak ya nggak apa-apa. Tingkat keikhlasan orang kan beda-beda, ya. Apalagi hidup di Jakarta. Jadi ya dimaklumi sajalah… *usap peluh*

Dulu, ketika hamil pertama kali, jarak antara rumah dengan tempat saya bekerja relatif dekat, dan sarana transportasinya pun sangat mudah. Tapi walaupun begitu, bukan hal yang mudah bagi seorang perempuan yang sedang mengandung untuk memaksakan diri berjejalan di halte untuk naik Transjakarta atau moda transportasi umum lainnya. Kalau saya memaksakan diri harus ke pool bus ya sepertinya kok agak buang-buang waktu dan tenaga ya, karena pool-nya lebih jauh dari jarak antara kantor dan rumah saya, sedangkan lokasi kantor saya ada di tengah rute mereka. Sering kali saya terpaksa mengalah menunggu sampai antrean halte agak berkurang supaya saya bisa berdiri lebih depan sehingga tidak terhimpit oleh penumpang lainnya yang tenaganya jauh lebih besar. Di dalam bus pun sering kali bangku prioritas untuk ibu hamil/lansia/difabel/ibu dan anak, sudah diduduki oleh penumpang yang tidak sedang dalam kondisi penumpang yang wajib diprioritaskan. Dan tipikal para penumpang yang sudah mendapatkan tempat duduk itu biasanya sama, (pura-pura) tidur sambil menyumpalkan earplug di telinga. Sekali lagi, beruntung waktu itu tempat tinggal saya dekat, jadi kalau terpaksa harus berdiri pun (insyaallah) masih kuat 😀

Di kehamilan saya yang sekarang ini kondisinya sangat jauh berbeda. Jarak antara tempat tinggal dan kantor saya relatif lebih jauh, waktu untuk menempuh perjalanan pun otomatis lebih panjang, apalagi pada kalau naik Transjakarta jurusan Harmoni-PGC yang jalurnya panjang dan macetnya luar biasa. Saya sering kali terpaksa menunggu antrean bus sedikit berkurang supaya bisa dapat tempat duduk. Tapi lama-lama saya menemukan jalur antrean khusus untuk kaum prioritas, jadi saya bisa naik bus sebelum penumpang reguler naik.

Semakin besar kandungan saya, semakin tidak memungkinkan bagi saya untuk menggunakan Transjakarta yang jumlah armadanya terbatas dan banyak penggemarnya itu. Beruntung akhirnya saya menemukan alat transportasi alternatif yaitu shuttle bus yang kini banyak disediakan oleh pengelola mall, sebagai sarana transportasi alternatif bagi para pekerja yang tinggal di luar kota, tapi bekerja di Jakarta. Lumayan aman dan nyaman, walaupun biayanya lebih mahal. Tapi demi kenyamanan, penghematan waktu dan tenaga, penggunaan moda transportasi ini sangat layak 😀

Jadi, kalau kembali lagi tentang status Dinda tadi, saya sangat memaklumi, karena memang Dinda ini belum merasakan bagaimana rasanya menjadi ibu hamil. Jadi masih termasuk ‘wajar’, karena kan biasanya kalau belum mengalami sendiri, cuma melihat dari luarnya saja, memang paling mudah mengeluarkan statement :mrgreen: . Tapi terlepas dari sudah/belum pernah merasakan menjadi ibu hamil/lansia/difabel/membawa anak kecil, ketika kita berada di situasi tersebut coba kita reframe deh, bagaimana jika seandainya kita yang berada di posisi mereka. Jadi ya kembali lagi ke kesadaran masing-masing saja. Rasanya kita tidak perlu menghakimi orang lain yang belum diberi hidayah atau kepekaan melihat lingkungan sekitar. Kalau memang kita di situasi yang sama masih merasa sehat/mampu/ikhlas/kuat bergantian tempat duduk dengan mereka yang patut mendapat prioritas, ya monggo diberikan. Kita tidak pernah tahu, karena bisa saja suatu saat nanti gantian kita yang berada di kondisi yang sama dengan mereka.

Satu hal lagi yang penting untuk diingat, berhati-hatilah memposting status di akun social media, sepribadi apapun settingan akun socmed kita. Kalau dulu kita mengenal adagium “mulutmu harimaumu”, sekarang di era social media ada istilah, “tweetmu harimaumu”, “postinganmu harimaumu”, “statusmu harimaumu”. Sekali saja kita menerbitkan postingan/status, dan lalu menekan tombol enter/publish, seketika itu juga orang lain akan melihat, membaca, mengomentari, dan bahkan menyebarluaskannya ke berbagai akun social media hingga ke batas yang tidak mampu kita tentukan. Itulah saat di mana kita kehilangan kendali terhadap efek apa yang akan timbul kemudian.

Sekalipun kita berkomunikasi secara tidak langsung di ranah maya, namun perlu diingat bahwa yang kita ajak berkomunikasi, yang membaca postingan dan status kita itu juga manusia. Mungkin saja kita tidak bermaksud buruk, namun toh akan selalu ada hal-hal yang diterima secara berbeda jika dilihat dari kacamata orang lain.

Bukan berarti kita tidak boleh mengeluarkan statement/opini, tapi apa salahnya jika lebih berhati-hati ketika akan mengeluarkan opini. Terlebih jika itu sifatnya pribadi dan mengandung hal yang sensitif bagi orang lain.

Just my two cents 😉

 

[devieriana]

 

gambar diambil dari twitternya @gantijakarta

Continue Reading