Trauma

“Halo, selamat datang kembali di dunia nyata!”

Dulu, saya pernah mengklaim bahwa saya tidak punya trauma. Semua hal bisa saya atasi tanpa menimbulkan trauma. Tapi nyatanya, saya justru punya trauma sampai sekarang.

Beberapa tahun yang lalu, ketika masih bekerja di satu perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia, kami para customer service officers dan back office officers mengikuti training soft skills di sebuah hotel di Jakarta. Rasanya seperti reuni, karena kami bertemu kembali dengan teman-teman dari beberapa kota berbeda, saling bercerita bagaimana implementasi ilmu dan teori yang diberikan pada training-training sebelumnya, bagaimana pengalaman di lapangan, dan sebagainya. 

Long story short, di malam keempat training, setelah makan malam, teman-teman sepakat berkumpul di kamar saya, mengobrol panjang hingga larut malam dengan berbagai topik yang random. Saking asiknya ngobrol, kami baru beristirahat sekitar pukul 2 pagi. Padahal sejujurnya saya bukan orang yang betah ngobrol sampai larut malam karena jam tidur saya maksimal pukul 22.00. Tapi mungkin waktu itu saking serunya ya, sehingga tak terasa waktu beranjak dini hari.

Keesokan paginya, meskipun lelah, kami tetap bangun pagi untuk salat subuh dan bersiap menjalani agenda hari itu. Topik pelatihan pagi itu adalah tentang bagaiamana cara menjaga kesehatan. Kami bukan hanya akan menyimak paparan dari narasumber saja, karena di sesi berikutnya kami akan diajak untuk bergerak dengan senam aerobik, dan selanjutnya akan ditutup dengan sesi yoga. Itulah mengapa dress code kami hari itu baju olah raga. Seru ya, kan?

Tidak seperti biasanya, pagi itu saya sarapan nasi goreng dengan porsi yang cukup besar layaknya porsi makan siang. Entah karena memang nasi gorengnya enak atau entah lapar, saya makan dengan lahap, mungkin sambil mengira energi yang besar akan membantu menghadapi hari yang sibuk.

Sebagai orang yang tidak pernah makan dalam porsi besar saat sarapan, lalu mendadak makan besar, tentu membuat metabolisme badan saya agak kaget, ya. Tak ayal, saat berada di kelas materi, rasa kantuk pelahan mulai menerpa. Beberapa kali saya menguap meski pemateri dan paparan materinya sangat menarik. Meski berusaha fokus namun rasa kantuk sepertinya enggan berkompromi. Beruntung saya tidak tertidur di meja saat menyimak paparan. Setelah satu jam berjuang menyimak paparan, akhirnya kita semua diajak untuk bergerak dengan energik di sesi senam aerobik. Pfiuh! Semangat! Semangat! 

Lagi-lagi, sebagai orang yang tidak pernah berolah raga, begitu selesai sesi senam aerobik, nafas saya habis, badan juga rasanya lelah sekali. Tapi tak apalah, yang penting berbagai gerakan aerobik tadi bisa membakar lemak-lemak nasi goreng tadi pagi, pikir saya.

Akhirnya sesi yoga yang ditunggu-tunggu pun tiba. Seorang instruktur yoga telah siap mendampingi dan memandu kami melakukan beberapa gerakan yoga di atas matras. Beberapa gerakan yoga berhasil kami lalui dengan baik, hingga akhirnya tibalah pada pose Savasana, dalam bahasa Sanskerta berarti posisi mayat (corpse pose), merupakan posisi istirahat terakhir dari sebagian besar rutinitas yoga, yang dimaksudkan untuk merilekskan pikiran dan tubuh ke dalam relaksasi yang dalam. Kondisi istirahat ini memungkinkan seluruh tubuh kita menyesuaikan diri dan mengintegrasikan manfaat dari gerakan yoga sebelumnya. Instruktur kami meredupkan lampu di ruangan, menciptakan suasana tenang seperti sedang di alam terbuka dengan menambahkan audio gemerisik daun, gemericik air, dan kicauan burung, agar kami bisa merasa sangat rileks.

Mungkin saya adalah peserta yoga yang paling selaras dengan tujuan Savasana, yaitu merilekskan pikiran dan tubuh hingga mencapai relaksasi yang mendalam, karena pada praktiknya bukan hanya tubuh dan pikiran saja yang rileks, tapi saya saking rileksnya lahir batin, jiwa raga, saya pun tertidur pulas tanpa disadari. Entah berapa lama saya tertidur di kelas yoga, tetapi ketika tersadar, untuk menutupi rasa malu, saya segera menyesuaikan gerakan yoga yang dilakukan oleh teman-teman saya, termasuk tepuk tangan.

Teman-teman yang melihat saya sudah ‘siuman’ langsung bertepuk tangan dan menggoda dengan sapaan, “Halo, selamat datang kembali di dunia nyata.” Duh, andai saja saya bisa menyembunyikan wajah saya saat itu, saya akan sembunyikan untuk sementara waktu, kalau sudah tidak malu akan saya pasang lagi. Namun nyatanya saya hanya bisa tersenyum kecut, menerima kekonyolan saya saat itu.

Mungkin karena sudah belasan tahun berselang ya, jadi saya bisa menceritakannya kembali sambil menertawakan diri sendiri. Tapi jangan ditanya betapa malunya saya saat itu, karena ternyata semua teman telah berusaha membangunkan saya tapi saya tidak merespon sama sekali. Bahkan, instruktur yoga pun mencoba membangunkan dengan menarik ibu jari kaki saya, namun saya tetap bergeming. Apa daya, rasa kantuk tampaknya lebih kuat daripada kesadaran saya. Instruktur yoga sempat mengatakan begini, “Di antara semua peserta di kelas ini, yang sesi yoganya paling berhasil adalah Mbak Devi, karena rileks sekali ya, Mbak. Mari kita berikan tepuk tangan!”

Sejak saat itu, saya trauma sarapan berat sebelum beraktivitas. Sampai sekarang, saya memilih hanya sarapan kudapan ringan atau minum teh atau kopi untuk menghindari kejadian serupa berulang, siapa tahu dalam versi yang berbeda. 

– devieriana –

Continue Reading

PDA: Romansa di Tengah Publik

Di tengah perjalanan sebuah bus Transjakarta yang melaju dari arah Kota Tua menuju ke Balai Kota, naiklah sepasang anak muda yang sejak naik hingga turun mereka duduk bersebelahan, dan saling bergandengan tangan. Selama perjalanan, mereka beberapa kali saling melakukan hal-hal kecil kepada pasangannya satu sama lain. Mengusap/mencium pipi, membelai rambut, membetulkan kerah baju, meletakkan tangan di paha pasangan, berbisik mesra lalu terbahak, dan berpelukan, semuanya dilakukan di ruang publik di dalam transportasi umum, Transjakarta. Anyway, jarak perjalanan yang ditempuh keduanya hingga sampai di pemberhentian terakhir lumayan jauh, kan? Jadi, bagi penumpang yang duduk berhadapan dengan mereka, sepertinya lebih baik pindah ke Mars, deh.

Seiring dengan perkembangan teknologi, kemesraan bukan hanya bisa dilihat secara langsung, tetapi juga dapat dilihat melalui media sosial. PDA bisa terjadi di mana saja: di taman, pusat perbelanjaan, transportasi umum, bahkan di tempat kerja. Seperti misalnya di platform media sosial Instagram, ada akun Instagram milik sepasang selebgram muda yang aktif membagikan konten kemesraan mereka di antara konten-konten kajian keagamaan. Walaupun banyak komentar yang memuji mereka dengan kata-kata seperti “ih, lucu deh kalian”, “mesra banget”, “uwuu..,” “duh, kita mah cuman bisa nyengir aja” dan berharap untuk menemukan pasangan seperti mereka, namun di dunia maya, respon yang diterima tidak selalu positif.

“Mempertontonkan kemesraan di depan publik, hmm, kok agak gimana, ya?”

“Menurutku, meskipun mereka pasangan yang sah, sebaiknya kemesraan tidak terlalu diumbar, apalagi diunggah ke media sosial. Tidak semua orang merasa bahagia seperti mereka, dan khawatirnya malah menimbulkan ain. Ini cuma pendapatku saja, ya. Maaf kalau ada yang nggak setuju.”

“Haduh, ya udah sih biar aja. Pasangan-pasangan mereka sendiri kok kalian yang ribet! Kalau nggak suka, unfollow aja..”

Public Display of Affection (PDA) atau menunjukkan kasih sayang di tempat umum sering kali menjadi perdebatan hangat. Ada yang melihatnya sebagai bentuk cinta yang romantis, sementara lainnya merasa terganggu, tidak nyaman dengan hal tersebut. Menurut Wikipedia, pamer kemesraan atau umbar kemesraan adalah perbuatan mempertunjukkan kemesraan di depan umum, yang biasanya dilakukan oleh pasangan, seperti pacar atau pasutri.

Banyak pasangan memilih untuk menunjukkan perasaan mereka kepada publik melalui PDA. Tidak ada yang tahu secara pasti tentang maksud dan tujuan orang yang melakukan PDA. Mungkin mereka berharap gestur-gestur berpegangan tangan atau berpelukan di tempat umum dapat menunjukkan kedekatan mereka kepada orang lain. Atau malah justru sebaliknya, untuk menyembunyikan ketidakamanan dalam hubungan mereka? Lebih dari sekadar mengekspresikan kasih sayang, PDA juga tentang menunjukkan komitmen mereka di hadapan orang lain.

Masing-masing individu memiliki preferensi yang beragam dalam mengekspresikan kemesraan di depan publik. Ada yang senang memperlihatkan kasih sayang kepada pasangan mereka secara terbuka, tetapi banyak juga yang lebih suka menjaga privasi dengan tidak menunjukkan kemesraan di depan orang lain. Hal ini sering dipengaruhi oleh latar belakang pribadi, budaya keluarga, atau norma sosial yang mereka anut.

Di negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Kanada, dan sebagian besar Eropa, Public Display of Affection (PDA) sering kali dianggap sebagai hal yang lumrah dan diterima secara sosial. Namun, di beberapa negara Asia dan Timur Tengah, PDA sering kali dianggap tidak pantas atau bahkan dianggap tabu. Dalam media dan budaya populer, PDA sering digambarkan sebagai sesuatu yang romantis dan diidamkan. Film, acara TV, dan musik memiliki pengaruh besar dalam cara orang mengekspresikan perasaan cinta mereka.

Kontroversi seputar PDA melibatkan berbagai isu, tidak semua orang merasa nyaman melihat PDA, terutama jika dianggap terlalu intim. Adanya perbedaan generasi juga memengaruhi, di mana generasi yang lebih tua mungkin kurang mendukung PDA karena norma sosial pada masa lalu berbeda dengan generasi muda saat ini. Perbedaan pendapat juga muncul karena setiap individu memiliki toleransi yang berbeda terhadap kemesraan di depan umum. Isu lainnya termasuk pendapat bahwa PDA sebaiknya dibatasi untuk menjaga kesopanan di tempat umum. Namun pembatasan PDA di beberapa tempat ini mengundang pertanyaan tentang seberapa jauh norma sosial dapat membatasi kebebasan individu. Oleh karena itu, penting bagi mereka yang suka melakukan PDA untuk mempertimbangkan situasi/konteks, lokasi, serta menghormati respons dan norma budaya setempat.

Jadi, walaupun PDA bisa dianggap sebagai bentuk ekspresi cinta yang berbeda-beda maknanya bagi setiap orang dan budaya, yang terpenting adalah bagaimana kita menemukan keseimbangan antara ingin mengekspresikan kasih sayang dan tetap menjaga kenyamanan serta kesopanan di tempat umum. Hal ini penting agar kita menciptakan lingkungan yang menghargai keragaman dan saling menghormati.

— devieriana —

Ilustrasi gambar dipinjam dari sini

Continue Reading

Verba Volant, Scripta Manent

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” — Pramoedya Ananta Toer

Setelah vakum beberapa tahun lamanya, akhirnya saya mengobati kerinduan saya aktif menulis kembali. Seperti biasa, topik tulisan saya random. Topik kejadian keseharian, review film, psikologi, parenting, pekerjaan, dan sebagainya. Banyak teori yang bilang kalau menulis di blog harus ada temanya supaya ada audiens yang secara khusus tertarget, misalnya blog yang khusus me-review tentang kecantikan, gadget, atau kuliner. Tapi menurut saya menulis tema random tentang keseharian juga memiliki daya tarik tersendiri. Menulis dengan tema random bagi saya memberikan kebebasan untuk menulis apa pun yang kita suka yang mencerminkan kehidupan sehari-hari atau berbagai minat kita saat itu.

Beberapa teman baru, yang mungkin baru mengenal saya bertanya, “Kak Devi ternyata masih suka nulis, ya? Kenapa, Kak? Kan sekarang zamannya udah zaman visual, orang lebih tertarik nonton konten video ketimbang tulisan.” Saya sudah suka menulis sejak SD. Sepertinya ada saja hasil ‘tulisan’ yang saya buat waktu itu, misalnya tiba-tiba membuat tulisan fiksi anak-anak, cerita legenda, atau komik ala-ala. Pelajaran bahasa Indonesia juga menjadi salah satu pelajaran favorit saya, karena ada sesi mengarang indah. Dulu saya juga punya cara kerja yang unik dalam membuat tulisan/karangan. Kalau teman lain membuat kerangkanya dulu baru menulis, saya justru sebaliknya. Saya buat karangannya dulu, baru saya buat kerangka karangan sebagai pelengkap. Sejak kecil pula saya suka mencari kosakata-kosakata baru yang kurang lazim digunakan. Masih ingat, dulu karena sering membaca surat kabar, saya menemukan kata ‘oknum’. Dengan bangga saya gunakan kata itu dalam tugas mengarang  pada pelajaran bahasa Indonesia. Tapi karena tidak sesuai dengan tema tugas waktu itu, sehingga kata itu justru dicoret oleh guru. Tak apa, yang penting sudah sempat memakainya.

Bukan hanya itu, konten blog lebih mudah diakses dan ditemukan dalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan dengan postingan media sosial yang cepat berlalu. Ketika seseorang menulis di blog, tulisan tersebut memungkinkan untuk diindeks oleh mesin pencari seperti Google, sehingga orang lain dapat menemukan tulisan tersebut bertahun-tahun setelah dipublikasikan. Hal ini tentu sedikit berbeda dengan postingan di media sosial yang cenderung tenggelam dalam lautan konten baru yang terus bermunculan setiap detiknya. Blog juga memberikan fleksibilitas yang lebih besar dalam menyusun dan menyampaikan informasi. Kita dapat membuat artikel yang panjang dan mendalam, menyertakan berbagai jenis media seperti gambar, video, dan infografis, serta mengelompokkan tulisan-tulisan tersebut ke dalam kategori yang memudahkan navigasi bagi pembaca. Jadi, sebenarnya menulis di blog telah lama menjadi salah satu cara paling populer untuk berbagi informasi, pengalaman, dan pemikiran dengan audiens yang lebih luas.

Bagi saya pribadi, blog ini dapat dianggap sebagai tempat penyimpanan digital memori saya, seperti ruang virtual di mana saya dapat dengan bebas menuangkan pikiran dan berefleksi. Blog ini menjadi tempat perlindungan, rumah pikiran, sebuah tempat yang tenang di tengah hiruk pikuk kehidupan sehari-hari. Lebih jauh blog ini juga berfungsi sebagai portofolio yang menampilkan perkembangan saya sebagai penulis yang sedang berkembang.

Semua hal ini sejalan dengan pepatah Latin yang mengatakan “Verba volant, scripta manent”, yang berarti kata-kata yang terucap akan terbang pergi, tetapi kata-kata yang tertulis akan tetap abadi. Dalam era digital, pepatah ini mengingatkan kita akan pentingnya menyimpan informasi secara tertulis. Verba volant, scripta manent menekankan adanya kekuatan dan kekekalan kata-kata tertulis dibandingkan dengan yang terucap. Kata-kata yang tertulis memiliki daya tahan yang luar biasa, memungkinkan pemikiran dan ide untuk hidup lebih lama daripada ucapan yang segera dilupakan. Inilah yang membuat aktivitas menulis di blog bukan hanya relevan di masa lalu, dan kini saja, namun juga memberikan dapat kontribusi jangka panjang bagi dunia pengetahuan dan budaya jika dibutuhkan.

— Devieriana —

Continue Reading

Komparasi

“Kamu tuh nggak kaya adikmu. Adikmu rajin, ngatur barang-barangnya juga rapi. Kalau kamu, berantakan”

“Kamu itu beda ya sama kakakmu. Kakak kamu bahasa Inggrisnya pinter, kalau kamu kok agak kurang, ya…”

Dua percakapan di atas adalah nyata yang pernah pernah saya dan adik-adik saya alami di masa kecil. Mungkin itu hanya sebagian kecil dari banyaknya perbandingan yang kami terima. Sekali dua kali mungkin kami hanya bisa pasrah ketika dibandingkan, menghibur diri, karena kami menyadari memang seperti tu kenyataannya. Seperti misalnya, saya dulu bukan orang yang rapi dan apik dalam menjaga barang-barang saya, tapi seiring waktu manusia bisa berubah. Begitu pula dengan kedua adik saya, meskipun mereka bukan yang mahir bahasa Inggris, namun sekarang mereka memiliki karier yang baik di dunia perbankan. Tidak ada seorang pun yang ingin dibandingkan, baik dengan saudaranya sendiri bahkan jika harus dibandingkan dengan orang lain. Beruntung, setelah kami bicara baik-baik, orang tua bersikap terbuka, dan mau menerima komplain kami.

Namun di balik itu, kami merasa beruntung, meski pernah mengalami perbandingan semacam itu di masa lalu, nyatanya kami bertiga tetap chill menjalani hidup, tumbuh menjadi saudara yang saling menguatkan, memberi motivasi, dan dukungan satu sama lain. Bukan malah merasa iri ketika salah satu dari kami meraih prestasi ekstrakurikuler, akademis, atau memiliki karier yang baik, namun justru merasa bangga.

Mungkin sebagian dari kita pernah mengalami sebagai kejadian seperti kami di atas, menjadi objek yang dibandingkan, atau bahkan sebagai subjek yang membandingkan. Kektika orang tua sering membanding-bandingkan anak dengan orang lain karena hal ini berasal dari naluri manusia paling dasar. Manusia secara alamiah cenderung membandingkan sesuatu dengan yang lain. Tujuan kebiasaan ini bisa bermacam-macam, mulai dari ingin mencontohkan perilaku anak, hingga memandang pencapaian anak sebagai sebuah kompetisi. Sama seperti kita yang juga pasti pernah membandingkan sesuatu, sesederhana membandingkan cara makan bubur ayam, diaduk atau tidak. Banyak orang membandingkan dua hal itu sampai berantem. Begitu juga dengan kebiasaan orang tua yang membandingkan anaknya dengan orang lain, juga berasal dari insting dasarnya sebagai manusia.

Sedangkan bagi objek yang dibandingkan pasti akan merasa kurang nyaman, karena perbandingan semacam itu lambat laun mengikis rasa percaya diri anak, membuat anak merasa kurang, dan tidak cukup baik. Saat kita dibandingkan dengan orang lain, kita jadi cenderung fokus pada kekurangan diri sendiri dan mengabaikan kelebihan yang sebenarnya kita miliki. Hal semacam inilah bisa menyebabkan perasaan rendah diri atau bahkan kecemasan. Misalnya, ketika kita dibandingkan dengan teman yang berhasil meraih prestasi gemilang di bidang akademis atau memiliki karier yang cemerlang, sementara kita masih  tertinggal jauh di belakang, tentu bisa sangat mengecilkan hati.

Bukan hanya itu saja, perbandingan semacam ini dapat merusak hubungan sosial. Kita yang merasa selalu dibandingkan dengan pencapaian orang lain, pada akhirnya justru menciptakan jarak/konflik dalam hubungan dengan orang lain. Padahal, setiap orang memiliki perjalanan hidup dan kecepatan perkembangan yang berbeda-beda. Apa yang tampak sebagai keberhasilan bagi satu orang, namun ternyata belum tentu relevan atau tidak sesuai dengan tujuan hidup orang lain.

Sudah nonton film “Ipar Adalah Maut”? Dibintangi oleh Michelle Ziudith sebagai Nisa dan Deva Mahenra sebagai Aris, “Ipar Adalah Maut” mengisahkan cerita yang diadaptasi dari kisah nyata yang dipopulerkan oleh content creator asal Malang @elizasifaa melalui akun media sosialnya.

Kalau bicara tentang hujatan dan banyaknya komentar pedas yang ditujukan kepada sosok Rani –yang digambarkan sebagai sosok ipar antagonis yang seolah tidak memiliki hati, merebut suami kakaknya– ya sudahlah ya, mungkin sudah cukup diwakili oleh netizen. Namun, ada sesuatu yang menarik perhatian saya di podcast Deny Sumargo, Eliza Sifa mengungkapkan bahwa perselingkuhan yang terjadi antara Aris dan Rani bukan karena kegilaan Rani semata, melainkan didasari oleh salah satunya adanya dendam masa kecil. Rani dan Nisa yang selalu bersekolah di tempat yang sama sering dibanding-bandingkan. Nisa dianggap lebih cantik dan lebih pandai ketimbang Rani. Alih-alih melindungi Rani, Nisa justru merasa senang karena berbagai pujian itu. Rasa dendam masa kecil itu ternyata dibawa Rani sampai dia dewasa. Rani yang selama ini pasrah dan belum terpikir harus menyalurkan dendamnya dalam bentuk seperti apa, justru ketika dia berkesempatan tinggal bersama kakaknyalah pintu kesempatan membalaskan dendam itu terbuka lebar. Tanpa bermaksud membela Rani atau membenarkan tindakan perselingkuhan, namun penting untuk kita sadari bahwa setiap manusia memiliki latar belakang dan alasan tersendiri sebelum melakukan sesuatu.

Di sekitar kita, banyak sosok (orang tua, keluarga, teman, guru) dalam keseharian anak, yang justru tanpa sadar membandingkan anak satu dengan anak lainnya, murid satu dengan murid lainnya. Alih-alih memberikan motivasi, hal tersebut justru membuat anak menjadi demotivasi dan rendah diri. Tidak seharusnya kita membanding-bandingkan anak, apalagi jika hal itu kita lakukan di depan mereka, karena sesungguhnya setiap anak memiliki kemampuan, kecerdasan, dan bakat yang berbeda.

Mama saya pernah menganalogikan begini, “Ibarat anak ayam, meskipun dipelihara di tempat yang sama, diberi makanan yang sama, dirawat dengan cara yang sama, mereka bisa tumbuh dengan sifat yang berbeda. Analogi ini juga berlaku sama pada manusia, yang memiliki pikiran dan sisi emosi yang lebih kompleks.”

Analogi jadul itu pun bahkan terdukung oleh sebuah penelitian yang bertajuk “The Heritability of Attitudes: A Study of Twins” yang mengatakan bahwa anak kembar identik menunjukkan perbedaan dalam sikap dan ekspresi diri. Meskipun berasal dari sperma dan sel telur yang sama, perbedaan dalam kecerdasan, struktur sensorik, dan temperamen bisa menjadi faktor yang membedakan mereka. Selain itu, faktor lingkungan, perlakuan berbeda dari orang tua, teman, atau lingkungan sekitar juga dapat mempengaruhi perbedaan kepribadian anak kembar identik. Dari situ, kita dapat ambil kesimpulan bahwa meskipun saudara kandung, kembar identik sekalipun, mereka akan memiliki sifat dan sikap yang berbeda.

Penting bagi kita semua untuk menghargai keunikan dan perbedaan setiap individu, terutama dalam konteks keluarga, untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak yang lebih positif. Kita tidak pernah tahu bahwa perbandingan semacam itu dapat tertanam lekat dalam ingatan mereka hingga dewasa, yang pada akhirnya akan berdampak pada kesehatan mental mereka di masa depan.

— Devieriana —

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

Mistakes Are Okay

Sejak Alea bisa diajak berkomunikasi (usia pra TK), saya sering membagikan percakapan saya dengan Alea (7 tahun) di media sosial Instagram dalam bentuk IGstory. Percakapan yang sederhana, kadang lucu, kadang mengharukan, atau cerita parenting lainnya tentang bagaimana saya dan Alea saling berproses. Karena proses belajar itu bukan melulu dari saya untuk Alea, tapi sering kali justru dari Alea saya belajar bagaimana menjadi seorang ibu, menjadi orang tua.

Meskipun Alea adalah anak saya, tapi nyatanya saya dan Alea bukan sebuah pribadi yang sama dan identik. Ada hal-hal bawaan yang berbeda dari kami berdua. Salah satu contoh paling mendasar adalah saya orangnya kalau panik bawaannya ngegas. Tapi tidak dengan Alea. Dia adalah anak yang selalu tenang dalam menghadapi permasalahannya. Dalam mengerjakan ulangan pun demikian. Ketika teman-temannya sudah selesai, kalau dia belum selesai ya akan diselesaikan sampai selesai, tanpa panik atau terburu-buru. Bahkan saking tenangnya, mengerjakan soal matematika saja dia sambil bersenandung, sementara yang mendampingi sudah kasih aba-aba dan instruksi layaknya pelatih Paskibraka supaya dia segera menyelesaikan ulangannya.

Pun halnya ketika sesi Pembelajaran Tatap Muka (PTM), pernah ada suatu ketika dia terlambat datang ke sekolah karena bangun kesiangan. Berpamitan dan turun dari mobil dengan tenang, masuk ke halaman sekolah dengan tanpa berlari-lari, mencuci tangan dan menjalani prosedur sebelum masuk kelas dengan tanpa terburu-buru, dan bergabung di kelas dengan tanpa rasa canggung.

Mungkin beberapa doa malam saya waktu mengandung dia dulu ada yang diijabah oleh Tuhan. Alea memiliki keistimewaan tersendiri. Dia memiliki kecerdasan dan kepekaan sosial yang tinggi. Banyak hal tak terduga yang keluar dari pemikirannya, jauh di luar apa yang saya pikirkan sebelumnya. Entah apakah ini gift dari Sang Maha Pencipta atau ada hubungannya dengan kebiasaan ngobrol dengan saya sebelum tidur.

Hampir setiap malam sebelum tidur, kami sempatkan untuk ngobrol. Bukan topik yang serius, tapi topik ringan seputar aktivitas keseharian, tentang teman, tentang apa yang kami pikirkan tentang sesuatu. Intinya topiknya bisa tentang apapun. Selain untuk memperkuat bonding antara ibu dan anak, juga untuk menyisipkan nilai-nilai baik sebelum dia tidur.

Seperti halnya obrolan beberapa malam lalu. Ada seorang teman yang menceritakan bagaimana dia merespon anaknya ketika salah hitung dalam soal matematika sederhana.

“Alea, tadi temen Mama cerita, kalau anaknya salah ngejumlahin gitu. Dia kan dikasih soal sama mamanya, 6+0=…. Anaknya temen Mama jawabnya 6+0=0. Temen mama marah, dong. Masa 6+0=0, kan harusnya 6. Ya, kan? Menurut Alea gimana?”

“That’s okay, Mama. She’s still learning. So, making mistake is fine. Because it’s a proof that she’s trying…”

Jujur, saya seperti bukan sedang berbincang dengan anak usia 7 tahun. Bahkan saya sempat mengira Alea bakal mengeluarkan respon, “Hah?!”, “WHAT?!”, atau bahkan menertawakan kesalahan yang diperbuat sebayanya. Tapi ternyata saya sudah bersuuzon.

Sebenarnya kalimat-kalimat bijak seperti ini bukan sekali dua kali keluar dari pemikiran Alea. Bahkan pernah sekali dua kali justru saya yang diberi nasihat. Lucu sih kadang, seolah mendengarkan diri saya sendiri dalam versi anak-anak ketika dia menasihati saya. Tapi saya selalu membiarkan dia berproses dengan caranya. Saya percaya bahwa di setiap harinya, ada penyerapan kalimat, kata, perbuatan, tingkah laku, dan nasihat. Ada spons raksasa dalam otak dan dirinya yang siap menyerap banyak hal.

Dulu, Alea pun bukan anak yang selalu percaya diri. Ada kalanya dia memilih untuk tidak mencoba karena khawatir berbuat salah yang membuat papa mamanya marah. Perlu waktu untuk menjadikan dia anak yang mau terbuka, mencoba belajar banyak hal, dan menjadi anak yang percaya diri. Dan kuncinya memang ada di cara bagaimana kita berkomunikasi, cara kita memperlakukan dia.

Kami pun sebagai orang tua tidak pernah yang menuntut dia harus mengerjakan segala sesuatu harus benar dan sempurna. Di usianya yang masih belia rasanya terlalu naif untuk menuntut sebuah kesempurnaan tanpa melalui sebuah proses pembelajaran, penerimaan diri, atau melalui kesalahan-kesalahan. Toh kita saja yang sudah setua ini masih sering membuat kesalahan, kan?

Pernah suatu saat ketika dia masih TK, dan dia belajar Matematika sederhana, dia ada salah menghitung dan dia begitu merasa bersalah. Padahal saya waktu itu baik-baik saja, tidak menyalahkan, pun membuat dia terhakimi. Tapi reaksinya di luar dugaan. Dia sedih, merasa bersalah, dan lalu meminta maaf. Respon saya waktu itu ya otomatis memeluk sambil mencium dia, karena sebenarnya setidak apa-apa itu. That’s not a big deal, Alea.

“So is it good if I make mistake? Will you not get mad at me, Mama?”

Ya, of course it’s fine. Mama nggak menuntut Alea jadi anak yang supersempurna, yang nggak pernah bikin kesalahan. Learning is a continuous process in life. And making mistakes is a part of learning process. When we learn new things, we tend to make mistakes, which is natural and common. Mistakes happen. We all make them, it is part of what makes us human. Bikin salah waktu belajar itu nggak apa-apa, lain kali waktu mengerjakan soal harus lebih hati-hati, lebih teliti lagi, ya. OK?”

“Okay, then…”

“I just want you to be a happy human being, Alea. Just be you. Be the best version of you…”

Tidaklah terlalu penting menjadi sosok yang sempurna. Namun yang jauh lebih penting dari itu, saya ingin melihat Alea tumbuh jadi anak yang gembira, anak yang bahagia, anak yang tumbuh dengan versi terbaik dirinya. Karena dengan menjadi anak yang bahagia, dia akan bisa menularkan kebahagiaan di lingkungan manapun dia berada. Lebih luas lagi, semoga kelak dia bisa membawa banyak kebermanfaatan bagi sesamanya.

  • devieriana

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading
1 2 3 56