Kebaikan Akan Selalu Kembali

Pernahkah kita merenung dalam hati, apakah kebaikan yang kita berikan kepada orang lain benar-benar akan kembali kepada kita atau akan hilang begitu saja? Pertanyaan ini mungkin pernah muncul dalam pikiran kita, terutama ketika kita merasa sudah menolong/memberi banyak hal, tapi kok sepertinya tidak ada sesuau yang terlihat seperti ‘balasan’ atas kebaikan yang pernah kita lakukan, ya. Kok sepertinya terdengar pamrih, ya. Bukankah kalau berbuat kebaikan, ya sudah berbuat saja? Tapi pastilah, ada di antara kita pernah (meski secara iseng) berpikir demikian. Tapi ini bukan tentang pamrih.

Bertahun-tahun lalu, ada sebuah kejadian, di mana adik saya mengambil langkah yang bagi saya, luar biasa. Dengan segala keterbatasan yang ada, ia tiba-tiba mewujudkan impian kedua orang tua kami untuk bisa pergi umrah. Tabungan dia tidaklah banyak, namun dari sanalah orang tua kami berangkat ke tanah suci. Saya tahu, itu bukan suatu keputusan yang mudah, namun ada kebahagiaan yang melebihi apa yang sudah dia keluarkan untuk kedua orang tua kami. Pun halnya adik saya yang berkata, “Uang bisa dicari, Mbak. Tapi Papa Mama kan udah nggak muda lagi. Usia manusia nggak ada yang tahu. Ya, mungkin Allah mengizinkan Mama Papa bisa pergi ke tanah suci melalui jalur aku.” Dia meyakini bahwa sekecil apapun kebaikan yang telah dilakukan, akan selalu menemukan jalannya.

Dan ternyata, ia benar.

Enam tahun berselang, tepat di penghujung tahun ini—tanpa pernah ia duga sebelumnya—datanglah undangan untuk berangkat umrah, dan semua serba gratis. Adik saya tentu senang bukan kepalang. Bayangkan, dulu dengan segala keterbatasan, dia memberangkatkan Mama dan Papa, kini dia bisa berangkat ke tanah suci bahkan tanpa mengeluarkan biaya sepeserpun. Bukan itu saja, akomodasi dan fasilitas terbaik juga dia dapatkan. Allah rupanya sedang memuliakan adik saya melalui tangan orang-orang baik.

Kebaikan itu punya cara kerja yang unik. Ia tidak selalu kembali pada kita dalam bentuk yang persis sama, tetapi ia selalu menemukan jalannya. Bisa jadi kebaikan itu hadir dalam tawa orang-orang yang kita cintai, dalam kesuksesan anak-anak kita, atau dalam rasa lega di tengah masalah yang semula terasa begitu berat, seolah ada tangan tak terlihat yang membantu kita.

Pun halnya saya. Saya tidak pernah mengklaim diri saya baik atau pemurah, tapi ada satu peristiwa yang bagi saya terasa sangat ajaib, yang membuat saya yakin bahwa Allah hadir membantu saat saya mengalami kesulitan. Beberapa tahun lalu, saat saya masih tinggal bersama mertua, kebetulan rumah mereka berdekatan dengan masjid. Sejak saya tinggal di sana, setiap hari selalu saya sempatkan untuk memasukkan infaq ke dalam kotak amal, dengan jumlah yang random.

Saat saya sedang mengandung Alea, ketika hendak mengambil wudhu untuk salat tahajud, saya mendapati sesuatu yang tidak saya harapkan—saya mengalami pendarahan hebat, dan ketuban saya pecah sebelum waktu kelahiran tiba. Saya dan suami tahu bahwa saya harus kembali melahirkan melalui operasi sesar karena placenta previa. Di tengah malam, dengan kondisi semendadak itu, tentu bukan hal bagi kami untuk menjadwalkan operasi, apalagi mencari kamar di rumah sakit pemerintah.

Selang 8 jam kemudian, saya ditangani oleh tim dokter Rumah Sakit Pasar Rebo, dan operasi sesar pun berjalan dengan lancar. Saya dipindahkan menuju ke ruang pemuliha, di mana di sana saya berkumpul dengan para ibu pascamelahirkan, sebelum menuju ke kamar perawatan masing-masing. Suami saya masih sibuk mencari kamar yang memungkinkan saya bisa rooming-in dengan bayi kami, dan semua kamar terisi penuh. Entah dari mana pertolongan itu datang, yang sebelumnya semua kamar dinyatakan penuh tiba-tiba ada kamar Kelas 1 yang tersedia, dan saya bisa langsung menempatinya tanpa proses berbelit. Ah, rasanya Allah sedang menunjukkan kekuasaan dengan memudahkan segalanya di saat saya sangat membutuhkan-Nya. Bahkan, saya diiizinkan pulih jauh lebih cepat dibandingkan operasi caesar pertama saya pada 2008, yang membutuhkan dua minggu pemulihan—saat itu saya belum siap secara mental karena bayi pertama saya meninggal dalam kandungan.

Memberi bukan tentang berapa banyak yang kita lepaskan, melainkan tentang percaya bahwa ada sesuatu yang baik sedang menanti kita, ada pintu-pintu rezeki dan kebahagiaan yang terbuka yang sebelumnya tidak kita sadari ada. Tak peduli seberapa kecil bentuknya—waktu yang kita luangkan untuk mendengarkan, tenaga yang kita curahkan untuk membantu, atau harta yang kita sisihkan untuk berbagi—jangan pernah ragu untuk berbuat baik. Kebaikan tidak pernah pergi. Ia mungkin menempuh perjalanan panjang berliku-liku, melintasi banyak hati, dan menghidupkan banyak senyum sebelum akhirnya kembali kepada kita atau kepada mereka yang kita cintai. Tapi satu yang pasti, saat ia tiba, kebaikan selalu membawa kehangatan—entah berupa kebahagiaan, kemudahan, atau jawaban dari doa-doa yang pernah kita bisikkan dalam sunyi. Sebagaimana lingkaran yang sempurna, kebaikan akan selalu menemukan jalannya untuk kembali.

“Kebaikan itu tidak pernah salah alamat. Meski tak selalu langsung kembali, ia selalu menemukan jalan terbaik untuk menjelma menjadi kebaikan-kebaikan lain untuk pemberinya.”

Continue Reading

Pulang Ke Panggung Tari

Pada Agustus 2024, saya mendapatkan kesempatan istimewa untuk tampil dalam acara Pelepasan PNS Purnatugas Kementerian Sekretariat Negara—acara tahunan yang biasanya sayalah yang menjadi MC-nya. Namun, tahun ini ada yang berbeda. Alih-alih menjadi MC, saya justru memutuskan untuk tampil sebagai pengisi acara, sebuah perubahan yang sangat signifikan, ya.

Ada cerita unik di balik keputusan menari itu saya diambil. Sejujurnya, saya sempat ragu. Sudah puluhan tahun saya meninggalkan panggung tari, apa iya saya masih bisa menari? Apa iya gerakannya masih luwes? Selama ini teman-teman hanya mendengar cerita saya tentang masa lalu sebagai penari, tanpa adanya bukti konkret yang bisa mereka lihat di masa sekarang, sehingga klaim saya tersebut hingga saat ini belumlah akurat.

Sejak usia 8 tahun, saya bergabung dengan sebuah sanggar tari di Malang, di mana saya ditempa untuk dapat menguasai tari Jawa klasik dan kreasi baru oleh Bapak Alm. Pompong Supardjo, seorang budayawan dan pelatih tari asal Singosari, Kabupaten Malang. Setiap semester, kami mengikuti ujian kenaikan tingkat di depan para penguji di Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya. Kebetulan, beliau juga merupakan teman mama saya ketika masih aktif di Wilwatikta. Dulu, saat mama masih remaja, mama saya seorang penari, sementara Pak Pompong menjadi pengendang (pengrawit) dalam pertunjukan wayang orang dan sendratari kolosal Ramayana, serta berbagai tarian kolosal lainnya yang digelar di taman terbuka (amphiteater) Taman Tjandra Wilwatikta, Pandaan, Jawa Timur.

Jauh sebelum acara tiba, teman-teman dan atasan saya juga sempat meragukan, “Serius, kamu bisa menari?” Ada yang bertanya, “Memang kamu penari, Dev? Kapan latihannya?” hingga ada yang berseloroh, “Jangan becanda lho, Devi!” Mendengar semua itu saya cuma bisa tertawa. “Jadi, menari itu sebenarnya satu-satunya bakat yang belum sempat saya tunjukkan sejak lulus kuliah dan mulai bekerja, apalagi sejak di Setneg. Lucunya, belum sempat saya unjukkan, justru bakat baru seperti MC yang ditemukan oleh Pak Cecep (mantan Deputi Bidang Administrasi Aparatur). Menari, entah kenapa, masih belum ada kesempatan.”

Akhirnya, dengan mantap, saya putuskan untuk menari, dan pilihan saya jatuh pada Tari Punjari  dari Banyuwangi. Bagi saya, Tari Punjari lebih dari sekadar tarian, lebih dari itu, ia membawa saya ‘pulang’ ke masa lalu, ke masa-masa di mana saya masih aktif menari. Kembali ke panggung tari, bukan sekadar membawakan koreografi tarian, juga tentang bagaimana menunjukkan pada diri sendiri bahwa ada bagian dari diri yang masih hidup—sesuatu yang lebih personal dan mendalam.

Tari Punjari adalah tari kreasi baru pertama yang berhasil saya kuasai dengan baik, yang lalu menjadi tonggak keberanian saya untuk tampil di panggung, dan berhasil meraih kemenangan di berbagai kompetisi, tampil di berbagai acara. Dan uniknya, karena saking seringnya saya membawakan tari Punjari, mendapatkan julukan “Devi Punjari”.

Tari Punjari sendiri merupakan karya dari Bapak Sayun Sisiyanto, seorang budayawan Banyuwangi yang begitu berjasa dalam melestarikan seni dan budaya daerah. Tarian ini, tersohor sekitar tahun 1990-an, yang memadukan seni jaran (kuda lumping) dan seni angklung.

Kembali membawakannya setelah vakum menari selama bertahun-tahun tentu bukan hal mudah. Detail gerakan yang dulu terasa begitu mudah dan otomatis kini terasa seperti teka-teki yang harus dirangkai ulang. Selama dua bulan penuh saya berlatih secara mandiri melalui Youtube, mengulang gerakan demi gerakan, dan menghidupkan kembali detail-detail kecil yang dulu merupakan ciri khas saya. Yang menarik, seiring waktu, Tari Punjari telah mengalami banyak modifikasi dalam gerakannya. Namun, untuk pertunjukan kali ini, saya memilih versi yang mendekati orisinal—sebagai penghormatan pada karya Bapak Sayun Sisiyanto dan akar budaya Banyuwangi.

Saat hari pertunjukan tiba, perasaan saya campur aduk—gugup, haru, dan juga bangga. Begitu musik mulai mengalun, saya membiarkan tubuh saya yang ‘berbicara’. Di atas panggung, wiraga, wirama, dan wirasa menyatu dengan sendirinya. Nyatanya, tarian ini memang lebih dari sekadar gerakan fisik. Lebih jauh, Tari Punjari adalah perjalanan waktudi mana saya kembali bertemu dengan diri saya yang dulu— seorang anak kecil yang berjuang mengatasi rasa takut dan ketidakpercayaan diri di atas panggung, yang akhirnya berkembang menjadi sosok yang sebaliknya, dan siap bersaing dalam kompetisi.

Tapi kali ini, saya menari dengan rasa syukur dan bangga, bahwa perjalanan itu telah membawa saya sejauh ini. Kembali menari menjadi pengingat yang manis bahwa setiap langkah yang pernah kita ambil selalu punya cerita yang layak untuk dirayakan.

Continue Reading

Trauma

“Halo, selamat datang kembali di dunia nyata!”

Dulu, saya pernah mengklaim bahwa saya tidak punya trauma. Semua hal bisa saya atasi tanpa menimbulkan trauma. Tapi nyatanya, saya justru punya trauma sampai sekarang.

Beberapa tahun yang lalu, ketika masih bekerja di satu perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia, kami para customer service officers dan back office officers mengikuti training soft skills di sebuah hotel di Jakarta. Rasanya seperti reuni, karena kami bertemu kembali dengan teman-teman dari beberapa kota berbeda, saling bercerita bagaimana implementasi ilmu dan teori yang diberikan pada training-training sebelumnya, bagaimana pengalaman di lapangan, dan sebagainya. 

Long story short, di malam keempat training, setelah makan malam, teman-teman sepakat berkumpul di kamar saya, mengobrol panjang hingga larut malam dengan berbagai topik yang random. Saking asiknya ngobrol, kami baru beristirahat sekitar pukul 2 pagi. Padahal sejujurnya saya bukan orang yang betah ngobrol sampai larut malam karena jam tidur saya maksimal pukul 22.00. Tapi mungkin waktu itu saking serunya ya, sehingga tak terasa waktu beranjak dini hari.

Keesokan paginya, meskipun lelah, kami tetap bangun pagi untuk salat subuh dan bersiap menjalani agenda hari itu. Topik pelatihan pagi itu adalah tentang bagaiamana cara menjaga kesehatan. Kami bukan hanya akan menyimak paparan dari narasumber saja, karena di sesi berikutnya kami akan diajak untuk bergerak dengan senam aerobik, dan selanjutnya akan ditutup dengan sesi yoga. Itulah mengapa dress code kami hari itu baju olah raga. Seru ya, kan?

Tidak seperti biasanya, pagi itu saya sarapan nasi goreng dengan porsi yang cukup besar layaknya porsi makan siang. Entah karena memang nasi gorengnya enak atau entah lapar, saya makan dengan lahap, mungkin sambil mengira energi yang besar akan membantu menghadapi hari yang sibuk.

Sebagai orang yang tidak pernah makan dalam porsi besar saat sarapan, lalu mendadak makan besar, tentu membuat metabolisme badan saya agak kaget, ya. Tak ayal, saat berada di kelas materi, rasa kantuk pelahan mulai menerpa. Beberapa kali saya menguap meski pemateri dan paparan materinya sangat menarik. Meski berusaha fokus namun rasa kantuk sepertinya enggan berkompromi. Beruntung saya tidak tertidur di meja saat menyimak paparan. Setelah satu jam berjuang menyimak paparan, akhirnya kita semua diajak untuk bergerak dengan energik di sesi senam aerobik. Pfiuh! Semangat! Semangat! 

Lagi-lagi, sebagai orang yang tidak pernah berolah raga, begitu selesai sesi senam aerobik, nafas saya habis, badan juga rasanya lelah sekali. Tapi tak apalah, yang penting berbagai gerakan aerobik tadi bisa membakar lemak-lemak nasi goreng tadi pagi, pikir saya.

Akhirnya sesi yoga yang ditunggu-tunggu pun tiba. Seorang instruktur yoga telah siap mendampingi dan memandu kami melakukan beberapa gerakan yoga di atas matras. Beberapa gerakan yoga berhasil kami lalui dengan baik, hingga akhirnya tibalah pada pose Savasana, dalam bahasa Sanskerta berarti posisi mayat (corpse pose), merupakan posisi istirahat terakhir dari sebagian besar rutinitas yoga, yang dimaksudkan untuk merilekskan pikiran dan tubuh ke dalam relaksasi yang dalam. Kondisi istirahat ini memungkinkan seluruh tubuh kita menyesuaikan diri dan mengintegrasikan manfaat dari gerakan yoga sebelumnya. Instruktur kami meredupkan lampu di ruangan, menciptakan suasana tenang seperti sedang di alam terbuka dengan menambahkan audio gemerisik daun, gemericik air, dan kicauan burung, agar kami bisa merasa sangat rileks.

Mungkin saya adalah peserta yoga yang paling selaras dengan tujuan Savasana, yaitu merilekskan pikiran dan tubuh hingga mencapai relaksasi yang mendalam, karena pada praktiknya bukan hanya tubuh dan pikiran saja yang rileks, tapi saya saking rileksnya lahir batin, jiwa raga, saya pun tertidur pulas tanpa disadari. Entah berapa lama saya tertidur di kelas yoga, tetapi ketika tersadar, untuk menutupi rasa malu, saya segera menyesuaikan gerakan yoga yang dilakukan oleh teman-teman saya, termasuk tepuk tangan.

Teman-teman yang melihat saya sudah ‘siuman’ langsung bertepuk tangan dan menggoda dengan sapaan, “Halo, selamat datang kembali di dunia nyata.” Duh, andai saja saya bisa menyembunyikan wajah saya saat itu, saya akan sembunyikan untuk sementara waktu, kalau sudah tidak malu akan saya pasang lagi. Namun nyatanya saya hanya bisa tersenyum kecut, menerima kekonyolan saya saat itu.

Mungkin karena sudah belasan tahun berselang ya, jadi saya bisa menceritakannya kembali sambil menertawakan diri sendiri. Tapi jangan ditanya betapa malunya saya saat itu, karena ternyata semua teman telah berusaha membangunkan saya tapi saya tidak merespon sama sekali. Bahkan, instruktur yoga pun mencoba membangunkan dengan menarik ibu jari kaki saya, namun saya tetap bergeming. Apa daya, rasa kantuk tampaknya lebih kuat daripada kesadaran saya. Instruktur yoga sempat mengatakan begini, “Di antara semua peserta di kelas ini, yang sesi yoganya paling berhasil adalah Mbak Devi, karena rileks sekali ya, Mbak. Mari kita berikan tepuk tangan!”

Sejak saat itu, saya trauma sarapan berat sebelum beraktivitas. Sampai sekarang, saya memilih hanya sarapan kudapan ringan atau minum teh atau kopi untuk menghindari kejadian serupa berulang, siapa tahu dalam versi yang berbeda. 

– devieriana –

Continue Reading

PDA: Romansa di Tengah Publik

Di tengah perjalanan sebuah bus Transjakarta yang melaju dari arah Kota Tua menuju ke Balai Kota, naiklah sepasang anak muda yang sejak naik hingga turun mereka duduk bersebelahan, dan saling bergandengan tangan. Selama perjalanan, mereka beberapa kali saling melakukan hal-hal kecil kepada pasangannya satu sama lain. Mengusap/mencium pipi, membelai rambut, membetulkan kerah baju, meletakkan tangan di paha pasangan, berbisik mesra lalu terbahak, dan berpelukan, semuanya dilakukan di ruang publik di dalam transportasi umum, Transjakarta. Anyway, jarak perjalanan yang ditempuh keduanya hingga sampai di pemberhentian terakhir lumayan jauh, kan? Jadi, bagi penumpang yang duduk berhadapan dengan mereka, sepertinya lebih baik pindah ke Mars, deh.

Seiring dengan perkembangan teknologi, kemesraan bukan hanya bisa dilihat secara langsung, tetapi juga dapat dilihat melalui media sosial. PDA bisa terjadi di mana saja: di taman, pusat perbelanjaan, transportasi umum, bahkan di tempat kerja. Seperti misalnya di platform media sosial Instagram, ada akun Instagram milik sepasang selebgram muda yang aktif membagikan konten kemesraan mereka di antara konten-konten kajian keagamaan. Walaupun banyak komentar yang memuji mereka dengan kata-kata seperti “ih, lucu deh kalian”, “mesra banget”, “uwuu..,” “duh, kita mah cuman bisa nyengir aja” dan berharap untuk menemukan pasangan seperti mereka, namun di dunia maya, respon yang diterima tidak selalu positif.

“Mempertontonkan kemesraan di depan publik, hmm, kok agak gimana, ya?”

“Menurutku, meskipun mereka pasangan yang sah, sebaiknya kemesraan tidak terlalu diumbar, apalagi diunggah ke media sosial. Tidak semua orang merasa bahagia seperti mereka, dan khawatirnya malah menimbulkan ain. Ini cuma pendapatku saja, ya. Maaf kalau ada yang nggak setuju.”

“Haduh, ya udah sih biar aja. Pasangan-pasangan mereka sendiri kok kalian yang ribet! Kalau nggak suka, unfollow aja..”

Public Display of Affection (PDA) atau menunjukkan kasih sayang di tempat umum sering kali menjadi perdebatan hangat. Ada yang melihatnya sebagai bentuk cinta yang romantis, sementara lainnya merasa terganggu, tidak nyaman dengan hal tersebut. Menurut Wikipedia, pamer kemesraan atau umbar kemesraan adalah perbuatan mempertunjukkan kemesraan di depan umum, yang biasanya dilakukan oleh pasangan, seperti pacar atau pasutri.

Banyak pasangan memilih untuk menunjukkan perasaan mereka kepada publik melalui PDA. Tidak ada yang tahu secara pasti tentang maksud dan tujuan orang yang melakukan PDA. Mungkin mereka berharap gestur-gestur berpegangan tangan atau berpelukan di tempat umum dapat menunjukkan kedekatan mereka kepada orang lain. Atau malah justru sebaliknya, untuk menyembunyikan ketidakamanan dalam hubungan mereka? Lebih dari sekadar mengekspresikan kasih sayang, PDA juga tentang menunjukkan komitmen mereka di hadapan orang lain.

Masing-masing individu memiliki preferensi yang beragam dalam mengekspresikan kemesraan di depan publik. Ada yang senang memperlihatkan kasih sayang kepada pasangan mereka secara terbuka, tetapi banyak juga yang lebih suka menjaga privasi dengan tidak menunjukkan kemesraan di depan orang lain. Hal ini sering dipengaruhi oleh latar belakang pribadi, budaya keluarga, atau norma sosial yang mereka anut.

Di negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Kanada, dan sebagian besar Eropa, Public Display of Affection (PDA) sering kali dianggap sebagai hal yang lumrah dan diterima secara sosial. Namun, di beberapa negara Asia dan Timur Tengah, PDA sering kali dianggap tidak pantas atau bahkan dianggap tabu. Dalam media dan budaya populer, PDA sering digambarkan sebagai sesuatu yang romantis dan diidamkan. Film, acara TV, dan musik memiliki pengaruh besar dalam cara orang mengekspresikan perasaan cinta mereka.

Kontroversi seputar PDA melibatkan berbagai isu, tidak semua orang merasa nyaman melihat PDA, terutama jika dianggap terlalu intim. Adanya perbedaan generasi juga memengaruhi, di mana generasi yang lebih tua mungkin kurang mendukung PDA karena norma sosial pada masa lalu berbeda dengan generasi muda saat ini. Perbedaan pendapat juga muncul karena setiap individu memiliki toleransi yang berbeda terhadap kemesraan di depan umum. Isu lainnya termasuk pendapat bahwa PDA sebaiknya dibatasi untuk menjaga kesopanan di tempat umum. Namun pembatasan PDA di beberapa tempat ini mengundang pertanyaan tentang seberapa jauh norma sosial dapat membatasi kebebasan individu. Oleh karena itu, penting bagi mereka yang suka melakukan PDA untuk mempertimbangkan situasi/konteks, lokasi, serta menghormati respons dan norma budaya setempat.

Jadi, walaupun PDA bisa dianggap sebagai bentuk ekspresi cinta yang berbeda-beda maknanya bagi setiap orang dan budaya, yang terpenting adalah bagaimana kita menemukan keseimbangan antara ingin mengekspresikan kasih sayang dan tetap menjaga kenyamanan serta kesopanan di tempat umum. Hal ini penting agar kita menciptakan lingkungan yang menghargai keragaman dan saling menghormati.

— devieriana —

Ilustrasi gambar dipinjam dari sini

Continue Reading

Verba Volant, Scripta Manent

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” — Pramoedya Ananta Toer

Setelah vakum beberapa tahun lamanya, akhirnya saya mengobati kerinduan saya aktif menulis kembali. Seperti biasa, topik tulisan saya random. Topik kejadian keseharian, review film, psikologi, parenting, pekerjaan, dan sebagainya. Banyak teori yang bilang kalau menulis di blog harus ada temanya supaya ada audiens yang secara khusus tertarget, misalnya blog yang khusus me-review tentang kecantikan, gadget, atau kuliner. Tapi menurut saya menulis tema random tentang keseharian juga memiliki daya tarik tersendiri. Menulis dengan tema random bagi saya memberikan kebebasan untuk menulis apa pun yang kita suka yang mencerminkan kehidupan sehari-hari atau berbagai minat kita saat itu.

Beberapa teman baru, yang mungkin baru mengenal saya bertanya, “Kak Devi ternyata masih suka nulis, ya? Kenapa, Kak? Kan sekarang zamannya udah zaman visual, orang lebih tertarik nonton konten video ketimbang tulisan.” Saya sudah suka menulis sejak SD. Sepertinya ada saja hasil ‘tulisan’ yang saya buat waktu itu, misalnya tiba-tiba membuat tulisan fiksi anak-anak, cerita legenda, atau komik ala-ala. Pelajaran bahasa Indonesia juga menjadi salah satu pelajaran favorit saya, karena ada sesi mengarang indah. Dulu saya juga punya cara kerja yang unik dalam membuat tulisan/karangan. Kalau teman lain membuat kerangkanya dulu baru menulis, saya justru sebaliknya. Saya buat karangannya dulu, baru saya buat kerangka karangan sebagai pelengkap. Sejak kecil pula saya suka mencari kosakata-kosakata baru yang kurang lazim digunakan. Masih ingat, dulu karena sering membaca surat kabar, saya menemukan kata ‘oknum’. Dengan bangga saya gunakan kata itu dalam tugas mengarang  pada pelajaran bahasa Indonesia. Tapi karena tidak sesuai dengan tema tugas waktu itu, sehingga kata itu justru dicoret oleh guru. Tak apa, yang penting sudah sempat memakainya.

Bukan hanya itu, konten blog lebih mudah diakses dan ditemukan dalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan dengan postingan media sosial yang cepat berlalu. Ketika seseorang menulis di blog, tulisan tersebut memungkinkan untuk diindeks oleh mesin pencari seperti Google, sehingga orang lain dapat menemukan tulisan tersebut bertahun-tahun setelah dipublikasikan. Hal ini tentu sedikit berbeda dengan postingan di media sosial yang cenderung tenggelam dalam lautan konten baru yang terus bermunculan setiap detiknya. Blog juga memberikan fleksibilitas yang lebih besar dalam menyusun dan menyampaikan informasi. Kita dapat membuat artikel yang panjang dan mendalam, menyertakan berbagai jenis media seperti gambar, video, dan infografis, serta mengelompokkan tulisan-tulisan tersebut ke dalam kategori yang memudahkan navigasi bagi pembaca. Jadi, sebenarnya menulis di blog telah lama menjadi salah satu cara paling populer untuk berbagi informasi, pengalaman, dan pemikiran dengan audiens yang lebih luas.

Bagi saya pribadi, blog ini dapat dianggap sebagai tempat penyimpanan digital memori saya, seperti ruang virtual di mana saya dapat dengan bebas menuangkan pikiran dan berefleksi. Blog ini menjadi tempat perlindungan, rumah pikiran, sebuah tempat yang tenang di tengah hiruk pikuk kehidupan sehari-hari. Lebih jauh blog ini juga berfungsi sebagai portofolio yang menampilkan perkembangan saya sebagai penulis yang sedang berkembang.

Semua hal ini sejalan dengan pepatah Latin yang mengatakan “Verba volant, scripta manent”, yang berarti kata-kata yang terucap akan terbang pergi, tetapi kata-kata yang tertulis akan tetap abadi. Dalam era digital, pepatah ini mengingatkan kita akan pentingnya menyimpan informasi secara tertulis. Verba volant, scripta manent menekankan adanya kekuatan dan kekekalan kata-kata tertulis dibandingkan dengan yang terucap. Kata-kata yang tertulis memiliki daya tahan yang luar biasa, memungkinkan pemikiran dan ide untuk hidup lebih lama daripada ucapan yang segera dilupakan. Inilah yang membuat aktivitas menulis di blog bukan hanya relevan di masa lalu, dan kini saja, namun juga memberikan dapat kontribusi jangka panjang bagi dunia pengetahuan dan budaya jika dibutuhkan.

— Devieriana —

Continue Reading
1 2 3 57