Marah di Socmed?

emoticon

Twitter, Facebook, Path, Instagram. Atau sebut saja semua nama situs pertemanan yang ada; sengaja dibuat agar komunikasi antarpersonal menjadi jauh lebih mudah. Salah satu persamaan situs-situs tersebut adalah adanya fasilitas bagi para penggunanya untuk menuliskan apapun yang mereka lihat, rasakan, dengar, dan lakukan ke dalam sebuah kolom khusus untuk up date status, di mana mereka bisa saling berinteraksi dan langsung mendapatkan respon balik dari pemilik akun lainnya.

Keberadaan social media membuat up date status menjadi bagian dari gaya hidup. Hampir semua kegiatan bisa jadi bahan untuk up date status. Saat jatuh cinta, up date status. Kangen, up date status. Galau, up date status. Marah, up date status. Meeting, up date status. Lagi ngopi-ngopi cantik atau makan-makan di tempat tertentu, up date status. Bahkan sampai lapar dan kebelet ke belakang pun sempat-sempatnya up date status. Luar biasa sekali penemu ide kolom up date status ini! 😆 Karena kebetulan memang sebelumnya mungkin belum terbersit dalam pikiran kita metode apa yang kira-kira bisa mengeluarkan apa yang dipikirkan secara cepat dan mudah… :mrgreen:

Bak pisau bermata dua, keberadaan social media ini punya sisi positif sekaligus negatif. Ketika social media digunakan untuk berbagi hal-hal yang positif, dia akan memberikan manfaat bagi para penggunanya; tapi sebaliknya, ketika social media digunakan untuk hal-hal yang negatif tentu efeknya akan mengikuti.

Saya pibadi, sejak awal membuat akun di social media memang sengaja cuma untuk berbagi hal-hal yang menyenangkan saja; tidak ingin menuliskan status bernada kemarahan atau galau. Bukan apa-apa, sayanya yang malu :mrgreen:. Lebih sering meng-update status lucu ketimbang status yang serius. Pernah sih sesekali memosting hal-hal serius kalau memang diperlukan.

Sebagai pengguna social media tentu tak asing dengan berbagai status yang berhamburan di timeline socmed kita. Tidak melulu hal-hal yang positif/lucu, tapi pasti juga status-status kemarahan dan emosi. Berbeda dengan galau yang kadang masih saya maklumi, lebih sering bertanya-tanya mengapa seseorang harus menuliskan kemarahan dan caci maki di social media? Kalau memang punya masalah dengan seseorang kenapa tidak diselesaikan saja melalui media yang lebih pribadi, bukan di media terbuka seperti Twitter, Facebook, atau Path? Talk in person.

Social media bisa menjadi alat yang hebat jika digunakan secara benar dan produktif. Tapi kalau kita justru menghabiskan terlalu banyak waktu di sana, sama saja kita mengisolasi diri sendiri. Salah satu trainer saya pernah bilang,

“sekarang ini kita terlalu dikerdilkan oleh sebuah alat bernama gadget. Bahkan ketika berkumpul bersama pun yang terlihat adalah orang-orang yang asyik menekuri gadget masing-masing.”

Iya juga sih. Seringkali menghadapi sebuah situasi di mana beberapa orang sedang berkumpul tapi wajahnya pada menunduk terkonsentrasi ke gadget masing-masing. Bahkan saya sendiri pernah ada di sebuah meet up tapi malah asyik mention-mention-an sama peserta meet up yang lain 😆

Sering berlintasan di kepala saya ketika melihat seseorang yang menulis status marah-marah di social media:

“Apa sih menariknya melihat tulisan capslock berbalas capslock? Apa bagusnya sih memarahi orang lain di social media? Apakah ingin menunjukkan kalau pemilik akun lebih superior, sementara yang lain lebih subordinat?”

Di manapun itu, ketika seseorang dalam kondisi sedang marah, mereka cenderung sulit untuk berpikir secara logis karena dikuasai oleh emosi. Di situlah bahayanya sebuah media komunikasi instan ketika berada di dalam genggaman seseorang yang sedang marah dan lepas kontrol.

Sama seperti lainnya, saya pun pernah mengalami hal-hal menjengkelkan. Tapi ketika saya ingin memosting ’emosi’ saya ke social media, selalu terjadi dialog dengan diri saya sendiri. Apa iya saya benar-benar menginginkan emosi, kemarahan, dan konflik saya dengan orang lain itu layak ‘dipertontonkan’ di depan umum? Atau, perlukah seluruh follower dan orang-orang yang ada di friend list saya tahu kegalauan saya? Is it worth the energy? Kalau ternyata jawabannya ternyata lebih banyak tidaknya, ya berarti mungkin memang tidak perlu.

Obrolan di BBM, sms, atau chat di media lainnya pun sebenarnya berpotensi menimbulkan kesalahpahaman. Tidak semua orang punya kemampuan yang bagus dalam berkomunikasi, menerjemahkan apa yang dimaksud ke dalam bahasa tulis, sekaligus memilih diksi yang tepat agar mudah dipahami oleh lawan bicara. Sebaliknya, tidak semua orang punya kemampuan yang cepat dalam memahami maksud kita. Karena ketika dikomunikasikan ke dalam bahasa tulis, seringkali isyarat verbal dan non-verbal menjadi ‘hilang’ esensinya. Itulah mengapa saya sebenarnya lebih memilih bertemu langsung atau menelepon yang bersangkutan untuk menjelaskan apa maksud saya supaya tidak terjadi kesalahpahaman yang berlarut-larut.

Kebanyakan kita menggunakan social media untuk berjejaring, menambah teman, dan untuk tujuan positif lainnya, kan? Kalau kita lebih sering memosting status-status bernada kemarahan, apa iya memang itu ‘pesan’ yang ingin kita sampaikan kepada teman, kolega, dan follower kita; bahwa kita adalah seorang hot headed? Is this the message that you really want to deliver?

Think again 😉

[devieriana]

sumber ilustrasi dari sini

Continue Reading

Welcome, supershort haircut!

hair-cutSebenarnya sudah lama saya ingin punya rambut pendek lagi pascamenikah. Dulu, rambut saya hampir selalu pendek; kurang lebih seperti rambut Demi Moore di film Ghost. Rasanya lebih ringan dan cenderung nggak ribet kalau punya rambut segitu. Nggak perlu waktu lama untuk menata rambut, bahkan disisir pakai tangan saja rasanya sudah terlihat stylish. Dasar pemalas! :mrgreen:

Terakhir punya rambut cepak sekitar tahun 2007, setelah itu selalu ‘gondrong’; paling pendek sepanjang bahu, itu pun kalau ingin potong rambut lebih pendek lagi izinnya akan lebih ribet daripada pengurusan KTP. Jadi ya sudahlah daripada urusannya panjang, mendingan sementara saya pendam dalam-dalam keinginan saya untuk berambut cepak lagi. Karena toh rambut panjang pun masih bisa dibikin stylish dengan model curly di ujungnya, diluruskan, diikat/kepang, dibikin pony tail, digelung, dll; hibur saya dalam hati. Jadi, begitulah gaya rambut panjang saya dalam beberapa tahun terakhir ini.

Setiap kali melihat perempuan berambut pendek, rasanya gatal ingin potong rambut segitu juga. Tapi kalau melihat sudah sepanjang apa rambut yang saya punya kok jadi agak sayang ya. Rambut saya jarang dipotong, pergi ke salon cuma untuk keperluan treatment atau sekadar merapikan model potongannya saja. Kebayang kan seberapa panjang rambut yang saya punya? Iya, panjang banget! *lebay* . Nggak ding, kurang lebih sepingganglah kalau dicatok lurus 😆 Pertimbangan lainnya mengapa saya begitu ‘ngidam’ punya rambut pendek, karena rambut saya mulai banyak yang rontok. Beruntung saya memiliki helaian rambut yang tebal, jadi serontok-rontoknya rambut saya masih terlihat banyak dan megar. Padahal kalau sedang menyisir ya lumayan merasa ngenes juga melihat jumlah helai rambut yang rontok dari kulit kepala saya :(.

Nah, entah ada angin apa, tiba-tiba saya mendapat izin untuk potong rambut. Yaaaay! Mungkin dia lama-lama jengah juga tiap mendengar kata-kata saya ingin punya rambut pendek. Jadi ya sudahlah, terserah deh, rambut-rambut kamu ini. Yess! Kesempatan ini saya manfaatkan dengan maksimal. Akhirnya dengan kemantapan hati yang nyaris 1000% ditambah dengan rasa deg-degan yang lumayan lebay, saya melangkahkan kaki menuju ke salah satu salon di Pejaten Village, Jakarta Selatan.

Kenapa pakai deg-degan segala? Ya karena saya sudah terbiasa melihat diri sendiri dengan tampilan rambut panjang; dan dalam beberapa waktu ke depan saya harus siap melihat hal yang akan mengubah keseluruhan penampilan saya. Itu juga kalau hasilnya bagus, kalau ternyata kapsternya salah potong model rambut dan saya kembali berpenampilan seperti mbak-mbak Briptu seperti dulu, bagaimana? 😐

Setelah memutuskan di salon mana rambut saya akan ‘dibantai’, akhirnya di sinilah saya, duduk di kursi customer, siap untuk dieksekusi.

“Ok, ini rambutnya mau digimanain? | Dipotong pendek 😀 | Ok, seberapa pendek? *sambil memegang dan mengurai rambut saya yang masih tergelung pakai jepit rambut* | Hmm,  kalau sependek rambutnya Fenita Arie, bagus nggak? :mrgreen:  | What, serius? Bagus sih, tapi ini rambutnya panjang banget lho. Yakin mau dipotong sependek itu? 😮 | Iya 😀 | Baru kali ini nih saya dapat customer yang ditanya pengen potong rambut sependek apa dan dia yakin potongnya langsung pendek banget. Biasanya sih selalu ada kata-kata, “jangan pendek-pendek ya, Mas”. Kalau Mbak minta langsung cepak. Ya udah, tunggu sebentar, aku ambil karet gelang ya… :)”

Mas kapster itu mengambil karet gelang di meja receptionist, mengikat rambut saya, dan… “Kress! Kress! Kresss!”, suara gunting terdengar begitu dekat di telinga, memangkas rambut panjang saya.

“Ok, ini rambut Mbak. Mau dibawa pulang? | Oh, boleh ya? | Ya bolehlah, lagian di sini juga buat apa, nanti juga dibuang… | Yah, jangan dong kalau dibuang, ya udah deh, sini buat aku lagi! :lol:”

Selanjutnya, dia basahi rambut saya ala kadarnya dan dengan cekatan rambut saya pun ‘disulap’ sedemikian rupa tanpa banyak komentar kecuali, “rambutnya tebel juga ya…” Dalam hitungan tak kurang dari 15 menit penampilan rambut saya pun berubah.

Dengan perasaan excited saya mengacak-acak rambut yang baru saja selesai dipotong itu. Inilah model rambut yang saya saya inginkan selama beberapa tahun terakhir ini. Setelah melalui beberapa tahap ‘pengolahan’, tibalah pada saat finishing touch.

Voila!

devi short

Sepertinya mas kapster ini tahu betul apa yang saya mau. Tanpa perlu saya beri arahan tertentu, dia sudah langsung memberikan model rambut seperti yang saya inginkan 😀

Reaksi teman dan keluarga melihat saya berubah tatanan rambut tentu saja beragam, tapi sejauh ini masih positif, walaupun pertanyaan, “nggak sayang tuh rambut sepanjang itu dipotong jadi sependek itu?” selalu menyertai hampir di setiap komentar.

Entah apa komentar teman-teman kantor saya besok, karena kami belum bertemu sejak hari Sabtu; kan ada Senin ada cuti bersama menjelang Idul Adha :mrgreen:

So, welcome back my supershort haircut!

[devieriana]

 

ilustrasi dipinjam dari sini dan pribadi

Continue Reading

Balada Cincin Berlian

diamond ring

Di suatu siang, di tengah kesibukan saya menyelesaikan berkas yang menumpuk di meja, tiba-tiba smartphone saya berbunyi lirih. Sepintas terlihat nama seorang teman dari biro sebelah. Hmm, tumben dia bbm; biasanya jarang banget kalau nggak ada perlu/nanya sesuatu 😀

Teman: Hei, Mbak… Kamu suka cincin, nggak?

Saya: Hmm, suka… Aku suka pakai aksesoris-aksesoris gitu. Cincin apaan?

Teman: Nah, kalau gitu kebetulan banget dong, aku ada cincin berlian nih, Mbak. Mbak mau nggak? hehehe….

WHAT?! Siang-siang begini tiba-tiba ditawari cincin berlian? 😮

Saya: Bentar, bentar, kamu ini nanya, mau ngasih, apa mau jualan? :mrgreen:

Teman: Hihihihihik, mbak mau liat nggak? Ada sertifikatnya kok, Mbak….

Saya: Wah, jualan nih kayanya 😆

Teman: Kinda, Mbak :lol:. Ya, namanya nyoba bisnis kecil-kecilan, Mbak…

Saya: Kalau bisnis berlian aja disebut bisnis kecil-kecilan, gimana bisnis gede-gedeannya? Jual langsung di tambangnya kaya grosiran gitu? 😆

Teman: Cuma bantuin bisnisnya mertua aku, Mbak…

Saya: Kamu tuh, mbok ya kalau nawarin berlian itu ke ibu-ibu deputi, Bu Menteri, atau ibu-ibu pejabat lainnya gitu. Nawarin berlian kok ke staf Kepala Biro. Udah gitu nawarinnya nggak pakai kira-kira, yang paling gede pula berliannya 😆

Teman: Hahahahak, kemarin aja aku bawa 6 buah ke kantor, cuma sisa 1 yang paling besar dan paling bagus. Menurutku sih modelnya ok banget!

Saya: Laris amat? 😮 Emang harganya berapaan sih? Bisa dicicil lewat koperasi, nggak? :mrgreen:

Teman: Murah kali, Mbak. Dari mertua aku harganya 22,5 juta. Mbak mau ambil berapa? Buat mamanya Mbak juga gapapa, kok. Kemarin aku bawa cincinnya lengkap, tapi aku lupa mau nawarin ke Mbak 😀

Eh, buset dah ya, demi apa siang-siang begini ditawari cincin berlian seharga dua puluh dua setengah juta? Habis beli berlian trus saya harus puasa, gitu? 😮

Iseng saya cerita ke salah satu teman di kantor yang kebetulan mengurusi masalah simpan pinjam di kantor, beliau komentar,

“Kan kalau pinjaman yang kemarin di-approve masih ada kembaliannya tuh, Dev. Udah, beli aja! Cuma 22,5 juta ini! :mrgreen:”

Hih, kompor!

Lain lagi dengan komentar salah satu teman saya yang pecah tawanya seketika mendengar saya ditawari cincin berlian seharga 22,5 juta itu.

“Nah, berarti menurut dia kamu itu potential customer, Mbak….”

Oh, gitu ya? Jadi gimana? Perlu nge-print duit sekarang nggak nih?
😆

 

[devieriana]

 

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

Ekspresi(f)

expression

Pernah memperhatikan gaya dan ekspresi kita/orang lain sewaktu berbicara, nggak? Kalau saya sih selalu. Saya sering diam-diam memperhatikan lawan bicara saya ketika bicara atau menjelaskan sesuatu. Ternyata gayanya bermacam-macam; ada yang sangat ekspresif, biasa saja, tapi ada juga lempeng banget (nyaris tanpa ekspresi).

Saya termasuk orang yang cenderung ekspresif ketika berbicara, mungkin sudah settingannya seperti ini sejak kecil. Bukan hanya ketika ngobrol dengan sesama orang dewasa saja, tapi ke anak-anak kecil pun gayanya juga sama. Di rumah sering ada anak-anak kecil, entah keponakan atau anak tetangga. Kalau sedang bermain/ngobrol/membacakan buku dongeng saya sering berekspresi aneh-aneh menyesuaikan tema obrolan/cerita saat itu. Mereka sontak menatap saya sambil terlongong-longong. Tapi begitu saya selesai bicara mereka seperti tersenyum lega. Entah lega karena saya akhirnya selesai bicara, atau ada yang lucu dengan kata-kata atau ekspresi saya. Semoga mereka nggak menganggap saya aneh, ya…

Kurang lega rasanya kalau menceritakan sesuatu secara lurus-lurus saja, tanpa ada penekanan kata, ekspresi, dan gerakan tangan. Bahkan untuk menyatakan kata ‘jauh’ atau ‘banyak’ saja rasanya kurang mantap kalau cuma bilang, “rumahnya jauh banget’. Jadi harus ditekankan lagi “rumahnya tuh, gila… jauhhhh banget!”. Itu untuk menggambarkan waktu tempuh yang berjam-jam dan jarak tempuh yang berkilo-kilometer jauhnya. Pun halnya dengan menceritakan jumlah; kalau sekadar bilang ‘banyak’ atau ‘sedikit’ tanpa ada penekanan kata rasanya belum lega. Itu belum dengan gerakan tangan yang ke mana-mana, ekspresi wajah yang sedemikian rupa, dan masih harus ditambah dengan pembedaan warna suara dan ekspresi kalau sedang bercerita tentang karakter orang lain. Heboh, ya? Iya! 😆

Sebaliknya, saya punya teman yang kalau bercerita ekspresi mukanya datar saja. Untuk menggambarkan rumah yang jauh tidak ada pembedaaan antara jarak yang cukup jauh dan jauh banget. Pun untuk menggambarkan perasaan sedih, senang, gembira, dan takut, cuma ada satu level ekspresi. Lempeng banget.

“Aku kemarin abis kecopetan di bus dong, Dev”

Kok pakai ‘dong’, ya? Kesannya abis kecopetan kok sombong amat? :mrgreen:

“Hwaaa… trus, trus?”

“Ya udah, mau gimana lagi? Aku lagi lengah, kali”

“Yah, kasian :(. Trus?”

“Ya sedih sih, tapi mau gimana lagi, namanya juga musibah. Pelajaran, harus lebih hati-hati lagi. Habis ini mau ke kantor polisi, mau bikin surat kehilangan”

Semua itu diceritakan dalam nada dan ekspresi yang datar, lurus, dan biasa saja. Kalau diibaratkan dengan handphone, mungkin dia adalah sejenis HP monophonic. Tapi memang sejak dulu gaya berbicaranya setelannya sudah seperti itu sih. Dia memang bukan tipikal orang yang butuh ekspresi berlebihan ketika menceritakan sesuatu. Padahal kalau saya mungkin sudah sambil kayang dan salto segala.

Begitu juga ketika menjelaskan tentang rute menuju suatu tempat. Nggak ada tuh yang namanya tangan berbelok-belok, lurus, naik, turun, melebar/menyempit. Penggambaran lewat tangannya hanya berhenti di satu titik saja; di tengah. Entah itu mau lurus, belok kanan/kiri, naik, turun, posisi tangannya hanya bergerak di titik itu saja. Berbeda dengan saya yang kalau bercerita tentang rute menuju ke sebuah tempat bisa sambil saya gambar di udara/tanah. Berasa main dam-daman…

Seperti ketika saya menceritakan ulang tentang betapa ribetnya seorang penumpang pesawat di sebelah saya, yang sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Surabaya sibuk sendiri itu juga saya peragakan di depan teman-teman saya lho. Mulai dari dia mengeluarkan permen, mengeluarkan roti. Makan sebentar, lalu mengeluarkan buku. Benerin jilbab. Mengalungkan tas ke leher. Tasnya diilepas lagi lalu dipangku. Mengeluarkan obat batuk, dibuka tutupnya, nggak jadi diminum. Memasukkan lagi obat batuknya ke dalam tas. Memasukkan buku di saku tas belakang. Resleting tasnya ternyata nggak bisa ditutup, tas dibuka lagi, buku dikeluarkan, ditekuk jadi dua, ternyata tetap nggak bisa masuk. Buku dimasukkan ke dalam tas plastik. Diam sebentar, mengeluarkan permen, nawarin ke tetangga kiri/kanan, nggak ada yang mau, permen dimasukkan kembali ke dalam tas. Batuk-batuk, tutupin pakai syal. Buka tas lagi, mengeluarkan buku yang tadi, dan bermaksud untuk dibaca. Belum ada satu halaman sudah ngobrol sama teman di kursi sebelah. Lipat lagi bukunya… dst. Sampai akhirnya tiba di Surabaya..

“Liat kamu cerita kenapa aku jadi ikut capek ya, Dev…”

Ih, situ baru denger saya cerita aja capek. Gimana saya yang mengalami langsung.

Bagaimana dengan gaya bercerita/berkomunikasi kalian? Ekspresif, biasa saja, atau cenderung tanpa ekspresi? 😀

 

 

[devieriana]

 

ilustrasi dipinjam dari sini

 

Continue Reading