Egosystem itu Bernama Social Media

vintage-social-networking

“When little people are overwhelmed by big emotions, it’s our job to share our calm, not to join their chaos”
– L.R. Knost –

Sekian minggu lalu ranah sosial media diramaikan dengan bahasan selebgram bernama Karin Novilda alias Awkarin. Ketika bahasan tentang Pokemon sedang menjadi topik hangat, mendadak linimasa twitter saya ramai membahas Awkarin. Saya yang bukan pemerhati seleb sosial media langsung clueless, apakah Awkarin ini juga sejenis Pokemon?

Telusur punya telusur, ternyata sosok perempuan fotogenic ini sudah lama dikenal sebagai selebritas sosial media yang punya pengaruh kuat bagi para followers-nya. Awkarin juga representasi anak gaul instagram yang selalu memaksimalkan foto-foto di instagramnya sehingga terlihat keren. I have to admit she does it well. Awkarin juga merupakan fenomena generasi swag yang tengah banyak merebak sekarang. Swag? Iya, kalau menurut ‘kamus’-nya Justin Bieber, swag itu “its just about being yourself, you dont have to do anything special, just be yourself.” Jadi intinya menjadi diri sendiri.

Nah, kalau ada istilah ‘swag‘, ada pula istilah ‘swagger‘. Awkarin ini adalah swagger. Swagger artinya sosok yang dominan atau elite karena kelebihan yang dimilikinya. Seseorang menjadi swagger karena dia keren, punya rasa percaya diri yang tinggi, punya selera fashion yang bagus, serta punya karisma bagi para pengikutnya.

Bagi para followers-nya, Awkarin dianggap sebagai sosok anak muda idola, lengkap dengan gaya hidup yang free spirited, rebellious, gaya busana yang selalu up date, dan gayanya yang edgy (forefront of a trend; experimental or avant-garde), dan seterusnya, dan seterusnya (ngomong-ngomong soal gaya yang edgy, saya lebih setuju dengan gaya edgy-nya Evita Nuh). Oh ya, bukan itu saja, gaya pacaran Awkarin yang sedikit bablas pun dimasukkan sebagai bentuk relationship goals oleh para followers-nya. Intinya, segala yang dilakukan Awkarin di kanal sosial media adalah goals-nya anak muda. Jujur, saya merasa trenyuh, semudah itukah anak muda zaman sekarang mengidolakan seseorang hanya karena dia itu gaul, seksi, dan edgy (walaupun akhirnya arti kata edgy ala Awkarin itu akhirnya kabur dengan arti kata cabul)?

Anyway, sosok semacam Awkarin ini cuma ‘puncak gunung es’; di luar sana ada banyak sosok sejenis yang punya gaya hidup kurang lebih sama, hanya saja belum/tidak terekspos jadi viral di dunia maya. Apa yang terjadi dengan Awkarin juga bukan hal yang sama sekali baru. Di zaman saya remaja dulu, orang-orang semacam Awkarin ini sudah ada. Anak-anak gaul di masanya, dengan gaya pacaran yang bablas, penggunaan bahasa yang kasar dan ‘kurang beradab’, drama patah hati sampai ingin bunuh diri, dan seterusnya. Bedanya, zaman dulu belum ada sosial media sehingga tidak ada ajang untuk eksis dan pamer (termasuk memamerkan kebodohan sebagai anak muda). Bayangkan, kalau dari dulu sudah ada sosial media seperti sekarang, dan misalnya kita juga sama hebohnya dengan Awkarin, mengunggah segala macam aktivitas di sosial media, ada berapa banyak jejak-jejak kebodohan kehebohan dan aib yang sudah saya, kalian, atau kita umbar dengan ‘bangga’ di sosial media tanpa memikirkan efek yang akan timbul di masa depan. Karena perlu diingat bahwa sekali saja kita mengunggah sesuatu di ranah maya, dia akan selamanya ada. A cloud is not a thing of the sky anymore, its a place where we store data. Apa pun yang ada di online, akan permanen berada di situ, selamanya tidak akan hilang.

social-media1

Sosial media, lagi-lagi seperti pernah saya tulis di beberapa postingan sebelum ini, adalah pisau bermata dua; dia dapat menjadi sahabat penuh manfaat tapi juga bisa jadi musuh terjahat. Karena social media, selain sebagai media untuk mengekspresikan diri, juga berfungsi sebagai sneak peek atau penggalan hidup sang pengguna, di mana hal itu dapat menjadi indikator kepribadian, juga status sosial ekonominya.

Bagi anak muda zaman sekarang menjadi kaya dan terkenal secara instan menjadi salah satu tujuan membuat akun sosial media. Maka tak heran kalau anak-anak muda seusia Awkarin memiliki banyak akun sosial media. Beruntung bagi yang mampu mengelola akun sosial medianya dengan baik, menjadi selebriti di dunia maya bisa jadi panggung yang menguntungkan, karena tanpa harus bersusah payah mempopulerkan diri, mengikuti audisi, atau job interview, panggung mereka bisa ditonton oleh banyak orang dan dihadiahi dengan uang, barang, atau paket liburan, kurang lebih seperti Awkarin ini. Tapi bagi yang kurang bijak, ya sama seperti Awkarin juga efeknya, bukan hanya jadi viral, tapi juga jadi bulan-bulanan, dan hujatan oleh para netizen.

Segala label, pujian, embel-embel edgy, keren, gaul, itu punya masa kedaluwarsa. Akan ada saatnya kita menjalani hidup yang jauh lebih serius ketimbang mengejar popularitas, karena sesungguhnya label sosial media yang tersemat itu tidak pernah nyata. Seiring waktu, yang kita butuhkan akan jauh lebih complicated dari sekadar pelabelan, karena masa depan membutuhkan eksistensi kita secara lebih real. Time will fly so fast and those will be all gone.

Sesungguhnya dunia digital dan pernak-perniknya adalah hamparan luas bagi pembelajaran dan hiburan, pun halnya dengan sosial media yang bisa kita ibaratkan seperti mall yang tak terbatas. Di mall yang tak terbatas inilah anak-anak (muda) rentan terkena berbagai risiko, seperti cyber bullying, kecanduan teknologi, konten pornografi, kekerasan, radikalisasi, penipuan, dan pencurian data, yang semua itu akibat dari minimnya awareness.

Tapi kalau kita semena-mena menyalahkan sosial media kok rasanya kurang fair ya. Seperti ketika kasus Awkarin ini mengemuka, satu hal yang berputar dalam pikiran saya adalah ke mana ya orang tuanya? Atau, sebenarnya seberapa dekatkah hubungan Awkarin dengan keluarganya? Karena tidak semua orang salah gaul hanya karena kebanyakan bermain sosial media. Saya percaya bahwa pilar utama dan sumber pendidikan moral adalah keluarga. Jadi, sudah benar-benar hadirkah sosok orang tua dan keluarga Awkarin dalam kehidupan sehari-hari gadis belia ini? Tapi sebelum menghakimi, marilah pertanyaan itu juga kita hadirkan dalam perenungan kita sebagai orang tua atau orang yang sudah lebih dewasa secara usia, sikap, dan pemikiran.

Ada banyak orang tua yang masih memberlakukan pola pengasuhan yang sama persis, plek-ketiplek dengan masanya dulu. “Ah, dulu zaman Mama masih muda nggak ada tuh yang begini-begini”. “Harusnya kamu bisa kaya Mama waktu masih muda dulu, begini, begini, begini…”. Tanpa sadar, orang tua juga membandingkan masa muda mereka dengan anak-anaknya sekarang. Padahal jelas-jelas mereka hidup di zaman dan lingkungan generasi yang berbeda; yang secara otomatis pasti berbeda pula perlakuannya. Sebagai orang tua, kita wajib menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman di mana anak-anak kita tumbuh. Ada skill, kecerdasan, dan ilmu baru yang mau tidak mau harus kita kuasai sebagai orang tua anak zaman sekarang.

Sebagai orang tua yang tumbuh bersama para generasi Z dan generasi Alpha, yang konon adalah para generasi digital, ada baiknya perlu kita tekankan sejak dini kepada anak-anak, bahwa sekalipun teknologi dan sosial media itu bermanfaat, tetap harus ada kontrol diri untuk tetap menjaga privasi di ranah maya. Sejak dini mulai belajar memilah mana saja konten yang perlu/boleh diunggah, dan mana saja yang tidak perlu. Jangan biarkan anak kita menggali kuburnya sendiri di sosial media.

Most of all, selalu ada hal positif yang bisa kita ambil dari setiap kejadian. Selama ini kita mungkin sudah dianggap level mahir dalam bermain sosial media, tapi apakah kita sudah bijak menggunakannya? Mahir saja kalau tidak bijak juga percuma. Kalau saja kasus Awkarin ini tidak mengemuka, mungkin saja mata kita belum terbuka tentang pentingnya kehati-hatian dalam menggunakan sosial media, mungkin saja kita menganggap pergaulan anak-anak kita aman-aman saja, atau menganggap bahwa anak-anak kita sudah tercukupi kebutuhannya secara material tanpa tahu apakah secara afeksi dan perhatian mereka sudah merasa tercukupi, dan berbagai pertanyaan koreksi diri lainnya.

Semoga kita dan anak-anak kita tumbuh menjadi generasi yang bukan hanya melek secara teknologi dan mahir menggunakan sosial media, tapi juga bijak dalam memanfaatkan dunia digital dan berbagai afiliasinya.

 

[devieriana]

 

sumber ilustrasi: wronghands1

Continue Reading

Balada Dinda

gantian duduk

Beberapa waktu yang lalu hampir semua akun socmed, media cetak dan elektronik ramai membahas status Path seorang perempuan yang bernama Dinda, yang curhat tentang kekesalannya terhadap para ibu hamil yang (menurut dia) manja karena selalu minta dikasihani dan minta tempat duduk. Pertama kali saya membaca status ini di Path jujur saya merasa geli, trenyuh, sekaligus prihatin pada Dinda. Geli karena statusnya kok kekanakan sekali padahal sepertinya usia Dinda sudah lebih dari cukup untuk lebih peka terhadap lingkungan sekitarnya. Tapi, ah… bukannya usia bukan ukuran kedewasaan seseorang, ya? Trenyuh dan prihatin, lantaran dia sendiri seorang perempuan yang suatu saat juga akan merasakan menjadi seorang ibu hamil. Tapi kalau ditilik dari kelancarannya menulis status semacam itu di Path sepertinya Dinda ini masih muda, belum menikah, dan belum pernah merasakan menjadi ibu hamil 😀

Well, terlepas dari curhatan Dinda, saya punya cerita sendiri tentang suka duka menjadi ibu hamil dan transportasi publik. Saya merasakan sendiri bagaimana perjuangan menggunakan sarana transportasi umum ketika hamil. Kebetulan saya bukan tipikal orang yang suka merepotkan orang lain. Pun ketika naik transportasi umum. Kalau dikasih tempat duduk ya terima kasih, kalau enggak ya nggak apa-apa. Tingkat keikhlasan orang kan beda-beda, ya. Apalagi hidup di Jakarta. Jadi ya dimaklumi sajalah… *usap peluh*

Dulu, ketika hamil pertama kali, jarak antara rumah dengan tempat saya bekerja relatif dekat, dan sarana transportasinya pun sangat mudah. Tapi walaupun begitu, bukan hal yang mudah bagi seorang perempuan yang sedang mengandung untuk memaksakan diri berjejalan di halte untuk naik Transjakarta atau moda transportasi umum lainnya. Kalau saya memaksakan diri harus ke pool bus ya sepertinya kok agak buang-buang waktu dan tenaga ya, karena pool-nya lebih jauh dari jarak antara kantor dan rumah saya, sedangkan lokasi kantor saya ada di tengah rute mereka. Sering kali saya terpaksa mengalah menunggu sampai antrean halte agak berkurang supaya saya bisa berdiri lebih depan sehingga tidak terhimpit oleh penumpang lainnya yang tenaganya jauh lebih besar. Di dalam bus pun sering kali bangku prioritas untuk ibu hamil/lansia/difabel/ibu dan anak, sudah diduduki oleh penumpang yang tidak sedang dalam kondisi penumpang yang wajib diprioritaskan. Dan tipikal para penumpang yang sudah mendapatkan tempat duduk itu biasanya sama, (pura-pura) tidur sambil menyumpalkan earplug di telinga. Sekali lagi, beruntung waktu itu tempat tinggal saya dekat, jadi kalau terpaksa harus berdiri pun (insyaallah) masih kuat 😀

Di kehamilan saya yang sekarang ini kondisinya sangat jauh berbeda. Jarak antara tempat tinggal dan kantor saya relatif lebih jauh, waktu untuk menempuh perjalanan pun otomatis lebih panjang, apalagi pada kalau naik Transjakarta jurusan Harmoni-PGC yang jalurnya panjang dan macetnya luar biasa. Saya sering kali terpaksa menunggu antrean bus sedikit berkurang supaya bisa dapat tempat duduk. Tapi lama-lama saya menemukan jalur antrean khusus untuk kaum prioritas, jadi saya bisa naik bus sebelum penumpang reguler naik.

Semakin besar kandungan saya, semakin tidak memungkinkan bagi saya untuk menggunakan Transjakarta yang jumlah armadanya terbatas dan banyak penggemarnya itu. Beruntung akhirnya saya menemukan alat transportasi alternatif yaitu shuttle bus yang kini banyak disediakan oleh pengelola mall, sebagai sarana transportasi alternatif bagi para pekerja yang tinggal di luar kota, tapi bekerja di Jakarta. Lumayan aman dan nyaman, walaupun biayanya lebih mahal. Tapi demi kenyamanan, penghematan waktu dan tenaga, penggunaan moda transportasi ini sangat layak 😀

Jadi, kalau kembali lagi tentang status Dinda tadi, saya sangat memaklumi, karena memang Dinda ini belum merasakan bagaimana rasanya menjadi ibu hamil. Jadi masih termasuk ‘wajar’, karena kan biasanya kalau belum mengalami sendiri, cuma melihat dari luarnya saja, memang paling mudah mengeluarkan statement :mrgreen: . Tapi terlepas dari sudah/belum pernah merasakan menjadi ibu hamil/lansia/difabel/membawa anak kecil, ketika kita berada di situasi tersebut coba kita reframe deh, bagaimana jika seandainya kita yang berada di posisi mereka. Jadi ya kembali lagi ke kesadaran masing-masing saja. Rasanya kita tidak perlu menghakimi orang lain yang belum diberi hidayah atau kepekaan melihat lingkungan sekitar. Kalau memang kita di situasi yang sama masih merasa sehat/mampu/ikhlas/kuat bergantian tempat duduk dengan mereka yang patut mendapat prioritas, ya monggo diberikan. Kita tidak pernah tahu, karena bisa saja suatu saat nanti gantian kita yang berada di kondisi yang sama dengan mereka.

Satu hal lagi yang penting untuk diingat, berhati-hatilah memposting status di akun social media, sepribadi apapun settingan akun socmed kita. Kalau dulu kita mengenal adagium “mulutmu harimaumu”, sekarang di era social media ada istilah, “tweetmu harimaumu”, “postinganmu harimaumu”, “statusmu harimaumu”. Sekali saja kita menerbitkan postingan/status, dan lalu menekan tombol enter/publish, seketika itu juga orang lain akan melihat, membaca, mengomentari, dan bahkan menyebarluaskannya ke berbagai akun social media hingga ke batas yang tidak mampu kita tentukan. Itulah saat di mana kita kehilangan kendali terhadap efek apa yang akan timbul kemudian.

Sekalipun kita berkomunikasi secara tidak langsung di ranah maya, namun perlu diingat bahwa yang kita ajak berkomunikasi, yang membaca postingan dan status kita itu juga manusia. Mungkin saja kita tidak bermaksud buruk, namun toh akan selalu ada hal-hal yang diterima secara berbeda jika dilihat dari kacamata orang lain.

Bukan berarti kita tidak boleh mengeluarkan statement/opini, tapi apa salahnya jika lebih berhati-hati ketika akan mengeluarkan opini. Terlebih jika itu sifatnya pribadi dan mengandung hal yang sensitif bagi orang lain.

Just my two cents 😉

 

[devieriana]

 

gambar diambil dari twitternya @gantijakarta

Continue Reading

Know Your Limit

Semalam, salah satu teman kantor me-whatsap saya. Dia melampirkan sebuah capture kalimat yang berbunyi:

path

Ketika membaca kalimat itu entah mengapa saya jadi sedih, meski saya tidak mengenal orang yang dimaksud dalam capture tersebut (Mita Diran a.k.a @mitdoq), tapi tiba-tiba teringat beberapa sahabat saya yang bekerja tak kenal waktu. Karena tuntutan pekerjaan tak jarang mereka hanya sempat istirahat selama beberapa jam dan harus segera siap/stand by untuk kembali bertugas atau menyelesaikan deadline.

Dulu, sewaktu saya masih belum berkeluarga, masih euforia-euforianya dengan pekerjaan, hampir sebagian besar waktu saya berikan untuk pekerjaan. Bahkan di waktu-waktu yang seharusnya saya luangkan bersama keluarga pun harus rela saya lepas demi menyelesaikan deadline. Kadang saya berpikir, kok saya seperti nggak punya kehidupan selain pekerjaan dan kantor, ya? Tapi seolah tidak punya pilihan lain, saya kembali tenggelam dengan kesibukan saya di kantor. Sempat juga saya mengeles, “ya nanti kalau sudah berkeluarga kan konsentrasinya bakal beda, nggak ke pekerjaan lagi. Sekarang mumpung masih single, gapapa kali…”

Nah, apakah setelah menikah saya terlepas begitu saja dengan tugas dan deadline? Tidak juga. Bahkan ketika saya cuti pun, cuma fisik saya saja yang (sepertinya) cuti; secara fisik saya di Surabaya, tapi pikiran saya ada di Jakarta. Bagaimana mau merasakan cuti kalau saya masih terima telpon, masih kirim dan terima email, masih mengecek pekerjaan anak buah (walau telpon/sms hanya untuk sekadar mengecek kondisi di lapangan, ada kesulitan/nggak). Bisa saja sih saya matikan HP dan email selama cuti. Tapi nyatanya tidak bisa semudah itu karena ada tuntutan tanggung jawab disana. Di saat itulah saya mulai merasa seperti diperbudak oleh pekerjaan dan deadline.

Bahkan ketika saya sudah beralih status menjadi PNS pun kesibukan itu masih ada. Bedanya, kesibukan saya waktu itu lebih ke kegiatan komunitas. Hampir setiap akhir pekan ada saja jadwal kegiatan di sana-sini. Bahkan di sela-sela jam kerja atau pulang kerja pun saya ada jadwal meeting. Akibatnya, tubuh saya jadi mudah drop. Apalagi saya bukan orang yang sering berolah raga untuk menjaga kebugaran tubuh. Badan saya pun menjadi rentan sakit, sering kena flu, radang, demam, dan sebangsanya.

Sama seperti kasus Mita Diran, salah satu rekan kerja suami di tempat kerjanya yang dulu juga bernasib sama. Kerja di sebuah perusahaan kontraktor membuatnya tidak lagi kenal waktu. Demi terselesaikannya target pekerjan sesuai dengan jadwal dia relakan fisiknya bekerja ekstra keras. Rasa capek luar biasa yang mendera tubuhnya tidak lagi dirasakannya, kurangnya waktu istirahat, jadwal makan yang tidak teratur, konsumsi kopi, rokok, dan suplemen penambah stamina yang berlebihan demi ‘menjaga’ agar fisiknya tetap fit dan terjaga, membuatnya harus dirawat di RS sebelum menghembuskan nafas yang terakhir di sana.

Kita itu manusia, bukan robot atau mesin. Bahkan robot/mesin saja punya waktu/jadwal untuk maintenance, kenapa tubuh enggak? Tubuh juga punya alarm yang akan memperingatkan kita ketika dia butuh istirahat. Tapi yang ada seringkali justru manusianya yang bandel, mengabaikan peringatan itu dengan alasan, “kalau nggak diselesaikan sekarang keburu kerjaan yang lain datang dan numpuk-numpuk”, atau iya, bentar lagi, nanggung nih…. Capek yang seharusnya dibawa istirahat justru menjadi pemicu untuk menggunakan obat/suplemen penambah stamina. Baru sadar kalau ternyata tubuh punya batas ketika sudah ambruk, terbaring di rumah sakit :(.

Kalau kata Nick Deligiannis :

“Remember, a professional is a person who never allowed himself to dissolve in the job and no longer have time for personal life”

Buat yang masih suka bekerja tak kenal waktu, know your limit. Love and listen to your body.

 

[devieriana]

Continue Reading

Marah di Socmed?

emoticon

Twitter, Facebook, Path, Instagram. Atau sebut saja semua nama situs pertemanan yang ada; sengaja dibuat agar komunikasi antarpersonal menjadi jauh lebih mudah. Salah satu persamaan situs-situs tersebut adalah adanya fasilitas bagi para penggunanya untuk menuliskan apapun yang mereka lihat, rasakan, dengar, dan lakukan ke dalam sebuah kolom khusus untuk up date status, di mana mereka bisa saling berinteraksi dan langsung mendapatkan respon balik dari pemilik akun lainnya.

Keberadaan social media membuat up date status menjadi bagian dari gaya hidup. Hampir semua kegiatan bisa jadi bahan untuk up date status. Saat jatuh cinta, up date status. Kangen, up date status. Galau, up date status. Marah, up date status. Meeting, up date status. Lagi ngopi-ngopi cantik atau makan-makan di tempat tertentu, up date status. Bahkan sampai lapar dan kebelet ke belakang pun sempat-sempatnya up date status. Luar biasa sekali penemu ide kolom up date status ini! 😆 Karena kebetulan memang sebelumnya mungkin belum terbersit dalam pikiran kita metode apa yang kira-kira bisa mengeluarkan apa yang dipikirkan secara cepat dan mudah… :mrgreen:

Bak pisau bermata dua, keberadaan social media ini punya sisi positif sekaligus negatif. Ketika social media digunakan untuk berbagi hal-hal yang positif, dia akan memberikan manfaat bagi para penggunanya; tapi sebaliknya, ketika social media digunakan untuk hal-hal yang negatif tentu efeknya akan mengikuti.

Saya pibadi, sejak awal membuat akun di social media memang sengaja cuma untuk berbagi hal-hal yang menyenangkan saja; tidak ingin menuliskan status bernada kemarahan atau galau. Bukan apa-apa, sayanya yang malu :mrgreen:. Lebih sering meng-update status lucu ketimbang status yang serius. Pernah sih sesekali memosting hal-hal serius kalau memang diperlukan.

Sebagai pengguna social media tentu tak asing dengan berbagai status yang berhamburan di timeline socmed kita. Tidak melulu hal-hal yang positif/lucu, tapi pasti juga status-status kemarahan dan emosi. Berbeda dengan galau yang kadang masih saya maklumi, lebih sering bertanya-tanya mengapa seseorang harus menuliskan kemarahan dan caci maki di social media? Kalau memang punya masalah dengan seseorang kenapa tidak diselesaikan saja melalui media yang lebih pribadi, bukan di media terbuka seperti Twitter, Facebook, atau Path? Talk in person.

Social media bisa menjadi alat yang hebat jika digunakan secara benar dan produktif. Tapi kalau kita justru menghabiskan terlalu banyak waktu di sana, sama saja kita mengisolasi diri sendiri. Salah satu trainer saya pernah bilang,

“sekarang ini kita terlalu dikerdilkan oleh sebuah alat bernama gadget. Bahkan ketika berkumpul bersama pun yang terlihat adalah orang-orang yang asyik menekuri gadget masing-masing.”

Iya juga sih. Seringkali menghadapi sebuah situasi di mana beberapa orang sedang berkumpul tapi wajahnya pada menunduk terkonsentrasi ke gadget masing-masing. Bahkan saya sendiri pernah ada di sebuah meet up tapi malah asyik mention-mention-an sama peserta meet up yang lain 😆

Sering berlintasan di kepala saya ketika melihat seseorang yang menulis status marah-marah di social media:

“Apa sih menariknya melihat tulisan capslock berbalas capslock? Apa bagusnya sih memarahi orang lain di social media? Apakah ingin menunjukkan kalau pemilik akun lebih superior, sementara yang lain lebih subordinat?”

Di manapun itu, ketika seseorang dalam kondisi sedang marah, mereka cenderung sulit untuk berpikir secara logis karena dikuasai oleh emosi. Di situlah bahayanya sebuah media komunikasi instan ketika berada di dalam genggaman seseorang yang sedang marah dan lepas kontrol.

Sama seperti lainnya, saya pun pernah mengalami hal-hal menjengkelkan. Tapi ketika saya ingin memosting ’emosi’ saya ke social media, selalu terjadi dialog dengan diri saya sendiri. Apa iya saya benar-benar menginginkan emosi, kemarahan, dan konflik saya dengan orang lain itu layak ‘dipertontonkan’ di depan umum? Atau, perlukah seluruh follower dan orang-orang yang ada di friend list saya tahu kegalauan saya? Is it worth the energy? Kalau ternyata jawabannya ternyata lebih banyak tidaknya, ya berarti mungkin memang tidak perlu.

Obrolan di BBM, sms, atau chat di media lainnya pun sebenarnya berpotensi menimbulkan kesalahpahaman. Tidak semua orang punya kemampuan yang bagus dalam berkomunikasi, menerjemahkan apa yang dimaksud ke dalam bahasa tulis, sekaligus memilih diksi yang tepat agar mudah dipahami oleh lawan bicara. Sebaliknya, tidak semua orang punya kemampuan yang cepat dalam memahami maksud kita. Karena ketika dikomunikasikan ke dalam bahasa tulis, seringkali isyarat verbal dan non-verbal menjadi ‘hilang’ esensinya. Itulah mengapa saya sebenarnya lebih memilih bertemu langsung atau menelepon yang bersangkutan untuk menjelaskan apa maksud saya supaya tidak terjadi kesalahpahaman yang berlarut-larut.

Kebanyakan kita menggunakan social media untuk berjejaring, menambah teman, dan untuk tujuan positif lainnya, kan? Kalau kita lebih sering memosting status-status bernada kemarahan, apa iya memang itu ‘pesan’ yang ingin kita sampaikan kepada teman, kolega, dan follower kita; bahwa kita adalah seorang hot headed? Is this the message that you really want to deliver?

Think again 😉

[devieriana]

sumber ilustrasi dari sini

Continue Reading

Avatar

mask

Di sebuah sore yang basah setelah diguyur hujan sejak siang, di salah satu sudut sebuah kedai coffee giant, saya memenuhi janji temu dengan dengan salah satu sahabat yang kebetulan sedang transit di Jakarta seusai dia menghadiri undangan sebagai narasumber di negara tetangga. Seperti biasa, obrolan hangat langsung tercipta karena memang sudah lama sekali kami tidak pernah bertemu karena alasan jarak, waktu, dan kesibukan masing-masing.

Obrolan bergulir begitu saja, mulai dari saling bertukar kabar tentang kondisi masing-masing, berlanjut ke berbagai topik obrolan lain yang sifatnya random. Begitulah memang kebiasaan kami; apapun bisa jadi bahan obrolan sekalipun topiknya absurd.

“Eh, akun facebook kamu kenapa dihapus?”, tanya saya.

“Hmm, nggak apa-apa, lagi jenuh sama social media. Padahal aktivitas social mediaku belum seheboh kamu, ya? ;))” jawabnya sambil menyesap secangkir coffee latte kegemarannya.

“Ah, kamu synical banget, deh. Aku udah nggak seaktif dulu kok. Facebook cuma login kalau lagi pengen, kalau enggak ya nggak login. Kalau ngetwit sih masih, tapi itu juga udah nggak aktif-aktif banget. Aku juga pernah ngerasa jenuh kaya kamu, tapi ya udah, nonaktif sementara aja dari socmed; sambil melakukan hal lain yang jauh lebih real. You know what I mean-lah”, saya tertawa sendiri mendengar kata-kata saya barusan.

Dia tertawa renyah sambil mengunyah sepotong waffle pesanannya. Hingga saat ini dialah partner in crime saya yang paling nyambung untuk berdiskusi tentang apapun. Tema obrolan yang random seringkali mengisi obrolan-obrolan kami. Tapi di balik kerandoman itu selalu ada ending menarik yang bisa saya ambil dan pelajari. Di balik kata-katanya yang sederhana terkadang justru mengandung arti dan pemikiran-pemikiran yang mendalam.

Terakhir dia bertanya seputar kabar aktivitas saya di socmed, dan saya jawab dengan cengengesan. Ya, karena saya tahu, dia adalah orang yang paling kritis dan bawel ketika saya masih eksis di mana-mana. Setiap kali saya bercerita tentang kegiatan saya di akhir pekan, dia selalu geleng-geleng kepala. Menurutnya, saya orang yang nggak sayang sama badan, karena setelah seminggu ngantor, kadang masih harus meeting dengan klien di sore harinya, di akhir pekan masih harus berkegiatan bersama komunitas. Dan selalu, setelah beraktivitas nyaris tanpa istirahat itu kerap kali saya mengeluh kecapekan dan kurang fit, tapi kalau dinasihati saya suka ngeyel. Beberapa diskusi panjang dan sedikit eyel-eyelan kami lalui, sampai akhirnya saya ‘insyaf’ dan mengiyakan nasihat-nasihatnya. Lagi-lagi secara tidak langsung, saya belajar tentang bagaimana cara berkomunikasi. Terkadang untuk meminta orang lain untuk berubah tidak bisa dilakukan dengan jalan intimidasi dan emosi. Dari obrolan yang santai, sederhana, dan tidak menggurui, ajakan/nasihat itu bisa diterima tanpa ada adu argumentasi yang berlebihan kok. Ah ya, lagi-lagi cuma masalah teknik, cara.

Di tengah percakapan tentang blog saya yang sempat ter-suspend, dia cuma tertawa.

“Blog kamu ter-suspend? LAGI?

“Iya, maklumlah, waktu itu hostingannya masih cari yang gratisan, jadi ya gitu deh. Sempat galau nggak bisa nulis selama beberapa bulan. Mana banyak postingan lama yang hilang pula, udah di-back up sih, tapi belum sempat di-download. Terus sekarang pas blognya udah ON lagi, jadi agak males nulis gitu. Kenapa, ya? :-w”

“Mmmh… mungkin karena ada konsep dan tema tulisan tertentu yang kamu paksakan untuk ditulis di blog…  :-“”

“Ah, aku nulis apa yang pengen aku tulis aja kok, nggak ada tema/konsep tertentu. Atau…, emang berasanya gitu, ya? :-?”

“Hmm, iya, kadang-kadang 🙂 . Anyway, aku jadi ingat seorang teman. Dia mulai dikenal orang berawal dari eksistensinya di socmed. Semakin dia dikenal orang, semakin dia dianggap baik, pintar, bijaksana, dan menyenangkan, semakin dia ‘terjebak’ dalam pencitraan yang melelahkan. Tulisan dan status-statusnya berisi kalimat-kalimat inspiratif dan memotivasi banyak orang. Uhhm.. bagus sih, tapi entah kenapa aku melihat dia seperti sebuah avatar; sebuah citra; dia tidak sadar sedang mencitra dirinya. Sebagai manusia, kita pasti punya sisi baik dan buruk, kan? Dia juga manusia biasa yang bisa capek, bisa sebel, bisa galau, bisa misuh-misuh juga kalau lagi marah. Hingga akhirnya dia mengeluh jenuh dengan semua pencitraan yang tidak sengaja telah dibangunnya sendiri. Diam-diam dia rindu jadi dirinya sendiri seperti saat belum banyak dikenal banyak orang. Nah, singkat saja aku bilang, “So, why busy become an avatar kalau kamu capek? “

Spontan saya mengernyitkan dahi. Di saat yang sama saya juga sedang galau tingkat internasional, dan kata-kata dia sore itu membuat saya merenung sendiri. Avatar.

“Di luar sana, ada banyak orang yang berusaha menginspirasi dan memberi semangat ke orang lain, sementara di saat yang sama sebenarnya dia juga sedang butuh pencerahan, inspirasi, dan suntikan semangat. Aku, belum bisa jadi avatar. Aku masih membatasi diriku cukup menjadi guru untuk mahasiswaku saja; nggak lebih. I’m scared if someone really following me. Not yet I am far from wise person. Nggak pengen being toxicate by fame…”

Dengan kapasitas otak yang terbatas, saya manggut-manggut sambil berusaha mencerna kata demi kata yang keluar dari bibirnya dengan cermat.

“Virtual thing is like a knife with two edges. Katakanlah aku yang yang mungkin over protective dengan diriku sendiri, ya. Aku cuma nggak pengen jadi orang yang terlalu menikmati sanjungan, pujian, dan akhirnya jadi overjoyed. Karena kalau manusia sudah berada di titik itu dia akan sulit melihat kesalahannya sendiri, cenderung defensif sama kritik. Kamu pasti masih ingat, kan, gimana narrow minded-nya aku beberapa tahun yang lalu?”

Sekali lagi saya mengangguk pelan,  menyesap secangkir Earl Grey yang hampir dingin;  sambil terus menebak ke mana arah pembicaraan ini akan bermuara.

“Beberapa temanku masih ada yang menganggap socmed dan pernak-perniknya itu dunia yang sesungguhnya. Lucu, ya? Padahal still there’s a bold line between real and virtual. Hmm… by the way, aku seneng lihat kamu kembali ‘normal’ kaya beberapa tahun lalu ;)”

“Oh, jadi selama ini kamu pikir aku nggak normal, gitu? [-(“

Dia lagi-lagi tertawa,

“Ah, nggak normalnya baru sedikit, kok. Tapi serius, glad to have you back on the track… “

Seusai pertemuan itu, di sepanjang jalan menuju rumah, saya berusaha mencerna kembali inti obrolan kami sore tadi. Semakin banyak orang mengenal seseorang, akan semakin banyak pula hal yang harus dia jaga, dia lindungi, atau dia tutupi; setidaknya agar semua tetap terlihat normal dan baik; kecuali apa yang dicitrakan di luar itu sama dengan dia yang sebenarnya. Namun jika ternyata dia adalah orang dengan pribadi sebaliknya, pencitraan hanya akan menempatkan dirinya ke dalam posisi yang sulit dan serbasalah; terutama ketika dia ingin (kembali) menjadi diri sendiri.

Sesungguhnya ‘fame’ dan ‘pure’ itu cuma beda tipis.

Just my two cents…

 

 

Sebuah sentilan halus di sore menjelang malam yang gerimis.

[devieriana]

 

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading