Trauma

“Halo, selamat datang kembali di dunia nyata!”

Dulu, saya pernah mengklaim bahwa saya tidak punya trauma. Semua hal bisa saya atasi tanpa menimbulkan trauma. Tapi nyatanya, saya justru punya trauma sampai sekarang.

Beberapa tahun yang lalu, ketika masih bekerja di satu perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia, kami para customer service officers dan back office officers mengikuti training soft skills di sebuah hotel di Jakarta. Rasanya seperti reuni, karena kami bertemu kembali dengan teman-teman dari beberapa kota berbeda, saling bercerita bagaimana implementasi ilmu dan teori yang diberikan pada training-training sebelumnya, bagaimana pengalaman di lapangan, dan sebagainya. 

Long story short, di malam keempat training, setelah makan malam, teman-teman sepakat berkumpul di kamar saya, mengobrol panjang hingga larut malam dengan berbagai topik yang random. Saking asiknya ngobrol, kami baru beristirahat sekitar pukul 2 pagi. Padahal sejujurnya saya bukan orang yang betah ngobrol sampai larut malam karena jam tidur saya maksimal pukul 22.00. Tapi mungkin waktu itu saking serunya ya, sehingga tak terasa waktu beranjak dini hari.

Keesokan paginya, meskipun lelah, kami tetap bangun pagi untuk salat subuh dan bersiap menjalani agenda hari itu. Topik pelatihan pagi itu adalah tentang bagaiamana cara menjaga kesehatan. Kami bukan hanya akan menyimak paparan dari narasumber saja, karena di sesi berikutnya kami akan diajak untuk bergerak dengan senam aerobik, dan selanjutnya akan ditutup dengan sesi yoga. Itulah mengapa dress code kami hari itu baju olah raga. Seru ya, kan?

Tidak seperti biasanya, pagi itu saya sarapan nasi goreng dengan porsi yang cukup besar layaknya porsi makan siang. Entah karena memang nasi gorengnya enak atau entah lapar, saya makan dengan lahap, mungkin sambil mengira energi yang besar akan membantu menghadapi hari yang sibuk.

Sebagai orang yang tidak pernah makan dalam porsi besar saat sarapan, lalu mendadak makan besar, tentu membuat metabolisme badan saya agak kaget, ya. Tak ayal, saat berada di kelas materi, rasa kantuk pelahan mulai menerpa. Beberapa kali saya menguap meski pemateri dan paparan materinya sangat menarik. Meski berusaha fokus namun rasa kantuk sepertinya enggan berkompromi. Beruntung saya tidak tertidur di meja saat menyimak paparan. Setelah satu jam berjuang menyimak paparan, akhirnya kita semua diajak untuk bergerak dengan energik di sesi senam aerobik. Pfiuh! Semangat! Semangat! 

Lagi-lagi, sebagai orang yang tidak pernah berolah raga, begitu selesai sesi senam aerobik, nafas saya habis, badan juga rasanya lelah sekali. Tapi tak apalah, yang penting berbagai gerakan aerobik tadi bisa membakar lemak-lemak nasi goreng tadi pagi, pikir saya.

Akhirnya sesi yoga yang ditunggu-tunggu pun tiba. Seorang instruktur yoga telah siap mendampingi dan memandu kami melakukan beberapa gerakan yoga di atas matras. Beberapa gerakan yoga berhasil kami lalui dengan baik, hingga akhirnya tibalah pada pose Savasana, dalam bahasa Sanskerta berarti posisi mayat (corpse pose), merupakan posisi istirahat terakhir dari sebagian besar rutinitas yoga, yang dimaksudkan untuk merilekskan pikiran dan tubuh ke dalam relaksasi yang dalam. Kondisi istirahat ini memungkinkan seluruh tubuh kita menyesuaikan diri dan mengintegrasikan manfaat dari gerakan yoga sebelumnya. Instruktur kami meredupkan lampu di ruangan, menciptakan suasana tenang seperti sedang di alam terbuka dengan menambahkan audio gemerisik daun, gemericik air, dan kicauan burung, agar kami bisa merasa sangat rileks.

Mungkin saya adalah peserta yoga yang paling selaras dengan tujuan Savasana, yaitu merilekskan pikiran dan tubuh hingga mencapai relaksasi yang mendalam, karena pada praktiknya bukan hanya tubuh dan pikiran saja yang rileks, tapi saya saking rileksnya lahir batin, jiwa raga, saya pun tertidur pulas tanpa disadari. Entah berapa lama saya tertidur di kelas yoga, tetapi ketika tersadar, untuk menutupi rasa malu, saya segera menyesuaikan gerakan yoga yang dilakukan oleh teman-teman saya, termasuk tepuk tangan.

Teman-teman yang melihat saya sudah ‘siuman’ langsung bertepuk tangan dan menggoda dengan sapaan, “Halo, selamat datang kembali di dunia nyata.” Duh, andai saja saya bisa menyembunyikan wajah saya saat itu, saya akan sembunyikan untuk sementara waktu, kalau sudah tidak malu akan saya pasang lagi. Namun nyatanya saya hanya bisa tersenyum kecut, menerima kekonyolan saya saat itu.

Mungkin karena sudah belasan tahun berselang ya, jadi saya bisa menceritakannya kembali sambil menertawakan diri sendiri. Tapi jangan ditanya betapa malunya saya saat itu, karena ternyata semua teman telah berusaha membangunkan saya tapi saya tidak merespon sama sekali. Bahkan, instruktur yoga pun mencoba membangunkan dengan menarik ibu jari kaki saya, namun saya tetap bergeming. Apa daya, rasa kantuk tampaknya lebih kuat daripada kesadaran saya. Instruktur yoga sempat mengatakan begini, “Di antara semua peserta di kelas ini, yang sesi yoganya paling berhasil adalah Mbak Devi, karena rileks sekali ya, Mbak. Mari kita berikan tepuk tangan!”

Sejak saat itu, saya trauma sarapan berat sebelum beraktivitas. Sampai sekarang, saya memilih hanya sarapan kudapan ringan atau minum teh atau kopi untuk menghindari kejadian serupa berulang, siapa tahu dalam versi yang berbeda. 

– devieriana –

Continue Reading

Bahasa Universal itu Bernama Cinta

“There are more love songs than anything else. If songs could make you do something we’d all love one another.”Frank Zappa

Pernahkah terpikir nggak, kenapa ya begitu banyak lagu di dunia ini yang bertemakan cinta? Meski ada musisi yang mengangkat tema lain, jumlahnya tetap tidak sebanyak lagu cinta, kan?

Cinta, tema populer dalam dunia musik yang sudah ada sejak zaman dahulu. Baik musik klasik maupun musik modern, lagu-lagu cinta selalu ampuh dalam mengungkapkan perasaan yang kita miliki. Mengapa begitu banyak lagu dengan tema cinta? Mungkin karena cinta adalah pengalaman yang dapat dirasakan oleh siapa pun, di mana pun, dan kapan pun, ya. Layaknya sebuah bahasa universal, cinta dapat dipahami oleh semua orang.

Lagu-lagu cinta memungkinkan kita merasakan emosi yang terkait dengan pengalaman manusia yang paling mendasar. Dan berasa nggak kalau mendengarkan lagu cinta mirip dengan melihat cermin? Lirik-lirik yang diciptakan acapkali relevan dengan yang kita rasakan, baik itu kebahagiaan, kesedihan, kekecewaan, kerinduan, dan lainnya. Rasanya tidak mengherankan jika musik menjadi tempat yang sempurna untuk mengekspresikan berbagai perasaan yang yang kita rasakan.

Bukan cuma itu, sampai sekarang cinta juga jadi sumber inspirasi tak terbatas untuk para musisi. Bayangkan, dari kisah cinta romantis sampai pengalaman patah hati yang menyakitkan, cinta selalu berhasil membuat seniman kreatif dan menghasilkan lagu-lagu indah sentimentil pun easy listening. Selain untuk para musisi, musik juga bisa menjadi cara yang manis dan tak terbatas sebagai media untuk mengungkapkan beragam perasaan atau cerita yang sulit diucapkan melalui kata.

Ada banyak lagu bertema cinta yang tak terbatas. Salah satunya adalah lagu adalah lagu “Lantas” dari grup musik asal Bandung yang sedang naik daun, Juicy Lucy. Lagu ini mengisahkan tentang seorang pria yang mencintai dan menjalin hubungan terlarang dengan seorang wanita yang sudah memiliki pasangan. Meskipun begitu, pria tersebut tidak mampu berbuat banyak dan hanya bisa pasrah dengan situasi percintaan yang terjadi. Pun lagu “Segala-galanya” dari Juicy Lucy yang memiliki tema unik tentang tato. Lagu ini menceritakan tentang seorang anak yang merasa perlu menyembunyikan bagian dari dirinya demi menjaga perasaan ibunya. Liriknya menggambarkan konflik batin dan keputusan untuk merahasiakan sesuatu agar tidak menyakiti orang yang disayangi. Sebuah cerita tentang ketakutan bahwa kadang sebuah kebenaran dapat menyebabkan kekecewaan bagi seseorang yang istimewa. Lagu ini mewakili lagu bertema hubungan antara orang tua dan anak, serta bagaimana menjaga perasaan orang yang dicintai, khususnya ibu. Atau ada juga lagu “Love Again” oleh Celine Dion yang mengisahkan tentang proses mencintai lagi setelah patah hati. Ini adalah lagu pertamanya sejak merilis album Courage pada 2019, dan juga setelah didiagnosis dengan penyakit langka, Stiff-Person Syndrome pada bulan Desember 2022. Lagu ini menjadi bagian dari soundtrack film berjudul sama Love Again, di mana Celine Dion akan memerankan dirinya sendiri.

Dengan luasnya spektrum cinta, tidak mengherankan jika cinta tetap menjadi fokus utama dalam industri musik dunia. Lagu-lagu cinta tidak melulu berkisar pada hubungan antara dua orang kekasih, tetapi juga mencerminkan dinamika hubungan lainnya, seperti hubungan dengan pasangan atau orang tua, serta berbagai emosi yang menyertainya, tentang bagaimana cinta juga memiliki kekuatan untuk menyatukan atau mengubah hidup seseorang. Dengan begitu banyaknya pilihan lagu cinta, setiap individu dapat menemukan lagu yang relate dengan pengalaman dan perasaannya sendiri.

Seperti 2 sisi koin, musik dan cinta telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Tema cinta tampaknya akan terus menjadi salah satu yang paling menginspirasi di dunia musik. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa cinta adalah bahasa universal yang tidak akan pernah pudar daya tariknya.

Devieriana

ilustrasi dipinjam dari billboard.com

Continue Reading

PDA: Romansa di Tengah Publik

Di tengah perjalanan sebuah bus Transjakarta yang melaju dari arah Kota Tua menuju ke Balai Kota, naiklah sepasang anak muda yang sejak naik hingga turun mereka duduk bersebelahan, dan saling bergandengan tangan. Selama perjalanan, mereka beberapa kali saling melakukan hal-hal kecil kepada pasangannya satu sama lain. Mengusap/mencium pipi, membelai rambut, membetulkan kerah baju, meletakkan tangan di paha pasangan, berbisik mesra lalu terbahak, dan berpelukan, semuanya dilakukan di ruang publik di dalam transportasi umum, Transjakarta. Anyway, jarak perjalanan yang ditempuh keduanya hingga sampai di pemberhentian terakhir lumayan jauh, kan? Jadi, bagi penumpang yang duduk berhadapan dengan mereka, sepertinya lebih baik pindah ke Mars, deh.

Seiring dengan perkembangan teknologi, kemesraan bukan hanya bisa dilihat secara langsung, tetapi juga dapat dilihat melalui media sosial. PDA bisa terjadi di mana saja: di taman, pusat perbelanjaan, transportasi umum, bahkan di tempat kerja. Seperti misalnya di platform media sosial Instagram, ada akun Instagram milik sepasang selebgram muda yang aktif membagikan konten kemesraan mereka di antara konten-konten kajian keagamaan. Walaupun banyak komentar yang memuji mereka dengan kata-kata seperti “ih, lucu deh kalian”, “mesra banget”, “uwuu..,” “duh, kita mah cuman bisa nyengir aja” dan berharap untuk menemukan pasangan seperti mereka, namun di dunia maya, respon yang diterima tidak selalu positif.

“Mempertontonkan kemesraan di depan publik, hmm, kok agak gimana, ya?”

“Menurutku, meskipun mereka pasangan yang sah, sebaiknya kemesraan tidak terlalu diumbar, apalagi diunggah ke media sosial. Tidak semua orang merasa bahagia seperti mereka, dan khawatirnya malah menimbulkan ain. Ini cuma pendapatku saja, ya. Maaf kalau ada yang nggak setuju.”

“Haduh, ya udah sih biar aja. Pasangan-pasangan mereka sendiri kok kalian yang ribet! Kalau nggak suka, unfollow aja..”

Public Display of Affection (PDA) atau menunjukkan kasih sayang di tempat umum sering kali menjadi perdebatan hangat. Ada yang melihatnya sebagai bentuk cinta yang romantis, sementara lainnya merasa terganggu, tidak nyaman dengan hal tersebut. Menurut Wikipedia, pamer kemesraan atau umbar kemesraan adalah perbuatan mempertunjukkan kemesraan di depan umum, yang biasanya dilakukan oleh pasangan, seperti pacar atau pasutri.

Banyak pasangan memilih untuk menunjukkan perasaan mereka kepada publik melalui PDA. Tidak ada yang tahu secara pasti tentang maksud dan tujuan orang yang melakukan PDA. Mungkin mereka berharap gestur-gestur berpegangan tangan atau berpelukan di tempat umum dapat menunjukkan kedekatan mereka kepada orang lain. Atau malah justru sebaliknya, untuk menyembunyikan ketidakamanan dalam hubungan mereka? Lebih dari sekadar mengekspresikan kasih sayang, PDA juga tentang menunjukkan komitmen mereka di hadapan orang lain.

Masing-masing individu memiliki preferensi yang beragam dalam mengekspresikan kemesraan di depan publik. Ada yang senang memperlihatkan kasih sayang kepada pasangan mereka secara terbuka, tetapi banyak juga yang lebih suka menjaga privasi dengan tidak menunjukkan kemesraan di depan orang lain. Hal ini sering dipengaruhi oleh latar belakang pribadi, budaya keluarga, atau norma sosial yang mereka anut.

Di negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Kanada, dan sebagian besar Eropa, Public Display of Affection (PDA) sering kali dianggap sebagai hal yang lumrah dan diterima secara sosial. Namun, di beberapa negara Asia dan Timur Tengah, PDA sering kali dianggap tidak pantas atau bahkan dianggap tabu. Dalam media dan budaya populer, PDA sering digambarkan sebagai sesuatu yang romantis dan diidamkan. Film, acara TV, dan musik memiliki pengaruh besar dalam cara orang mengekspresikan perasaan cinta mereka.

Kontroversi seputar PDA melibatkan berbagai isu, tidak semua orang merasa nyaman melihat PDA, terutama jika dianggap terlalu intim. Adanya perbedaan generasi juga memengaruhi, di mana generasi yang lebih tua mungkin kurang mendukung PDA karena norma sosial pada masa lalu berbeda dengan generasi muda saat ini. Perbedaan pendapat juga muncul karena setiap individu memiliki toleransi yang berbeda terhadap kemesraan di depan umum. Isu lainnya termasuk pendapat bahwa PDA sebaiknya dibatasi untuk menjaga kesopanan di tempat umum. Namun pembatasan PDA di beberapa tempat ini mengundang pertanyaan tentang seberapa jauh norma sosial dapat membatasi kebebasan individu. Oleh karena itu, penting bagi mereka yang suka melakukan PDA untuk mempertimbangkan situasi/konteks, lokasi, serta menghormati respons dan norma budaya setempat.

Jadi, walaupun PDA bisa dianggap sebagai bentuk ekspresi cinta yang berbeda-beda maknanya bagi setiap orang dan budaya, yang terpenting adalah bagaimana kita menemukan keseimbangan antara ingin mengekspresikan kasih sayang dan tetap menjaga kenyamanan serta kesopanan di tempat umum. Hal ini penting agar kita menciptakan lingkungan yang menghargai keragaman dan saling menghormati.

— devieriana —

Ilustrasi gambar dipinjam dari sini

Continue Reading

Verba Volant, Scripta Manent

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” — Pramoedya Ananta Toer

Setelah vakum beberapa tahun lamanya, akhirnya saya mengobati kerinduan saya aktif menulis kembali. Seperti biasa, topik tulisan saya random. Topik kejadian keseharian, review film, psikologi, parenting, pekerjaan, dan sebagainya. Banyak teori yang bilang kalau menulis di blog harus ada temanya supaya ada audiens yang secara khusus tertarget, misalnya blog yang khusus me-review tentang kecantikan, gadget, atau kuliner. Tapi menurut saya menulis tema random tentang keseharian juga memiliki daya tarik tersendiri. Menulis dengan tema random bagi saya memberikan kebebasan untuk menulis apa pun yang kita suka yang mencerminkan kehidupan sehari-hari atau berbagai minat kita saat itu.

Beberapa teman baru, yang mungkin baru mengenal saya bertanya, “Kak Devi ternyata masih suka nulis, ya? Kenapa, Kak? Kan sekarang zamannya udah zaman visual, orang lebih tertarik nonton konten video ketimbang tulisan.” Saya sudah suka menulis sejak SD. Sepertinya ada saja hasil ‘tulisan’ yang saya buat waktu itu, misalnya tiba-tiba membuat tulisan fiksi anak-anak, cerita legenda, atau komik ala-ala. Pelajaran bahasa Indonesia juga menjadi salah satu pelajaran favorit saya, karena ada sesi mengarang indah. Dulu saya juga punya cara kerja yang unik dalam membuat tulisan/karangan. Kalau teman lain membuat kerangkanya dulu baru menulis, saya justru sebaliknya. Saya buat karangannya dulu, baru saya buat kerangka karangan sebagai pelengkap. Sejak kecil pula saya suka mencari kosakata-kosakata baru yang kurang lazim digunakan. Masih ingat, dulu karena sering membaca surat kabar, saya menemukan kata ‘oknum’. Dengan bangga saya gunakan kata itu dalam tugas mengarang  pada pelajaran bahasa Indonesia. Tapi karena tidak sesuai dengan tema tugas waktu itu, sehingga kata itu justru dicoret oleh guru. Tak apa, yang penting sudah sempat memakainya.

Bukan hanya itu, konten blog lebih mudah diakses dan ditemukan dalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan dengan postingan media sosial yang cepat berlalu. Ketika seseorang menulis di blog, tulisan tersebut memungkinkan untuk diindeks oleh mesin pencari seperti Google, sehingga orang lain dapat menemukan tulisan tersebut bertahun-tahun setelah dipublikasikan. Hal ini tentu sedikit berbeda dengan postingan di media sosial yang cenderung tenggelam dalam lautan konten baru yang terus bermunculan setiap detiknya. Blog juga memberikan fleksibilitas yang lebih besar dalam menyusun dan menyampaikan informasi. Kita dapat membuat artikel yang panjang dan mendalam, menyertakan berbagai jenis media seperti gambar, video, dan infografis, serta mengelompokkan tulisan-tulisan tersebut ke dalam kategori yang memudahkan navigasi bagi pembaca. Jadi, sebenarnya menulis di blog telah lama menjadi salah satu cara paling populer untuk berbagi informasi, pengalaman, dan pemikiran dengan audiens yang lebih luas.

Bagi saya pribadi, blog ini dapat dianggap sebagai tempat penyimpanan digital memori saya, seperti ruang virtual di mana saya dapat dengan bebas menuangkan pikiran dan berefleksi. Blog ini menjadi tempat perlindungan, rumah pikiran, sebuah tempat yang tenang di tengah hiruk pikuk kehidupan sehari-hari. Lebih jauh blog ini juga berfungsi sebagai portofolio yang menampilkan perkembangan saya sebagai penulis yang sedang berkembang.

Semua hal ini sejalan dengan pepatah Latin yang mengatakan “Verba volant, scripta manent”, yang berarti kata-kata yang terucap akan terbang pergi, tetapi kata-kata yang tertulis akan tetap abadi. Dalam era digital, pepatah ini mengingatkan kita akan pentingnya menyimpan informasi secara tertulis. Verba volant, scripta manent menekankan adanya kekuatan dan kekekalan kata-kata tertulis dibandingkan dengan yang terucap. Kata-kata yang tertulis memiliki daya tahan yang luar biasa, memungkinkan pemikiran dan ide untuk hidup lebih lama daripada ucapan yang segera dilupakan. Inilah yang membuat aktivitas menulis di blog bukan hanya relevan di masa lalu, dan kini saja, namun juga memberikan dapat kontribusi jangka panjang bagi dunia pengetahuan dan budaya jika dibutuhkan.

— Devieriana —

Continue Reading