Ketika Dia Berpulang

Sore tadi, ketika saya sedang sibuk menempelkan post it di masing-masing PC anak-anak buah saya karena nanti malam akan ada eksekusi penggantian PC & harus sibuk koordinasi dengan para IT di lantai 9, mendadak mata saya menangkap gerakan ketika salah satu anak buah saya mengusap airmata di sudut kubikelnya. Dia salah satu anak buah saya yang baru saja kehilangan ibunya beberapa hari yang lalu. Dalam bulan ini ada dua orang yang kehilangan orangtuanya dalam waktu yang berdekatan, selisih satu minggu, semuanya karena sakit menahun.

Ketika saya dekati, dia sedang menatap wallpaper PC-nya yang bergambar ibunya ketika masih sehat, berfoto bersama kakak perempuannya..

Saya : “kamu kenapa? Kangen sama ibu ya?”
Teman  : “iya Mbak.. Rasanya rumah sekarang sepi banget. Tinggal saya sama adik saya aja.. Bapak di rumah kakak..”
Saya  : *tercekat, nggak bisa ngomong*
Teman  : “biasanya kalau sore gini pasti saya udah ditelpon, ditanya, pulang jam berapa? pengen dimasakin apa? Sekarang udah nggak ada yang tanya kaya gitu Mbak..”
Saya  : *pengen nangis*
Teman  : “rumah juga kaya kehilangan nyawa sejak Ibu nggak ada.. ”
Saya  : ” Aku ngerti kok dear.. Ya namanya juga kejadiannya masih baru berapa hari.. Yang namanya kehilangan ya pasti masih berasa bangetlah. Namanya juga masih baru. Coba sementara ke rumah kakak aja gimana? Biar kalian nggak sepi, kalau orang jawa bilang biar nggak nglangut, ngelamun, sedih terus-terusan, mikir yang enggak-enggak. Semua pasti ada waktunya. Ibu dipanggil duluan sama Allah.. Diikhlasin aja say. Didoain. Biar Ibu juga tenang.. “, ujar saya (sok) tegar, padahal aslinya udah pengen nangis  😥  .

Trenyuh itu pasti. Saya tahu & pernah merasakan bagaimana rasanya kehilangan sosok terdekat dengan kita, walaupun bukan orangtua, melainkan anak. saya melihat dia tengah menyusut airmatanya secara sembunyi-sembunyi. Bibirnya setengah bergetar menahan tangis. Sejenak saya tertegun melihat pemandangan di sudut ruangan. Ah, saya jadi ikutan mellow melihat dia.

Kalau ingat betapa isengnya dia kalau dikantor, betapa jahilnya dia sama temannya, betapa dia sering membuat jengkel teman-teman lainnya. Toh tetap saja ketika dia berada dalam titik terendah dalam hidupnya, ditinggalkan oleh ibunya, tentu akan sangat menyedihkan. Iyalah, sosok orangtua, terutama ibu tidak akan pernah tergantikan. Dia ibarat “nyawa” dalam sebuah keluarga.

Tanpa mengesampingkan arti & keberadaan seorang ayah, seringkali ketika saya bertandang ke rumah teman yang kebetulan salah satu orangtuanya sudah meninggal ada rasa atau aura yang berbeda ketika saya berkunjung ke rumah teman yang ibunya sudah meninggal, atau ayahnya yang sudah meninggal. Entah ini cuma perasaan saya saja atau memang begitu adanya ya. Ketika ada di rumah yang ayahnya sudah meninggal, saya masih merasakan adanya “kehidupan” disana. Masih ada rasa hangat dalam rumah itu. Berbeda ketika saya berkunjung ke rumah yang ibunya sudah meninggal, tinggal ayahnya saja. Yang saya rasakan hangat sih, namun “kering”. Gimana ngomongnya ya. Ya begitulah, sulit mengungkapkannya. Subjektifkah saya? Entah ya..

Jangankan ditinggal untuk selama-lamanya, ibu kita pergi beberapa waktu saja, rumah sudah seperti ada yang hilang. Pernah dulu Papa saya bilang,

” Kamu nanti harus bisa seperti Mama. Mamamu itu serba bisa, gesit & luwes. Bisa mengurus & menghidupkan rumah. Coba lihat ketika Mamamu pergi beberapa hari aja, rumah rasanya sepi & garing banget. Dulu, waktu kamu masih kecil, Mama tinggal bentar aja udah berantakan kamu acak-acakin..”

Sampai sebegitu hidupnya suasana rumah ketika seorang ibu masih ada. Dia bukan hanya roh sebuah tapi juga oksigen bagi keluarganya. Tanpanya kita hampa. Bukan berarti tanpa ayah kita juga fine-fine aja ya. Keduanya adalah sepasang roh yang saling menghidupkan keluarga.

Buat para perempuan yang sudah pernah melahirkan pasti tahu bagaimana sakit & lelahnya melahirkan. Buat para pria yang kebetulan mendampingi saat persalinan sang istri pasti juga bisa merasakan sakit & perjuangan sang istri ketika melahirkan sang buah hati, bukan? Seringkali kita bilang, “aduh, Mama tuh orangnya cerewet, selalu begini, begitu. Nggak boleh ini, nggak boleh itu. Begini salah, begitu salah. Pokoknya cerewet bangetlah. Sebel gue..”. Pernah kan? . Tapi coba deh, kalau cerewetnya hilang aja sehari, seperti ada hal yang kita kangenin. Iya nggak? :mrgreen:

Jujur, saya paling dekat sama Mama. Ibu, kakak, sekaligus teman yang setia. Pas dulu belum punya pacar kemana-mana perginya lebih comfort sama Mama, mungkin karena sama-sama perempuan, sifat & seleranya sama 😀 . Siapa bilang saya nggak sebel kalau Mama saya cerewet? Normal, pasti sebel. Kayanya, cerewet itu sudah identik sama ibu-ibu deh :mrgreen:. Tapi pernah suatu ketika Mama saya sakit, sampai menyebabkan saya harus menghandle semua pekerjaan rumah. Baru deh ngerasa ternyata begini tho beratnya jadi seorang mama. Ketika Papa kerja mulai jam 08.00 – 17.00, Mama sudah bangun mulai subuh & baru tidur ketika kami semua hampir terlelap.

A man’s work is from sun to sun, but a mother’s work is never done..

Berbahagialah kita yang masih mempunyai orangtua lengkap & masih sehat. Jaga & kasihilah mereka sebagaimana mereka mengasihi kita sewaktu kita masih kecil. Ah, jadi kangen banget sama mama & papa saya nih..  🙁

gambar dari sini

Continue Reading

Ayah Juga Lupa

 father & son

 

Tulisan ini teruntuk Papa saya yang hari ini sedang berulangtahun yang ke 65 tahun. Sebuah tulisan yang jadi salah satu tulisan favorit saya, diambil dari buku karya Dale Carnegie : How To Win Friends & Influence People. Tulisan yang selalu membuat saya “mewek” & teringat Papa saya yang kalau habis marah pasti minta maaf duluan, padahal belum tentu beliau yang salah juga 😥 . I love you Pa & I send you song, hope you’ll like it.. Happy Birthday Dear Father.. 🙂

Ini dia  :

AYAH JUGA LUPA
W. Livingstone Larned

Dengar, Nak : Ayah mengatakan ini pada saat kau terbaring tidur, sebelah tangan kecil merayap di bawah pipimu dan rambutmu yang keriting pirang lengket pada dahimu yang lembap. Ayah menyelinap masuk seorang diri ke kamarmu. Baru beberapa menit yang lalu, ketika Ayah sedang membaca koran di ruang perpustakaan, satu sapuan sesal yang amat dalam menerpa. Dengan perasaan bersalah Ayah datang masuk menghampiri pembaringanmu.

Ada hal-hal yang ayah pikirkan, Nak : Ayah selama ini bersikap kasar kepadamu. Ayah membentakmu ketika kau sedang berpakaian hendak pergi ke sekolah karena kau cuma menyeka mukamu sekilas dengan handuk. Lalu Ayah lihat kau tidak membersihkan sepatumu. Ayah berteriak marah tatkala kau melempar beberapa barangmu ke lantai.

Saat makan pagi Ayah juga menemukan kesalahan. Kau meludahkan makananmu. Kau menelan terburu-buru makananmu. Kau meletakkan sikutmu di atas meja. Kau mengoleskan mentega terlalu tebal di rotimu. Dan begitu kau baru mulai bermain dan Ayah berangkat mengejar kereta api, kau berpaling dan melambaikan tangan sambil berseru, “Selamat jalan, ayah!”, dan Ayah mengerutkan dahi, lalu menjawab : “Tegakkan bahumu!”

Kemudian semua itu berulang lagi pada sore hari. Begitu Ayah muncul dari jalan, Ayah segera mengamatimu dengan cermat, memandang hingga lutut, memandangmu yang sedang bermain kelereng. Ada lubang-lubang pada kaus kakimu. Ayah menghinamu di depan kawan-kawanmu, lalu menggiringmu untuk pulang ke rumah. “Kaus kaki mahal dan kalau kau yang harus membelinya, kau akan lebih berhati-hati!”. Bayangkan itu, Nak, itu keluar dari pikiran seorang ayah!

Apakah kau ingat, nantinya, ketika Ayah sedang membaca di ruang perpustakaan, bagaimana kau datang dengan perasaan takut, dengan rasa terluka dalam matamu? Ketika Ayah terus memandang koran, tidak sabar karena gangguanmu, kau jadi ragu-ragu di depan pintu. “Kau mau apa?”, semprot Ayah.

Kau tidak berkata sepatah pun, melainkan berlari melintas dan melompat ke arah Ayah, kau melemparkan tanganmu melingkari leher saya dan mencium Ayah, tangan-tanganmu yang kecil semakin erat memeluk dengan hangat, kehangatan yang telah Tuhan tetapkan untuk mekar di hatimu dan yang bahkan pengabaian sekali pun tidak akan mampu melemahkannya. Dan kemudian kau pergi, bergegas menaiki tangga.

Nah, Nak, sesaat setelah itu koran jatuh dari tangan Ayah, dan satu rasa takut yang menyakitkan menerpa Ayah. Kebiasaan apa yang sudah Ayah lakukan? Kebiasaan dalam menemukan kesalahan, dalam mencerca, ini adalah hadiah Ayah untukmu sebagai seorang anak lelaki. Bukan berarti Ayah tidak mencintaimu; Ayah lakukan ini karena Ayah berharap terlalu banyak dari masa muda. Ayah sedang mengukurmu dengan kayu pengukur dari tahun-tahun Ayah sendiri.

Dan sebenarnya begitu banyak hal yang baik dan benar dalam sifatmu. Hati mungil milikmu sama besarnya dengan fajar yang memayungi bukit-bukit luas. Semua ini kau tunjukkan dengan sikap spontanmu saat kau menghambur masuk dan mencium Ayah sambil mengucapkan selamat tidur. Tidak ada masalah lagi malam ini, Nak. Ayah sudah datang ke tepi pembaringanmu dalam kegelapan, dan Ayah sudah berlutut di sana, dengan rasa malu!

Ini adalah sebuah rasa tobat yang lemah;  Ayah tahu kau tidak akan mengerti hal-hal seperti ini kalau Ayah sampaikan padamu saat kau terjaga. Tapi esok hari Ayah akan menjadi Ayah sejati! Ayah akan bersahabat karib denganmu, dan ikut menderita bila kau menderita, dan tertawa bila kau tertawa. Ayah akan menggigit lidah Ayah kalau kata-kata tidak sabar keluar dari mulut Ayah. Ayah akan terus mengucapkannya kata ini seolah-olah sebuah ritual :  Dia cuma seorang anak kecil , anak lelaki kecil! 

Ayah khawatir sudah membayangkanmu sebagai seorang lelaki. Namun, saat Ayah memandangmu sekarang, Nak, meringkuk terbaring dan letih dalam tempat tidurmu, Ayah lihat bahwa kau masih seorang bayi. Kemarin kau masih dalam gendongan ibumu, kepalamu berada di bahu ibumu. Ayah sudah meminta terlalu banyak, sungguh terlalu banyak.

———-

Sebagai ganti dari mencerca orang, mari kita coba untuk mengerti mereka. Mari kita berusaha mengerti mengapa mereka melakukan apa yang mereka lakukan. Hal itu jauh lebih bermanfaat dan menarik minat daripada kritik; dan untuk melahirkan simpati, toleransi dan kebaikan hati. Untuk benar-benar mengenal semua, kita harus memaafkan semua.

 

Seperti yang dikatakan Dr. Johnson : “Tuhan sendiri tidak menghakimi orang hingga tiba pada akhir hari-harinya”

Mengapa saya dan Anda harus melakukannya? 😉

[youtube=http://www.youtube.com/watch?v=T4Igb5Yors4&hl=en_US&fs=1&rel=0]

gambar diambil dari  sini

Continue Reading

Tamasya Yang Tanggung

Kali ini saya mau curhat nggak penting. Hari Minggu kemarin boleh dibilang “harlotnas”, hari nyolot nasional. Betapa tidak, saya yang sudah empot-empotan menahan emosi sejak seminggu menjelang “bulanan” harus berhadapan dengan segala hal menjengkelkan sejuta umat 👿 . Maklumlah ya, namanya perempuan pasti ada saat-saat dimana harus dilanda emosi yang tidak stabil selama beberapa hari. Menjengkelkan? Iya banget :lol:. Buat diri sendiri aja sudah terasa menjengkelkan, buat orang lain apalagi.. Untung suami sudah paham & bisa mengerti “tabiat” bulanan perempuan satu itu. Kalau enggak, mungkin sudah terjadi huru-hara & perang antar suku kali ya.. :mrgreen:

Rencana mau ke Cibubur lihat rumah. Lihat-lihat doang kok, belum beli. Kan isi celengannya belum sampai se-tong minyak tanah :D. Dan kenapa yang dipilih daerah Cibubur, Cileungsi dan sekitarnya? Kenapa nggak di Pondok Indah, kan lebih deket tuh. Alasannya cuma satu. Mahal, bos ! *nangis*. Rencana awal berangkat pagi biar nggak terlalu panas tapi berhubung suami harus menjalankan banyak ritual pagi (untunglah dia nggak sampai prosesi luluran, spa & siraman), jadilah kita sampai sana sudah dalam suasana tengah hari bolong nan panas membakar kulit. Tahu sendiri & bisa dibayangkan kan akses kearah Cibubur & seterusnya bukan main panasnya & kita bermotor ria ke arah sana. Well no problemlah untuk masalah bermotor ria itu, sudah biasa. Lha terus masalahnya?

Nah, setelah dari Cibubur, Jonggol dan endebrey endebrow itu, suami mengajak ke.. taraaaaaa.. Taman Buah Mekarsari !. WHAT?! Iya, ke Taman Buah Mekarsari. Ngapain coba?. “Ya kan kamu belum pernah kesini, sekali-kali kesini aja biar tahu. Aku juga belum pernah kok..”, jawabnya enteng. Percuma juga saya bilang nggak pengen kesitu tapi toh yang bawa motor kan dia, jadi ya terpaksa dengan wajah gondok & emosi berlebihan saya melangkahkan kaki dengan amat sangat ogah-ogahan. Lha, kenapa mau kalau nggak suka? Ya dalam hati sebenernya saya juga penasaran seperti apa sih Taman Buah Mekarsari yang katanya taman buah terbesar didunia itu, sambil menenangkan diri dari emosi yang naik turun nggak jelas itu.

Ternyata, kalau mood kurang menyatu dengan lokasi bisa jadi lokasi senyaman apapun bisa jadi biasa-biasa saja atau bahkan menjadi kurang menarik ya. Itu yang terjadi sama saya kemarin :mrgreen: . Datang sudah sangat siang, melihat venue-venue yang (menurut saya) kurang menarik & wahana yang “begitu-begitu” saja membuat mood saya makin turun & ingin segera enyah dari bumi Taman Buah Mekarsari. Apalagi sepanjang jalan hanya melihat jajaran pohon nggak jelas itu makin membuat saya bosan. Iya saya tahu, saya belum melihat semua lokasi kebun buahnya. Cuman, berhubung saya udah nggak mood, jadi ya semua terasa serba nggak asik. Apa sih? :lol:. Suami sih enjoy aja, sambil mengabadikan beberapa spot yang menurut dia menarik. Suami kebetulan lumayan pinter kalau mengambil angle-angle atau spot-spot untuk foto. Tapi tetep aja kalau menurut saya nggak ada yang menarik ngapain difoto. Nyebelin banget deh saya waktu itu. Ngerasa sendiri aja :mrgreen:

Karena Taman Buah Mekarsari termasuk arena wisata keluarga jadi yang datang juga keluarga-keluarga gitu, kebanyakan dalam rombongan besar, datang dengan menggunakan mobil keluarga atau bis (kebanyakan berplat daerah luar Jakarta). Ditambah lagi kemarin hari Minggu pula. Jadi makin kloplah keramaian & hiruk pikuknya, begitu pula dengan peringatan harlotnas yang saya rayakan itu :mrgreen:. Suami yang berusaha setengah mati membuat saya antusias dengan suasana disana, harus menyerah karena mood saya tak juga berubah sejak kedatangan kami di tempat itu.

” Mau naik kano nggak? Nanti kita foto-foto ditengah danau situ..”
” Ogah ah, panas.. Nanti item.. Tengah hari bolong kok panas-panas ditengah danau..”
” ya udah, mau foto disitu nggak, ditempat teduh situ?”
” Enggak ah, pemandangannya jelek. Nggak ada bunga-bunganya. Gersang..”

Masih sabar, tapi yakin deh pasti pengen njambak 😆

” Kamu udah laper? Mau makan nggak? ”
” Enggak. Belum laper.. “, dengan muka yang amat sangat nggak mood banget.
” sama sih aku juga belum laper. Mau naik bis yang itu, buat keliling-keliling nggak?”
” ogah ah, males. Liat tuh, selalu rebutan & penuh banget..”, jawab saya bikin alasan.
” ya kalau nggak mau yang penuh, harusnya tadi kamu bawa bis sendiri..”

Kali ini saya yang nahan ketawa. Membayangkan membawa sendiri bis warna-warni yang gandeng dua itu buat keliling taman Buah Mekarsari aja saya udah sakit perut. Belum lagi melihat wajah suami yang datar banget tanpa emosi, malah sesekali cengengesan. Haduh dia memang sabar banget ngeladenin saya yang pecicilan ini :lol:. Untunglah dia tabah. Kalau enggak mungkin saya udah disuruh pulang sendiri, kali. Jangan sampai deh, kan saya paling bodoh kalau menghafal jalan. Nanti saya tersesat gimana? :lol:.  Jadilah acara yang seharusnya fun, karena saya yang lagi nggak mood seenggak mood-moodnya umat, akhirnya tak lama kemudian harus pulang. Suami juga memilih untuk mengalah, daripada bonyok katanya, hehe.. Iyalah ngapain lama-lama di tempat yang saya nggak bisa menikmati keindahannya samasekali 😆 *ditabok bolak-balik*

Jadi? Ya, akhirnya kita pulang ke Mampang dengan sebuah cerita tamasya yang tanggung :mrgreen:. Sekianlah posting nggak penting dari saya.

Makasih :mrgreen:

 

Continue Reading

Selamat Ulang Tahun, Ma..

mother

Ibu..
merupakan kata tersejuk yang dilantunkan oleh bibir – bibir manusia.
Dan “Ibuku” merupakan sebutan terindah.
Kata yang semerbak cinta dan impian,
manis dan syahdu yang memancar dari kedalaman jiwa..


Ibu adalah segalanya.
Ibu adalah penegas kita di kala lara, impian kata dalam rengsa,
rujukan kita di kala nista.
Ibu adalah mata air cinta, kemuliaan, kebahagiaan dan toleransi.
Siapa pun yang kehilangan ibunya,
ia akan kehilangan sehelai jiwa suci yang senantiasa
merestui dan memberkatinya..


Alam semesta selalu berbincang dalam bahasa ibu.
Matahari sebagai ibu bumi yang menyusuinya melalui panasnya.
Matahari tak akan pernah meninggalkan bumi
sampai malam merebahkannya dalam lentera ombak, syahdu tembang beburungan dan sesungaian..


Bumi adalah ibu pepohonan dan bebungaan…
Bumi menumbuhkan, menjaga dan membesarkannya.
Pepohonan dan bebungaan adalah ibu yang tulus memelihara bebuahan dan bebijian..


Ibu adalah jiwa keabadian bagi semua wujud.
Penuh cinta dan kedamaian..

 

 

:+: Khalil Gibran :+:

 

 

Selamat Ulang Tahun ya Ma.. semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan kesehatan, perlindungan & memberkati kehidupan Mama..

.. We love you ..

* peluk cium : Papa, aku, Echa, Dista *

kadonya tar menyusul ya Ma 🙂

[devieriana]

 

 

 

picture taken from here


Continue Reading

Jamu.. Jamuu..

Pagi ini saya ngobrol sama temen, awalnya sih ngomongin tentang kondisi cuaca, pancaroba, penyakit, dll. Ya wajarlah namanya kondisi lagi nggak menentu gitu kan penting buat jaga kesehatan ya.. At least minum vitamin atau suplemen kesehatan biar nggak gampang sakit gitu. Mengingat sohib saya ini kan makluk sibuk luar biasa yang kerjanya hectic kesana kemari.

Dia bilang nggak suka minum vitamin. Biasanya malah saking lamanya disimpen akhirnya lupa malah nggak diminum, kadaluwarsa & akhirnya dibuang. Ya kan sayang, mending dikasih ke saya kan ya.. Walaupun saya juga nggak rutin-rutin amat minum vitaminnya tapi nggak pernah saya buang.

Soal “buang membuang” ini mengingatkan pada pengalaman jaman baheula, jaman-jaman mama “memaksa” saya minum jamu. Biasalah ya, namanya ibu, punya anak perempuan kalau bisa sih dijaga bentuk tubuhnya biar  tetep bagus, nggak “mbedah” alias gemuk setelah dapet haid pertama. Biasanya anak perempuan yang sudah akil baligh itu semua organ tubuhnya mulai berkembang. Nah kalau nggak dijaga (katanya) bisa jadi “mekar” kemana-mana (berasa kembang nih.. mekar). Kebetulan keluarga saya orang-orangnya nggak ada yang gemuk, tapi pasti ada kecenderungan gemuk kalau nggak jaga badan. Karena itulah mama beneran jagain badan saya biar nggak “bengkak” (kalau kaya gini berasa satpam. Ngejagain). Selain itu kata mama, minum jamu biar nggak bau badan. Namanya anak sekolah pasti banyak aktivitasnya & pasti berkeringat kan? Nah begitulah.. salah satunya untuk mencegah bau badan 😀

Masa “penyiksaan” selalu ada di hari Minggu pagi. Biasanya sambil bikin sarapan nggak lupa nyiapin jamu buat saya. Jamu galian putri (kalau yang sekarang galian kabel). Itu juga ganti-ganti tiap minggunya. Minggu pertama jamu ini, tar minggu kedua jamu itu, tar minggu ketiga balik lagi jamu ini..dst. Katanya biar nggak bosen (ih padahal mau diganti-ganti berapa kali juga kalo namanya jamu mah ogah). Biasanya diseduh dalam cangkir yang sudah dibubuhi gula, sedikit garam, madu, dan jeruk nipis. Katanya biar rasanya “sedep” *mata berkunang-kunang*

Ya namanya jamu kan rasanya nggak sama kaya softdrink, jadi sayapun ogah-ogahan minumnya. Berbagai alasanpun meluncur, yang pahitlah, eneglah, nggak enaklah, ntar aja minumnya, dan segudang usaha menghindar lainnya. Itu baru dibikinin, lha kalau disuruh bikin sendiri apa saya nggak kabur duluan. Tapi Mama nggak pantang menyerah. Sambil menasehati saya tentang macem-macem hal kewanitaan, dll, mama nungguin saya sampai selesai minum jamu. Emang sih pada akhirnya saya minum , tapi sebelum minum biasanya saya lebih sibuk menyiapkan makanan/minuman lain buat ngilangin pahitnya jamu. Jamunya belum diminum tapi yang namanya permen, snack, biskuit sudah jejer-jejer di meja kaya sesajen (tinggal nyalain dupa sama ngasih menyan).. Pokoknya lebay to the max-lah. Padahal pahitnya juga nggak seberapa, wong sudah dicampur macem-macem, ada madunya segala 😀 .

Ritualnya : jamu saya aduk aja terus, nanti sambil liat tivi berhenti, nanti pas iklan saya aduk lagi.. begitu seterusnya nggak saya minum-minum sampe dingin :D. Tapi justru acting saya yang superlebay itu malah bikin mama duduk didepan saya nungguin sampai saya minum, takut saya buang. Ah, mama saya itu memang sakti, bisa membaca pikiran orang lain. Iyalah wong emang gerakan saya seluruhnya mencurigakan. Tapi jujur, jamu seduhan mama nggak pernah sekalipun saya buang, semua saya minum walaupun agak nggak ikhlas. Padahal harusnya saya bersyukur diperhatikan sampai sebegitunya. Wong ya buat badan-badan saya sendiri ya..

Setelah bertahun-tahun saya konsumsi sekarang akhirnya saya jadi terbiasa “berjamuria”. Maksudnya udah nggak “takut” sama pahit lagi gitu. Sebenernya kalau selama semuanya serba teratur & terukur sesuai dosis yang dibutuhkan tubuh semua yang kita konsumsi efeknya memang nggak bisa kita rasakan seketika itu, tapi justru setelah sekian lama kita konsumsi baru terasa hasilnya. Bersyukur ketika dulu teman-teman mengeluhkan jarum timbangan selalu bergeser ke kanan, jarum timbangan saya cenderung ke kiri & ke kanan tapi banyakan ke kanannya.. hahaha.. ya kadang suka naik sekilo dua kilo tapi balik lagi ke normal – kalo udah diet seminggu tapinya.. :mrgreen:

Kalau inget soal jamu-jamuan itu jadi senyum-senyum sendiri. Saya yang kucrut, bandel & tengil VS Mama yang nggak bisa dipengaruhi (& diakal-akalin) itu ternyata sekarang harus berterimakasih sama beliau..

Eh Ma, makasih buat jamu-jamunya ya.. I love You, Mam.. 😀

 

 

[devieriana]

Continue Reading