Painful Journey

Saat masih kecil, seringkali rasa sakit biasanya datang dalam bentuk yang sederhana—misalnya lutut yang terluka akibat kita jatuh dari sepeda, kepala yang tak sengaja terbentur meja, atau perut yang mules setelah jajan sembarangan. Tapi, biasanya rasa sakit itu cepat hilang karena kita tahu akan ada orang dewasa yang memberi kita pertolongan/obat. Secara mental kita tahu bahwa seiring waktu keadaan kita akan pulih, kita pulih seperti semula. Come back stronger, kalau kata anak sekarang, ya.

Namun, saat mulai memasuki usia dewasa, kita sadar bahwa rasa sakit yang muncul bukan lagi luka secara fisik, karena pencarian jati dirilah yang jauh lebih rumit. Sebagai orang dewasa, kita kini memegang kendali penuh atas hidup kita dan bertanggung jawab atas segala masa depan yang kita pilih. Semakin kita memahami kompleksitas hidup, semakin banyak pula berbagai keputusan besar yang harus diambil yang bisa saja mengubah arah hidup kita. Walaupun kesadaran ini seolah memberi kebebasan, jangan salah, ia juga datang dengan beban dan tanggung jawab yang berat.

Salah satunya adalah saat saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di usia saya sekarang—dengan status sebagai seorang ibu, istri, dan pekerja—saya tahu ini bukan keputusan yang mudah. Perjalanan untuk menyeimbangkan antara pendidikan, pekerjaan, dan peran sebagai ibu dan istri, memang penuh dengan tantangan yang tak terduga. Setiap langkah yang saya ambil mengharuskan saya untuk terus mengatur waktu dan energi dengan bijaksana. Salah satu momen yang paling terasa adalah ketika saya harus membagi waktu antara belajar untuk studi saya dan membantu anak mengerjakan PR atau menyiapkan diri untuk ulangan. Di sisi lain, ada malam-malam panjang ketika saya duduk sendiri di depan laptop, berjuang melawan kantuk, menyelesaikan tugas yang tenggatnya semakin dekat. Di momen-momen seperti itu, rasa “painful” hadir begitu nyata.

Tantangan yang saya hadapi sehari-hari—mulai dari membagi waktu antara kuliah, pekerjaan, dan keluarga—sering kali terasa berat. Namun, saya tahu ini adalah bagian dari proses belajar dan berkembang. Yang lebih menantang lagi adalah menjalani hubungan jarak jauh dengan suami saya yang kini bertugas di luar kota. Meskipun terpisah jarak, kami terus berusaha saling mendukung, meski komunikasi sering kali terbatas karena kesibukan masing-masing. Ada rindu yang harus dipendam, ada lelah yang kadang tak bisa diungkapkan, namun kami tetap yakin bahwa semua pengorbanan ini adalah demi kebaikan bersama.

Di balik semua tantangan ini, ada keyakinan yang selalu saya pegang teguh. Saya percaya bahwa setiap keputusan yang saya ambil bukan hanya untuk diri saya sendiri, tetapi juga untuk keluarga saya. Ada harapan yang besar saat anak saya melihat ketekunan saya dalam belajar, dan memahami pentingnya kerja keras. Saya juga berharap keluarga saya menyadari bahwa mengejar mimpi tak mengenal usia atau status. Tentu saja, saya sadar bahwa rasa sakit, lelah, dan frustrasi yang kadang muncul adalah bagian dari proses. Justru proses yang penuh tantangan inilah yang mengajari saya untuk lebih sabar, lebih bijak dalam mengelola waktu dan energi, dan untuk terus percaya bahwa di ujung jalan, ada kebaikan yang menunggu.

Dalam hening saya sering merenung, berkontemplasi, dan berpikir tentang betapa banyak orang yang menghadapi tantangan jauh lebih besar dari yang saya hadapi namun tak pernah terceritakan, dan tetap menjalani hidup seperti biasa saja. Di saat-saat seperti itulah yang membuat saya sadar bahwa kita tak bisa membandingkan hidup kita dengan orang lain, karena setiap orang memiliki jalan dan perjuangannya masing-masing. Anadaikata pun saya bisa memutar waktu, saya tak akan mengubah apapun. Karena setiap momen, baik suka maupun duka, telah membentuk diri saya menjadi seperti sekarang.

Untuk kamu yang sedang menjalani perjalanan hidup yang berat, ingatlah, kamu tidak sendirian. Setiap langkah kecil yang kamu ambil membawa kamu lebih dekat ke versi terbaik dari dirimu. Tak masalah jika langkahmu terasa lebih lambat dibandingkan orang lain, karena setiap orang punya ritme hidupnya sendiri. Suatu hari nanti, kamu akan melihat kembali dan menyadari bahwa semua rasa sakit dan lelah itu benar-benar layak untuk dilewati. Jangan lupa untuk berterima kasih pada dirimu sendiri, karena meski tantangan terus datang, kamu tetap berdiri teguh. Teruslah berusaha menjadi versi terbaik dari dirimu, karena itu adalah hal yang paling penting.

“Every painful journey carries its own lessons; it’s in the struggle that we find our strength and in the scars that we discover our resilience.”

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

PDA: Romansa di Tengah Publik

Di tengah perjalanan sebuah bus Transjakarta yang melaju dari arah Kota Tua menuju ke Balai Kota, naiklah sepasang anak muda yang sejak naik hingga turun mereka duduk bersebelahan, dan saling bergandengan tangan. Selama perjalanan, mereka beberapa kali saling melakukan hal-hal kecil kepada pasangannya satu sama lain. Mengusap/mencium pipi, membelai rambut, membetulkan kerah baju, meletakkan tangan di paha pasangan, berbisik mesra lalu terbahak, dan berpelukan, semuanya dilakukan di ruang publik di dalam transportasi umum, Transjakarta. Anyway, jarak perjalanan yang ditempuh keduanya hingga sampai di pemberhentian terakhir lumayan jauh, kan? Jadi, bagi penumpang yang duduk berhadapan dengan mereka, sepertinya lebih baik pindah ke Mars, deh.

Seiring dengan perkembangan teknologi, kemesraan bukan hanya bisa dilihat secara langsung, tetapi juga dapat dilihat melalui media sosial. PDA bisa terjadi di mana saja: di taman, pusat perbelanjaan, transportasi umum, bahkan di tempat kerja. Seperti misalnya di platform media sosial Instagram, ada akun Instagram milik sepasang selebgram muda yang aktif membagikan konten kemesraan mereka di antara konten-konten kajian keagamaan. Walaupun banyak komentar yang memuji mereka dengan kata-kata seperti “ih, lucu deh kalian”, “mesra banget”, “uwuu..,” “duh, kita mah cuman bisa nyengir aja” dan berharap untuk menemukan pasangan seperti mereka, namun di dunia maya, respon yang diterima tidak selalu positif.

“Mempertontonkan kemesraan di depan publik, hmm, kok agak gimana, ya?”

“Menurutku, meskipun mereka pasangan yang sah, sebaiknya kemesraan tidak terlalu diumbar, apalagi diunggah ke media sosial. Tidak semua orang merasa bahagia seperti mereka, dan khawatirnya malah menimbulkan ain. Ini cuma pendapatku saja, ya. Maaf kalau ada yang nggak setuju.”

“Haduh, ya udah sih biar aja. Pasangan-pasangan mereka sendiri kok kalian yang ribet! Kalau nggak suka, unfollow aja..”

Public Display of Affection (PDA) atau menunjukkan kasih sayang di tempat umum sering kali menjadi perdebatan hangat. Ada yang melihatnya sebagai bentuk cinta yang romantis, sementara lainnya merasa terganggu, tidak nyaman dengan hal tersebut. Menurut Wikipedia, pamer kemesraan atau umbar kemesraan adalah perbuatan mempertunjukkan kemesraan di depan umum, yang biasanya dilakukan oleh pasangan, seperti pacar atau pasutri.

Banyak pasangan memilih untuk menunjukkan perasaan mereka kepada publik melalui PDA. Tidak ada yang tahu secara pasti tentang maksud dan tujuan orang yang melakukan PDA. Mungkin mereka berharap gestur-gestur berpegangan tangan atau berpelukan di tempat umum dapat menunjukkan kedekatan mereka kepada orang lain. Atau malah justru sebaliknya, untuk menyembunyikan ketidakamanan dalam hubungan mereka? Lebih dari sekadar mengekspresikan kasih sayang, PDA juga tentang menunjukkan komitmen mereka di hadapan orang lain.

Masing-masing individu memiliki preferensi yang beragam dalam mengekspresikan kemesraan di depan publik. Ada yang senang memperlihatkan kasih sayang kepada pasangan mereka secara terbuka, tetapi banyak juga yang lebih suka menjaga privasi dengan tidak menunjukkan kemesraan di depan orang lain. Hal ini sering dipengaruhi oleh latar belakang pribadi, budaya keluarga, atau norma sosial yang mereka anut.

Di negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Kanada, dan sebagian besar Eropa, Public Display of Affection (PDA) sering kali dianggap sebagai hal yang lumrah dan diterima secara sosial. Namun, di beberapa negara Asia dan Timur Tengah, PDA sering kali dianggap tidak pantas atau bahkan dianggap tabu. Dalam media dan budaya populer, PDA sering digambarkan sebagai sesuatu yang romantis dan diidamkan. Film, acara TV, dan musik memiliki pengaruh besar dalam cara orang mengekspresikan perasaan cinta mereka.

Kontroversi seputar PDA melibatkan berbagai isu, tidak semua orang merasa nyaman melihat PDA, terutama jika dianggap terlalu intim. Adanya perbedaan generasi juga memengaruhi, di mana generasi yang lebih tua mungkin kurang mendukung PDA karena norma sosial pada masa lalu berbeda dengan generasi muda saat ini. Perbedaan pendapat juga muncul karena setiap individu memiliki toleransi yang berbeda terhadap kemesraan di depan umum. Isu lainnya termasuk pendapat bahwa PDA sebaiknya dibatasi untuk menjaga kesopanan di tempat umum. Namun pembatasan PDA di beberapa tempat ini mengundang pertanyaan tentang seberapa jauh norma sosial dapat membatasi kebebasan individu. Oleh karena itu, penting bagi mereka yang suka melakukan PDA untuk mempertimbangkan situasi/konteks, lokasi, serta menghormati respons dan norma budaya setempat.

Jadi, walaupun PDA bisa dianggap sebagai bentuk ekspresi cinta yang berbeda-beda maknanya bagi setiap orang dan budaya, yang terpenting adalah bagaimana kita menemukan keseimbangan antara ingin mengekspresikan kasih sayang dan tetap menjaga kenyamanan serta kesopanan di tempat umum. Hal ini penting agar kita menciptakan lingkungan yang menghargai keragaman dan saling menghormati.

— devieriana —

Ilustrasi gambar dipinjam dari sini

Continue Reading

Like a Box of Chocolates

Disclaimer : Tulisan ini bukan bermaksud menggurui. Disarikan dari hasil perenungan, diskusi, dan curhat beberapa galauers tentang pasangan hidup. Postingan ini saya dedikasikan untuk semua masyarakat Republik Jomblo Happy Indonesia. I love you, Guys! :-*

———-
“Life is like a box of chocolates, you never know what your gonna get..”
— Forest Gump —
Beberapa waktu yang lalu saya dikejutkan oleh sebuah berita bahagia dari salah seorang sahabat yang setelah berkali-kali gagal dalam urusan percintaan namun akhirnya beberapa hari lagi akan segera melangsungkan pernikahan. Terharu sekaligus bahagia. Untuk pertama kalinya saya merasakan perasaan seemosional ini ketika mendengar seseorang yang berniat akan mengakhiri masa lajang. Sahabat saya ini termasuk istimewa. Dia baru menemukan jodoh di usia yang hampir masuk kepala lima. Sahabat terbaik yang dulu sering memercayakan kisah cintanya pada saya, baik suka, duka, jatuh cinta, atau ketika patah hati.

Uniknya kami belum pernah sekalipun bertemu. Pertemanan kami yang hampir berjalan 4 tahun itu berjalan sebagai kisah persahabatan murni. Tidak melibatkan perasaan sama sekali. Karena kami berdua memang merasa lebih nyaman dengan status hubungan yang seperti ini. Usianya yang terpaut jauh dari saya membuat saya juga nyaman bercerita tentang apa saja, seperti bercerita pada seorang kakak. Begitu pun sebaliknya. Dia sangat menghargai saya, tidak pernah sekalipun menganggap saya anak bawang yang opininya bisa saja diragukan kedewasaannya.

Saya sadar bahwa mungkin saya tidak selalu mampu memberikan solusi terbaik untuknya, hanya beberapa saran yang menurut saya masuk akal saja. Soal nanti akan diterapkan beneran dalam pengambilan keputusan atau tidak ya terserah dia. Kan yang menjalani hidup dia juga 😀

Nah, ngomong-ngomong masalah cinta & pasangan hidup memang selalu menjadi tema yang tidak akan pernah habis untuk dibahas, ya? Selalu saja ada energi untuk menuliskannya dalam berbagai versi & bahasa. Kita nyata diciptakan berpasang-pasangan namun kita tidak pernah tahu kapan & dimana akan bertemu dengan pasangan hidup kita.

Kita —utamanya para perempuan— semasa kecil pasti punya dong gambaran tentang sosok ideal seorang pasangan hidup. Nanti pengennya punya pasangan yang tipenya begini, begini, begini. Ingin yang sifatnya bla, bla, bla, bla. Secara fisik begini, begini, begini, dan sebagainya. Yang namanya keinginan ingin memiliki pasangan hidup yang sempurna itu wajar saja, bukan? Saya dulu juga begitu. Menikah kan niatnya cuma sekali seumur hidup, dan kalau bisa dapat yang sempurna sekalian. Begitu, kan? Iya, idealnya..

Saya punya beberapa sahabat perempuan yang kehidupannya nyaris sempurna. Hampir semua dia miliki. Pribadi yang hangat & menyenangkan, karir yang bagus, gaji dalam digit rupiah diatas enam, keluarga yang sangat mendukung, dan dikelilingi sahabat-sahabat yang menyenangkan. Hanya satu yang dia belum miliki, pria yang tepat sebagai pasangan hidup. Definisi pria yang tepat disini bisa disimplifikasi sebagai pria single, tidak sedang terikat hubungan & pernikahan dengan siapapun, mapan (setidaknya dia punya pekerjaan sehingga mampu menafkahi keluarga kelak, walaupun istri juga sebagai wanita bekerja), dan punya kepribadian yang baik. Soal wajah mungkin bisa nomor sekianlah, ya. Tapi misalnya Tuhan berbaik hati mau ngasih yang seganteng Bradley Cooper sih disyukuri (banget). Ah, ini sih saya juga mau! ;))

Siapa sih yang tidak ingin menemukan pasangan hidup sesegera mungkin? Kalau ada yang bilang “enggak” bisa kita artikan masih “pending”. Tapi bukan berarti “nggak mau”, kan? Nah, masalahnya kan jodoh itu tidak bisa dibeli layaknya kita ingin beli tomat di pasar. Tidak bisa asal comot sesuka hati, mana yang kelihatan matang lalu kita beli dan bawa pulang. Nanti bisa kita langsung makan atau dibikin jus. Hidup juga bukan jalan tol yang mulus dan bebas hambatan, dong? Begitu pula halnya proses dalam menemukan jodoh.

Kita tidak pernah mengira “path” apa yang sedang kita jalani. Urusan jodoh selalu jadi misteri terbesar Tuhan yang tidak pernah bisa ditebak kapan datangnya, layaknya takdir hidup & matinya manusia. Ada yang sudah ngoyo banget, tapi jodoh yang diharapkan belum datang juga (padahal usia sudah “layak” berkeluarga). Tapi ada juga yang santai-santai saja eh jodoh malah datang sendiri. Unik, ya? 🙂

Kalau bicara masalah usia, idealnya sebuah pernikahan bukanlah sebuah hal yang dilakukan karena emosi, sekedar pantes-pantesan, atau karena tuntutan usia. Menikah, selain masalah hati dan kesiapan mental, juga masalah waktu. Logikanya, seberapa ngoyonya kita kalau Yang Diatas belum bilang “ya”, ya kita belum akan bertemu dengan si dia. Tapi kalau Tuhan sudah mengizinkan, “voila!”, yakin deh, segala rencana akan dimuluskan oleh-Nya.

Saya juga punya sahabat yang sudah pacaran hampir 7–8 tahun lamanya, sudah berniat akan melanjutkan hubungan serius ke jenjang pernikahan. Namun sayangnya, menjelang acara lamaran salah satu diantara mereka justru memutuskan pertunangan dan memilih untuk menikah dengan orang lain :(. Ada juga kisah seorang sahabat yang sudah menanti pasangan hidup sedemikian lama, namun ketika kemudian hari dipertemukan dengan “the prince charming” ternyata sifatnya tak lebih baik dari tokoh Ja’far ( penasihat sekaligus penyihir jahat di film Aladdin) :|.

“Tapi bete kali Dev kalau ditanyain melulu soal kapan gue nikah? Perasaan baru kemarin deh ketemu di acara kondangan, masa pas ketemu lagi di acara reunian dia nanya beginian lagi, sih?:((“

Oh, ya udah berarti yang nanya emang nggak ada kerjaan, sih. Gampar aja. sih! ;)). Euh, jadi inget sama Bude saya deh kalau begini, bedanya sekarang saya lagi sering dikejar-kejar sama pertanyaan, “kamu sudah hamil lagi, belum?” :|. Arrggh! *makan kuaci biji kedondong*. Curhat! :))

Saya juga sudah pernah merasakan betapa tidak nyamannya ketika dihujani teror pertanyaan “kapan menikah?”, “sudah ada calonnya, kan?”, dll. Capek memang kalau didengerin, ya. Tapi ya itulah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa kita memang hidup diantara kultur masyarakat yang “terlalu peduli dengan urusan pribadi orang lain”. Tapi kalau mau berpikir posistif nih, mungkin tujuan mereka tanya ini itu tentang “the kapan things” itu sebenarnya untuk menunjukkan saking sayangnya mereka sama kita. Oh, bukan? Ya sudah, anggap saja karena mereka ingin jadi wedding organizer, penyandang dana, atau penyedia katering. Nah, siapa tahu kan? :-”

Nah, buat yang sedang galau menanti jodoh yang tak kunjung datang, percaya deh.. someday, somehow, somewhere, you’ll find your life mate soon! Banyak orang yang sudah menikah saja belum tentu bahagia (even they pretend to be happy). So, as long as you are happy with your own life, surrounded by fun-loving friends, you’ll be just fine. Jangan menikah hanya karena desakan orang lain, masalah usia, atau jabatan yang sudah dimiliki, yang sehingga justru akan membuat kita —terutama para perempuan— membuat pilihan yang salah. Juga jangan pernah memutuskan untuk menikah karena orang lain sudah menikah lebih dulu. Menikah itu bukan masalah kalah atau menang diantara teman, siapa yang bakal menikah atau dapat jodoh duluan. Nikmati saja semua alur proses pencarian itu, tidak ada salahnya kok untuk berhati-hati. Kan kita juga inginnya hanya menikah sekali untuk seumur hidup ya. Boleh kok agak keluar sedikit dari lingkungan yang ada, siapa tahu “si dia” itu justru nyempil di tempat-tempat yang tidak pernah kita duga sekalipun ;).

“Aduh, tapi kalau nggak ada pacar itu hidup terasa hampa, tau! Masa yang lain pacaran, gue galau aja tiap malam minggu? 🙁 *ngemut sofa*

Eh, pernah dengar kisah Margareth Maxwell istri John C Maxwell seorang pembicara & pakar kepemimpinan yang memberikan statement bahwa suaminya tidak pernah memberikan kebahagiaan yang dia cari, belum? Bayangkan nih ya, seorang pakar, pembicara, yang sering “menguliahi” orang tentang hidup, kebahagiaan, kepribadian, dan kepemimpinan, ternyata dia tidak cukup ahli untuk memberikan kebahagiaan kepada istrinya sendiri. Oh, no! 😮

Namun apa jawaban sebenarnya dari Margareth Maxwell ini?

“Tidak ada seorang pun di dunia ini yang bertanggung jawab atas kebahagiaanku selain diriku sendiri”
Jadi intinya, tidak ada orang lain yang bisa membuat kita bahagia, baik itu pasangan hidup kita, sahabat kita, hobi, maupun harta/uang kita. Pola pikir kitalah yang menentukan apakah kita bahagia atau tidak, bukan faktor luar. Kebahagiaan yang hakiki itu sebenarnya ada dalam diri kita sendiri kok.

Pernah nonton film He’s Just Not That Into You? Ada sebuah pesan moral yang saya dapatkan ketika menonton film itu. Kebahagiaan bukan hanya tergantung pada status apakah kita “menikah” atau “single”, melainkan apakah hati dan pikiran kita bahagia? Happiness is entirely a state of mind. Ada banyak hal yang bisa kita bagi bersama orang lain yang justru akan menimbulkan kebahagiaan tersendiri untuk kita.

Tidak ada kata terlambat untuk menikah. Kalau memang harus menunggu sedikit lebih lama, ya kenapa tidak? Toh semua itu untuk sesuatu yang sangat berharga dalam hidup, kan? Sampai datangnya seseorang yang tidak akan pernah menjadi sebab penyesalan kita karena telah salah memilih. Percaya deh, segala sesuatu akan indah pada waktunya kok 😉

“Soul mates. It’s extremely rare, but it exists. It’s sort of like twin souls tuned into each other”
– Serendipity –
[devieriana]

 

picture taken from here

Continue Reading

Berkompromi dengan ketidaksempurnaan..

Beberapa kali saya diskusi dengan tema seperti ini dengan beberapa teman yang berbeda. Tema klasik yang bisa dialami dan bisa terjadi pada siapa saja. Tentang pekerjaan, keluarga, pasangan hidup.

Tak jarang kita harus mau berkompromi dengan takdir, dengan situasi dan kondisi tertentu berkaitan jodoh, pekerjaan, lingkungan, keluarga, dll. Seringkali semua hal tidak berjalan seperti apa yang kita kehendaki. Bahkan ketika sudah hampir kejadian seperti yang kita maui pun endingnya tak selalu mulus. Ternyata Tuhan berkehendak yang berbeda. Mau tidak mau kita yang harus menyesuaikan diri dengan itu semua. Nah, trus gimana dong? Nangis? Nyesel? Jambak-jambak rambut? ~X(. Nyesel pasti ada ya. Tapi masa iya mau nyesel melulu? Endingnya minum jus jambu campur potas..:-ss. Tergantung kitanya mau menerima dan ikhlas menjalani itu semua atau enggak. Tsaah, ngemeng aja nih.. Ngejalaninnya gampang kagak? Ya, kalau kitanya ikhlas menjalaninya, insyaallah pasti ada jalanlah.. *benerin sorban kotak-kotak* ;))

Nah kalau masalah klisenya tentang jodoh, nih. Ada seorang teman yang (ternyata) menikah dengan orang yang jauh dari tipe idealnya. Padahal waktu pacaran saya tahu betul bagaimana tipe mantan-mantan pacarnya. Tapi pas menikah justru bukan yang romantis, bukan yang kaya raya, wajah dan tampilannya pun bahkan sangat bersahaja untuk ukuran pria selera dia. Nah lho, salah pilih? :-o. Enggak juga. Sejauh ini dia juga fine-fine aja dengan suaminya. Bahkan sudah dikaruniai 2 anak yang lucu-lucu. Kelihatannya juga bahagia-bahagia aja dengan kehidupan berkeluarganya (semoga sesuai dengan apa yang saya lihat ya :D). Kita nggak pernah tahu dengan siapa kita akan berjodoh kan ya? Yang jelas, kadang memang sosok yang jadi pasangan kita belum tentu adalah sosok yang sesempurna impian atau cita-cita kita.

Sekali lagi saya mengutip pernyataan Steven R. Covey :

“Your life doesn’t just “happen.” Whether you know it or not, it is carefully designed by you. The choices, after all, are yours. You choose happiness. You choose sadness. You choose decisiveness. You choose ambivalence. You choose success. You choose failure. You choose courage. You choose fear. Just remember that every moment, every situation, provides a new choice. And in doing so, it gives you a perfect opportunity to do things differently to produce more positive results.”

Intinya, semua yang terjadi dalam hidup kita adalah hasil dari pilihan yang sudah kita ambil. Apakah nanti resikonya baik/buruk itu adalah sebagai bentuk konsekuensi logis atas pilihan kita, termasuk ketika kita memutuskan untuk mencintai orang tersebut lengkap dengan segala kekurangannya, atau ketika kita memutuskan untuk tetap bersama dengannya apapun yang akan terjadi. Bahkan ketika kita menyadari bahwa diluar sana ada banyak orang lain yang kualitas pribadinya jauh melebihi segalanya yang dimiliki oleh pasangan kita tapi kita tetap memilih dengan pasangan kita. Pastinya berat ya? Iyalah, secara ya hari gini, yang namanya godaan ada dimana-mana, Bo! #:-s*ngelap keringet* *meres serbet*

Kalau kata seorang filsuf Amerika, Sam Keen, “Love isn’t finding a perfect person. It’s seeing an imperfect person perfectly”. Tidak ada seorang manusia pun yang terlahir sempurna. Pun halnya dengan mencintai seseorang. Kita ditakdirkan hidup berpasang-pasangan. Namun terkadang kita ternyata berjodoh dengan seseorang yang tidak sesempurna yang kita impikan. Ya contohnya saya aja deh. Saya pengennya sih nikah sama Darius Sinathriya gitu. Eh nggak tahunya Darius nikahnya sama Dona Agnesia, bukan sama Devi Eriana. Ya karena alasannya jelas. Dona lebih sempurna ketimbang saya ;))  *melihat wajan dan kompor beterbangan*

Kata Mama saya, kita hidup bukan mencari seseorang yang sempurna untuk dicintai TETAPI belajar mencintai orang yang tidak sempurna dengan cara yang sempurna.

Ya, setidaknya sesempurna yang kita mampu..

Eh, iya.. I love you..
@};-

[devieriana]

Continue Reading

Perempuan & fetishisme rambut panjang

Percakapan saya bersama teman kemarin sore, komentar di BBM gara-gara saya ganti profil picture ;)) :

Teman: wogh, rambutmu kaya iklan shampoo. Kalo gitu kamu kok kaya Kajol Kuch Kuch Hota Hai.. ;))

Saya : hahaha, bagus panjang kan ya. Aku nggak pernah punya rambut panjang..

Teman : itu rambutnya dhemit ya :))

Saya : hanjritos, dhemit? :-o*plak!*

Teman : itu rambut sambungan ya 😕 (maksudnya hair extension)

Saya : ho-oh.. sambungan sama taplak!

Teman : Lho, yang bener sambungan apa bukan sih?

Saya : ya bukanlah, asli ini! Asli sambungan! :))

Teman : keaslian panjangnya rambutmu diragukan! 😕

Saya : nggaklah, ini rambut asli, panjangnya juga asli, niat manjangin sejak setengah tahun yang lalu..

Teman: lha kok tumben dipanjangin?

Saya : iya di request sama si hubby

Teman: iya, kenapa ya para lelaki itu suka sama perempuan yang rambutnya panjang? 😕

Saya : ya biar njambaknya gampang.. :-“

Teman: jawabanmu sangat natural, pengalaman pribadi ya?

Saya : lha ya ngapain suamiku njambak-njambak rambut, kurang kerjaan apa?

Teman: ya kali bua ngetes rambutmu kuat apa enggak..

Saya : ho-oh, kemarin juga digantungi sama lemari sih

Teman: eh, gimana rasanya punya rambut panjang? gerah nggak?

Saya : err..kadang-kadang sih gerah dan rempong (ribet), tapi ya sekarang udah biasa..

Nah ya, saya itu sebenarnya dari dulu memang nggak pernah punya rambut panjang. Sepanjang-panjangnya rambut saya paling panjang sebahu, habis itu potong cepak lagi. Lebih suka rambut pendek karena selain lebih irit shampoo juga praktis aja gitu, nggak perlu repot mengeringkan atau ngeblow rambut dulu. Dibiarkan alakadarnya juga jadinya tetep keren kalau menurut saya. Secara saya kan orangnya nggak bisa anteng gitu ;)).

Sebenarnya sejak awal menikah saya itu sudah diminta memanjangkan rambut sama suami, karena menurut dia saya lebih pantes berambut panjang daripada rambut cepak. Nah sementara saya paling males punya rambut panjang karena selain ribet dan saya kurang telaten kalau harus ngasih ini itu, krimbath, hair spa dan teman-temannya. Paling-paling saya rajin pakai kondisioner dan perapi rambut aja, karena rambut saya itu termasuk yang nggak bisa berinisiatif rapi sendiri.

Tapi herannya ya, kebanyakan teman-teman pria, dan suami saya memang lebih suka melihat wanita dengan panjang. Pernah saya iseng tanya sama hubby, jawabannya :

Suami: ya kalau rambutnya pendek berasa kaya jalan sama cowok juga, kalau rambutnya panjang kan berasa jalan sama perempuan..

Saya : lha kalau kamu lagi jalan sama cowok rambut gondrong masih berasa jalan sama perempuan juga?

Suami: ya nggaklah, beda. Kamu tuh, masa iya aku nggak bisa bedain mana perempuan mana laki-laki sih?!
*sambit mercon*

Saya : ya abisnya kamu aneh. Masa misalnya nih ya, rambutku cepak, udah dandan dan pakai rok, masih juga kamu ngerasa lagi jalan sama laki-laki?

Suami : perempuan itu akan lebih terlihat feminin kalau rambutnya panjang..

Saya : :p ;)) :-”

Nah kalau yang pernah saya baca, ada beberapa alasan kenapa pria lebih suka dengan wanita yang berambut panjang, diantaranya :

“Komitmen. Mengingat untuk merawatnya diperlukan usaha, uang, dan kemauan lebih. Faktor-faktor tersebut mengindikasikan bahwa wanita berambut panjang memiliki perencanaan keuangan yang baik, kepercayaan diri, memiliki kesadaran cukup baik terhadap kesehatannya, juga melambangkan kelembutan. Kualitas kesehatan dan seberapa panjang rambut wanita juga menjadi daya tarik tersendiri di mata seorang pria”

Hmm.. masa sih? Rambut saya panjang tapi kok nggak pinter-pinter amat mengatur keuangannya ya? :-?. Saya juga bukan termasuk perempuan yang lembut tuh. Salah teori kayanya. Atau jangan-jangan karakter saya yang salah? 😮 ;)). Kalau panjang banget apa nggak malah tambah nyeremin ya? Apalagi kalau tahu-tahu udah berdiri di belakang kita pakai baju putih.. :-ss X_X

“Rambut panjang mampu menutupi bagian-bagian tertentu di wajah seorang wanita, seperti membuat garis rahang terlihat lebih ramping, dan membuat tulang pipi tidak terlalu terlihat mencuat..”

Oh, kalau ini saya agak setuju, secara pipi saya sekarang agak kelebihan lemak ;))

“Rambut panjang akan mengesankan wanita lebih feminin..”

Nah ini, saya itu orangnya nggak terlalu feminin sih ya. Tapi setidaknya sedang mencoba terlihat lebih feminin dengan rambut panjang ;;)

Kalau saya sih, mau apapun bentuk/model rambutnya, atau mau seberapa panjang rambutnya, terserah. Asalkan itu nyaman buat si pemilik rambut, sesuai dengan karakter wajah dan kepribadiannya sih akan terlihat bagus-bagus aja kok. Oh ya satu lagi, yang penting rambutnya sehat :-bd.

Nah kalau kalian lebih suka rambut panjang atau pendek? 😉

[devieriana]

Continue Reading