Satu Dekade

MYXJ_20170717120351_save

Sampai dengan tanggal 17 Juni 2017 kemarin sebenarnya masih belum percaya bahwa kami telah menjalani satu dasawarsa hidup berumah tangga. Di usia yang digambarkan sebagai Perkawinan Timah ini sebenarnya sama saja ceritanya dengaan usia-usia perkawinan lainnya, pasti banyak suka dukanya.

Tapi sebenarnya berapapun usia pernikahan kita bukan sebuah hal yang penting, karena sama-sama bukan jaminan dan tolok ukur kematangan dan kebahagiaan. Sejatinya, pernikahan itu tentang kemampuan kita menyesuaikan diri dengan pasangan, dan usaha masing-masing dalam mempertahankan mahligai komitmen yang sudah dimulai.

Saya sadar sepenuhnya bahwa tidak semua pasangan bisa hidup bersama sampai ke usia pernikahan yang sama dengan saya, karena mempertahankan pernikahan, hidup bersama dengan orang yang sangat berbeda sifat dan karakter itu bukan perkara gampang. Di sepanjang waktu berjalan pasti akan ada friksi dan gesekan yang akan timbul.

Dulu, zaman masih belum menikah sementara sudah banyak teman yang menikah, pernah saya bertanya kepada salah satu dari mereka begini,

“menurut kamu, pernikahan itu apakah selalu berakhir bahagia? Maksudku gini, kan ketika orang udah pacaran nih, pengennya kan selalu berujung di pelaminan, hidup berkeluarga, bahagia selama-lamanya. Menurut kamu sebagai orang yang sudah menjalani perkawinan, gimana?”

Tapi, alih-alih menjawab pertanyaan lugu saya itu, dia justru tertawa. Lah, kok malah tertawa. Jujur ya, saya selalu mikirnya begitu. Kenalan, pacaran, menikah, happily ever after. Layaknya film-film Disney, begitulah.

“Perkawinan itu nggak sesederhana yang ada dalam pikiranmu, Dev. Nggak sama kaya cerita di film-film Disney yang hampir selalu berakhir bahagia; that marriage is everybody’s happy ending. Justru masalah-masalah yang sebenarnya itu baru akan muncul setelah kita menikah. Pikiran kita justru akan ‘pecah’ ya setelah menikah, bukan pada saat pacaran yang masih banyak indah-indahnya itu”

Flashback ke 10 tahun lalu ketika pertama memulai hidup dengan suami yang karakter dan sifatnya berkebalikan bak bumi langit dengan saya. Beberapa tahun setelah percakapan itu, saya pun akhirnya menikah. Singkat cerita, benar memang, saya harus menyesuaikan diri dengan status baru saya yaitu sebagai istri. Jujur, itu bukan hal yang mudah, apalagi kalau sudah menyangkut ego masing-masing.

Dan ketika sedang perang dingin dengan suami, teringat kalimat demi kalimat teman yang dulu pernah cerita ini-itu,

“Dalam hubungan nanti, pasti akan ada kelakuan pasangan yang akan menghantam ego kita, baik itu perkataan maupun perbuatan…”

Dan lagi-lagi itu memang nyata adanya. Baik sengaja atau tidak, bukan hanya suami, saya pasti pernah berlaku hal yang sama kepada suami. Hiks…

Seiring waktu dan banyaknya pengalaman yang menyadarkan kami berdua, kami pun ‘insaf’ dan mulai saling mengisi, saling mengingatkan, saling memperbaiki diri kami masing-masing, dan lebih memaafkan. Saya dan suami sama-sama belajar menemukan nilai-nilai berharga dari apa yang telah kami jalani selama 10 tahun ini. Tidak ada manusia yang sempurna, pun halnya dengan kehidupan pernikahan.

Sampai dengan sekarang, memang masih ada sifat, karakter, cara berpikir, dan cara kami masing-masing mengambil keputusan yang berbeda dan tidak mudah untuk diubah, tapi tetap berusaha kami terima. Kami sadar bahwa terlahir dari latar belakang keluarga yang berbeda, dan tumbuh di lingkungan yang berbeda, wajar bila faktor-faktor perbedaan itu pasti akan tetap mewarnai relasi kita dengan pasangan.

Sepuluh tahun hidup bersama, semakin membuat saya sadar bahwa kami adalah dua karakter berbeda yang secara emosional saling melengkapi.

Tough times don’t last, tough teams do. Happy 10th wedding anniversary, Dear Husband. Thanks for the decade of amazing time with you…

Love you!

[devieriana]

Continue Reading

Drama itu bernama Long Weekend

mood-swing

Seperti umumnya perempuan, pasti akan mengalami masa datang bulan. Dan, seperti biasa juga, pasti kita akan mengalami yang namanya mood swing alias mood senggol bacok a.k.a supersensitive. “Ah, siapa bilang? Aku lempeng-lempeng aja, kok…”. Sini, berantem sama saya, yok! Hahaha…

Seperti bulan ini misalnya, seminggu sebelum datang bulan, saya sudah ‘mengendus’ bau-bau sensi dan nafsu makan yang gila-gilaan. Sudah makan nasi, masih makan roti. Sudah makan roti masih juga ngembat buah. Istirahat sebentar, eh ngemil keripik singkong. Habis keripik singkok, dilanjut Belvita. Tidur. Bangun-bangun makan cincau. Habis itu nimbang. Eh, kaget sendiri karena jarum timbangan mengarah ke kanan menjadi 52 kg, setelah sebelumnya 48-49 kg. Itu kayanya yang 3 kg selain camilan, juga mengandung emosi deh, karena kalau sudah selesai datang bulan ya berat badan kembali ‘normal’.

Nah, 3 hari libur kemarin itu jadi masa yang penuh drama buat saya. Kami memang sengaja tidak pergi ke mana-mana selain ke Superindo untuk belanja bulanan, selebihnya di rumah saja, main sama Alea dan jadi ibu rumah tangga sejati. Ciyeee, sejati. Kaya ibu kita Kartini. Putri Sejati. Nggak ke mana-mana selama long weekend itu sebenarnya ada positifnya juga sih, saya jadi punya quality time sama keluarga, utamanya sih sama Alea. Mulai nonton youtube/film bareng, main masak-masakan bareng, bikin bubble dari air sabun, atau mainan play dough dari tepung terigu. Ada waktu juga buat masak ala kadarnya buat Alea dan papanya, beberes lemari yang selama ini cuma janji palsu. “Iya, tenang, nanti aku beresin…”. Tapi itu janji 6 bulan yang lalu dan baru sempat ‘kepegang’ kemarin, pas semua pada pulas tidur siang. Eh, jangan salah, beberes rumah atau lemari itu butuh niat dan tekad yang bulat, didukung dengan kesempatan dan waktu yang tepat.

Trus, kemarin cranky, nggak? Iya, biasalah, namanya juga perempuan mau datang bulan, kadang lebaynya suka berlebihan. Sudah lebay, berlebihan pula. Eh, tapi beneran deh, kemarin itu full kejadian yang menuntut kesabaran tingkat nasional. Suami saya itu tipe suami panikan. Kalau Alea nangis, atau merengek minta sesuatu, dan dia nggak ngerti apa maksudnya, pasti akan mengarahkan, “ya udah ke mommy aja ya… yuk, yuk…”. Kalau saya lagi nggak ngerjain apa-apa sih, ya nggak apa-apa. Lha kalau lagi banyak yang harus dikerjain ya kenapa nggak dibantu ngasuh dulu sih *usap peluh*. Nah, kemarin gara-garanya juga sepele banget, tapi berhubung sayanya juga lagi mood senggol bacok, makanya jadi agak ngambek-ngambekan sama suami. Cuma gara-gara, youtube di i-Pad lagi no connection, gara-garanya saya salah tekan apalah, nah saya yang lagi masak minta tolong ke suami buat setting ulang modem, atau benerin apalah biar internet lancar lagi. Ya kan saya lagi nyambi masak, nanti gosong dong masaknya, ya kan? Ndilalah Aleanya lagi baperan, maunya saya aja yang benerin internetnya, jangan papanya, karena katanya papanya nggak bisa benerin. Yaelah, Nak. Kamu ini nambahin PR mama aja. Duh, pokoknya lagi pada lebaylah serumah.

Itu pertama, kasus kedua. Pas lagi beberes dapur, mendadak rumah kaya kok berasa ada aromaterapinya ya, kaya wangi-wangi minyak gosok, gitu. Feeling saya agak nggak enak nih. Nah, bener deh, di kamar, Alea lagi asik menuangkan minyak gosok ke lantai sampai kecret ke mana-mana, sebagian lagi diolesin ke badan bonekanya. Jadilah itu boneka wangi minyak gosok, plus lantai-lantainya tentu saja. Antara geli, kesel, dan capek, numpuk jadi satu, tapi tetap lumer juga ketika melihat senyum tengil di wajah Alea yang innocent, demi melihat saya menyemprot lantai, mengepel, dan membereskan bonekanya yang wangi obat gosok.

OK, berarti sudah aman ya, Kakak? Aman sih, sampai setengah jam kemudian hal yang sama terjadi berulang. Kali ini Alea kembali beraksi. Kali ini bukan dengan obat gosok, melainkan dengan minyak rambut kemiri. Minyak kemirinya tidak lagi dioleskan ke badan bonekanya, tapi dituang ke lantai, buat ngepel. Huhuhuhuhu…. Alea, huhuhuhu… Suami saya karena judulnya masih sensi, dia cuma menengok sebentar lalu sibuk dengan outstanding pekerjaannya. Pokoknya judulnya saya lagi dicuekin sama suami, ceritanya masih marah gara-gara kejadian tadi pagi yang menurut saya sih… come on,.. sudah kedaluwarsa.

Hingga puncaknya sore, menjelang maghrib, setelah seharian ‘tegangan tinggi’, pecah juga tangis saya, hanya gara-gara camilan yang tidak sengaja ditendang Alea hingga berhamburan ke lantai yang baru saja saya sapu dan pel. Alea, seperti merasa bersalah, langsung mendekati saya dan memeluk saya erat. Lah, saya ya jadi makin baper. Saya tahu dia tidak sengaja menumpahkan makanan di lantai, saya juga sedang dalam kondisi emosi yang ‘berantakan’ karena hormonal, ditambah dengan suasana yang emosi-emosian antara saya dan suami, walaupun saya sendiri sudah tidak marah. Saya itu kalau marah cuma 5 menit kok, habis itu ya sudah selesai. Enak lho kalau mau berantem sama saya, marahnya sebentar. Eh, gimana, gimana?

Tapi ada hal positif yang saya pelajari selama 3 hari kemarin. Tugas menjadi seorang perempuan, seorang ibu, seorang isteri, seorang perempuan bekerja, itu tidak pernah mudah. Dibutuhkan kesabaran luar biasa untuk memainkan 3 peranan itu secara bergantian. Menjadi orang tua itu juga tidak ada sekolahnya, begitu juga menjadi suami/isteri. Kita tiba-tiba saja ‘diceburkan’ dalam peran-peran itu tanpa terlebih dulu ditanya kesiapan kita. Karena kalau ditanya siap tidak siap ya selamanya akan tidak siap. Jadi anggap saja ini semua semacam pembelajaran seumur hidup.

Di situ, sebagai orang tua, saya bukan hanya belajar mengendalikan emosi, tapi saya juga belajar melihat bagaimana Alea mengelola emosinya, perasaannya, bagaimana dia menempatkan diri ketika ada salah satu orangtuanya yang sedang marah (entah itu marah kepada dirinya, atau ketika orang tua sedang bersitegang). Itulah kenapa saya dan suami berkomitmen untuk tidak bertengkar di depan anak. Kalaupun terpaksan kami sedang marahan, jangan sampai melibatkan/melampiaskan kepada anak. Karena bagaimana pun perasaan seorang anak itu sangat peka, melebihi kepekaan perasaan orang dewasa.

Sebagai seorang pasangan, saya juga masih terus belajar mengendalikan emosi, terutama lisan saya, jangan sampai lisan atau perbuatan saya mencederai perasaan suami saya atau orang-orang di sekitar saya. Terutama dalam kehidupan berumah tangga, karena bagaimana pun ridho suami adalah ridho Allah. Bukankah begitu, pemirsa? Tentu saja begitu!

Jadi, pesan moralnya apa? Sesungguhnya seminggu menjelang datang bulan adalah masa-masa berat bagi seorang perempuan. Bukan hanya berat di mengelola emosinya, tapi juga berat di sesi menahan nafsu makannya… hiks… 😐

[devieriana]

 

 

sumber gambar dari : sini

Continue Reading

Setengah Windu

Sebenarnya postingan istimewa ini terlambat satu hari. Ya, seharusnya postingan ini saya buat kemarin, tepat di hari ulang tahun pernikahan saya yang ke-4 :D. Tapi apa daya, kemarin adalah hari yang sibuk untuk saya. Mulai jam 08.00 – 11.00 harus sudah stand by untuk mempersiapkan sekaligus bertugas sebagai MC pada acara pelantikan pejabat eselon II dan IV di lingkungan Sekretariat Wakil Presiden (berdiri kelamaan itu pegel :-s). Sesampainya di kantor berkas sudah menggunung untuk menunggu penanganan. Sore/malamnya pun jadwal lain sudah menunggu. Meeting bersama @IDceritaJKT di Anomali Coffee sekaligus penyerahan hadiah yang kemarin \:D/. Pffiuh.. Sedikit capek sih, tapi menyenangkan.. πŸ™‚

Seperti tahun-tahun sebelumnya, sms ucapan pertama datang dari Mama mewakili Papa dan adik-adik. Ucapannya walaupun nyaris sama dengan tahun-tahun sebelumnya tapi selalu bisa bikin saya mewek terharu. Biasalah, saya kan emang orangnya gampang terharu :D.

Di usia pernikahan saya yang telah memasuki setengah windu ini saya melihat ada banyak perubahan nyata dalam diri saya maupun Hubby. Semoga sih mengarah ke yang lebih baik ya. Tapi kami masih terus saling belajar memahami diri masing-masing.

Memang benar apa yang orang sering katakan. Tuhan bekerja dengan cara dan bahasa yang misterius. Kadang apa yang kita inginkan belum tentu itu yang akan diberikan. Tapi Dia selalu tepat ketika memberikan apa yang sesungguhnya kita butuhkan. Nah, apakah itu juga terjadi pada saya? Sepertinya iya..

Kalau diperhatikan, saya dan Hubby sekarang lebih saling melengkapi. Tuhan memberikan keseimbangan buat kami, diantaranya :

1. Si Hubby aslinya pendiam dan serius. Nah (seharusnya) dia merasa beruntung mendapatkan saya yang suka becanda, konyol dan yang senang menularkan hal-hal absurd, ya :p. Terbukti dia sekarang sudah tidak sependiam dan seserius dulu lagi. Sekarang dia tumbuh menjadi hubby yang lucu dan tertular absurd \m/. Dulu nih ya, kalau dia lagi berdiri/duduk dekat tembok, tembok aja sampai minder karena kalah diem sama dia. Nah sekarang tembok sudah boleh berlega hati karena saingannya sudah berkurang satu ;)). Ah ya, semoga Hubby nggak baca postingan ini.. *ngaduk semen*

2. Buat saya yang buta jalan peta dan tukang nyasar merasa beruntung mendapatkan dia yang mirip peta. Bukan, bukan mukanya! Tapi pengetahuan dan ingatannya tentang jalanan. Kalau mukanya yang kaya peta, berasa saya menikahi buku atlas dong. Nah, gara-gara saya bego banget soal jalanan dia nggak pernah bosen buat menginstalkan google maps di setiap handphone saya. Hasilnya? Saya sudah jarang nyasar dong.. \:D/. “Jarang” itu dalam artian sesekali masih nyasar ya.. ;))

3. Hubby orangnya sangat well organized, ketika akan membuat keputusan atau sedang merencanakan sesuatu benar-benar disusun secara hati-hati dan penuh perhitungan. Sementara saya orangnya agak-agak slonong boy, on the spot aja gitu. Jadi untuk hal ini saya merasa beruntung karena bisa belajar keteraturan dari dia. Contohnya saja rencana mudik lebaran ke Surabaya. Saya cenderung mikir cari tiket nantilah sebulan atau dua bulan sebelum hari raya. Kalau dia, sudah direncanakan sejak awal tahun. Dia juga sudah tahu kapan dia akan mulai mengambil cuti, berapa biaya yang kira-kira akan kita butuhkan, dll. Saya? Eerrr.. Boro-boro 😐 *milin-milin karpet*

4. Hubby termasuk orang yang telaten. Sementara saya adalah kebalikannya. Dia cenderung menikmati alur sebuah proses. Sementara saya orangnya suka gradak-gruduk. Maunya serba instant, serba cepat, nggak pakai lama. Tapi makin kesini saya melihat ternyata ketelatenan dia justru yang ada hasil konkretnya. Sepertinya saya harus banyak belajar sabar dan telaten sama dia πŸ˜€ Hubby termasuk juga yang sabar menunggu saya ketika saya sedang ada kegiatan di luar, misal meeting dengan komunitas saya. Dia juga mau mengantar dan menjemput bahkan pernah dia pulang kantor dan langsung menjemput saya trus menunggu di mobil sampai ketiduran, hihihi.. >:D<.

Sebenarnya sih ada beberapa hal lainnya yang ternyata saling menyeimbangkan diantara kami. Memang pernikahan kami baru seumur jagung. Masih banyak hal yang perlu kami benahi. Ada banyak rencana dan mimpi yang sedang berusaha kami wujudkan satu persatu. Semoga ada jalan terbuka yang mengarah kesana. Aamiin..

 

Dear Hubito, thanks for all experiences we did (happy and sad). Thanks for your acceptance and support on my undertakings. Thanks for the shoulder to cry on defeats. Thanks for filling my shortcomings. Thanks for the cheer on triumph and success. Last but not least, thanks for growing and learning each day with me.

 

 

I love you.. :-*

 

[devieriana]

 

ilustrasi : disini dan koleksi pribadi

Continue Reading

Takut Tak Sempurna..

Di pagi yang sibuk itu, handphone di atas meja – yang hampir selalu diaktifkan dalam modus vibrate/silent itu – kembali bergetar. Sedikit memecah konsentrasi saya pagi itu. Melihat sebentar ke layar handphone, sekedar mengecek adakah mungkin email, sms, atau kabar penting lainnya yang masuk. Ternyata BBM dari seorang teman yang menanyakan kabar.

Ok, sepertinya bisa ditunda dulu ya, biar saya ngebut dulu deh kerjanya. Dengan cepat ibu jari saya mengetik sebaris kalimat di layar handphone. “Jeng, aku lagi sibuk dikit nih, aku kelarin bentar ya. Seperempat jam lagi kita sambung. Ok, Bebih? :D”. Enter. Tak berapa lama dia pun membalas dengan singkat, “Ok”.

Tak lama setelah selesai berkutat dengan berkas-berkas saya pun memenuhi janji untuk meluangkan waktu ngobrol dengan si teman. Menarik, karena dari sana mengalir sebuah obrolan yang bukan sebatas basa-basi menanyakan kabar. Biasanya sih kita cuma ngobrol ringan, seputaran gosip-gosip nggak penting, dan guyonan-guyonan nggak mutu ala kami berdua. Tapi ternyata kali ini sedikit berbeda, ada hal serius lainnya dibelakang sapaan pagi itu.

“Yes, Bebih. Udah agak santai nih sekarang.. Kenapa-kenapa? Ada gosip apa pagi ini? :> “, sapa saya di BBM

“Hmm, sebenernya bukan pengen ngegosip kok.. Aku pengen diskusi sedikit nih sama kamu..”

Sejenak saya terdiam, tidak mengetikkan satu huruf pun. Mencoba menerka-nerka, kira-kira dia bakal ngobrolin apa ya. Semoga bukan masalah yang serius deh..

“Mmmh, ya.. kenapa, kenapa?”

“Mmmh, gini, kenapa ya kok akhir-akhir ini aku sering merasa gusar sendiri. Kaya ada beban yang.. entah ya, masalah yang awalnya aku anggap bisa aku atasi ternyata waktu dijalani kok berat ya..”

Saya mulai mengernyitkan dahi membaca prolog diskusinya. Saya tunggu dia menuliskan semua uneg-uneg yang seperti saya duga, memang panjang :D.

“.. akhir-akhir ini aku kaya dibayangi ketakutan-ketakutan yang mungkin nggak berdasar. Kamu dan suami kan masing-masing menikah sebagai pasangan pertama. Sementara aku, menikah dengan suami yang sudah pernah menikah sebelumnya. Divorce dengan satu anak. Selama berumah tangga aku jadi sering paranoid sendiri, takut kalau-kalau.. I would never be as perfect as his ex wife used to be.. :(“

“Hush! Nggak boleh ngomong begitu, ah! :|”, sergah saya. “Sebenernya ukuran sempurna itu yang kaya gimana sih?”

” πŸ™ “

“.. tidak ada seorang pun yang terlahir dengan pribadi sempurna, Jeng. Nggak ada ayah/suami yang sempurna. Nggak ada ibu/isteri yang sempurna, juga anak yang sempurna. Semua berjalan melalui sebuah proses panjang pembelajaran. Kita nggak bisa membandingkan seseorang dengan lainnya, pun pasangan kita sekarang dengan pasangan sebelumnya. Karena memang nggak ada yang bisa dibandingkan, Jeng. Manusia itu kan terlahir unique, jadi sudah pasti “hasilnya” ya nggak akan pernah sama.. Misalnya, mantannya suamimu adalah Dian Sastro, trus kamu akan berusaha seperti Dian Sastro dalam segala hal, gitu? Enggak kan?”

“:-s “

“IMHO, saranku sih cuma satu, Jeng. Cukup jadi diri sendiri aja. Jadi isteri dan (calon) ibu dengan kepribadianmu sendiri. Mendidik & mengasuh buah hati kalian dengan cara kalian sendiri. Nggak perlu takut, apalagi membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Nggak akan fair juga kalau sampai pasangan nantinya membandingkan kamu dengan mantan pasangan sebelumnya. Karena nggak akan pernah sebanding, kalian jelas dua pribadi yang berbeda.. :)”

“….. “. Dia terdiam beberapa saat, mungkin menunggu saya menulis lagi πŸ˜€

“.. pasti ada alasan tersendiri ketika seseorang akhirnya memilih untuk hidup bersama kita ketimbang dengan yang lain. Contohnya, ketika suami memilih kamu sebagai isteri, mungkin karena kamu smart, mandiri, lembut, sabar, menyenangkan, dan yang paling penting dia merasa nyaman dengan kamu. Itu sebenernya poin kelebihan kamu, kan Jeng?”

“Iya, πŸ™ . Selama ini aku udah paranoid banget dengan hal yang satu itu. Dulu sebelum menikah aku sudah pernah ditanya Mama, apakah aku siap menikah dengan orang yang pernah punya kehidupan rumah tangga sebelumnya? Aku jawab siap, aku sanggup. Tapi setelah aku jalani di lapangan, ternyata berat juga ya. Aku seperti belum rela ketika dia bicara tentang anaknya.. πŸ™ “

“Dear, ada yang namanya mantan suami atau mantan isteri. Tapi nggak ada yang namanya mantan anak. Sampai kapan pun dia akan tetap jadi anak si suami. Mau nggak mau ya itu kenyataan yang harus kamu terima, menikah dengan satu paket status, menikahi pria sekaligus statusnya sebagai ayah dari pernikahan sebelumnya.. “

” iya sih.. :(“

“Jadi ya sudah, monggo diterima dan dijalani semuanya dengan legowo.. Mungkin berat buat kamu, tapi kalau kamunya ikhlas menjalani sebagai bagian dari konsekuensi pilihan yang sudah kamu ambil insyaallah kedepannya akan lebih mudah buat kamu. Amien….”

“Amien.. Thanks for the insight, Dear. Glad to have you as a friend >:D<"

“You are not perfect, Dear. But believe me you will always be perfect for him ;)”

Kalau bicara tentang kesempurnaan sepertinya nggak akan pernah selesai ya. Saya sepertinya harus berterima kasih juga pada si teman yang akhirnya dari obrolan tadi kok seperti mengingatkan diri saya sendiri untuk berhenti mengejar kesempurnaan. Karena tanpa sadar saya juga kadang-kadang berlaku demikian.

Dari percakapan singkat tapi padat itu kok jadi teringat salah satu scene di film Bride Wars yang intinya sama dengan percakapan dialog diatas. Ada sebuah kalimat yang diucapkan seorang calon suami pada calon isterinya yang khawatir tidak bisa sempurna ketika kelak menjadi seorang isteri. Kurang lebih bunyinya begini : “Life is not perfect, Honey. Life is messy. I don’t need you to be a perfect wife. I just need you to be a human live”.

Terkadang di mata pasangan kita tidak perlu menjadi seorang yang sempurna. Mereka ingin kita cukup menjadi seseorang yang manusiawi. Seseorang yang wajar jika tanpa sengaja berbuat salah, seseorang yang wajar jika banyak kekurangan. Karena sempurna hanya kata yang pantas untuk-Nya..

This is life, not heaven. So, you don’t have to be perfect! πŸ˜‰

[devieriana]

gambar dipinjem dari Image Shutterstock

Continue Reading

Kami lucu? Ah, masa?

Seringkali saya & suami dikomentari sebagai pasangan yangΒ  lucu dan unik. Bukan. Bukan karena saya nikah sama gajah, atau tapir. Tapi mungkin karena keunikan pribadi kami yang menyebabkan orang berkomentar seperti itu. Tapi apa iya kami sebenarnya “selucu” dan “seunyu” itu? πŸ˜•

Sebenarnya dulu, waktu jaman penjajahan.. eh kelamaan, dulu diawal pernikahan, kami sebenarnya adalah pasangan yang paling egois sedunia! Okelah saya memang sedikit berlebihan untuk menggambarkan kehidupan awal pernikahan kami. But, I have no words to describe how “lebay” we were at that time. Kami seringkali hidup dalam dunia kami masing-masing. Mengalah adalah kata-kata yang kami hindari. Sama-sama gengsi [-(. Lha iya, wong kami adalah dua orang yang sama-sama keras kepala ~X(.

Saya sebagai anak sulung yang biasa dituakan (berasa kepala suku nggak sih?), dan dikantor juga “terbiasa” memimpin sekian anak buah, tiba-tiba harus menyesuaikan diri dengan karakter suami yang juga sama-sama kerasnya dan nggak mau mengalah. Sementara suami yang dalam keluarganya juga termasuk anak laki-laki yang tertua juga punya sifat yang nyaris sama seperti saya. Kalau pas pacaran kan biasanya kelihatan yang bagus-bagusnya aja tuh. Pas sudah menikah? Wohoho, belum tentu. Friksi itu pasti ada. Jadilah kehidupan awal pernikahan kami layaknya kompor yang selalu panas. Ada saja hal yang dipertentangkan. Eh, masih mending ya kalau penting, seringkali pertengkaran kami justru berawal dari hal-hal sepele dan remeh temeh lho. Ujungnya sudah pasti bisa ditebak, adu argumentasi yang sifatnya debat kusir. Untungnya nggak pernah sampai ada KDRT πŸ˜€

Capek? Normalnya sih pasti iyalah ya. Sekarang siapa yang nggak capek harus adu argumen setiap hari. Hingga pernah dalam puncak kondisi lelahnya kami masing-masing, mulai sama-sama eneg dan nggak mau berkomunikasi satu sama lain selama beberapa waktu. Intinya stadium enegnya sudah cukup parahlah untuk ukuran pasangan baru seperti kami. Satu tahun pertama kehidupan perkawinan kami adalah masa perang antar suku. Lalu bagaimana ceritanya kami sekarang bisa saling merasa nyaman satu sama lain dan jadi lucu unyu seperti ini? Kami LUCU? Ah, masa sih? :-j

Ada sebuah sebuah titik balik yang membuat kami sadar tentang besarnya arti sebuah kehilangan. Ketika Tuhan memberikan cobaan pada kami berdua dengan diambilnya si kecil dalam usia 6 bulan dalam kandungan. Itu sebuah kejadian maha besar yang membuat kami sadar kalau ternyata ada hal yang jauh lebih penting daripada sekedar mempedulikan ego, yaitu anak. Dari situlah kami mulai belajar sabar, mulai mengerti satu sama lain. Mencoba mengalah yang bukan berarti kalah. Mencoba membuka dan membersihkan kembali keran komunikasi kami yang nyaris tersumbat. Berusaha lebih mendengar apa yang dimaui oleh pasangan dan berdiskusi sehat dengan kepala dan hati yang dingin. Meminta maaf tidak perlu menunggu dari siapa yang dianggap sudah bikin salah duluan. Intinya berusaha menjadi jauh lebih baiklah.

Alhamdulillah memang, berkah dari Yang Diatas tak pernah putus sejak saat itu. Rezeki dan kemudahan selalu mengalir kepada kami. Menjalani kehidupan perkawinan dengan format yang jauh lebih serius tapi santai. Suami saya kebetulan orangnya kaku dan serius, sementara saya pecicilan dan banyak becandanya. Mungkin akhirnya jadi balance-nya disitu. Malah sekarang suami saya suka kadang-kadang tertular ikut pecicilan, tapi anehnya kenapa saya nggak bisa ikut tertular jadi serius 😐

Jadi kalau sekarang teman-teman melihat kami sebagai pasangan yang mesra dan lucu, itu adalah hasil proses benturan-benturan psikologis sampai lebam dan babak belur. Nggak ada yang menyangka kan?Β  ;)). Sampai sekarang pun sebenarnya kami masih berusaha belajar memahami & menyesuaikan diri kami masing-masing. Mau se-ego apapun kita kalau sudah niatnya berkeluarga, harus mau menurunkan ego masing-masing karena ini bukan lagi masalah kalah atau menang tapi kehidupan bersama. Berusaha lebih open mind, mau mengerti & mendengarkan pasangan. Dan yang paling penting dari semua itu adalah komunikasi dan saling support untuk kebaikan berdua. Eh, gampang banget ya ngomongnya?Β  Tapi mengimplementasikannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh waktu, dan kebesaran hati untuk menerima pasangan apa adanya.

Menikah itu butuh kesiapan mental dan psikologis, selain faktor-faktor pendukung lainnya ya. Kalau kata Dr. Rose Mini, AP. M.Psi., begini :

1. Jangan takut akan pernikahan.
Sebaiknya sebelum melangkah ke pernikahan, kenali sisi baik dan buruk masing-masing. Karena setelah memasuki pernikahan, akan makin terlihat sifat-sifat yang tadinya tertutup. Jujur akan segala hal dengan pasangan jika ingin pernikahan berhasil.

2. Siapkan diri.
Tanya dengan diri sendiri, sudah siapkah untuk berbagi segala hal dengan si pasangan? Siapkah untuk maju bersama? Sebab, untuk bisa maju bersama butuh upaya dan kerja keras, karena si pasangan tidak memiliki pola pikir yang sama dengan kita, perlu kesabaran dan tenaga ekstra untuk mau menyamakan visi.

3. Jangan takut perubahan.
Perilaku seseorang bisa diubah. Perilaku bukanlah gen yang tak bisa diubah. Jadi, ketika Anda harus berubah untuk bisa keep up dengan pasangan yang berubah, begitu juga si dia.

Ah, sebenarnya ini cuma sharing seorang yang masih hijau dan newbie dalam kehidupan berumah tangga kok :-”

[devieriana]

Continue Reading