An Unexpected Stay, A Life Reset

“Sometimes we need to pause for a moment to realize how much we’ve been through. Only in silence, the body and soul find their way to heal”


I never thought a regular Wednesday would end with me lying on a hospital bed, staring at white ceilings and counting the beeps of machines. It wasn’t part of the plan. I mean, who plans to swap weekend Netflix for an IV drip and a hospital gown that doesn’t quite cover your dignity? But sometimes, life doesn’t ask for your permission—it just throws you straight onto a gurney.

Rabu (26/2) itu saya masih melanjutkan aktivitas seperti biasa—menyelesaikan pekerjaan rutin, ikut tes percakapan Bahasa Inggris, lalu munggahan bersama teman-teman kantor menyambut Ramadan. Tidak ada pertanda apa pun. Saya pikir hari itu akan berakhir seperti biasanya: pulang, istirahat, dan bersiap untuk hari esok. Tapi ternyata, semesta punya rencana lain.

Menjelang pulang kantor, perut saya mendadak terasa kembung, nyeri, melilit, dan perih yang makin lama makin menusuk. Saya pikir, ah ini cuma gangguan pencernaan biasa, bisa jadi akibat saya ada salah makan di munggahan—yang biasanya akan berangsur hilang dengan olesan minyak kayu putih dan tidur. Tapi makin lama rasa sakitnya makin intens. Posisi apa pun terasa salah. Mau berdiri atau duduk, salah. Miring ke kiri sakit, ke kanan pun tak nyaman. Karena saya pulang kantor pun sudah sore menjelang malam, akhirnya mencoba konsultasi via aplikasi kesehatan, HaloDoc. Berdasarkan keterangan yang saya berikan, dokter menyebut ada kemungkinan maag—keluhan yang belum pernah saya alami seumur hidup. Saya diberi resep, meminum obat yang diberikan sambil terus ber-husnuzan beneran cuma maag, dan esok hari saya pulih seperti semula.

Namun ternyata meski obat sudah saya minum, antara mata dan kondisi tubuh yang kesakitan, memberikan respon yang tidak sinkron. Saya justru tidak bisa tidur sampai pagi. Belum lagi ditambah adanya masalah baru, saya juga mengalami diare. Dengan kondisi tubuh yang awur-awuran ini menyebabkan tubuh saya makin lemas, nafsu makan juga mulai terganggu.

Keesokan harinya, dengan sisa tenaga, saya mencoba pergi ke klinik dekat rumah dengan naik taksi. Ternyata di klinik ini pun hasil pemeriksaan tak jauh berbeda—diduga gangguan asam lambung. Apakah memang asam lambung, maag, atau gerd deritanya sesakit ini, ya? Sama seperti harapan saya pada dokter sebelumnya, kali ini pun saya berharap bahwa saya akan segera pulih setelah menelan obat-obatan yang diresepkan. Siapa tahu beda dokter, beda resep, bisa sembuh.

Tapi ternyata saya salah. Kondisi saya malah makin memburuk. Demam yang naik turun, diare yang tak kunjung membaik, ditambah lagi nyeri yang mulai mendera di area ulu hati. Saya nyaris tidak bisa berdiri tegak, jalan membungkuk menahan sakit. Melihat kondisi saya yang tak kunjung membaik itu, akhirnya persis di 1 Maret 2025 adik saya mengantar ke RS MMC Kuningan. Di sana, saya langsung ditangani oleh dr. Fatih Anfasa, Sp.PD. Melihat kondisi saya yang lemah dan mengenaskan itu, beliau langsung menyarankan rawat inap. Dugaan awal: tipes, TBC usus, atau mungkin infeksi organ dalam lainnya.

Dari observasi yang dilakukan selama saya rawat inap, hasil laboratorium menunjukkan saya positif tipes, defisiensi vitamin D, dan HB saya 7. Haduh, kok banyak sekali. Namun di luar itu, saya merasa ada yang tidak beres dengan perut saya. Meski suhu tubuh perlahan normal dan keluhan lain nyaris tak terasa, perut saya tetap terasa penuh dan kembung, padahal asupan makanan sangat sedikit.

Sementara itu, di tengah kondisi saya yang sedang dirawat di rumah sakit, fokus pikiran saya terbelah ke mana-mana. Meski fisik saya di ruang rawat inap, namun pikiran saya selalu terjaga di rumah, terlebih lagi saat itu bertepatan dengan pekan UTS. Ini adalah kali pertama saya tidak bisa mendampingi Alea belajar mempersiapkan diri menghadapi ujian. Selama ini, meski ada papanya di rumah pun, Alea selalu lebih memilih belajar bersama saya—meskipun saya galak. Dia belum terbiasa belajar sendiri, sehingga tetap butuh pendampingan. Dalam kondisi seperti ini, solusinya adalah sepulang sekolah Alea datang ke rumah sakit sambil membawa buku-buku pelajarannya, lalu belajar di sisi ranjang saya. Meskipun jauh dari kondisi ideal, saya tetap berusaha semampu mungkin untuk hadir mendampingi.

Puncaknya adalah ketika Rabu sore (6/3), saat saya sedang menemani belajar, tiba-tiba perut bagian bawah terasa nyeri sekali. Rasa sakitnya datang begitu tiba-tiba, disusul suhu tubuh yang naik hingga 38,3°C. Segera saya dibawa ke ruang radiologi untuk menjalani USG abdomen. Sayangnya, karena nyeri yang sangat mengganggu, proses pemeriksaan tidak bisa dilakukan dengan maksimal. Jangankan disentuh atau ditekan, terkena kain baju sendiri saja rasanya sensitif.

Keesokan harinya, saya dijadwalkan menjalani pemeriksaan CT scan abdomen dengan zat kontras (zat yang digunakan dalam pemeriksaan medis seperti CT scan untuk memperjelas gambar, sehingga membantu dokter melihat struktur tubuh dengan lebih detail). Jadi, CT scan abdomen dengan zat kontras membantu dokter mendeteksi tumor, kista, infeksi, peradangan, penyumbatan usus atau saluran empedu, serta gangguan pembuluh darah di perut. Sebelum pemeriksaaan, saya diminta untuk memimum cairan kontras, dan lalu berpuasa sejak pukul 07.00, untuk memastikan usus kosong sehingga hasil scan-nya hasilnya akurat, selain itu juga untuk menghindari efek samping yang mungkin muncul akibat zat kontras, seperti mual atau muntah. Kalau ditanya rasa cairannya bagaimana, jelas jauh dari kata enak—di lidah saya, aftertaste-nya seperti minum cairan berasa logam.

Proses pemeriksaan ini umumnya berlangsung sekitar 30 menit hingga satu jam, bergantung pada jenis pemindaian dan kebutuhan medis. Usai pemeriksaan, saya kembali ke kamar untuk beristirahat sambil menanti hasil, dengan perasaan yang campur aduk. Akankah hasilnya ‘baik-baik saja’ atau justu parah?

Dan benar saja, siang itu kamar rawat saya mendadak ramai—bukan oleh keluarga atau teman yang datang menjenguk, melainkan lima dokter yang masuk bersamaan: dokter spesialis bedah digestif, dokter obgyn, dokter bedah umum, dokter spesialis penyakit dalam, dan dokter anestesi. Mereka menanyakan apa saja keluhan yang saya rasakan, lalu menginfokan hasil CT scan abdomen pagi tadi. Dokter Arief Gazali menjelaskan bahwa kondisi di dalam perut saya cukup kompleks—ada kista, ada cairan, endometriosis, adenomiosis, dan perlekatan di usus. Jujur, mendengar  semua penjelasan itu, pikiran saya langsung penuh. Saya ini kenapa, ya Allah? Sampai akhirnya dokter Darmawan Lesmana memutuskan, “hari Jumat setelah Jumatan kita operasi, ya. Laparoskopi aja, lukanya kecil aja kok, jadi pemulihannya lebih cepat.”

Jumat, tanggal 7 Maret 2025, tepat pukul 12 siang, saya dibawa masuk ke ruang operasi. Tak ada lagi yang bisa saya upayakan, selain berserah diri sepenuhnya kepada Sang Kuasa. Saya pasrahkan pula semua tindakan kepada tim medis yang menangani saat itu. Saat ranjang saya mulai didorong menuju ruang operasi, sejatinya ada rasa takut meski sudah berserah. Di dalam hati saya tak henti merapal doa agar lebih tenang. Hingga akhirnya anestesi disuntikkan, saya pun perlahan tertidur—dan setelah itu, semuanya gelap.

Saya baru benar-benar siuman sekitar pukul 20.45 malam. Hampir sembilan jam berlalu, dan saya sama sekali tak tahu apa saja yang telah terjadi selama saya tak sadarkan diri. Di ruang pemulihan/transisi ada suster yang berjaga menunggu hingga saya siuman. Keluhan pertama yang saya rasakan justru bukan rasa nyeri di area bekas operasi, tapi rasa pegal di bagian punggung. Wajar saja, tubuh saya berjam-jam terbaring di atas meja operasi yang keras dan datar. Beberapa saat kemudian, saya mulai merasakan ketidaknyamanan di area hidung dan tenggorokan. Rupanya, ada dua jenis selang yang terpasang—satu untuk oksigen, dan satu lagi selang sonde yang digunakan untuk mengalirkan nutrisi langsung ke lambung. Tak lama setelah saya sepenuhnya sadar, tubuh saya dipindahkan ke ICCU dan langsung dibalut dengan selimut penghangat untuk menjaga suhu tubuh tetap stabil setelah prosedur medis.

Tak lama, suami saya datang ke ICCU. Wajahnya tampak lelah dan cemas. Rupanya selama saya berada di meja operasi, ia sempat beberapa kali dipanggil oleh dokter, dan harus menandatangi formulir persetujuan tindakan kedokteran—karena prosedur yang awalnya hanya direncanakan sebagai laparoskopi harus diubah menjadi major surgery dan itu jelas membuatnya khawatir.

Dengan suara lirih, ia berkata, “maafin aku ya, Mih. Aku sudah menyetujui dokter melakukan sesuatu atas tubuhmu tanpa persetujuanmu. Tapi semua buat kebaikan dan kesehatanmu. Sekali lagi, maafin aku, ya. Alhamdulillah, aku bersyukur kamu sudah melalui masa kritis, alhamdulillah kamu masih hidup…”

Hah, masih hidup? Apa maksudnya?

Suami saya belum sempat bercerita panjang lebar lantaran dia harus bolak-balik mengurus berbagai urusan administratif dan lainnya. Tak lama kemudian, adik saya datang bersama Alea yang terlihat lelah karena sudah menunggu sejak pulang sekolah hingga saya siuman. Adik saya menjelaskan apa yang terjadi saat operasi berlangsung. Dokter menemukan infeksi yang cukup serius di rahim saya, gabungan antara kista, adenomiosis, endometriosis, perlekatan di usus dan liver. Jadi, yang awalnya, dokter hanya merencanakan laparoskopi, namun selama prosedur berlangsung, kondisi yang ada memaksa perubahan rencana menjadi bedah mayor. Pembersihan usus dan liver tetap dilakukan. Sayatan vertikal dibuat dari atas pusar hingga ke bagian bawah perut. Prosedur yang semula hanya bertujuan untuk membersihkan saja, namun demi melihat kompleksitas masalah di dalam rahim, dokter memutuskan untuk melakukan histerektomi (pengangkatan rahim) guna mengatasi berbagai kondisi medis yang menyerang sistem reproduksi, dan mencegah keluhan yang sama terjadi berulang di masa yang akan datang.

Saya tercenung. Ternyata 8 jam lalu, ada peristiwa besar yang baru saja mengubah perjalanan hidup saya. Namun entah kenapa, saya tenang sekali mendengar cerita itu, hanya sedikit terkejut namun tidak menangis atau sedih. Semenerima itu. Risiko yang harus saya tanggung karena kesehatan saya jauh di atas segalanya. Meski akhirnya ada bagian tubuh—yang pernah menjadi tempat bagi anak saya bertumbuh—harus dilepaskan.

Dan, ketika semua orang sudah kembali ke rumah masing-masing, dan saya sendirian di ICCU, saya terjaga penuh—dengan segenap penyerahan diri memohon kepada Yang Maha Kuasa, agar saya diberi kesempatan untuk pulih, menjalani hidup yang lebih sehat, lebih ringan, dan tetap bisa membersamai keluarga tercinta.

Singkatnya, tak lama setelah keluar dari ICCU, sekitar pukul 15.00 saya dipindahkan kembali ke ruang rawat inap. Seharusnya, inilah momen awal untuk mulai latihan ringan: miring ke kanan dan kiri, lalu mencoba duduk, berdiri, hingga perlahan berjalan. Namun ternyata tubuh saya belum mampu. Bukan hanya karena rasa nyeri yang masih terasa, tapi juga secara mental saya belum sesiap itu. Berbeda dengan saat melahirkan Alea dulu—operasi sesar karena placenta previa sudah diinformasikan sejak awal, sehingga memberi saya waktu menyiapkan fisik dan mental. Namun tidak untuk kali ini. Operasi datang begitu mendadak, tanpa memberi waktu saya mempersiapkan diri lahir batin.

Butuh waktu tiga hari setelah operasi sampai akhirnya saya memberanikan diri untuk duduk, lalu perlahan berdiri dan mencoba melangkah pelan. Memang agak terlambat. Apalagi melihat perban yang rasanya begitu besar membalut area perut. Like, wow! Awalnya saya merasa belum sanggup menekuk bagian perut untuk duduk. Ternyata, setelah dicoba, saya mampu juga—meski masih terengah-engah. Mulanya saya hanya berjalan pelan di dalam kamar, hingga akhirnya berani melangkah keluar, menapaki koridor di lantai tempat saya dirawat.

Alhamdulillah, tanggal 15 Maret 2025 saya diizinkan pulang. Hasil laboratorium menunjukkan banyak perbaikan. Hati saya rasanya hangat—lega, bahagia, dan sangat bersyukur. Akhirnya saya diperbolehkan pulang, setelah 15 hari menjalani perawatan di rumah sakit. Tentu, saya pulang dengan membawa berbagai macam obat yang harus saya minum secara rutin sampai tiba waktu kontrol berikutnya.

Namun ternyata, titik paling menantang justru datang setelah saya kembali ke rumah.

Tanpa lagi ada perawat yang sigap membantu mengurangi nyeri, tanpa oksigen tambahan, atau alat bantu lain saat tubuh mulai lemah. Mau tak mau saya harus mengandalkan diri sendiri. Kemampuan kaki belum sepenuhnya kembali, baru bisa melangkah pelan. Napas terasa sesak karena batuk, sementara mual dan muntah datang mendadak akibat perut yang kosong, seiring dengan hilangnya selera makan. Tak mengherankan jika berat badan saya merosot drastis—dari 54,5 kg menjadi 42,3 kg. Saya sampai bingung saat mencoba pakaian, karena hampir semua baju saya berukuran S-M, tapi sekarang sepertinya ukurannya lebih kecil dari itu. Yang dulu terasa pas, sekarang semuanya longgar. Apa iya saya harus pakai baju ukuran kids?

Selama di rumah, setiap hari saya berusaha menantang diri melakukan aktivitas-aktivitas baru untuk melatih mobilitas dan memulihkan kekuatan otot—yang dulu sudah biasa dan bisa dilakukan, seperti mandi (selama di rumah sakit saya hanya mandi seka, itupun dibantu oleh perawat), keramas, memotong kuku kaki, menyapu lantai, mencuci baju atau piring kotor, atau sekadar menyelesaikan pekerjaan rumah lainnya, karena pascaoperasi besar melakukan hal-hal kecil seperti ini seperti sebuah pencapaian baru. Dan yang paling mengharukan adalah, ketika di pulang kontrol dari rumah sakit, ternyata saya sudah bisa pulang sendiri naik Gojek! Ah, rasanya ingin memberi pelukan ke diri sendiri, menyadari bahwa semua anggota tubuh saya seberusaha itu untuk pulih.

Kini, saya sudah kembali ke kantor dan menjalani aktivitas seperti biasa. Bahkan, pada tanggal 9 April lalu, saya sudah memandu acara Halal Bihalal di lingkungan Sekretariat Lembaga Kepresidenan. Saya juga berusaha menjalani hidup yang lebih sehat dengan rutin berolahraga, mengonsumsi makanan bergizi, dan menjalani aktivitas sehari-hari dengan semangat positif.

Melalui tulisan ini, dengan setulus hati, saya ingin berterima kasih kepada keluarga tercinta atas kasih sayang dan dukungan yang tak pernah surut, kepada sahabat-sahabat yang setia memberi perhatian dan bantuan tulus selama saya dirawat di rumah sakit, para perawat yang telah dengan sabar merawat saya selama di rumah sakit, serta kepada para dokter luar biasa yang telah menjadi bagian penting dalam perjalanan penyembuhan saya:

Berkat tangan dingin, keputusan cepat, dan ketulusan hati Bapak/Ibu Dokter, saya bisa menceritakan kembali kisah ini dengan penuh rasa syukur. Terima kasih telah menjadi bagian dari mukjizat kecil dalam hidup saya.

– Devi Eriana –

Continue Reading

Kebaikan Akan Selalu Kembali

Pernahkah kita merenung dalam hati, apakah kebaikan yang kita berikan kepada orang lain benar-benar akan kembali kepada kita atau akan hilang begitu saja? Pertanyaan ini mungkin pernah muncul dalam pikiran kita, terutama ketika kita merasa sudah menolong/memberi banyak hal, tapi kok sepertinya tidak ada sesuau yang terlihat seperti ‘balasan’ atas kebaikan yang pernah kita lakukan, ya. Kok sepertinya terdengar pamrih, ya. Bukankah kalau berbuat kebaikan, ya sudah berbuat saja? Tapi pastilah, ada di antara kita pernah (meski secara iseng) berpikir demikian. Tapi ini bukan tentang pamrih.

Bertahun-tahun lalu, ada sebuah kejadian, di mana adik saya mengambil langkah yang bagi saya, luar biasa. Dengan segala keterbatasan yang ada, ia tiba-tiba mewujudkan impian kedua orang tua kami untuk bisa pergi umrah. Tabungan dia tidaklah banyak, namun dari sanalah orang tua kami berangkat ke tanah suci. Saya tahu, itu bukan suatu keputusan yang mudah, namun ada kebahagiaan yang melebihi apa yang sudah dia keluarkan untuk kedua orang tua kami. Pun halnya adik saya yang berkata, “Uang bisa dicari, Mbak. Tapi Papa Mama kan udah nggak muda lagi. Usia manusia nggak ada yang tahu. Ya, mungkin Allah mengizinkan Mama Papa bisa pergi ke tanah suci melalui jalur aku.” Dia meyakini bahwa sekecil apapun kebaikan yang telah dilakukan, akan selalu menemukan jalannya.

Dan ternyata, ia benar.

Enam tahun berselang, tepat di penghujung tahun ini—tanpa pernah ia duga sebelumnya—datanglah undangan untuk berangkat umrah, dan semua serba gratis. Adik saya tentu senang bukan kepalang. Bayangkan, dulu dengan segala keterbatasan, dia memberangkatkan Mama dan Papa, kini dia bisa berangkat ke tanah suci bahkan tanpa mengeluarkan biaya sepeserpun. Bukan itu saja, akomodasi dan fasilitas terbaik juga dia dapatkan. Allah rupanya sedang memuliakan adik saya melalui tangan orang-orang baik.

Kebaikan itu punya cara kerja yang unik. Ia tidak selalu kembali pada kita dalam bentuk yang persis sama, tetapi ia selalu menemukan jalannya. Bisa jadi kebaikan itu hadir dalam tawa orang-orang yang kita cintai, dalam kesuksesan anak-anak kita, atau dalam rasa lega di tengah masalah yang semula terasa begitu berat, seolah ada tangan tak terlihat yang membantu kita.

Pun halnya saya. Saya tidak pernah mengklaim diri saya baik atau pemurah, tapi ada satu peristiwa yang bagi saya terasa sangat ajaib, yang membuat saya yakin bahwa Allah hadir membantu saat saya mengalami kesulitan. Beberapa tahun lalu, saat saya masih tinggal bersama mertua, kebetulan rumah mereka berdekatan dengan masjid. Sejak saya tinggal di sana, setiap hari selalu saya sempatkan untuk memasukkan infaq ke dalam kotak amal, dengan jumlah yang random.

Saat saya sedang mengandung Alea, ketika hendak mengambil wudhu untuk salat tahajud, saya mendapati sesuatu yang tidak saya harapkan—saya mengalami pendarahan hebat, dan ketuban saya pecah sebelum waktu kelahiran tiba. Saya dan suami tahu bahwa saya harus kembali melahirkan melalui operasi sesar karena placenta previa. Di tengah malam, dengan kondisi semendadak itu, tentu bukan hal bagi kami untuk menjadwalkan operasi, apalagi mencari kamar di rumah sakit pemerintah.

Selang 8 jam kemudian, saya ditangani oleh tim dokter Rumah Sakit Pasar Rebo, dan operasi sesar pun berjalan dengan lancar. Saya dipindahkan menuju ke ruang pemuliha, di mana di sana saya berkumpul dengan para ibu pascamelahirkan, sebelum menuju ke kamar perawatan masing-masing. Suami saya masih sibuk mencari kamar yang memungkinkan saya bisa rooming-in dengan bayi kami, dan semua kamar terisi penuh. Entah dari mana pertolongan itu datang, yang sebelumnya semua kamar dinyatakan penuh tiba-tiba ada kamar Kelas 1 yang tersedia, dan saya bisa langsung menempatinya tanpa proses berbelit. Ah, rasanya Allah sedang menunjukkan kekuasaan dengan memudahkan segalanya di saat saya sangat membutuhkan-Nya. Bahkan, saya diiizinkan pulih jauh lebih cepat dibandingkan operasi caesar pertama saya pada 2008, yang membutuhkan dua minggu pemulihan—saat itu saya belum siap secara mental karena bayi pertama saya meninggal dalam kandungan.

Memberi bukan tentang berapa banyak yang kita lepaskan, melainkan tentang percaya bahwa ada sesuatu yang baik sedang menanti kita, ada pintu-pintu rezeki dan kebahagiaan yang terbuka yang sebelumnya tidak kita sadari ada. Tak peduli seberapa kecil bentuknya—waktu yang kita luangkan untuk mendengarkan, tenaga yang kita curahkan untuk membantu, atau harta yang kita sisihkan untuk berbagi—jangan pernah ragu untuk berbuat baik. Kebaikan tidak pernah pergi. Ia mungkin menempuh perjalanan panjang berliku-liku, melintasi banyak hati, dan menghidupkan banyak senyum sebelum akhirnya kembali kepada kita atau kepada mereka yang kita cintai. Tapi satu yang pasti, saat ia tiba, kebaikan selalu membawa kehangatan—entah berupa kebahagiaan, kemudahan, atau jawaban dari doa-doa yang pernah kita bisikkan dalam sunyi. Sebagaimana lingkaran yang sempurna, kebaikan akan selalu menemukan jalannya untuk kembali.

“Kebaikan itu tidak pernah salah alamat. Meski tak selalu langsung kembali, ia selalu menemukan jalan terbaik untuk menjelma menjadi kebaikan-kebaikan lain untuk pemberinya.”

Continue Reading

Mistakes Are Okay

Sejak Alea bisa diajak berkomunikasi (usia pra TK), saya sering membagikan percakapan saya dengan Alea (7 tahun) di media sosial Instagram dalam bentuk IGstory. Percakapan yang sederhana, kadang lucu, kadang mengharukan, atau cerita parenting lainnya tentang bagaimana saya dan Alea saling berproses. Karena proses belajar itu bukan melulu dari saya untuk Alea, tapi sering kali justru dari Alea saya belajar bagaimana menjadi seorang ibu, menjadi orang tua.

Meskipun Alea adalah anak saya, tapi nyatanya saya dan Alea bukan sebuah pribadi yang sama dan identik. Ada hal-hal bawaan yang berbeda dari kami berdua. Salah satu contoh paling mendasar adalah saya orangnya kalau panik bawaannya ngegas. Tapi tidak dengan Alea. Dia adalah anak yang selalu tenang dalam menghadapi permasalahannya. Dalam mengerjakan ulangan pun demikian. Ketika teman-temannya sudah selesai, kalau dia belum selesai ya akan diselesaikan sampai selesai, tanpa panik atau terburu-buru. Bahkan saking tenangnya, mengerjakan soal matematika saja dia sambil bersenandung, sementara yang mendampingi sudah kasih aba-aba dan instruksi layaknya pelatih Paskibraka supaya dia segera menyelesaikan ulangannya.

Pun halnya ketika sesi Pembelajaran Tatap Muka (PTM), pernah ada suatu ketika dia terlambat datang ke sekolah karena bangun kesiangan. Berpamitan dan turun dari mobil dengan tenang, masuk ke halaman sekolah dengan tanpa berlari-lari, mencuci tangan dan menjalani prosedur sebelum masuk kelas dengan tanpa terburu-buru, dan bergabung di kelas dengan tanpa rasa canggung.

Mungkin beberapa doa malam saya waktu mengandung dia dulu ada yang diijabah oleh Tuhan. Alea memiliki keistimewaan tersendiri. Dia memiliki kecerdasan dan kepekaan sosial yang tinggi. Banyak hal tak terduga yang keluar dari pemikirannya, jauh di luar apa yang saya pikirkan sebelumnya. Entah apakah ini gift dari Sang Maha Pencipta atau ada hubungannya dengan kebiasaan ngobrol dengan saya sebelum tidur.

Hampir setiap malam sebelum tidur, kami sempatkan untuk ngobrol. Bukan topik yang serius, tapi topik ringan seputar aktivitas keseharian, tentang teman, tentang apa yang kami pikirkan tentang sesuatu. Intinya topiknya bisa tentang apapun. Selain untuk memperkuat bonding antara ibu dan anak, juga untuk menyisipkan nilai-nilai baik sebelum dia tidur.

Seperti halnya obrolan beberapa malam lalu. Ada seorang teman yang menceritakan bagaimana dia merespon anaknya ketika salah hitung dalam soal matematika sederhana.

“Alea, tadi temen Mama cerita, kalau anaknya salah ngejumlahin gitu. Dia kan dikasih soal sama mamanya, 6+0=…. Anaknya temen Mama jawabnya 6+0=0. Temen mama marah, dong. Masa 6+0=0, kan harusnya 6. Ya, kan? Menurut Alea gimana?”

“That’s okay, Mama. She’s still learning. So, making mistake is fine. Because it’s a proof that she’s trying…”

Jujur, saya seperti bukan sedang berbincang dengan anak usia 7 tahun. Bahkan saya sempat mengira Alea bakal mengeluarkan respon, “Hah?!”, “WHAT?!”, atau bahkan menertawakan kesalahan yang diperbuat sebayanya. Tapi ternyata saya sudah bersuuzon.

Sebenarnya kalimat-kalimat bijak seperti ini bukan sekali dua kali keluar dari pemikiran Alea. Bahkan pernah sekali dua kali justru saya yang diberi nasihat. Lucu sih kadang, seolah mendengarkan diri saya sendiri dalam versi anak-anak ketika dia menasihati saya. Tapi saya selalu membiarkan dia berproses dengan caranya. Saya percaya bahwa di setiap harinya, ada penyerapan kalimat, kata, perbuatan, tingkah laku, dan nasihat. Ada spons raksasa dalam otak dan dirinya yang siap menyerap banyak hal.

Dulu, Alea pun bukan anak yang selalu percaya diri. Ada kalanya dia memilih untuk tidak mencoba karena khawatir berbuat salah yang membuat papa mamanya marah. Perlu waktu untuk menjadikan dia anak yang mau terbuka, mencoba belajar banyak hal, dan menjadi anak yang percaya diri. Dan kuncinya memang ada di cara bagaimana kita berkomunikasi, cara kita memperlakukan dia.

Kami pun sebagai orang tua tidak pernah yang menuntut dia harus mengerjakan segala sesuatu harus benar dan sempurna. Di usianya yang masih belia rasanya terlalu naif untuk menuntut sebuah kesempurnaan tanpa melalui sebuah proses pembelajaran, penerimaan diri, atau melalui kesalahan-kesalahan. Toh kita saja yang sudah setua ini masih sering membuat kesalahan, kan?

Pernah suatu saat ketika dia masih TK, dan dia belajar Matematika sederhana, dia ada salah menghitung dan dia begitu merasa bersalah. Padahal saya waktu itu baik-baik saja, tidak menyalahkan, pun membuat dia terhakimi. Tapi reaksinya di luar dugaan. Dia sedih, merasa bersalah, dan lalu meminta maaf. Respon saya waktu itu ya otomatis memeluk sambil mencium dia, karena sebenarnya setidak apa-apa itu. That’s not a big deal, Alea.

“So is it good if I make mistake? Will you not get mad at me, Mama?”

Ya, of course it’s fine. Mama nggak menuntut Alea jadi anak yang supersempurna, yang nggak pernah bikin kesalahan. Learning is a continuous process in life. And making mistakes is a part of learning process. When we learn new things, we tend to make mistakes, which is natural and common. Mistakes happen. We all make them, it is part of what makes us human. Bikin salah waktu belajar itu nggak apa-apa, lain kali waktu mengerjakan soal harus lebih hati-hati, lebih teliti lagi, ya. OK?”

“Okay, then…”

“I just want you to be a happy human being, Alea. Just be you. Be the best version of you…”

Tidaklah terlalu penting menjadi sosok yang sempurna. Namun yang jauh lebih penting dari itu, saya ingin melihat Alea tumbuh jadi anak yang gembira, anak yang bahagia, anak yang tumbuh dengan versi terbaik dirinya. Karena dengan menjadi anak yang bahagia, dia akan bisa menularkan kebahagiaan di lingkungan manapun dia berada. Lebih luas lagi, semoga kelak dia bisa membawa banyak kebermanfaatan bagi sesamanya.

  • devieriana

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

Tentang Memaafkan (2)

Konon, hati manusia itu seluas samudera. Tapi dalamnya siapa tahu? Pun tentang kekuatan hati. Tak ada satupun manusia yang tahu kekuatan hati manusia lainnya. Itulah mengapa tidak semua orang memiliki sikap dan pandangan yang sama ketika harus berhadapan dengan komentar tajam dan jahatnya perbuatan orang lain.

Bagi yang terlahir dengan hati yang sekeras baja, semua hal yang membuat rasa sakit hati mungkin akan dianggap sebagai angin lalu, ya. Tapi tidak demikian dengan orang yang hatinya serapuh cangkang telur. Rasa sakit hati akan lebih rentan mendera dan meninggalkan bekas. Bukan hanya sehari, bisa berbulan-bulan, bertahun-tahun, hingga menggumpal menjadi dendam tak berkesudahan, bahkan ada yang dibawa hingga ke liang lahat.

Dari dulu saya mengklaim bahwa saya adalah seorang pemaaf. Jika ada yang menyakiti saya baik itu lewat kata maupun perbuatan, biasanya saya cepat melupakan dan memaafkan. Tapi praktiknya saya belum sepemaaf itu. Ada suatu masa di mana saya pernah menyimpan rasa sakit hati yang berkepanjangan.

Semua berawal dari peristiwa 3 tahun tahun lalu, ketika saya harus pulang mendadak karena sepulang umrah Papa masuk ruang ICU. Kondisi Papa waktu itu sudah tidak terlalu bagus. Selain karena usia, juga ada cairan di paru-paru hingga Papa mengalami kesulitan bernafas dengan lega.

Saya, adik-adik, dan Mama saling bergantian menjaga Papa di rumah sakit. Meski tetap berharap yang terbaik untuk kesembuhan Papa, tapi entah kenapa melihat perkembangan kesehatan Papa yang tidak stabil dan sempat beberapa kali menurun, membuat saya tidak berharap terlalu banyak.

Hingga ketika saya berkesempatan berjaga tepat di hari ulang tahun saya. Keadaan Papa saat itu sedikit lebih baik dan sudah dipindahkan ke ruang HCU setelah sempat tak sadarkan diri di hari sebelumnya,

“Pa, Papa pengen ngobrol atau telepon siapa gitu, nggak?”  

Dengan tersenyum Papa mengatakan kalau ingin sekali disambungkan dengan Oom (kakak kandungnya) di Jakarta, sebentar saja. Dengan sigap saya segera menyambungkan ke nomor Oom, walaupun pasti akan diterima Tante terlebih dahulu, yang penting bisa tersambung, dan dua kakak beradik yang sudah sangat lama tak bertemu ini bisa ngobrol sebentar.

Tapi siapa sangka kalau permintaan sederhana itu tidak dapat saya wujudkan hingga Papa kembali mengalami masa kritis sebelum akhirnya berpulang. Perasaan saya campur aduk, antara sedih, marah, dan menyesal.

Sejak Papa bilang kalau ingin menelepon kakaknya, tak henti-hentinya saya berusaha untuk menghubungi nomor Oom di Jakarta.  Sebenarnya selalu tersambung, walau tidak pernah diangkat. Pesan singkat yang saya kirimkan via aplikasi Whatsapp pun sebenarnya selalu dibaca karena 2 checklist biru pada pesan Whatsapp selalu terlihat. Tapi berhari-hari saya coba menghubungi nomor tersebut, namun tak jua membuahkan hasil.

Hingga selang beberapa hari setelah Papa berpulang, sebuah nomor asing menghubungi saya. Suara di ujung telepon adalah suara yang saya kenal. Suara tante yang saya pernah saya harapkan akan berkenan menyambungkan kepada Oom. Dengan suara yang agak parau beliau menyampaikan kalimat duka cita dan permintaan maaf karena tidak sempat mengangkat telepon dan membalas pesan-pesan saya lantaran terlalu sibuk mengurus rumah dan Oom yang kondisinya mulai menurun. Tante sengaja tidak mengangkat telepon saya, lantaran beliau khawatir hal itu akan mengganggu kesehatan Oom. By the way, hingga akhir hayatnya, Oom tidak pernah tahu kalau Papa sudah pergi mendahului.  

Entahlah, mungkin saat itu hati saya masih diselimuti emosi dan rasa kecewa, sehingga semua kalimat yang diucapkan Tante terdengar begitu egois bagi saya. Seolah semua ingin jadi pihak yang paling dipahami, dimengerti, dan dimaklumi. Jadi meski saat itu mulut saya memaafkan, tapi sesungguhnya tidak demikian dengan hati saya.

Selang dua tahun setelah kepergian Papa, sebuah kabar duka beredar di grup Whatsapp keluarga. Kakak kesayangan Papa ini pun berpulang menyusul hampir semua saudara kandungnya yang sudah lebih dulu pergi. Berhubung beliau dulunya adalah seorang mantan perwira tinggi TNI Angkatan Darat, maka setelah disalati sebagai penghormatan terakhir pada pukul 16.00 akan dimakamkan dengan upacara militer di Taman makam Pahlawan di Kalibata.

Gamang. Haruskah saya pergi melayat? Mampukah saya bertemu dengan orang yang dulu membuat permintaan terakhir Papa tidak terwujud? Apakah lebih baik saya berpura-pura tidak tahu saja kalau Oom meninggal dunia? Saya sempat sebatu itu, lho.

Hingga akhirnya saya ditegur oleh suami,

“Sampai kapan kamu kaya gitu? Memendam rasa sakit yang nggak perlu. Papa insyaallah juga sudah tenang di alamnya. Mama juga sudah lama memaafkan Tante dan memaklumi semua keadaan. Kenapa malah kamu yang belum bisa memaafkan? Mau kamu apakan rasa dendammu itu?”

Air mata saya tumpah bak kubangan sisa air hujan yang menjebolkan plafon rumah. Tuhan, sungguh semua rasa ini membuat saya bukan jadi diri saya. Saya yang katanya seorang pemaaf ini nyatanya adalah seorang tokoh antagonis yang kejahatannya dibalut rasa sakit hati. Rasa yang sama sekali bukan terbangun di hati, namun di kepala, yang kemudian bermetamorfosa sedemikian rupa hingga akhirnya malah membutakan diri saya sendiri.

Dengan emosi yang pelahan luruh, saya sekeluarga dan adik saya sampai juga di Taman Makam Pahlawan Kalibata menjelang magrib, karena memang upacara militer untuk beliau baru selesai. Di blok makam tempat peristirahatn Oom yang terakhir, terlihat seorang perempuan seusia Mama sedang duduk di kursi menghadap gundukan tanah yang masih merah dan penuh taburan bunga. Perawakannya kecil, matanya sembab, wajahnya pucat, dan badannya jauh lebih kurus jika dibanding dengan saat terakhir bertemu beberapa tahun lalu. Beliau adalah Tante saya.

Tante yang menyadari kehadiran kami berdua, langsung berdiri dan memeluk saya erat. Dia menangis tergugu.

Wallahualam, apakah beliau tahu apa yang saya rasa dan pikirkan, ya? Karena di sela sedu tangisnya beliau bilang begini,

“Devi, maafkan semua kesalahan Oom semasa hidup, ya. Maafkan Tante yang nggak bantu Devi buat memenuhi keinginan terakhir Papa buat ngobrol sama Oom. Maafkan keegoisan Tante waktu itu. Jujur kalau inget almarhum Papa, Tante sedih banget dan merasa bersalah. Sampaikan juga maaf Tante kepada Mama, ya. Dengan tulus Tante minta maaf… Semoga Devi berkenan memaafkan …”

Saya mengangguk dalam tangis yang tak kalah derasnya. Di sela azan magrib yang bergema, saat itu pula ego dan luka hati saya luruh bersama air mata. Permintaan maaf yang tulus sudah sewajarnya mendapatkan maaf yang sama tulusnya. Pikiran saya terbuka pelahan. Sekalipun kata maaf dari orang yang telah menyakiti itu penting, tapi sesungguhnya ada hal lain yang jauh lebih penting dari itu semua, yaitu berdamai dengan masa lalu dan memaafkan diri sendiri.

Dalam perjalanan pulang ke rumah, mata saya bengkak tapi hati saya jauh lebih damai dan lapang.

Ternyata sakit hati yang selama ini saya simpan, tak malah membuat saya merasa lebih baik. Bukannya malah sembuh, rasa sakit dan kecewa yang saya pelihara itu makin menjadi-jadi. Hingga sore itu, ketika semua sudah saling memaafkan, luka-luka saya pun sembuh. Saya tidak pernah ingin mendatangi rasa sakit itu lagi.

Jadi, last but not least, bagi siapapun yang mungkin pernah tersinggung atau sakit hati atas kata-kata dan perbuatan saya, baik yang saya sengaja maupun tidak, dengan segenap kerendahan hati saya mohon dimaafkan, ya 🙂

-devieriana-

picture source mindful.org

.

Continue Reading

Satu Dekade

MYXJ_20170717120351_save

Sampai dengan tanggal 17 Juni 2017 kemarin sebenarnya masih belum percaya bahwa kami telah menjalani satu dasawarsa hidup berumah tangga. Di usia yang digambarkan sebagai Perkawinan Timah ini sebenarnya sama saja ceritanya dengaan usia-usia perkawinan lainnya, pasti banyak suka dukanya.

Tapi sebenarnya berapapun usia pernikahan kita bukan sebuah hal yang penting, karena sama-sama bukan jaminan dan tolok ukur kematangan dan kebahagiaan. Sejatinya, pernikahan itu tentang kemampuan kita menyesuaikan diri dengan pasangan, dan usaha masing-masing dalam mempertahankan mahligai komitmen yang sudah dimulai.

Saya sadar sepenuhnya bahwa tidak semua pasangan bisa hidup bersama sampai ke usia pernikahan yang sama dengan saya, karena mempertahankan pernikahan, hidup bersama dengan orang yang sangat berbeda sifat dan karakter itu bukan perkara gampang. Di sepanjang waktu berjalan pasti akan ada friksi dan gesekan yang akan timbul.

Dulu, zaman masih belum menikah sementara sudah banyak teman yang menikah, pernah saya bertanya kepada salah satu dari mereka begini,

“menurut kamu, pernikahan itu apakah selalu berakhir bahagia? Maksudku gini, kan ketika orang udah pacaran nih, pengennya kan selalu berujung di pelaminan, hidup berkeluarga, bahagia selama-lamanya. Menurut kamu sebagai orang yang sudah menjalani perkawinan, gimana?”

Tapi, alih-alih menjawab pertanyaan lugu saya itu, dia justru tertawa. Lah, kok malah tertawa. Jujur ya, saya selalu mikirnya begitu. Kenalan, pacaran, menikah, happily ever after. Layaknya film-film Disney, begitulah.

“Perkawinan itu nggak sesederhana yang ada dalam pikiranmu, Dev. Nggak sama kaya cerita di film-film Disney yang hampir selalu berakhir bahagia; that marriage is everybody’s happy ending. Justru masalah-masalah yang sebenarnya itu baru akan muncul setelah kita menikah. Pikiran kita justru akan ‘pecah’ ya setelah menikah, bukan pada saat pacaran yang masih banyak indah-indahnya itu”

Flashback ke 10 tahun lalu ketika pertama memulai hidup dengan suami yang karakter dan sifatnya berkebalikan bak bumi langit dengan saya. Beberapa tahun setelah percakapan itu, saya pun akhirnya menikah. Singkat cerita, benar memang, saya harus menyesuaikan diri dengan status baru saya yaitu sebagai istri. Jujur, itu bukan hal yang mudah, apalagi kalau sudah menyangkut ego masing-masing.

Dan ketika sedang perang dingin dengan suami, teringat kalimat demi kalimat teman yang dulu pernah cerita ini-itu,

“Dalam hubungan nanti, pasti akan ada kelakuan pasangan yang akan menghantam ego kita, baik itu perkataan maupun perbuatan…”

Dan lagi-lagi itu memang nyata adanya. Baik sengaja atau tidak, bukan hanya suami, saya pasti pernah berlaku hal yang sama kepada suami. Hiks…

Seiring waktu dan banyaknya pengalaman yang menyadarkan kami berdua, kami pun ‘insaf’ dan mulai saling mengisi, saling mengingatkan, saling memperbaiki diri kami masing-masing, dan lebih memaafkan. Saya dan suami sama-sama belajar menemukan nilai-nilai berharga dari apa yang telah kami jalani selama 10 tahun ini. Tidak ada manusia yang sempurna, pun halnya dengan kehidupan pernikahan.

Sampai dengan sekarang, memang masih ada sifat, karakter, cara berpikir, dan cara kami masing-masing mengambil keputusan yang berbeda dan tidak mudah untuk diubah, tapi tetap berusaha kami terima. Kami sadar bahwa terlahir dari latar belakang keluarga yang berbeda, dan tumbuh di lingkungan yang berbeda, wajar bila faktor-faktor perbedaan itu pasti akan tetap mewarnai relasi kita dengan pasangan.

Sepuluh tahun hidup bersama, semakin membuat saya sadar bahwa kami adalah dua karakter berbeda yang secara emosional saling melengkapi.

Tough times don’t last, tough teams do. Happy 10th wedding anniversary, Dear Husband. Thanks for the decade of amazing time with you…

Love you!

[devieriana]

Continue Reading
1 2 3 8