Di Sisa Waktuku Bersamanya ..

100_2592

Ada hal yang sedikit unik berkaitan dengan lebaran tahun ini. Uniknya di tanggal kita mudik. Maksud hati lebaran di Surabaya, shalat Ied disana, pulang sebelum lebaran. Kenyataannya, malam takbiran kita masih di Carrefour Mall Ambasador – Jakarta buat nyari buka & membeli beberapa keperluan lebaran..

Sebenarnya bukan maksud hati malam takbiran malah ngelayap di mall ya, tapi intinya kita nggak prepare kalau lebarannya bakal maju 1 hari. Kita waktu booking tiket masih menggunakan acuan lebaran di kalender yang notabene tanggal merahnya bakal jatuh di tanggal 21 & 22 September 2009. Jadi kalau kita booking tiket untuk flight tanggal 20 September 2009 seharusnya nggak masalah dong, wong lebarannya tanggal 21. Siapa yang mengira kalau akhirnya lebarannya justru maju sehari dari perkiraan awal kita? Masih ingat kami masih sibuk muter-muter di Carrefour ketika semua pramuniaga & pengunjung Carrefour anteng mantengin tivi buat memastikan apakah lebarannya jadi tanggal 20 atau 21 apakah haari itu jadi tutup jam 20.00 atau 22.00. Saat itu diam-diam saya berdoa dalam hati semoga hilal tidak terlihat karena memang mendung tebal banget sore itu 😀 Trus, ngaruh? Enggak, blas. ;)) Namanya alam mana bisa ditebak sih. Toh akhirnya hilal terlihat juga di beberapa titik lokasi yang sudah ditentukan. Tak ayal, lebaranpun akhirnya ditetapkan jatuh pada tanggal 20 September 2009.

Apakah saya menyesal? Sedikit :p. Tapi ya sudahlah tak apa, toh besok malamnya pun tetap bisa ketemu keluarga di Surabaya. Tetap bisa berkumpul di hari pertama lebaran. Sama aja, yang penting esensinya kan? Alhasil malam itu langsung kita berangkat ke Cipayung (rumah mertua) untuk persiapan shalat Ied keesokan paginya sekaligus membawa bertas-tas perlengkapan mudik 😀

100_2531

Alhamdulillah semua lancar dari hari pertama lebaran sampai kami mudik & kembali ke Jakarta. Relatif tidak mengalami kendala yang berarti. Jadwal yang padat sejak hari pertama mengharuskan saya untuk membagi waktu & menjaga kesehatan, karena sistemnya marathon, alias bikin capek. Tapi justru saat-saat seperti itulah yang bikin saya sadar bahwa ternyata ada banyak orang & keluarga yang sayang & care sama saya. Bahkan disela waktu kerja beberapa teman  masih meluangkan sedikit waktunya buat ketemuan & reunian bareng saya. Buat teman-teman baru mereka masih menyempatkan diri untuk kopdar. Untuk semua saudara yang pintunya masih terbuka untuk kami kunjungi. That was the priceless moment..

with friends

Semoga Tuhan masih mengijinkan kita untuk bertemu lagi di lebaran-lebaran berikutnya ya..

Amien..

[devieriana]

dokumentasi pribadi

Continue Reading

Late Shopping : Shop Till You Drop

Midnite shopping

Seminggu menjelang lebaran mungkin justru menjadi moment yang lebih menarik dibandingkan dengan hari-hari awal puasa. Kenapa? Ya karena menjelang lebaran yang tinggal dihitung dengan jari justru membuat lebih bersemangat.. bukan untuk beribadah tapi.. memindahkan “tarawih” ke mall. Tentu bukan tarawih dalam arti yang sebenarnya ya.. tapi disini untuk menggambarkan ada excitement yang dirasakan oleh banyak orang untuk berburu baju & sepatu baru plus perlengkapan lebaran dibanding tarawih berjamaah di masjid.

Tarawih di masjid yang di hari-hari awal Ramadhan penuh sesak bahkan jamaahnya harus rela tarawih di luar masjid, di minggu-minggu ini justru (shaf-nya) mengalami kemajuan pesat.. Artinya, memang shafnya benar-benar maju karena berkurangnya jamaah yang shalat lantaran minggu-minggu terakhir Ramadhan ini mereka lebih memilih “tarawih & thawaf” di mall.

Tahun ini adalah tahun kedua saya mengalami & melihat berbagai excitement menjelang lebaran di Jakarta.Walaupun tak jauh beda dengan lebaran-lebaran waktu lalu di daerah saya sendiri. Namun yang pasti keriangan itu beda nuansa. Di Jakarta yang notabene mall-nya ada dimana-mana sudah jelas memberikan kesempatan yang lebih luas bagi penunjungnya untuk memilih, kemana akan menghabiskan sisa uang THR mereka sebelum lebaran tiba.

Kemarin malam sepertinya adalah puncak dari perburuan barang-barang menjelang lebaran. Hujan diskon & penawaran stok model baju-baju baru (atau justru banyakan stok lama yang dikeluarkan lagi dari gudang?). Di beberapa mall di Jakarta bahkan kompak menyelenggarakan nite sale atau 24 hours shopping hanya untuk membuka kesempatan lebih besar bagi pengunjung untuk mendapatkan barang-barang yang dibutuhkan untuk persiapan lebaran.

Rencananya kemarin sebenarnya nggak niat untuk shopping ya, cuma karena harus menunggu adik saya yang kebetulan ada training di gedung Bank Mega Jl. Tendean (TransTV) yang katanya selesai jam 17.00 walaupun nyatanya jam segitu dia belum keluar dari gedung. Alhasil saya ngider dulu bareng suami plus buka puasa sambil nunggu dia selesai training. Nah selama ngider itu, tentu saja nggak cuman ngider ya.. adalah beberapa barang yang kami beli untuk persiapan mudik ke Surabaya. Setelah selesai, malah bingung mau kemana. Karena makin malam mallnya bukan malah tambah sepi malah lebih ramai. Pengunjung berdesak-desakan memilih baju & sesudahnya mereka mulai mengantri di kasir sampai membentuk uler-uleran. Saya saja yang cuma beli anting bulat harga Rp 15.000,- harus rela ngantri di belakang sekitar 20 pengunjung di depan saya. Sabar menunggu beberapa orang di depan saya mengeluarkan barang belanjaannya bertas-tas untuk kemudian menyerahkan lembaran ratusan ribu atau menyodorkan credit card mereka ke kasir yang harus kerja ekstra keras malam itu.

Security-pun mau tak mau harus meningkatkan kewaspadaannya. Lantaran makin malam mall jusru makin penuh. Bahkan di Plaza Semanggi, salah satu mall yang menyelenggarakan acara 24 hours shopping ini, security-nya harus aktif bergerak & mengawasi keadaan di kasir & beberapa spot counter baju muslim yang ramai diserbu pengunjung. Tak heran karena counter & wagon baju muslim-lah yang paling laku kalau mendekati lebaran seperti ini.

Pemandangan yang tak kalah seru adalah melihat para bayi yang pasrah tertidur di baby trolley masing-masing sementara para orangtuanya sibuk memilih & mematut diri dengan baju-baju baru. Bahkan banyak yang tidur kelelahan di gendongan ibu/ayahnya. Kelelahan ikut orangtuanya kesana-kemari, belanja nggak selesai-selesai (gitu mungkin pikiran mereka ya?) .

Moment menjelang lebaran seperti ini, barang dagangan apa sih yang nggak laku? Para penjual berlomba-lomba menawarkan produk baru dengan harga bersaing. Penggunaan kata-kata “discount”-pun merebak dimana-mana. seolah berusaha membujuk para pelanggan untuk belanja lebih, lebih, dan lebih banyak lagi. Di saat-saat seperti ini sepertinya konsumenpun harus lebih berhati-hati. Karena tak jarang konsumen justru bukan malah merasakan yang namanya discount tapi malah tekor nggak karu-karuan. Rasanya perlu lebih bijak dalam melihat kata-kata “discount” ini. Jangan terburu nafsu berbelanja sebanyak mungkin namun ketika sampai dirumah justru merasa menyesal bukan main, lantaran terbujuk kata-kata “murah” karena setelah dihitung-hitung jatuhnya malah sama saja, harganya seperti bukan diskon. Biasanya barang didiskon karena stoknya masih banyak tapi nggak laku-laku (entah karena modelnya kurang menarik, ukurannya besar, atau warnanya yang kurang catchy). Jadi pandai-pandailah memilih barang diskon & jangan keburu lapar mata dengan kata-kata “murah”.

Oia, intermezzo.. di Plangi kemarin saya liat Tompi yang lagi manggung & sempat papasan sama Azis Gagap (Opera Van Java) di parkiran pas saya mau pulang. Tapi nggak ada satupun yang sempat foto bareng 🙁 —> d’ooh.. nggak penting banget ya endingnya?  😀

[devieriana]

 

dokumentasi pribadi hasil recapture brosur Centro

Continue Reading

Kisah Hidup dalam Sebuah Taksi

Hari ini setelah seharian diterpa “badai” telpon komplain, emailing & negosiasi sana-sini ditambah curhatan masal dari seluruh Indonesia tentang THR & teman-temannya akhirnya baru bisa pegang kerjaan sendiri sekitar jam 14.00, itupun sudah dengan “hawa” kurang bersemangat & pengen pulang, lantaran sudah terlalu sore untuk mulai kerja sementara pikiran & energi saya sudah tercurah untuk mengurusi tetek bengek masalah hak & kewajiban anak-anak saya sejak pagi.

Berhubung hari ini saya & suami ada buka bersama di kantor masing-masing jadi ya nggak bisa pulang bareng. Okelah tak apa, dan sayapun memutuskan untuk naik taksi. Lumayan kan bisa sedikit rileks.

Ternyata driver taksi yang saya tumpangi termasuk orang yang suka ngobrol. Awalnya saya pikir, “ah.. bapak ini cuma pengen basa-basi aja kali ya..”. Tapi ketika saya sadar bahwa dia nggak bisa berhenti ngobrol, akhirnya sayapun mulai mengkonsenkan diri dengan obrolan pak supir yang ternyata asli Cilacap (Jawa Tengah) itu.  Sebenarnya ini bukan kali pertama saya diajak ngobrol & curhat sama seorang supir taksi. Kebetulan saya memang “pawakan” (bakat) dicurhati orang. Dan ini pengalaman kedua saya dicurhati seorang supir  taksi.

Cerita itu mengalir sejak saya naik sampai saya tiba di tempat tujuan. Cerita unik tentang kehidupannya dia, pertemuan dengan istrinya, kebanggaan terhadap keluarganya, cita-citanya,  kecintaan & hormat kepada kedua orangtuanya. Kepandaian kedua buah hatinya & kerinduannya terhadap keluarga di Tegal. What a perfect family, pikir saya. Di sela-sela kisah hidupnya saya sempat berpikir, apa iya dia juga menceritakan hal-hal seperti ini ke semua penumpang dia atau cuma ke saya aja?

“Dulu saya nggak pernah cinta sama istri saya lho mbak..”

“ha? kok bisa pak? bapak dijodohin?”

“dijodohin sih enggak, ada “adat” di daerah istri saya.. Kalau seorang perempuan sudah dikunjungi teman pria, pasti disuruh nikah.”

“oh ya? masih ada yang kaya begitu ya pak?”

“ya adalah mbak.. namanya juga masih di daerah.. Jujur saya menikah dalam keadaan serba nggak siap. Semua ditanggung keluarga istri saya.. Ya abis gimana, wong niat saya cuma main kok malah ditodong suruh nikah..”

“ya bapak kan bisa nolak pak, kalo emang ga suka..”

“ya gak bisa gitu juga sih mbak.. wis pokoknya ribet aja.. Namanya anak, ya wis nurut aja daripada dianggap durhaka.. Uniknya saya ini pas hari H pernikahan saya , paginya saya masih di Jakarta, nyupir.. Jujur saya nggak punya uang buat menghidupi calon istri & keluarga saya mbak.. Saya benernya malu.. Calon kepala keluarga kok nggak bisa menghidupi keluarganya..”

“Lho.. trus.. perhelatan pernikahannya gimana pak?”

“hahahaha.. ya ditunda.. dandanan istri aya aja sempat dibongkar.. Tapi malamnya saya datang mbak..”

Saya tertawa.. Kisah yang aneh, tapi nyata. Taksi sudah mulai melintas di Gatot Subroto & saya mulai tertarik dengan cerita hidupnya..

“Trus kalo nggak cinta kok bisa punya anak dua pak?”, tanya saya iseng banget..

” Ya namanya tiap hari ketemu, serumah, tidur bareng.. lama-lama saya ya cinta sama dia mbak.. Saya kok merasa beruntung punya istri kaya dia. Pinter, taat beribadah nggak terlalu banyak menuntut, sederhana & pandai mengatur keuangan keluarga.. Nggak kaya istri teman saya yang kerjaannya minta uang melulu..”, tuturnya polos..

“ya itulah yang namanya jodoh ya pak.. Nggak pernah bisa ditebak datangnya darimana. Ada yang ngoyo banget cari jodoh tapi kalau Yang Diatas belum bilang “ya” ya belum ketemu-ketemu.. Ada juga yang nggak ngoyo nyari jodoh.. eh malah diparingi yang sempurna kaya istrinya bapak ya..”

“iya mbak.. wis pokoknya alhamdulillah dengan kehidupan & keluarga yang Allah sudah kasih ke saya sekarang ini mbak.. “

“Lebaran ini bapak mudik?”

“enggak mbak, mungkin habis lebaran. Kerjanya mungkin nanti agak ngoyo, biar bisa bawa uang lebih buat anak istri di rumah.. Walaupun mereka udah bilang sama saya kemarin begini, “Yah, lebaran ini ibu sama anak-anak nggak usah beli baju lebaran. Uangnya disimpen aja buat bikin rumah & anak yatim yah..”. Saya sampe terharu mbak.. “

“Alhamdulillah mereka pada mau ngerti ya pak..”

Saya tertegun, betapa Tuhan seringkali memberikan saya pelajaran hidup melalui jalan yang tak pernah saya sangka. Salah satunya lewat kesederhanaan hidup bapak supir taksi ini. Saya malu, saya yang dikaruniai lebih banyak kelebihan, keberuntungan & kemudahan sama Allah ini masih saja banyak melontarkan keluhan-keluhan nggak penting. Lebih sering melihat dengan tatapan iri ke arah warna rumput tetangga yang jauh lebih hijau daripada rumput di halaman saya sendiri. Lebih sering melihat ke atas ketimbang ke bawah.

Astaghfirullah..

Terimakasih untuk curhat & pelajaran sederhana tentang hidup hari ini ya pak..

[devieriana]

Continue Reading

Aku ingin pulang ..

TiketAh, akhirnya saya bisa mudik tahun ini, setelah hampir 2 tahun lamanya saya gak pulang ke Surabaya akhirnya tahun ini insyaallah bisa berkumpul bersama keluarga saya. Sebenarnya 2 tahun lalu saya masih sempat pulang sih, cuman berhubung masih baru menikah bulan Juni & sudah mudik 3 bulan sesudahnya, jadi masih belum terasa banget kangennya ya.

Tahun lalu niatnya juga pulang, tapi berhubung ada musibah yang mengharuskan saya istirahat dulu gak kemana-mana pasca operasi cesar melahirkan baby saya yang meninggal usia 6 bulan jadi ya lebarannya terpaksa harus di Jakarta. Tahun ini, dengan tekad bulat (halah), saya akhirnya bisa pulang.

Kalau soal kangen gak perlu ditanya seberapa besar rasa kangen saya pada Papa, Mama, dan kedua adik saya Echa, Dista. Kangen rumah saya yang imut, kangen candaan konyol & jerit-jeritnya kedua adik saya yang walau sudah bukan anak-anak lagi tapi tingkah lakunya masih seperti anak SD :D. Papa yang kalem, mama yang keras tapi berperasaan halus & jago masak. Ah, beneran deh saya kangen buanget sama mereka. Pun halnya dengan teman-teman kantor saya yang lama di Telkomsel & Infomedia, kangen berbahasa Jawa & guyon ala Suroboyoan  😀  .

Tadi sore smsan sama Mama, jadi terharu, walaupun isi smsnya hanya sms sederhana :

“Vi, kamu udah buka? pakai apa? Mama sama semuanya udah buka puasa jam 17.32 tadi. Met buka puasa ya sayang..”

“Hai Ma, maap baru bales. Tadi aku ngantor, trus pulangnya sekalian beli makan buat buka di Pizza Hut. Ini baru selesai mandi, hehehehe..”

“kirain mama kamu libur, kan kalo sabtu libur tho?’

“iya, tapi berhubung ada aturan 22 hari kerja ya udah digantinya sabtu ini. Oh ya Ma.. aku insyaallah pulang tgl 20 September pake flight jam 19.00 yah. Nanti aku pengen dimasakin masakan-masakan favoritku ya maa..”

“oke, kita tunggu kedatanganmu ya.. Dimasakin? Pastilah itu.. 🙂 . Ya wis, mama istirahat dulu ya. Met istirahat.. mama luv you..”
“met istirahat juga ma.. luv you too..”

Hwaa, terharu deh, rasanya sudah gak sabar pengen pulang. Tiket alhamdulillah sudah di tangan, cuti (panjang) juga sudah di approve. Tinggal tunggu hari H aja.. 😀

100_9218

100_9219

Okelah, sambil saya sambi menyiapkan rencana-rencana berikutnya dulu yah 🙂

[devieriana]

foto dokumentasi pribadi

Continue Reading

what is a name?

whats my nameNama, apa sih nama itu? apa gunanya, apa pengaruhnya? Kenapa nama bisa mempengaruhi tingkat pe-PD-an seseorang? Tulisan ini saya buat karena saya beberapa waktu ini sering mencermati hubungan antara nama & kepercayaan diri seseorang, plus hubungannya dengan bidang pekerjaan seseorang. Hah? ! Bidang pekerjaan? Apa hubungannya? Kalau misal namanya Ngatini apakah tidak boleh menjadi seorang manager? Atau jika namanya Catherine tidak layak jika harus menjadi office girl, misalnya?

 

No, no, bukan begitu. Begini awalnya, beberapa waktu yang lalu saya sempat ngobrol dengan teman-teman saya pas makan siang. Obrolan ringan seputar pasangan, anak, artis dan sejenisnya. Sampai kita akhirnya membicarakan seputar nama kita & artinya. Mostly mereka cukup pede dengan nama pemberian orangtua masing-masing. Hanya ada 1 yang kebetulan tidak bernafsu membicarakan namanya sendiri karena namanya dinilai terlalu singkat & biasa-biasa saja. Namanya Holilah (lah kan, nyebut merk kan..). Menurut saya sih ga ada masalah, nama yang cukup cantik kok. Alasan kenapa dia tidak begitu suka adalah karena namanya terlalu singkat, cuma itu saja, tanpa embel-embel nama tengah atau nama belakang. Walaupun buat saya sih sama saja, toh gak mungkin juga kita memanggil dengan nama lengkap saat kita ngobrol kan, misalnya : “Eh, Raden Ayu Holilah Setyaningtyas Manohara Suryosumarno Hadikusumo Djayadiningrat Tralalatrilili, kita ke toilet yuk”. Belum selesai sebut nama sudah nyampe toilet duluan kali ya.. hi5x

 

Kenapa saya bilang bahwa nama bisa berpengaruh pada tingkat kepedean seseorang karena banyak orang yang karena tidak percaya diri dengan namanya sendiri akhirnya mengganti namanya supaya terdengar lebih gaul, lebih modern, kalau dia artis supaya bisa lebih “menjual”. Tidak perlu  jauh-jauh deh, teman saya sendiri ada kok yang seperti itu. Namanya sebenarnya cukup bagus, nama muslim (saya sengaja tidak sebut aja yah..). Tapi dia lebih senang dipanggil dengan nama udara dibandingkan dengan namanya sendiri, kebetulan dia mantan penyiar di salah satu radio swasta di Surabaya. Atau ada yang karena lebih bagus nama baptisnya dia lebih suka dipanggil dengan nama baptisnya dibandingkan dengan nama asli pemberian orangtuanya sebelum dibaptis. Malah sekarang berhubung dia sudah menikah digabunglah nama baptis itu dengan nama fam keluarga suaminya. Jadilah makin jauh dengan nama realnya.Saya sendiri alhamdulillah cukup pede dengan nama pemberian orangtua saya, malah justru gak pede kalau diubah-ubah, seems not me anyway. Pernah menggunakan nama ayah dibelakang nama saya saat saya masih SD, dan itu hanya digunakan untuk kepentingan ijazah ujian tari saya saja, karena mengikuti “trend” mama saya yang kebetulan juga seorang penari Jawa yang dikenal di Sekolah Tari Wilwatikta karena menggunakan nama kakek saya dibelakang nama beliau. Mungkin karena itu ya.. mama pengen someday jika saya sudah dikenal sebagai penari saya akan menggunakan nama itu sebagai nama “artis” saya.. Jiaah, artis * disepak ke Timbuktu* .

 

Sekarang sih saya kemana-mana menggunakan nama saya sendiri, pun halnya ketika saya sekarang sudah menyandang status istri. Kebetulan suami juga tidak menuntut saya harus menggunakan nama dia dibelakang nama saya sebagai satu paket ikatan pernikahan. Lagipula saya malah merasa aneh kalau nama saya ada embel-embel nama suami, karena kebetulan kurang pas kalau maksa digabungkan. Sedikit kurang nyambung aja. Mungkin beda kalau nama suami saya agak panjang sedikit kali ya.. misalnya Yudhoyono.. eh itu mah nama presiden ya? maaf bu Ani.. *sungkem*. Lagipula dalam agama juga tidak di state ada kewajiban untuk mencantumkan nama suami dibelakang nama istri, yang ada tetap nama ayah yang boleh dicantumkan dibelakang nama kita. Itu kalau agama ya. Sekarang sih banyak kok wanita yang sudah menikah & menggunakan nama suami dibelakang namanya. Saya sih terserah ya, itu kan hak masing-masing, I have no problem with that, at all.

 

Kembali lagi ke nama. Kenapa para artis ada kecenderungan mengubah nama ketika mereka sudah menginjak dunia keartisan? Misal ya, wajah bule tapi nama Jawa, kenapa harus diubah supaya lebih hip & barat? Misal namanya Yuli Rachmawati harus diubah supaya lebih latin dengan Julia Perez (Perez kebetulan nama suaminya, Damian Perez. Yuli jadi Julia yah masih mirip-mirip, tak apalah), Siti Tuti Susilawati Sutisna jadi Sania? (jauh bener melesetnya?), Utami Suryaningsih jadi Uut Permatasari (permatasarinya dari mana coba?), dan banyak nama artis lainnya. Memang “nama artis” itu penting karena mereka harus “jualan”, entah jual akting, jual suara, jual tampang, dan sejenisnya. Tidak hanya di Indonesia kok, di luar negeripun juga melakukan hal yang sama & itu tidak aneh, bahkan mungkin sudah menjadi syarat yang tidak tertulis jika ingin jadi artis. Tapi kalau yang diluar dunia keartisan terus pengen ganti nama juga lantaran namanya kurang keren & modern? Wah gak tahu deh motivasinya apaan. Padahal nama itu kan doa, nama yang berasal dari orangtua sudah patut kita hargai. Mau sesingkat atau sepanjang apapun nama kita, whatever, itu adalah nama dari orangtua kita. Kita yakin bahwa dibalik nama itu ada doa & harapan orangtua untuk kita.

 

Sekalian tips buat para orangtua atau calon orangtua, nanti kalau kasih nama putra/i-nya berilah nama yang bagus & akan membuat mereka percaya diri dengan namanya. Terserah mau kasih nama apaan asal tidak sulit diucapkan & ditulis diatas akte..  😀

 

 

[devieriana]

gambar ngambil dari sini

 

Continue Reading