Mendadak Dirigen

Paduan Suara Lembaga Kepresidenan

Menjadi dirigen sebenarnya bukan hal baru bagi saya. Sejak di Sekolah Dasar saya sering ditunjuk sebagai dirigen di setiap upacara bendera atau lomba paduan suara antarsekolah.

Saya pikir, menjadi dirigen sudah berhenti sampai di bangku sekolah saja. Tapi ternyata, sampai saat ini saya masih sering diminta untuk menjadi dirigen di acara-acara yang mengharuskan audience menyanyikan lagu Indonesia Raya secara acapella (tanpa iringan musik).

Sebenarnya saya sendiri bukan anak paduan suara. Dulu zaman masih sekolah, ketika diminta memilih ekstrakurikuler, sekalipun ada opsi paduan suara, saya selalu mengambil ekstra kurikuler lainnya. Bahkan di kantor pun, ada paduan suara (Paduan Suara Lembaga Kepresidenan), saya juga tidak pernah bergabung secara resmi di sana. Sampai akhirnya, di pertengahan November 2017, ada sebuah momen di mana secara tidak langsung mengajak saya bergabung dengan paduan suara kantor untuk yang pertama kalinya.

Jadi ceritanya, ada undangan lomba paduan suara antar kementerian/lembaga dalam rangka peringatan HUT Ke-46 KORPRI yang akan diselenggarakan di Balairung SoesiloSoedarman, Kementerian Pariwisata pada tanggal 21 November 2017. Sebenarnya dirigen reguler sih sudah ada, tapi karena alasan tertentu beliau memilih untuk menyanyi, sehingga teman-teman paduan suara meminta saya untuk men-support kegiatan ini dengan cara menjadi dirigen. Semacam dirigen caburtan, gitu.

Antara ragu dan yakin, saya mengiyakan. Ya, anggap saja tambah pengalaman. Walaupun sudah sering tampil di mana-mana, namun lomba ini merupakan lomba pertama yang diikuti oleh Paduan Suara Lembaga Kepresidenan.

Jujur, dalam hati sih, saya agak ragu melihat persiapan yang sangat minim ini. Bagaimana tidak, di tengah waktu latihan yang super mepet, ditambah dengan personel yang minimalis pula lanaran banyak yang sedang dinas luar kota, kita tetap harus tampil maksimal. Ya, walaupun tidak ada tuntutan tertentu dari kantor, tapi tetap saja, namanya pergi dengan membawa nama instansi pasti ada beban tersendiri.

Lagu yang wajib dibawakan di babak penyisihan adalah Mars Korpri. Pssst, walaupun saya sudah jadi PNS selama kurang lebih 9 tahun, belum pernah menghafalkan Mars Korpri, lho. Ya kalau sekadar dengar sih pasti pernah, ya. Setahun sekali, itu pun ketika upacara peringatan Hari Korpri di kantor.

Berbekal video di youtube, saya menghafal lirik dan lagu Mars Korpri di mana pun saya berada. Di mobil, di ruangan, di atas motor ojek online, di kamar mandi, di mana pun, demi mengejar ketertinggalan saya. Saya sempat berseloroh begini, “mungkin Tuhan ingin saya hafal Mars Korpri dengan cara seperti ini, ya. Hiks…” Hihihihik. Saking mepetnya waktu, Pemirsa.

Di hari H, kami tampil apa adanya, nyaris tanpa beban, menyanyi saja. Semacam sadar diri karena keterbatasan personel dan waktu yang kami miliki. Tapi tentu itu bukan alasan untuk tidak tampil maksimal, bukan?

Setelah menghitung komposisi nilai, dewan juri yang terdiri dari Marusya Nainggolan, Sujasfin Judika Dewantara Nababan, dan Joseph Suryadi, akhirnya mengumumkan 10 besar penampil yang berhak maju ke babak final, tanggal 23 November 2017.

Alhamdulillah, kami dinyatakan sebagai salah satu peserta yang masuk final. Keputusan yang sebenarnya dua sisi mata uang. Antara senang dan deg-degan. Senang karena masuk final, deg-degan karena kami belum tahu mau nyanyi lagu apa di 2 hari berikutnya, hahaha… Parah, ya? Emang…

Long story short, di babak final ini kami diminta untuk menyanyikan lagu daerah atau perjuangan. Setelah melalui perdebatan dan drama ini itu, akhirnya… taddaa… kami pun memilih lagu Indonesia Jaya, dengan menggunakan kostum baju adat berbagai daerah di Indonesia seperti dari Papua, Bali, Sumatra Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan,NTT, dan Aceh. Berasa mau ikut karnaval. Tapi seru, sih. Jarang-jarang pakai kostum begini, kan?

Nah, di babak final inilah kami pasrah sepasrah-pasrahnya. Apapun keputusan dewan juri pastilah itu yang paling baik dan paling objektif. Di sesi ini banyak peserta yang tampil bagus dan all out! Sepertinya mereka memang sudah mempersiapkan ikut kegiatan ini sejak jauh hari, sudah terbiasa ikut lomba, dan tampil dimana-mana. Jadi kalau peserta lainnya sudah siap dengan materi yang nyaris sempurna sepertinya tidak perlu terlalu heran, ya.

Di setiap pertandingan/perlombaan pasti akan ada yang menang dan ada yang kalah. Dan setiap usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil. Tahun 2017 masih belum menjadi tahun keberuntungan bagi Paduan Suara Lembaga Kepresidenan di ajang lomba paduan suara. But, it is a good start. Tetap bisa kami terima dengan besar hati, kok. Berhasil masuk final tanpa latihan yang maksimal itu saja sudah bonus luar biasa bagi kami. Jadi kalau misalnya belum menang karena keterbatasan ini itu ya harus mau tidak mau harus diterima dengan legawa. Mungkin tahun depan bisa lebih baik lagi, asalkan persiapannya jauh lebih baik dan lebih matang lagi dari pada tahun ini.

Saya juga bersyukur mendapatkan kesempatan, ilmu, dan teman-teman baru di Paduan Suara Lembaga Kepresidenan ini. Sebuah kehormatan juga bagi saya dipercaya menjadi seorang dirigen.Bayangkan saja, saya bukan anggota paduan suara, yang jelas tidak pernah ikut latihan sama sekali, lagunya pun saya baru tahu menjelang lomba, tapi tiba-tiba dipercaya untuk memimpin teman-teman yang sudah senior, dan sudah sering latihan sebelumnya. Kalau bukan karena percaya, saya tidak akan berdiri di panggung yang sama bersama mereka.

Sekali lagi, terima kasih untuk kepercayaan kalian, guys! Semoga paduan suara ini kelak menjadi paduan suara yang lebih solid dan keren lagi ke depannya. Aamiin…

 

[devieriana]

 

Foto: Humas Setkab

Continue Reading

Ladies and Gentleman, Ricad Hutapea!

ricad hutapea

 

Saya mengenal saxophonist satu ini secara tidak sengaja. Berawal dari twitter, lalu disambung dengan obrolan di email dan watsap tentang permusikan, hingga akhirnya kakak satu ini memberikan saya sebuah CD.

“Eh, serius ini buat aku?”

“Iya, buat Kakak…”

“Aww, terima kasiiih…”

Yaaay! Senang! Ya senanglah, lha wong dikasih 😆 Nggak ding, kebetulan saya juga penggemar smooth jazz; dan kebetulan dia bermain di aliran musik yang sama dengan selera musik saya. Jadi rasanya kok gatel kalau nggak di-review ya 😀

Pertama kali saya mendengarkan secara utuh CD-nya Ricad yang bertajuk Jalan Pertama ini saya langsung terkesan. Apalagi lagu pembukanya yang berjudul Struggle. Kalau mendengarkan lagu itu rasanya kita sedang dibawa ke suasana kafe, dengan suasana lampu yang temaram, sambil ngobrol-ngobrol dan ngopi-ngopi cantik. Permainan saxophone-nya smooth dan luwes, layaknya seorang saxophonist yang sudah lama malang melintang di jagad musik tanah air.

Siapa sangka kalau sebenarnya dulu Ricad tidak pernah bercita-cita menjadi seorang pemain saxophone. Waktu SD dia lebih suka ikut paduan suara ketimbang bermain alat musik. Baru ketika dia sudah menginjak bangku SMP ketertarikannya terhadap penguasaan alat musik mulai tumbuh. Dia mulai menyukai keyboard; dan ternyata ketertarikannya ini didukung penuh oleh keluarganya. Oleh karenanya, untuk mendalami alat musik keyboard Ricad pun dimasukkan ke lembaga pendidikan musik Sonora. Tak heran kalau akhirnya ketika dia mulai masuk ke tingkat pendidikan formal yang lebih tinggi dia memilih untuk masuk di SMK Musik Perguruan Cikini dan mengambil jurusan piano klasik di bawah bimbingan Raras Miranti. Di sinilah awal mula dia mulai berkenalan dengan alat musik saxophone karena dia merasa jenuh terus-terusan bermain piano klasik 😀 . Akhirnya untuk memaksimalkan penguasaan alat musik saxophone, selama 3 bulan Ricad belajar secara intensif di Sekolah Musik Farabi, pimpinan Dwiki Darmawan.

Jiwa Ricad rupanya sudah mulai berlabuh ke saxophone. Itulah yang menjadi alasan Ricad untuk meneruskan pendidikannya di Institut Kesenian Jakarta dan mengambil jurusan saxophone klasik di bawah bimbingan Irianto Suwondo. Tak hanya sampai di situ, Ricad juga mengasah kemampuan bermain saxophone kepada guru-guru musik lainnya, yaitu Arief Setiadi, F.A. Talafaral, dan Yoseph Sitompul. Merekalah yang mengajarkan Ricad bagaimana memainkan saxophone dengan tone yang soulful.

Mengusung aliran jazz, Ricad membentuk Music Voyage Quartet di tahun 2011. Kemampuan bermusiknya dapat disaksikan dalam beragam event jazz tanah air, seperti Java Jazz, JakJazz, Indonesian Jazz Festival, dan pagelaran Jazz Gunung. Tak hanya di atas panggung, Ricad ternyata juga terlibat dalam pembuatan album beberapa musisi tanah air, seperti Monita Tahalea dan Tohpati. Oh ya, dia juga berhasil menciptakan 2 buah single hasil kolaborasi dengan DJ Andez .

Bagaimana kok akhirnya dia bisa kenal dengan beberapa dedengkot musik jazz Indonesia? Ternyata itu awalnya juga secara tidak sengaja. Ricad bercerita kalau sebenarnya di sekitar tahun 2012-2013 dia diajak ngobrol dan bermain bareng di kafenya Indra Lesmana yaitu Red White Lounge oleh Chaka Priambudi (pemain bassnya Monita Tahalea). Ketika mereka tampil, ternyata Indra Lesmana tertarik dengan permainan saxophone-nya Ricad. Nah, dari situlah akhirnya Ricad diajak untuk menggarap project Tribute To Chick Corea untuk ditampilkan di Red White Lounge. Chick Corea ini adalah salah satu musisi jazz kawakan Amerika.

Di penghujung tahun 2014 ini, Ricad merilis albm instrumental pertamanya yang bertajuk Jalan Pertama. Di album ini ada 10 lagu yang kebetulan semuanya diaransemen sendiri oleh Ricad. Selain Struggle, saya juga suka lagu Someone To Watch Over Me yang dinyanyikan secara ringan oleh Monita Tahalea dan tentu saja diiringi permainan saxophone-nya Ricad. Kerenlah pokoknya!

Oh ya, sementara ini, untuk membangun engagement dengan fans, CD sengaja dipasarkan sendiri oleh teman saya ini. Jadi, kalau kalian ada yang berminat membeli CD-nya Ricad, atau mengajak berkolaborasi, ingin mendengarkan seberapa kerennya permainan kakak yang satu ini, silakan mention dia di twitter @ricadhutapea atau langsung ke email ricadhutapeamusic@gmail.com deh, dia pasti akan senang hati menyapa dan melayani kalian 😀

Buat temanku, Ricad. Terima kasih ngobrol-ngobrolnya. Sukses terus buat karir bermusiknya. Teruslah berinovasi dan memberi warna baru bagi musik Indonesia.

Semangat ya! 😉

 

 

[devieriana]

 

gambar diambil dari twitternya Ricad

Continue Reading

Balada Kontes Dangdut

singer

“Hei, sejak kapan kamu suka dangdut? Kok ngeliatnya sampai gitu amat? 😯 “

Demikian komentar suami saya sepulang dia dari kantor dan menemukan saya sedang asyik menonton sebuah acara ajang pemilihan bintang dangdut di salah satu televisi. Saya cuma cengengesan melihat wajahnya yang keheranan tanpa memindahkan channel.

Sebenarnya saya bukan orang yang hobi melihat tayangan ajang pencarian bakat, kalaupun sempat menonton itu juga bukan disengaja, kebanyakan sih karena saya sedang mainan remote dan ndilalah kesasar nonton :P. Buat saya hampir semua acara kontes pencarian bakat itu memiliki konsep tayangan yang sama. Tahapannya selalu dimulai dari audisi di beberapa kota, memilih kontestan yang dianggap layak untuk ditandingkan di level berikutnya, dan seterusnya hingga babak semi final dan final yang tinggal menyisakan 2 atau 3 orang peserta. Pemilihan pemenangnya pun rata-rata juga sama, yaitu menggunakan pooling sms bukan seluruhnya berdasarkan hasil penilaian dewan juri. Kadang pemenangnya bukan selalu kontestan yang memang memiliki kualitas yang bagus, tapi justru kontestan yang kuat dukungan sms-nya. Bahkan dulu, ada peserta yang menang karena ada unsur drama keluarganya *sigh* 😐

Entah mungkin memang sudah season-nya, beberapa stasiun televisi seolah serempak menayangkan acara pencarian bakat di waktu yang hampir bersamaan. Ada yang tayang setiap hari, ada yang cuma di akhir pekan, ada juga yang cuma hari Senin-Rabu saja dan selebihnya adalah tayangan re-run (ulangan).

Ada yang katanya ajang pencarian bakat, tapi entah mengapa malah lebih mirip seperti acara lawak. Bukan cuma host-nya yang saling bersahutan mengeluarkan celetukan-celetukan lucu, tapi jurinya pun tak mau kalah ikut melucu dan bahkan terkadang malah garing. Sementara peserta dibiarkan berdiri di tengah panggung sambil menunggu komentar dari dewan juri 🙄

Nah, dari sekian banyaknya tayangan ajang pencarian bakat, baru kali ini saya tertarik untuk sengaja menonton, yaitu Kontes Dangdut Indonesia! 😆 . Hah?! Eh, serius? Sejak kapan situ suka dangdut? 😯 .

Jujur, sebenarnya saya bukan penyuka genre musik dangdut. Tapi, ketika remote saya tidak sengaja ‘kesasar’ ke acara ini, kok saya merasa ada yang berbeda dibandingkan dengan acara sejenis di stasiun televisi tetangga, ya? Bukan, bukan tertarik dengan para kontestannya, tapi saya justru tertarik dengan juri-jurinya 😀

Kontes Dangdut Indonesia (KDI) merupakan acara pencarian bibit baru yang akan mewarnai industri musik dangdut di Indonesia. KDI melibatkan para pedangdut senior, Elvy Sukaesih, Jaja Miharja, dan Ikke Nurjanah sebagai juri. Tapi ternyata yang menjadi juri bukan cuma para artis dangdut senior itu saja, tapi juga ada juri-juri yang berasal dari musik nondangdut yang akan menilai para kontestan dari segi teknik vokal dan musikalitas, seperti Bertha dan Purwacaraka.

Intinya, semua juri bertugas untuk memberikan masukan dan penilaian sesuai dengan kapasitas masing-masing terhadap penampilan para kontestan. Host-nya ada Nassar KDI, Valentino Simanjuntak,Okky Lukman, dan Ayu Lia. Seluruh peserta bukan hanya akan mendapatkan latihan teknik vokal saja tapi juga pelatihan kepribadian.

Seperti biasa, tugas inti para host adalah memandu dan menghidupkan acara menjadi semenarik mungkin. Mereka juga sering terpancing untuk saling berkomentar dan mengeluarkan celetukan-celetukan lucu yang mengundang tawa. Tapi bedanya, di tayangan KDI ini ada ‘satpam’ yang selalu mengingatkan para host dan penonton untuk tetap behave dan menghargai para juri ketika sedang memberikan masukan kepada para kontestan. Siapa lagi kalau bukan Bertha. Ya, terkadang kontes-kontes acara semacam ini butuh orang yang berani tegas menegur host/penonton yang berisik, atau kelewat mengumbar guyonan.

Juri yang satu ini selain dikenal tajam dan keras ketika memberikan penilaian dia juga berani mengeluarkan komentar yang jujur apa adanya. Tidak semua kontestan dia komentari jelek, ketika ada konteastan yang kualitasnya dan cara bernyanyinya bagus, dia pun tak segan untuk memberikan pujian. Tidak seperti acara-acara lain yang sejenis, ketika kontestan dinilai atau diberi masukan, mereka bukan hanya boleh mengucapkan terima kasih saja, tapi Bertha juga mengajak mereka untuk berdialog, kalau secara teknik mereka dianggap salah, mereka boleh bertanya letak kesalahannya di mana. Intinya ada two way communication dengan para juri.

Di awal-awal saya menonton KDI ini saya pernah menganggap Bertha terlalu keras dalam berkomentar, sampai pernah ada kontestan yang awalnya rileks ketika menerima masukan dari juri lain tapi wajahnya tiba-tiba berubah menjadi tegang ketika dikomentari oleh Bertha 😆 .

Semakin ke sini saya melihat ternyata di balik komentar-komentar tajamnya itu, perempuan berusia 46 tahun ini memiliki maksud yang positif. Dia ingin mengajak seluruh peserta bukan hanya sekadar menyanyi, tapi bagaimana menyanyi secara benar. Ada sebuah kalimat yang berkesan ketika dia terpaksa dengan keras menegur penonton yang terlampau berisik ketika juri sedang memberikan masukan kepada salah satu kontestan.

“KDI adalah ajang berbobot, tidak selayaknya ajang ini disamakan dengan acara sejenis yang diwarnai dengan ulah penonton yang membuat dangdut seolah-olah kampungan!”

Bhihihik, seketika studio yang tadinya ramai dengan suara penonton menjadi hening seketika. Bertha juga mengingatkan para host untuk tidak terlalu menggiring penonton untuk kelewatan ketika bercanda. Karena menurutnya, tugas seorang host bukan hanya memandu acara menjadi semenarik mungkin, tapi juga juga bertugas untuk mengendalikan penonton. Bertha juga sempat mengingatkan bahwa sebuah tontonan jangan cuma sekadar mencari rating, tapi juga harus berkualitas.

Dalam hal teknik menyanyi, Bertha dan juri lainnya banyak memberikan masukan dan ilmu yang berharga bukan hanya untuk para kontestan, tapi saya yakin juga untuk para pemirsa tayangan KDI. Seperti saya, misalnya.

Sebagai seorang vokalis abal-abal yang sekarang sedang mengajukan cuti menyanyi kepada anggota band saya ini pun merasa mendapatkan ilmu yang banyak dalam hal teknik menyanyi, mengolah nafas dan suara. Maklum, saya kan cuma vokalis cabutan yang tidak pernah mengenyam pendidikan musik sebelumnya; yang ditemukan secara tidak sengaja di ajang lomba karaoke di kantor beberapa waktu yang lalu 😆

Anyway, saya rasa penonton kita sudah mulai cerdas kok. Penonton tidak membutuhkan sebuah tayangan variety show atau ajang pencarian bakat yang durasinya dilama-lamakan, dengan host massal yang saling adu komentar dengan kelucuan yang dipaksakan sekadar untuk memenuhi durasi. Semoga ke depannya nanti akan ada banyak tayangan yang lebih berbobot; yang bukan hanya bagus dari segi rating, tapi juga bagus dari segi kualitasnya 🙂

 

[devieriana]

 

sumber ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

Lagu anak, di manakah kini?

Children's Music

Kemarin siang, saya ngobrol dengan salah satu teman di kantor, sambil makan siang. Obrolan tentang berbagai topik, mulai dari hasil diklat service excellent kapan hari yang seru banget, sampai membahas warna cat tembok yang punya pengaruh psikologi. Dari sana obrolan jadi berkembang ke masalah anak. Si teman yang sudah dikaruniai dua orang putri yang lucu-lucu itu bercerita tentang perkembangan dan aneka kelucuan putri-putrinya terutama si bungsu yang kini sudah berusia 2 tahun. Diceritakan, Si Bungsu lagi hobi-hobinya menikmati koleksi lagu anak yang banyak di-download ibunya dari youtube. Koleksi lagunya pun bermacam-macam, kebanyakan berupa lagu berbahasa Inggris berdurasi 2 menitan dan terdiri dari 4 sampai 5 baris kalimat yang diulang-ulang.

Nah, ngomong-ngomong tentang lagu anak, bagi kita yang hidup di era tahun 1990-an pasti sempat akrab dengan berbagai lagu anak, ya? Di tahun itu memang sedang marak-maraknya artis cilik yang tampil dalam format solo maupun group. Masih lekat dalam ingatan kita penampilan Joshua, Enno Lerian, Bondan Prakoso, Tina Toon, Kak Ria Enes dan Boneka Suzan, Trio Kwek-Kwek, dan masih banyak lagi artis cilik lainnya. Kebanyakan melodi dan lirik lagu-lagu mereka dibuat sederhana, lucu, dan bercerita khas dunia anak. Dandanan mereka pun jauh dari kesan dewasa sebelum waktunya. Di tahun 1990-an itu pula di berbagai toko musik masih bisa dengan mudah kita dapatkan koleksi lagu anak dalam bentuk CD atau kaset.

Lagu anak sempat mengalami perubahan format menjadi lebih ‘serius’ ketika Sherina mulai masuk ke pasar lagu anak dengan suara vibranya yang diiringi dengan musik orkestra. Pasar lagu anak yang saat itu mulai jenuh mulai bangkit kembali dengan kehadiran format lagu anak ala Sherina. Dari situ mulai bermunculan penyanyi-penyanyi anak dengan format yang mirip dengan Sherina, walaupun tidak se-booming Sherina.

Nah, setelah era Sherina ada siapa? Rasanya lagu-lagu anak pelan tapi pasti mulai ‘hilang’ di pasaran. Entah karena memang pasar yang sedang jenuh, sedang mencari format musik yang baru, atau ada faktor yang lain. Kalau sekadar ingin menjadi penyanyi cilik sih saya rasa peminatnya banyak, tapi mereka akan tampil dengan format seperti apa? Adakah sesuatu yang baru dan segar, yang bisa ditawarkan kepada pasar musik anak?

Di sekitar tahun 2011 – 2013 dunia musik Indonesia mulai dimarakkan dengan kehadiran berbagai musik ala Korea. Rata-rata mereka tampil dalam format grup beranggotakan banyak orang, rambut yang dicat warna-warni, kualitas vokal yang rata-rata (tidak terlalu istimewa), dilengkapi dengan dance. Berhubung kebanyakan mereka tercipta secara instant maka kualitas mereka pun (IMHO) tidak seberapa bagus.

Nah, di antara kemunculan para artis remaja yang berambut warna-warni dan jago dance dengan suara yang tidak seberapa istimewa itu, Coboy Junior turut meramaikan panggung musik Indonesia. Awalnya sempat bingung juga, Coboy Junior ini digolongkan sebagai grup vokal lagu anak atau remaja, ya?

Mengingat usia mereka yang termasuk anak-anak tanggung. Kalau niatnya masuk sebagai group vokal anak kenapa tidak masuk ketika mereka masih anak-anak sekali, walaupun kalau ditilik dari segi usia mereka masih bisa digolongkan ke dalam usia anak-anak. Tapi kalau secara format lagu, sepertinya lagu mereka bukan diperuntukkan untuk anak-anak, melainkan untuk para ABG. Tapi uniknya, kehadiran mereka mencuri perhatian anak-anak (bahkan orang dewasa pun menyukai lagu mereka yang ear catching). Terbukti, anak-anak balita pun dengan fasih menyanyikan lagu mereka sekalipun belum paham arti syairnya. Ya maklum, setiap hari yang diperdengarkan di TV atau radio ya lagu-lagu ini, sehingga mau tak mau anak-anak pun lama-lama hafal.

Ada adegan lucu yang terjadi dalam sebuah wawancara di sebuah talk show yang dipandu oleh Sarah Sechan. Awalnya Sarah meminta si bintang tamunya itu untuk menyanyi sebuah lagu, dan anak itu bilang akan menyanyikan lagunya Cakra Khan; Tak Mungkin Bersatu. Melihat tayangan itu saya sempat mengernyitkan dahi juga, kok balita nyanyiannya lagu Cakra Khan, ya? Emang ngerti? Tapi di sinilah kelucuan bermula:

“Kamu barusan nyanyi lagu apa? Lagunya Cakra Khan atau Coboy Junior, sih? | Coboy Junior | Tadi ada kata-kata ‘cinta’-nya, emang tahu artinya cinta? | Tahu. Cinta itu… mmmh… temennya Coboy Juniooor… | Oooh. Trus, kalau bidadari? | Sama, temennya Coboy Junior jugaaa…”

Nah, kalau itu sih masih ada lucu-lucunya, ya. Beda lagi dengan tayangan di salah satu stasiun televisi yang (kalau tidak salah) waktu itu dipandu oleh Omesh. Dalam tayangan itu ditampilkan anak-anak yang dandanan dan gaya busananya sedikit ‘dewasa sebelum waktunya’. Tapi saya sempat berpikir positif sih, ah… mungkin cuma dandanannya saja, siapa tahu lagunya masih lagu anak-anak. Tapi harapan saya pupus seketika, saat melihat salah satu dari mereka menyanyi lagu dangdut Oplosan, ditambah dengan goyang pinggul patah-patah. Duh!

Anak-anak sekarang miskin lagu anak. IMHO, lagu bagus itu tidak harus yang digarap secara rumit dan dinyanyikan dengan vokal yang ‘akrobatis’, tapi yang penting adalah ada muatan positif di dalamnya, dan anak-anak bisa dengan fun menyanyikannya.

Semoga akan segera ada lagu-lagu khusus untuk anak, yang dibawakan oleh anak, yang berpenampilan sesuai dengan usianya, bukan dewasa sebelum waktunya. Itu sih harapan sederhana saya 😀

 

[devieriana]

 

sumber ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

Euphoria: Java Jazz Festival

jazz-wallpaper

Event Java Jazz sudah berakhir beberapa hari yang lalu. Tapi gaungnya masih dirasakan oleh sebagian orang, terutama yang berkesempatan datang ke acara tersebut. Euphorianya pun sudah mulai terasa sejak beberapa minggu menjelang perhelatan acara yang diprakarsai oleh Peter F. Gontha itu.

Jujur, saya sendiri belum pernah datang ke acara Java Jazz, padahal saya punya grup band beraliran jazz, ihihihik. Tahun ini pun saya melewatkan datang ke acara ini karena kondisi badan sedang kurang memungkinkan halesyan. Kalau suami masih sempat datang ke acara ini beberapa kali bersama teman-temannya. Kalau dia sih wajar, karena kebetulan dia salah satu penggemar jazz, terlihat dari koleksi lagu di hampir seluruh peralatan elektronik yang mengandung audio. Untungnya koleksi jazz dia masih termasuk yang easy listening jazz, belum jazz yang ‘black’ banget, jadi saya masih bisa mengikuti selera musiknya. Maklum, sebenarnya saya kan nggak punya selera musik selera musik saya kan random. Jenis lagu apapun asalkan easy listening ya bakal masuk-masuk saja di telinga saya.

Keriuhan status tentang Java Jazz Festival turut meramaikan timeline beberapa akun social media saya. Ada yang dengan bangga memamerkan tiket yang sudah dibeli di timeline, ada yang live tweet penampilan artis ini/itu, ada yang dengan polos menulis di status kalau dia ada di tengah crowd Java Jazz karena cuma diajak teman/gebetan, dll. Saya sendiri cuma sebagai pengamat saja. Lha ya mau komentar apa, wong nggak nonton, lagi pula pengetahuan jazz saya juga masih setengah-setengah, seperti aliran band saya yang masih angin-anginan mau main genre musik apa. Ini semua ‘gara-gara’ Tafsky Kayhatu (putra musisi jazz kenamaan Indonesia Alm. Christ Kayhatu) yang ‘menjerumuskan’ grup band saya menjadi grup band jazz, padahal awalnya band saya lebih banyak memainkan lagu-lagu Top 40 :mrgreen: . Tapi ada bagusnya juga sih, karena dari Tafsky dan teman-teman ngeband saya yang lainnya akhirnya saya bisa mendapatkan tambahan ilmu bermusik.

Teringat obrolan menggelikan dengan seorang teman yang setahu saya bukan penggemar jazz tapi berhubung sudah terlanjur dibelikan tiket oleh teman lainnya jadilah dia ‘terdampar’ di venue penyelenggaraan Java Jazz.

Him: “Jujur, gue nggak ngerti musik jazz. Kenapa gue kemarin bisa ada di Java Jazz ya gara-gara gue udah terlanjur dibeliin tiket sama Si Richard.”

 

Me: “Oh, pantes! Makanya aku heran, sejak kapan kamu antusias datang ke Java Jazz. Ternyata… 😆 ”

 

Him: “Ah, tapi gue nggak berkecil hati, Devi. Gue yakin 100% kalau yang dateng ke Java Jazz itu nggak semuanya ngerti dan suka musik jazz; kaya gue gitulah. Jujur nih ya, kadang gue bingung, banyak orang yang nggak ngerti musik, tapi giliran ada Java Jazz aja pada ribut banget nyari tiketnya. Kayanya kalo nggak bisa dapet tiket Java Jazz harga diri bakal turun, gitu. Buat apaan coba? Mending duitnya dipake buat yang lain, kan? Eh, itu sih kalo gue…”

 

Me: “Nah, kamu juga ngapain mau-maunya ada di situ, udah tahu kamunya nggak ngerti musik jazz”

 

Him: “Nah, kan gue udah bilang, gue disuruh nemenin Si Richard nonton, Malih! Jadi ya udahlah sekalian sambil hunting foto aja deh. Lagian gue juga nggak selalu di depan panggung buat nonton musiknya kok. Sesekali gue ambil gambar artis yang gue kenal, selebihnya gue lewat aja. IMHO ya; Java Jazz itu kalau buat anak musik adalah event yang bagus, karena bisa jadi ajang meet up sekaligus menambah wawasan musik mereka. Tapi kalau buat yang nggak ngerti musik kaya gue contohnya, Java Jazz itu ya cuma jadi ajang ketemuan sama temen, foto-foto, melepaskan stress di kantor, walaupun di venue itu pun gue jadi stress sendiri karena nggak ngerti sama musiknya, hahaha. Trus, bisa jadi ajang modus buat ngajak gebetan (gue batuk boleh, ya?), jadi ajang buat menaikkan gengsi, biar dibilang selera musiknya keren, gitu. Eh, percaya nggak, kalau ada yang sengaja nonton cuma pengen liat muka artisnya doang. Malah kapan hari ada yang keselip nyebut Depapepe jadi Depe. Padahal dandanannya udah keren banget, kaya yang pengetahuan musiknya di atas gue, “Siapa tuh duo gitaris Jepang yang dateng ke Java Jazz? Depe..Depe.. duh gue lupa. Depe, apa?” Gue jawab dalam hati, Dewi Persik?”

Sampai sini saya tertawa. Cerita teman saya yang nyinyir apa adanya ini membuat saya mau tak mau mengiyakan sebagian kalimat-kalimatnya, walaupun terdengar agak satir.

Him: “Keren itu adalah ketika lo nonton Java Jazz tapi lo ngerti dan tahu apa yg lo tonton bukan karena lo pengen foto-foto di depan banner yang bertuliskan Java Jazz!”

 

Me: “Nah, kemarin kamu foto di depan banner Java Jazz, nggak?”

 

Him: “Lhoo, ya foto dong yaaa! Gimana sih, masa udah jauh-jauh datang ke Java Jazz kok nggak foto di depan bannernya. Impossible dong, Devi!”

Caranya menjawab membuat saya ingin menampol mukanya pakai sandal refleksi. Mengkritisi orang lain, tapi kok dia sendiri melakukan apa yang diomongin. Hih! 😐

Terlepas dari motivasi apapun para penonton Java Jazz, saya mencoba memodifikasi pemikiran saya tentang mereka. Jazz itu seperti kopi. Dia sudah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat urban. Ketika kita sekadar ingin menikmati secangkir kopi di sebuah kedai kopi, bukan berarti kita harus datang sebagai seorang penggemar kopi murni yang pekat. Kalau tidak suka dengan kopi murni yang pekat toh masih ada varian kopi lainnya. Begitu juga dengan musik jazz; kalau memang tidak paham dengan jazz yang ‘black’ nan rumit, nikmati saja versi lainnya yang lebih easy listening. Toh banyak kok lagu-lagu yang bukan murni jazz tapi sengaja dibuat versi jazznya supaya pas dengan moment, acara, dan penonton musik yang tidak semua penggemar musik jazz. Kalau masih belum mengerti juga ya sudah, kan masih ada genre musik yang lain. Sama saja seperti perhelatan konser musik yang lain juga deh, belum tentu semua penontonnya paham dan menikmati apa yang mereka tonton. Siapa tahu mereka datang ke sebuah konser musik hanya karena ingin menikmati histeria dan crowd-nya saja. Tapi kalau saya boleh memilih sih, saya akan datang ke sebuah acara musik yang musiknya jelas bisa saya nikmati, daripada dana terbuang sia-sia, Kak :mrgreen:

Just my two cents 🙂

 

– devieriana –

 

 

ilustrasi dipinjam dari sini

 

Continue Reading