Sandhy Sondoro : Berkilau Di Negeri Orang

Saya mengenal nama Sandhy Sondoro sekitar tahun 2007 lalu ketika salah satu sahabat saya yang tinggal di Jerman “mengenalkan” Sandhy pada saya akan  kedahsyatan suaranya. Mengenalkan bukan saya kenalan langsung ya, tapi mulai sedikit meracuni telinga saya pelan-pelan. Sandhy who? Sempat mengernyitkan dahi. Kenapa sih teman saya ini getol banget mempromosikan si Sandhy. Mempromosikan dalam arti mengenalkan suaranya via website pribadinya. Ya okelah, saya dengerin dulu ya.

Oh My God.. suaranya bikin saya langsung merinding. Bukan karena suaranya mirip kuntilanak lagi ketawa ya..  Tapi suaranya itu lho megang banget! James Morrison sih lewat…. :p

Eerrr.. reaksi berlebihankah? Saya rasa tidak. Siapapun yang mendengar suara adorable macam punya Sandhy ini pasti komentarnya sama seperti saya kok.. 🙂

Banyak yang terkejut ketika pertama kali mendengar suara “rockige rauhe Stimme” atau serak-serak nge-rock milik mantan penyanyi kafe di Berlin ini. Begitu pula dengan dewan juri New Wave 2009 (ajang kompetisi bakat internasional di kawasan Eropa Timur). Siapa sangka kalau kontestan berperawakan mungil ini ternyata memiliki suara sekelas Rod Steward, Michael Bolton, Lenny Kravitz, dan dari Indonesia pula, karena daratan Eropa kurang percaya kalau orang Asia bisa punya suara semantap Sandy. Walau gaya menyanyinya si Sandhy ini ‘flummy’ (gaya si bola bekel yang mental-mental nggak bisa diem) tapi suara dia memang bagus & hampir semua juri mengaku sangat menikmati penampilan Sandy.

atau disini :

Ssndy sempat dijuluki oleh para musisi hitam di Jerman ‘Indo-Nigger’ lantaran suaranya yang begitu ‘black’ & jarang dimiliki oleh penyanyi Asia. Suaranya juga ‘pure’ (tidak diutak-atik mixer studio) & jernih,  tidak seperti penyanyi-penyanyi dadakan yang sering wira-wiri di acara tv kita akhir-akhir ini

Pria dalam rentang usia yang terbilang matang ini ternyata harus melalui hidup yang penuh lika-liku sebelum akhirnya dia mulai banyak dikenal banyak orang seperti sekarang. Kecintaannya pada musik & keharusannya menyambung hidup di kota hi-tech Berlin sambil menyelesaikan kuliah membuatnya harus menjalani hidup sebagai musisi jalanan, menyanyi dari kafe ke kafe, mengamen di Metro & di subway. Namun ternyata semua kesulitan itu berbuah hasil yang manis.

Kesuksesan itu justru berawal dari negara si Adolf  Hitler ini. Lagu yang cukup terkenal adalah Down On The Street, boleh dikatakan sebagai detail soundtrack kehidupannya sebagai penyanyi & pengalamannya ber-jam session dengan musisi-musisi Jerman.

Tak hanya menyanyi, kemampuannya menulis & mengaransemen lagu membuatnya menjadi salah satu musisi yang disegani di Jerman. Sangat menarik jika mengikuti perjalanan karirnya di jagad hiburan yang justru membuatnya lebih dikenal di negeri orang. Layaknya Anggun yang juga menjadi salah satu diva Internasional karena perjuangannya menjadi penyanyi yang cukup diperhitungkan di Perancis. Lalu Wisnu yang jadi salah satu finalis Norwegian Idol. Kini disusul Sandhy Sondoro.. Ah, makin bangga saya sama kalian 🙂

Kadang justru rasa nasionalisme itu muncul lebih kuat ketika kita jauh di negeri orang ya. Ikut bangga rasanya ketika ada anak bangsa yang bisa maju & mengharumkan nama Indonesia di negeri orang seperti mereka. So, who will be the next?  😉

gambar dari sini

Continue Reading

Seleb Juga Manusia

Marshanda & video-video youtube-nya spontan jadi perbincangan minggu ini. Tak heran karena serangkaian video “gak penting” dia menghiasi youtube. Reaksinya beragam, tapi tak sedikit yang berkomentar miring/negatif. Apalagi video response-nya yang juga tak kalah lucu & dibuat-buat. Whatever. Itu hak kalian..

Ketika semua sedang ramai memberitakan, menertawakan, menggunjingkan, mencaci maki Marshanda, saya kok miris ya. Saya melihat dari sudut pandang yang berbeda. Ada apa dengan Marshanda? Kenapa dia berbuat seperti itu, mencaci maki teman SD-nya, menampilkan sosok lainnya sebagai seorang artis dari image kalem, lemah lembut & manis, berubah seketika menjadi sosok yang bisa membuat banyak orang terperangah. What? Itukah Marshanda?

Selebritis juga manusia. Punya sisi aneh, unik, gila, bejat, bodoh, tolol, alpha, sama seperti manusia lainnya. Wajar, namanya juga manusia,  bukan malaikat. Kalau malaikat ngapain juga upload-upload video gak penting kaya begitu di youtube, iya kan? Yang ada juga pada sibuk nyatet amal ibadah kita di dunia.

Sama halnya dengan Marshanda, dia pasti juga punya sisi sewajarnya manusia. Gak mungkin selamanya bisa tampil sempurna. Wong sudah berusaha tampil sempurna aja masih dicacatin, dicari-cari sisi buruknya. Iya  kan? Capek lho kalau harus menuruti image & tuntutan publik bahwa seorang selebritis itu wajib & harus selalu tampil sempurna. Mereka juga ingin dikenal sebagai sosok pribadi apa adanya, bukan figur artisnya. Berbahagialah kita yang bisa hidup bebas tanpa kuntitan kamera & wartawan infotainment. Jangankan masalah upload video di youtube, kalian jalan ke warung pakai daster doang bisa-bisa besoknya masuk infotainment & dinarasikan

“artis Z diketahui hanya bisa belanja di warung untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Apakah ini seiring dengan turunnya popularitasnya di kancah dunia hiburan sehingga dia sudah tidak mampu lagi memenuhi standar hidup layaaknya seorang selebritis?”.

Mbook, ini cuma gara-gara ketahuan belanja diwarung buat beli vetsin doang, narasinya bisa jadi seenak imaginasi sang script writer ya? Masa iya sih cuma beli vetsin doang mesti dandan dengan make up lapis 7 kaya Krisdayanti?

Memang, banyak yang menyoroti sisi etika Marshanda ketika menyebut nama-namateman SD di video itu seolah dia benci banget dengan orang-orang yang disebutkannya itu. Tapi teman, coba deh lihat lebih dalam ke kehidupan Marshanda. Background kehidupannya gak semulus karirnya didunia hiburan. Ketika sekarang dia berubah total dari sosok yang kalem menjadi sosok yang lebih “berani”, saya melihat itu sebagai proses dari sosok polos & manisnya anak-anak menjadi sosok yang lebih dewasa. Itu pertama. Kedua,  dia seorang anak korban bullying semasa sekolah dulu. Saat itu dia hanya bisa diam & tidak berani melawan. Ketiga, dia besar dalam keluarga yang broken home. Praktis, perhatian & kasih sayang keluarganya tidak semaksimal anak yang hidup ditengah keluarga yang utuh. Bisa jadi diapun tidak punya tempat untuk berbagi senyaman kita. Dia tidak tahu harus share ke siapa, kemana, bagaimana cara menyelesaikan masalahnya. Bisa jadi she trusts no one now. Keempat, karirnya sekarang juga ga sebagus kemarin-kemarin, mulai sedikit redup. Bisa jadi dia stress karena banyak hal. Memikirkan karir, sekolah, masalah keluarga.

Maaf kalau saya kesannya sok tahu ya temans.. Cuma ingin berbagi, cuma ingin share apa yang ada di pikiran saya saja. Ketika semua mulai membicarakan, mentertawakan, mencaci maki. Cuma 1 yang terlintas di pikiran saya. Kasihan. Ya karena saya melihat dia beyond all those things. Itulah kenapa saya tidak ingin ikut mentertawakan kekonyolan dia ataupun video-video responses-nya. Even dia sendiri santai menanggapi respon publik.

Saya bukan & tidak pernah menjadi bagian dalam dunia selebritis, tapi saya tahu betapa beratnya menyandang gelar selebritis itu. Kalian pikir nyaman keluyuran di mall/cafe dengan paparazzi ada di kiri kanan kalian, kamera infotainment nyolong-nyolong menyorot kalian dari kejauhan, atau tiba-tiba ada yang mendadak menyodorkan microphone menyodorkan pertanyaan untuk konfirmasi padahal kalian lagi pengen santai dengan keluarga?

Ada satu hal yang bisa saya ambil sisi positifnya disini, kalau kita tidak ingin menjadi bahan tertawaan & bahasan publik, mulai pilah & bedakan mana area pribadi & mana area publik. Apapun itu jika area pribadi sudah menjadi konsumsi publik itu juga kurang bagus. Pintar-pintar memilih objek untuk di share ke masyarakat luas. Jika Anda adalah publik figur berarti apapun yang Anda lakukan (baik/buruk) sudah pasti akan disorot oleh masyarakat. Dan jika itu adalah keburukan… selamat, Anda akan menjadi topik pembicaraan masyarakat (meskipun bisa saja Anda ngeles dengan mengatakan, “I don’t care.. Go to hell !!” ). Sekalipun Anda selebritis, pikirkan juga untuk tetap menjaga nama baik keluarga. Karena, apapun yang Anda lakukan keluarga pasti akan tersangkut-paut.

Jadi, siapa bilang jadi selebritis itu selamanya enak? Masih mau jadi selebritis? 😉
*dilempar mikropon & kamera infotainment*

 

 

[devieriana]

 

Continue Reading

Maafkan aku mencintai suamimu..

forbidden love

Wanita cantik itu seperti biasa, selalu terlihat bersemangat di tengah aktivitas paginya. Senyum cerah mengembang diantara kedua pipinya. Sapaan hangat pada setiap orang yang berpapasan dengannya meluncur disela bibir yang tersapu lipstik nude warna pink. Stiletto Manolo Blahnik & stelan Michael Korrs pagi itu membalut tubuhnya dengan sempurna. Ah, cantik sekali dia pagi ini. Aura wajahnya bersinar-sinar bagai gadis yang tengah jatuh cinta..

Ya, dia sedang jatuh cinta.. Bak seorang remaja yang baru mengenal cinta, love is in the air.

Semerbak segar aroma Gucci – Envy Me langsung menghembus ke seisi ruangan. Sesaat kemudian jemarinyapun dengan lincah menyalakan laptop & mulai mengetikkan sandi di yahoo messengernya. Tak lama , dia sudah terlihat asyik dalam perbincangan maha mesra dengan seseorang diujung sana.

Lelaki itu, seorang eksekutif muda yang tinggal di benua Eropa untuk menyelesaikan studinya di Jerman. Terpikat pesona wanita cantik itu dari situs pertemanan. Tak perlu waktu lama bagi mereka untuk saling bertekuk lutut diujung anak panah sang cupid. Ya, sampai kini mereka masih jatuh cinta. Cinta seorang wanita & lelaki dewasa.

Ah, saya lupa bercerita..

Continue Reading

Masuk majalah TEMPO bersama Ngerumpi

Situs Lokal Berlomba Membangun Situs Curhat

Senin, 10 Agustus 2009 | 09:34 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta – Sebulan belakangan ini Devi Eriana Safira makin bergairah mengelola blognya di wordpress.com. Tulisan-tulisan yang ia publikasikan lewat media daring (online) itu saban hari dibaca dan dikomentari puluhan narablog (blogger). Padahal, hingga pertengahan bulan lalu, ia sudah sangat bersyukur jika ada sepuluh orang saja yang merespons artikelnya. “Sekarang dalam sehari bisa mencapai seratus orang yang membaca tulisan saya,” kata perempuan 31 tahun ini. Bukan hanya blognya yang ramai dikunjungi. Ia juga mendapat ratusan teman baru lewat media bincang-bincang, seperti Yahoo! Messenger, dan jejaring sosial Facebook.

Popularitas Devi dan blognya meroket sejak ia bergabung dengan Ngerumpi (http://ngerumpi.com), situs vertikal yang menjadi ajang berkumpulnya para peselancar dunia maya yang tertarik dengan isu seputar perempuan. Situs vertikal adalah situs web yang membahas satu topik khusus saja (niche), seperti olahraga, otomotif, gaya hidup, teknologi, atau kuliner.

Di situs itu, hampir setiap hari Devi memuat tulisannya, dan selalu mendapat respons dari anggota situs. “Teman-teman di situs inilah yang kemudian juga membaca blog saya. Rasanya asyik melihat tulisan saya dikomentari,” kata Team Leader Quality Assurance Telkomsel itu. Buat Devi, situs itu seolah menjadi ajang menunjukkan eksistensi diri sebagai penulis.

Ngerumpi diluncurkan pada 26 Juni lalu. Saat ini anggotanya sudah 500 orang. Situs ini didesain dengan konsep web 2.0. Anggotanya–disebut “user”–bisa berdiskusi dan berbagi tentang hal yang berkaitan dengan perempuan, seperti dunia kerja, gaya hidup, keluarga, kesehatan, lajang, dan soal seksual. Tak cuma kaum Hawa, laki-laki pun bisa menjadi anggota situs ini. “Para pembaca laki-laki boleh berpartisipasi dan menyumbangkan suara, saran, dan opini, bahkan bantahan,” kata Silly, salah satu pengelola Ngerumpi.

Situs yang menjadi ajang tukar pendapat para anggotanya ini merupakan salah satu situs vertikal yang dibuat di Tanah Air. Beberapa bulan sebelum Ngerumpi, situs vertikal yang membahas hal-ihwal politik telah hadir, yaitu Politikana (http://politikana.com). Situs hasil kerja sama dengan Tempo ini muncul menjelang pemilihan umum legislatif, awal April lalu. “Pemilihan umum memang momentum tepat untuk peluncuran situs kami,” kata Enda Nasution, pengelola Politikana. Meski yang dibahas di situs ini tak melulu soal politik dan kekuasaan, hingga seratus hari usianya, anggota Politikana sudah sekitar 4.000 orang.

Situs vertikal teranyar adalah Curi Pandang (http://curipandang.com), yang baru diluncurkan pekan lalu. “Curi Pandang adalah situs yang membahas dunia entertainment,” kata Anindhita Maharrani, pengelola Curi Pandang. Tapi isinya diharapkan menjadi lawan dari berita hiburan di media tradisional. Maksudnya, sementara kebanyakan media gosip melihat artis dari sisi negatif, Curi Pandang justru dari sisi positifnya. Kalaupun ada tulisan berupa kritik, itu demi perbaikan artis yang bersangkutan.

Seperti halnya dua situs pendahulunya, Curi Pandang merupakan ajang bertukar pikiran dan kabar yang isinya disumbang oleh para anggota. Tiga situs tersebut memang sama jenisnya karena dikelola oleh tim yang sama, PT Inmark Digital Marketing.

Berbeda dari situs web lainnya, situs vertikal yang berbasis web 2.0 itu tergolong sebagai situs user generated content (UGC). Artinya, isi dan aplikasi web dibuat oleh anggota. Di situs ini pengguna dapat menerbitkan tulisan dan analisis secara langsung, dan gratis. Situs UGC mengizinkan pengguna bertindak sebagai moderator (user moderated content). Setiap tulisan dapat diberi rating oleh semua pengguna. “Rating tersebut secara otomatis menentukan posisi artikel di kolom utama di halaman home (artikel utama) sehingga tidak ada otoritas editor,” kata Enda Nasution, yang juga seorang narablog terkemuka.

Tentu saja itu bukan berarti semua tulisan bisa masuk bebas. Tetap saja tulisan yang, misalnya, berbau pornografi atau mencela suku dan agama tertentu bakal ditendang dari situs ini. Menurut Enda, para moderator bertugas memastikan tulisan yang dimuat tidak mengandung hal-hal yang dikhawatirkan tersebut. Kalaupun ada yang lolos, bisa dipastikan artikel itu bakal mendapat rating buruk dari pengguna lain sehingga hilang dari peredaran. Moderator juga harus mempertimbangkan keberatan user atas suatu artikel yang dianggap tidak layak muat karena isinya fitnah belaka.

Hal yang mudah muncul dalam situs vertikal, seperti Politikana, adalah ketidakberimbangan karena moderator tidak memiliki otoritas menghapus naskah yang berisi dukungan kepada satu pihak. Untuk mengimbangi suara populer yang muncul di kolom utama, moderator menghadirkan penulis tamu dari kalangan praktisi, akademisi, dan figur publik lain yang ahli. Mereka ini bertindak sebagai narasumber. “Kami juga menampilkan artikel-artikel pilihan yang tidak populer tapi penting untuk menyeimbangkan pandangan di Politikana lewat fitur pilihan moderator,” kata Enda.

Situs vertikal memang menarik bagi pengguna karena keleluasaan untuk mengisi content, dan walhasil menempatkan pengelola web hanya sebagai penyedia media. Sebelum tiga situs vertikal versi lokal itu, sejumlah web UGC sudah lebih dulu mengorbit, seperti Flickr, yang penggunanya memproduksi content berupa foto; YouTube, untuk pengguna yang memproduksi content berupa video; serta aplikasi jejaring sosial seperti Friendster dan Facebook. Yang belakangan itu merupakan bukti betapa web kategori UGC sangat diminati. Hingga awal Agustus ini, pengguna Facebook di Indonesia lebih dari 7,8 juta.

Rama Mamuaya, narablog yang rajin mencatat perkembangan dunia Internet di Indonesia, menilai kemunculan situs-situs vertikal merupakan efek dari kian banyaknya pengguna Internet di Indonesia. Jumlahnya sekitar 31 juta. “Mereka selalu ingin mencoba sesuatu yang baru, termasuk kalau ada situs jenis baru,” kata Rama, yang juga pemilik situs Daily Social (http://dailysocial.net). Kelak, menurut dia, bukan tak mungkin dari situs vertikal ini akan muncul komunitas-komunitas kecil dan khusus, misalnya pencinta sepeda, animasi, dan komik.

Sebagian orang menganggap situs vertikal lebih menarik dibanding forum-forum diskusi yang berbentuk mailing list. “Karena enak dilihat dan ada sistem rating untuk melihat daftar penulis terbaik,” kata Venus, pengelola Ngerumpi. Fitur seperti rating dan penempatan artikel utama yang berdasarkan pilihan pengguna membuat orang tertarik bergabung dan terpacu menulis. Venus yang di ranah daring dipanggil sebagai Simbok itu mengatakan jumlah 500 anggota Ngerumpi jauh di atas harapannya. “Pada minggu-minggu awal, hanya saya dan Silly yang mengisi situs ini bergantian dan saling mengomentari, ha-ha-ha…,” katanya.

Sekarang, begitu Ngerumpi mulai dikenal dan anggotanya bertambah, Silly dan Venus justru kerepotan karena harus memelototi tiap naskah yang tayang. Dalam satu hari rata-rata ada 25 tulisan yang dikirimkan anggota.

Di Politikana lebih banyak lagi. Menurut Enda Nasution, saban hari ada 40 artikel yang tayang. Jumlah ini tentu bakal jauh lebih banyak lagi karena para penulis terus terpacu untuk membuat tulisan. Apalagi bagi penulis yang memanfaatkan situs ini sebagai ajang berbagi pengalaman dan ingin terus belajar menulis seperti Devi Eriana Safira. “Saya menulis begitu ada ide, dan langsung mem-posting,” katanya.

Adek Media

sumber : dari sini

Continue Reading

Ketika Plagiasi Menjadi Sebuah Kutukan

plagiasi

Plagiarisme. Sebuah hal masih jadi bahasan sensitif buat semua yang menghasilkan karya, apapun itu : lagu, puisi, tulisan, lukisan, dll.

Kalau menurut wikipedia, yang dimaksud dengan plagiarisme adalah :

penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan pendapat sendiri. Plagiat dapat dianggap sebagai tindak pidana karena mencuri hak cipta orang lain. Di dunia pendidikan, pelaku plagiarisme dapat mendapat hukuman berat seperti dikeluarkan dari sekolah/universitas. Pelaku plagiat disebut sebagai plagiator.

Yang digolongkan sebagai plagiarisme :
* Menggunakan tulisan orang lain secara mentah, tanpa memberikan tanda jelas (misalnya dengan menggunakan tanda kutip atau blok alinea yang berbeda) bahwa teks tersebut diambil persis dari tulisan lain.
* Mengambil gagasan orang lain tanpa memberikan anotasi yang cukup tentang sumbernya

Nah, di sini yang mau saya bahas tentang sisi musikalitas seorang yang dinyatakan sebagai pemusik, artis. Sebenarnya agak miris ya kalau berhubungan dengan copyrights atau hak cipta. Apalagi kalau sekali saja dia diketahui memplagiasi karya orang lain, seterusnya, setiap kali dia mengeluarkan karya baru orang akan selalu saja mengkait-kaitkan karyanya dengan karya orang lain. Contohnya saja grup band D’Massive. Dia pernah dicap sebagai grup yang hanya bisa menghasilkan karya dengan menjiplak karya orang lain yang sudah ada sebelumnya. Ketika mereka mempublikasikan lagu baru jadinya ya tetap saja masih dinilai mirip dengan lagu artis inilah, itulah.. IMHO, lama-lama yang menilai pun kok rasanya jadi kurang objektif, ya.

Maksud saya begini. Di luar sana, sebenarnya ada banyak artis yang juga tanpa kita sadari melakukan plagiasi, tapi kenapa yang disorot hanya D’Massive? Apalagi kalau artisnya sekelas Ahmad Dhani, Maia Ahmad, Melly, Titi DJ, Caffeine, Rhoma Irama. Banyak! Tapi kenapa yang dikambinghitamkan hanya D’Massive? Kenapa bukan Ahmad Dhani yang karyanya sebenarnya juga banyak yang ‘terinspirasi’ dari lagu lain tapi tanggapan para penikmat musik tidak seheboh ketika D’Massive ditengarai menjiplak beberapa lagu band lain?

Perlu kita tahu, ketika seorang musisi menciptakan lagu & mempublikasikan lagunya ke hadapan publik sebenarnya dia sedang bertaruh dengan segala risiko. Jika ternyata dikemudian hari diketahui bahwa lagu ciptaannya bukan 100% murni ciptaan dia, atau alasannya ‘terinspirasi’ dari lagu/artis lain, tentu nama besar dialah yang jadi jaminannya. Kalau akhirnya ketahuan melakukan plagiasi mungkin kasarannya begini, “mending ketahuan lo nge-cover lagu orang dengan versi yang berbeda, daripada lo bikin lagu baru tapi nadanya sama”.

Hanya sebagai contoh & perbandingan saja, coba dengarkan :
1. Munajat Cinta, melodinya sama dengan  State of Grace-nya Dream Theater John Petrucci yang bareng dengan Mike Portnoy, Tony Levin dan Jordan Rudess dalam Liquid Tension Experiment (1998)

2. Cintaku Tertinggal di Malaysia yang sama persis dengan Ruthless Queen

3. Selimut Hati yang mirip sama lagunya I Started a Joke (Beegees)

4. Lelaki Buaya Darat (Ratu), bandingkan juga dengan lagunya Chantal Kreviazuk (Another Small Adventure)

5. Sang Dewi (Titi DJ) yang lagunya mirip dengan Garbage (The World is Not Enough)

6. Caffeine (Hidupku Kan Damaikan Hatimu) yang intronya mirip sama Saigon Kick (I Love You)

Sebenarnya kalau mau dicari ya banyak. Tapi kenapa hanya satu grup yang disoroti tajam? Dan ketika grup band itu ingin memperbaiki citranya sebagai ‘grup lagu plagiat’, kenapa kita tidak beri kesempatan bagi mereka untuk membuktikan kemampuan mereka? Memangnya nggak capek ya, mencari-cari kesalahan orang lain. Entah untuk apapun maksud & tujuannya, mau fungsi kontrol, apresisasi, atau apapun itu. Terlepas dari plagiasi yang telah dilakukan oleh para musisi itu, kalau saya sih mikirnya enteng saja, selama lagu itu enak di telinga, bisa dinikmati & grup band itu juga tidak mengganggu saya ya sudah dinikmati saja. Soal nanti ada tuntutan ini itu dengan pencipta lagu aslinya, ya itu sudah beda soal.

Yang jelas, ketika seorang musisi berniat serius berkiprah di dunia showbiz seharusnya sudah memiliki pengetahuan & bekal yang cukup tentang bagaimana memperlakukan & menghargai hasil karya orang lain. Vice versa, ketika dia berada di posisi yang sebaliknya, bagaimana kalau karyanyalah yang justru diplagiasi oleh musisi lain tanpa izin, kira-kira bagaimana, ya? Marah, kecewa, sedih, senang, atau justru malah bangga?

[devieriana]

sumber ilustrasi dari sini

Continue Reading