Maaf, level kita beda..

foto20080710085619-news

Pagi tadi ketika saya baru turun dari motor & melepaskan helm, melintas didepan saya seorang bapak renta mendorong gerobak barang loakan. Sudah cukup renta, punggungnya bungkuk, badannya kurus, tapi ada yang tak biasa yang saya lihat dari pancaran wajahnya.. dia tersenyum & terlihat menikmati sekali pekerjaannya. Walau saya yakin kehidupan seperti itu diluar kuasanya, diluar kehendak & kemauannya. Sedikit trenyuh saya melihatnya, tapi di sisi lain saya kagum ada orang serenta itu masih ada semangat mencari nafkah. Padahal seharusnya dia sudah menikmati kehidupan masa tuanya bersama anak cucunya.

Itulah sekilas pemandangan mengharukan yang saya lihat pagi ini. Kalau soal kelas masyarakat seperti kakek itu di Indonesia saya yakin banyak sekali. Mereka hidup alakadarnya, jangankan punya rumah, bisa makan sehari sekali saja rasanya sudah bersyukur sekali.

crocs-jpg

Tapi saya kembali tercengang ketika beberapa hari yang lalu ketika di salah satu channel berita di televisi menayangkan betapa panjang antrian menuju ke salah satu toko sepatu yang  berasal dari USA. Pengunjung rela antri & berdesak-desakan hanya untuk mendapatkan sepatu CROCS yang telah didiskon sebesar 70%, padahal sih kalau menurut saya sih (maaf mungkin saya seleranya agak kampung ya jadi kurang bisa menilai mana sepatu keren, mana yang bukan)  modelnya biasa-biasa saja. Tidak ada istimewanya dengan model sepatu itu.  Toh kalau sudah dipakai apa iya orang lain sampai se-aware itu mengenali brand sepatu tertentu? Kecuali pengamat mode atau kolektor barang-barang branded mungkin ya..

Ironis sekali dengan pemandangan antrian warga miskin yang sedang mengantri pembagian Bantuan Langsung Tunai. Hanya demi Rp 200.000,-  s/d Rp 300.000,- mereka rela mengantri berjam-jam bahkan ada yang sampai pingsan kelelahan. Jangankan untuk berpikir membeli sepatu, nama mereka tercantum dalam daftar penerima BLT saja mereka sudah senang sekali, karena itu adalah harapan mereka bisa memenuhi sedikit kebutuhan hidup mereka dalam beberapa hari ke depan.

Pernah saya berdiskusi dengan salah seorang sahabat saya tentang tingkat kemiskinan di Indonesia.  “Aku heran, sebenarnya negara kita itu negara miskin atau kaya sih? Ngakunya bukan negara kaya, tapi bisa ngantri beli I-phone ataau Blackberry & barang-barang branded lainnya..”.  Demikian komentar sahabat saya ketika saya bercerita tentang antusiasme pelanggan ketika membeli gadget keluaran terbaru milik perusahaan tempat saya bekerja saat ini. Jujur saya bingung mau menjawab apa. Kalau menurut teori diatas kertas dengan kenyataannya di lapangan memang jauh berbeda. Apalagi saat melihat daya beli masyarakat & tingkat kebutuhan barang-barang bermerk di negara kita cukup tinggi.

Ada lho teman saya yang kalau barang-barangnya kurang berkelas rasanya kurang puas, dengan alasan : “aku kan butuh penampilan & image, darliiing. Ini untuk tandatangan buku aku…”. Bayangkan, hanya untuk sebuah pena saja dia rela merogoh kantong kisaran Rp 6 juta sepasang. Tak heran karena pulpen yang saya maksud adalah keluaran Mont Blanc Meisterstück 149 Fountain Pen dengan  mata pena terbuat dari emas 18 karat. Atau benda-benda branded lainnya yang tidak mungkin saya sebutkan disini satu-persatu lantaran terlalu banyak & belum tentu semuanya familiar dengan merk itu. Anyway, memangnya beda ya hasil tandatangan antara paakai pulpen merk PILOT dengan Mont Blanc?

Saya sih sadar ya,  tingkat ekonomi, profesi, status sosial, pergaulan masing-masing orang pasti beda, dan itulah yang menentukan kelas & strata masing-masing orang di lingkungan sosialnya. Kita yang pandai-pandai menyesuaikan  & membawa diri ke lingkungan mana kita akan berdiri.

Bukan berarti saya setuju dengan kelas-kelas sosial yang ada sekarang ya.. tapi lebih menjaga supaya bisa lebih relaks ketika bergaul dengan lingkungan yang sesuai dengan kita. Maksud saya begini : ketika kita yang termasuk kalangan rata-rata ini (saya bilang rata-rata karena kan tidak semuanya kalangan high end)  masuk ke dalam lingkungan high end yang namanya rasa minder, malu, kurang percaya diri itu pasti ada (saya pakai sudut pandang “rata-rata” ya. Kalau kebetulan Anda fine-fine saja blended di lingkungan sosial manapun ya tidak masalah). Ujung-ujungnya apa? Kurang nyaman kan saat berada bersama mereka? Obrolan kurang “nyambung” karena topiknya berbeda dengan yang biasa kita obrolkan bersama teman-teman di lingkungan kita, atau mungkin yang dibahas sudah out of space-nya kita. Jadilah kita kurang tune in dengan mereka. Kalau cuma sekedar kurang percaya diri sih masih mending. Kalau ujung-ujungnya kita sampai ingin menjadi seperti mereka, dengan gaya hidup yang sama persis bagaimana? Apa ga ngoyo namanya? Sementara uang di kantong pas-pasan tapi kita “ngebet” ingin beli I-phone seperti salah satu teman di lingkungan itu, contohnya seperti itu. Atau, kita yang hanya seorang staff di kantor yang biasa-biasa saja tapi berhubung kita “gaulnya” dengan teman-teman yang suka pakai baju keluaran Michael Kors & stiletto  keluaran Manolo Blahnik atau Jimmy Choo, misalnya. Ya jelas tidak akan pernah sampai. Seperti yang saya bilang tadi, ngoyo yang ujung-ujungnya stress..

Kaya-miskin, strata/status sosial, semuanya hanyalah status semu manusia di dunia yang fana ini. Tuhan tidak pernah menilai seseorang dari tingkat kekayaannya, status sosialnya, banyaknya barang bermerk yang dia miliki. Tapi lebih melihat what you have inside. Semua yang saya sebutkan tadi hanya titipan-Nya. Harta benda, anak, jabatan, status sosial, semuanya adalah titipan Tuhan. Dia berhak meminta dari kita sewaktu-waktu, mencabutnya seperti pohon yang tercerabut dari tanah, menimpakan musibah ketika umatnya mulai lalai.

[devieriana]

picture source : http://foto.inilah.com/topik.php?id=3188

Continue Reading

Read their body language ..

 

body-language-chin

 

 

Manusia menggunakan dua cara dalam berkomunikasi dengan yang lainnya. Yang pertama adalah dengan bahasa verbal. Yaitu apa yg saling kita bicarakan atau katakan dan sesuatu yang dapat kita tangkap melalui pendengaran. Cara lainnya adalah dengan bahasa non-verbal atau dengan sebutan bahasa tubuh.

 

Menurut wikipedia : merupakan proses pertukaran pikiran dan gagasan dimana pesan yang disampaikan dapat berupa isyarat, ekspresi wajah, pandangan mata, sentuhan, artifak (lambang yang digunakan), diam, waktu, suara, serta postur dan gerakan tubuh.

 

Dalam beberapa buku sudah dibahas tentang ciri-ciri orang yang “berkomunikasi” dengan bahasa tubuh. Memang ada kalanya benar, tapi ada juga yang kurang tepat, apalagi jika orang tersebut pandai bersandiwara, menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakan. Jadi kalau in my opinion.. ini menurut pendapat saya aja ya.. buku panduan itu belum bisa dijadikan standar referensi 100% juga sih karena dalam kenyataannya pasti terjadi deviasi. Ya kalau cuma sekedar sebagai tambahan pengetahuan & untuk membuktikan “eh bener ga sih? kalau bahasa tubuhnya begini, artinya begini?”, ya bolehlaaah.. 🙂 . Pembacaan bahasa tubuh banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya digunakan ketika melakukan interview kerja, melakukan test kebohongan, melakukan penyelidikan, dll. Tapi juga ketika ingin mengetahui apakah seseorang tertarik dengan kita, tertarik dengan topik pembicaraan yang kita bawa, suka dengan attitude kita, dll.

 

Seperti beberapa hari yang lalu salah seorang sahabat saya mengeluh ketika ada seorang wanita yang sebenarnya tidak dia kehendaki mendekati dia, melakukan approach-lah istilahnya. Sebenarnya rekan saya sudah memberi sinyal penolakan secara halus, memberikan sinyal ketidaknyamanan, risih & sejenisnya, tapi rupanya si  “mbak” ini kurang peka membaca sinyal yang dilontarkan sahabat saya. Hmm… susah juga ya kalo kaya gini 🙁

 

Sebagai seorang trainer, interviewer, saya banyak berhadapan dengan macam-macam tipe pribadi manusia.  Apalagi saat memberikan materi yang menurut saya agak sulit atau membosankan, saya mencoba mengukur sampainya penyampaian materi saya dengan melihat gesture peserta training saya. Jika sudah ada gearakan-gerakan mencurigakan yang mengarah pada kebosanan, segera saya alihkan pada permainan, jokes, atau break sebentar sekadar mengurangi kebosanan & saya alihkan ke sesi tanya jawab yang bisa membuat otak lebih terangsang untuk lebih aktif. Sejauh ini sih it works ya. Pun halnya ketika melakukan interview, saya harus jeli melihat profil kandidat calon karyawan ini apakah berpotensi ke arah negatif atau tidak, cepet nyambung/gak ketika kita sodori pertanyaan, dll.

 

Bersikap peka, sangat diperlukan dalam membaca bahasa tubuh seseorang. Ada kalanya seseorang sudah menyampaikan sinyal penolakan yang jelaspun masih saja lawan bicara kurang peka menerima sinyal itu sebagai penolakan (atau jangan-jangan dia memang tidak mau menerima penolakan tersebut?). Sampai saking geregetannya si sahabat berkata, “duuh, rese banget nih orang, ga ngerti apa ma bahasa tubuhku? annoying banget. Kalau dia bukan temenku sih udah aku ketusin dari tadi..  🙁  “

 

Kadang susah juga ya kalau sudah berkaitan dengan perasaan. Hanya karena supaya tidak ingin menyinggung perasaan orang tersebut kita akhirnya membohongi diri sendiri, hanya sekedar supaya lawan bicara tidak tersinggung, supaya dia senang, padahal batin kita tersiksa. Menurut saya sih jadinya malah suatu upaya yang sia-sia …

 

Okelah, membuat orang lain senang/bahagia itu bagus, bagian dari ibadah. Tapi kalau perasaan kita sendiri justru jadi korbannya, ya ga fair juga kan? Menurut saya sih tetap harus ada win-win solution. Yang menguntungkan 2 belah pihak. Kalau mau ngomongin sakit ya pasti salah satu diantara mereka pasti ada yang sakit, namanya juga menerima sesuatu yang diluar ekspektasi. Tapi at least berusaha jujur dengan diri sendiri menurut saya itu juga akan membuat kita lebih relieve, lebih enjoy. Sepahit apapun kenyataannya kalau memang harus dibicarakan ya.. kenapa enggak? Mending dia tahu langsung dari kita daripada tahunya dari orang lain, apa gak malah lebih runyam?

 

Jadi, selagi masih bisa dikomunikasikan, silahkan dikomunikasikan. White lie, memang kadang diperlukan dalam kita berinteraksi dengan orang lain/pasangan/sahabat. Tapi jika kita sendiri merasa tidak nyaman, buat apa harus dipaksakan? Jadi, biar kitanya juga ga “ngarep” terlalu banyak, kepekaan kita juga harus mulai sedikit demi sedikit mulai diasah. Kita memang bukan Mama Laurent atau Deddy Corbuzier yang bisa membaca pikiran orang tapi berusaha untuk lebih mengerti & membaca situasi sekitar kita itu yang saya rasa lebih tepat..  🙂

 

 

Continue Reading

Empati : Perasaan diri yang tulus ..

empathy

 

Empati boleh dibilang ialah fondasi dari semua interaksi hubungan antar manusia. Karena memiliki kemampuan merasakan kondisi emosional orang lain, maka dari itu kita baru bisa merajut hubungan yang akrab dengan orang lain.

 

Empati (dari Bahasa Yunani yang berarti “ketertarikan fisik”) didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali, mempersepsi, dan merasakan perasaan orang lain. Karena pikiran, kepercayaan, dan keinginan seseorang berhubungan dengan perasaannya, seseorang yang berempati akan mampu mengetahui pikiran dan mood orang lain. Empati sering dianggap sebagai semacam resonansi perasaan.

 

Contoh : Si Tono yang sedang dilanda gelisah lantaran masalah pekerjaan. Sepulang kerja, pacarnya mengajak keetemuan untuk ngobrol & jalan-jalan bersama, namun pacarnya yang teliti sempat mendeteksi bahwa hari ini Si Tono sedang tidak mood, sehingga si pacar menunda keinginannya untuk jalan-jalan dan sebagai gantinya mengajak Tono bertukar curahan hati. Jika pacar si Tono tidak peka, maka reaksinya pasti cemberut, ngambeg lantaran Tono tidak antusias ketika diajak jalan-jalan. Sudah bisa ditebak kan, mana wanita yang menjengkelkan, dan mana wanita yang bisa membuat Tono lebih tenang?

 

Seiring dengan kehidupan materi yang semakin lama semakin maju, orang zaman sekarang semakin lama semakin terlalu mementingkan penonjolan karakter ego dan bersifat kritis. Tidak hanya pada anak muda, tapi hampir semua kalangan, tidak pandang usia. 

 

Ketika kita bisa menempatkan diri secara tepat, bagaimana harus bersikap & bertingkah laku maka orang akan jauh lebih respek kepada kita. Misalnya : dalam forum publik, sudah sewajarnya kita yang harus lebih banyak peduli dengan perasaan orang lain, berbicara terlalu direct , tanpa tedeng aling-aling bisa dengan cepat menyulut kemarahan oarng lain. Tapi jika misal kita ada di forum reuni atau acara kumpul-kumpul bersama sahabat, jika kita yang terlalu hati-hati malah nantinya disangka kita menjauh.

 

Itulah yang sering saya rasakan ketika saya berhubungan dengan orang lain. Mencoba berusaha tune in dengan perasaan & mood orang lain. Kebetulan karena saya bekerja di bidang jasa pelayanan sehingga pernyataan “empati” ini adalah hal wajib yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerja di bidang pelayanan publik. Berangkat dari pekerjaan, tersambung ke keseharian. Memang awalnya sulit, “ah, masa bodohlah.. derita lu! Kamu  juga belum tentu ngerasain apa yang aku rasain. Mending kalo kamu ngerti masalahku apaan..Ke laut aja sono!! “. Itu awalnya. Tapi lama-kelamaan saya coba reframing, coba menempatkan posisi saya di posisi mereka. Coba mengerti apa yang mereka rasakan, if I were them.

 

Tapi kadang memang empati itu tidak bisa diterapkan oleh orang lain, instantly. Kebanyakan baru sampai pada tahan iba & kasian, belum sampai ke tahap “empati”. Saya pernah menangis melihat salah seorang korban Situ Gintung yang harus kehilangan anak & istri hanya dalam hitungan detik, ketika air bah Situ Gintung meluluhlantakkan lingkungan sekitarnya. Saya membayangkan jika lelaki itu adalah saya. Jika saya yang harus membopong jenazah anak saya, jika saya yang harus menyaksikan istri saya terbujur kaku tak bernyawa dalam kondisi mengenaskan.

 

Saya sering merasakan empati kepada orang lain, tapi sayangnya orang lain tidak semuanya mencoba empati kepada saya. Bahkan ada yang ujung-ujungnya malah mencela ketika saya mengalami kesulitan. Tapi ya sudahlah tak apa, saya bisa mengerti. Tingkatan empati seseorang dengan orang lain bisa saja berbeda-beda. Toh dalam hidup kan ga semuanya satu sama lain harus sama, harus persis, harus searah.

 

Hanya mencoba untuk ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, sehingga kita tahu bagaimana kita harus bertingkah laku/berhadapan/memperlakukan orang lain sesuai dengan kondisi & situsi saat itu. Belajar membedakan sikon yang bagaimana seharusnya banyak ber-empati terhadap orang lain dan pengendalian diri, sikon yang bagaimana seharusnya mengekspresikan diri dengan tulus dan komunikasi tanpa tedeng aling-aling. Ketika kita telah berhasil mempelajari hal ini, di dalam suatu grup kita akan memperoleh pengakuan secara luas, diantara kawan-kawan & memperoleh persahabatan yang tulus.. 🙂

 

 

 

Continue Reading

Lelah ..

1626719166

sudahlah, terserah ..
aku sungguh t’lah lelah
tajam lisanmu bak pisau berjubah
patahku luka mendarah

kau bak angkuh biru lautan, namun dalammu siapa tahu?
ombak besarmu menggulung & menelanku
luasmu tak mampu kuseberang
dalammu tak mampu kuselam
tiada mampu kukayuh dayungku menjamahmu

pulau kecil nan teduh bertelaga
nyata bukan ranah yang kita puja
tak jua bagimu, bagiku, pun bagi kita

..tiada lagi syair pengungkap kata..
.. kan kubebaskanmu ..
.. kau bebaskanku ..

Continue Reading

Bisakah saya?

100_1399

 

 

Hari Jumat sebenarnya libur nasional, kecuali saya.. Sebenarnya pun saya libur hari itu tapi karena alasan kewajiban & pekerjaanlah yang membuat saya “terpaksa” harus masuk kantor. Kebetulan ada anggota team saya yang juga masuk, jadi sekalian menemanilah 🙁

 

Pulangnya, sebenarnya saya juga tidak ada rencana mau jalan. Ternyata suami mengajak ke Plaza Semanggi jadi ya sutralah saya meluncur ke arah Plangi dengan tujuan utama ke Gramedia, tempat favorit saya :). Setelah berkeliling mencari buku yang sesuai dengan kebutuhan saya & sebuah buku dongeng buat si kecil tetangga pavi saya, iseng saya menuju ke rak buku apa ya.. mmh.. bukunya sih tentang bahasa & sastra gitulah. Dari situ akhirnya membawa saya ke pertemuan dadakan dengan salah seorang teman penulis saya Safir Senduk & temannya. Lama ga ketemu membuat banyak hal yang diobrol & diobral.. hehehehe.. Makan-makan di Sky Dining Plangi membuat waktu bergulir begitu cepat, tak terasa pukul 23.00 wib.

 

Ada banyak hal yang kami berempat perbincangkan & tentu saja beberapa news update tentang saya & teman saya itu. Utamanya sih tentang menulis. Hobby yang tengah saya tekuni akhir-akhir ini. Kami berbincang tentang profil-profil orang yang awalnya bukan penulis, bukan pakar, tapi kenapa mereka banyak diburu media, tulisan-tulisannya banyak dicari orang? Alasannya sederhana, mereka memiliki skill menyampaikan informasi yang sederhana & mudah diterima oleh masyarakat, tidak terlalu menggunakan bahasa baku & istilah-istilah jargon, tapi cukup mengena.

 

Kita ambil contohnya Safir Senduk, seorang financial planner yang ternyata baru memperoleh sertifikat financial plannernya tahun 2008. Buat sebagian orang tidak peduli tentang sertifikat-sertifikatan itu karena yang mereka butuhkan adalah solusi yang mudah dimengerti & bisa mereka terapkan langsung. Atau dr. Sonia Wibisono, ternyata dia sebenarnya tidak memiliki semacam ijin praktek (CMIIW), tapi kenapa semua orang mencari dia sebagai narasumber produk-produk kesehatan? karena bisa jadi communication skill-nya bagus sehingga orang mudah mencerna penjelasannya, atau bisa jadi penampilannya juga mendukung untuk menjadi spoke person, dll.

 

Hmm.. kalau saya.. bisa ga ya kaya mereka?

🙂

 

 

Continue Reading