Read their body language ..

 

body-language-chin

 

 

Manusia menggunakan dua cara dalam berkomunikasi dengan yang lainnya. Yang pertama adalah dengan bahasa verbal. Yaitu apa yg saling kita bicarakan atau katakan dan sesuatu yang dapat kita tangkap melalui pendengaran. Cara lainnya adalah dengan bahasa non-verbal atau dengan sebutan bahasa tubuh.

 

Menurut wikipedia : merupakan proses pertukaran pikiran dan gagasan dimana pesan yang disampaikan dapat berupa isyarat, ekspresi wajah, pandangan mata, sentuhan, artifak (lambang yang digunakan), diam, waktu, suara, serta postur dan gerakan tubuh.

 

Dalam beberapa buku sudah dibahas tentang ciri-ciri orang yang “berkomunikasi” dengan bahasa tubuh. Memang ada kalanya benar, tapi ada juga yang kurang tepat, apalagi jika orang tersebut pandai bersandiwara, menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakan. Jadi kalau in my opinion.. ini menurut pendapat saya aja ya.. buku panduan itu belum bisa dijadikan standar referensi 100% juga sih karena dalam kenyataannya pasti terjadi deviasi. Ya kalau cuma sekedar sebagai tambahan pengetahuan & untuk membuktikan “eh bener ga sih? kalau bahasa tubuhnya begini, artinya begini?”, ya bolehlaaah.. 🙂 . Pembacaan bahasa tubuh banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya digunakan ketika melakukan interview kerja, melakukan test kebohongan, melakukan penyelidikan, dll. Tapi juga ketika ingin mengetahui apakah seseorang tertarik dengan kita, tertarik dengan topik pembicaraan yang kita bawa, suka dengan attitude kita, dll.

 

Seperti beberapa hari yang lalu salah seorang sahabat saya mengeluh ketika ada seorang wanita yang sebenarnya tidak dia kehendaki mendekati dia, melakukan approach-lah istilahnya. Sebenarnya rekan saya sudah memberi sinyal penolakan secara halus, memberikan sinyal ketidaknyamanan, risih & sejenisnya, tapi rupanya si  “mbak” ini kurang peka membaca sinyal yang dilontarkan sahabat saya. Hmm… susah juga ya kalo kaya gini 🙁

 

Sebagai seorang trainer, interviewer, saya banyak berhadapan dengan macam-macam tipe pribadi manusia.  Apalagi saat memberikan materi yang menurut saya agak sulit atau membosankan, saya mencoba mengukur sampainya penyampaian materi saya dengan melihat gesture peserta training saya. Jika sudah ada gearakan-gerakan mencurigakan yang mengarah pada kebosanan, segera saya alihkan pada permainan, jokes, atau break sebentar sekadar mengurangi kebosanan & saya alihkan ke sesi tanya jawab yang bisa membuat otak lebih terangsang untuk lebih aktif. Sejauh ini sih it works ya. Pun halnya ketika melakukan interview, saya harus jeli melihat profil kandidat calon karyawan ini apakah berpotensi ke arah negatif atau tidak, cepet nyambung/gak ketika kita sodori pertanyaan, dll.

 

Bersikap peka, sangat diperlukan dalam membaca bahasa tubuh seseorang. Ada kalanya seseorang sudah menyampaikan sinyal penolakan yang jelaspun masih saja lawan bicara kurang peka menerima sinyal itu sebagai penolakan (atau jangan-jangan dia memang tidak mau menerima penolakan tersebut?). Sampai saking geregetannya si sahabat berkata, “duuh, rese banget nih orang, ga ngerti apa ma bahasa tubuhku? annoying banget. Kalau dia bukan temenku sih udah aku ketusin dari tadi..  🙁  “

 

Kadang susah juga ya kalau sudah berkaitan dengan perasaan. Hanya karena supaya tidak ingin menyinggung perasaan orang tersebut kita akhirnya membohongi diri sendiri, hanya sekedar supaya lawan bicara tidak tersinggung, supaya dia senang, padahal batin kita tersiksa. Menurut saya sih jadinya malah suatu upaya yang sia-sia …

 

Okelah, membuat orang lain senang/bahagia itu bagus, bagian dari ibadah. Tapi kalau perasaan kita sendiri justru jadi korbannya, ya ga fair juga kan? Menurut saya sih tetap harus ada win-win solution. Yang menguntungkan 2 belah pihak. Kalau mau ngomongin sakit ya pasti salah satu diantara mereka pasti ada yang sakit, namanya juga menerima sesuatu yang diluar ekspektasi. Tapi at least berusaha jujur dengan diri sendiri menurut saya itu juga akan membuat kita lebih relieve, lebih enjoy. Sepahit apapun kenyataannya kalau memang harus dibicarakan ya.. kenapa enggak? Mending dia tahu langsung dari kita daripada tahunya dari orang lain, apa gak malah lebih runyam?

 

Jadi, selagi masih bisa dikomunikasikan, silahkan dikomunikasikan. White lie, memang kadang diperlukan dalam kita berinteraksi dengan orang lain/pasangan/sahabat. Tapi jika kita sendiri merasa tidak nyaman, buat apa harus dipaksakan? Jadi, biar kitanya juga ga “ngarep” terlalu banyak, kepekaan kita juga harus mulai sedikit demi sedikit mulai diasah. Kita memang bukan Mama Laurent atau Deddy Corbuzier yang bisa membaca pikiran orang tapi berusaha untuk lebih mengerti & membaca situasi sekitar kita itu yang saya rasa lebih tepat..  🙂

 

 

Continue Reading