Menuju Reuni Perak Bhawikarsu ’96

reuni/re·u·ni/ /réuni/ n pertemuan kembali (bekas teman sekolah, kawan seperjuangan, dan sebagainya) setelah berpisah cukup lama.

Reuni sekolah. Sebuah kata yang buat sebagian orang menyenangkan, tapi belum tentu bagi sebagian lainnya. Ada yang senang karena akan bertemu lagi dengan teman-teman lama, tapi ada juga yang lebih baik tidak perlu ada reuni, tidak usah bertemu lagi karena satu dan lain hal.

Saya memilih ada di antara senang atau tidak senang. Karena? Ya karena biasa saja. Kenangan masa SMA saya tidak banyak. Selain saya dulu bukan anak yang cukup punya percaya diri, juga karena rumah saya agak jauh, jadi sepulang sekolah saya memilih langsung pulang ketimbang harus kumpul-kumpul sana sini. Ya, kehidupan sosial saya di masa SMA memang agak suram, tapi entah kenapa saya justru menikmati ketidakhebohan di masa SMA dulu. Lebih nyaman bergaul seperlunya. Itulah kenapa foto-foto dokumentasi masa SMA tidak banyak, karena dulu saya seantisosial itu.

Dan di tahun 2021, adalah tahun di mana angkatan saya memasuki masa reuni perak. Sebuah angka yang istimewa karena di tahun 2021 ini juga bertepatan dengan usia SMAN 3 Malang yang ke-69. Sebuah deretan angka yang menurut saya unik, “tahun 2021 (berurutan), 25 tahun (perak), 96 (angkatan saya di SMA), 69 tahun (usia SMA saya)”

Dan, ndilalah di perhelatan reuni perak ini saya didapuk sebagai salah satu anggota panitia inti bersama 9 orang teman lainnya. Semoga ketika harus membelah diri, saya bisa membagi waktu, ya.

Meski acaranya baru akan diselenggarakan di 7-8 Agustus 2021, tapi persiapannya sudah menghangat sejak awal tahun 2021. Zoom meeting demi zoom meeting dilakukan hampir di tiap akhir pekan. Bahasannya pun beragam. Ada tentang merchandise, pra acara, dokumentasi foto/video, biaya yang harus dipersiapkan, hingga meeting yang isinya mendengarkan perdebatan teman-teman panitia. Biasalah, tensi akan meningkat seiring dengan waktu yang semakin dekat.

Dan uniknya, sekarang kan sudah bulan April 2021, ya. Sebagai anggota Tim Acara, jujur, kalau kami berempat ditanya acara reuninya mau berkonsep seperti apa, masih abstrak sekali. Lho, kan sudah tinggal 4 bulan lagi, masa belum punya konsep apa-apa? Nah, entah bagaimana ceritanya, kebetulan Tim Acara yang anggotanya terdiri dari 4 orang procrastinators. Di mana biasanyaide-ide kreatif baru akan terwujud di menjelang hari H. Bisa jadi apa yang dikonsepkan di awal, berubah pada saat eksekusi karena ada satu dan lain hal yang membuatnya harus berubah/menyesuaikan. Jadi kita akan tunggu seperti apa bentuknya nanti, ya. Jadi deg-degan!

Ibarat sayur, pertemanan yang nyaris berusia 25 tahun ini pun harus dihangatkan dan disegarkan lagi supaya ketika tepat di perhelatan puncak acara nanti, kami semua masih merasa ikut beracara, ikut melihat dan merasakan apa saja perubahan signifikan setelah 25 tahun tak bersua.

Untuk menghangatkan acara, pelbagai acara pra reuni pun mulai disiapkan. Salah satunya yaitu acara yang bertajuk JAM KOSONG. Konsep acara ala semi talk show yang ber-tagline “Pelajaran favorit pemersatu bangsa” ini digarap secara santai dengan menggunakan platform zoom meeting dan tayang perdana di 30 Januari 2021. Acara yang tidak terpikirkan akan menangguk antusiasme banyak teman ini pun akhirnya menjadi gelar acara bulanan dengan topik dan pembicara yang bergantian dari satu teman ke teman lainnya.

Saya pun sempat menjadi salah satu orang yang ketiban sampur memandu acara JAM KOSONG episode keempat di 10 April 2021, yang bertajuk “Parental Burnout: Atasi Sebelum Jadi Depresi“, bersama teman pembicara yang juga seorang psikolog, Fifi Febriani Ekawati.

Memikirkan konsep acara reuni yang masih di awang-awang hingga saat ini tuh memang bikin PR. Belum lagi panitia inti yang cuma 10 orang dan masing-masing harus menjalani peran ganda dalam kepanitiaan, back to back dengan teman lainnya mengurus ini itu, selain tentu saja menjalani kehidupan masing-masing sebagai warga sipil dalam pekerjaan dan kehidupan berkeluarga.

Semoga seluruh rangkaian acara bisa tereksekusi dengan sempurna di hari H nanti. SEMANGAT!

  • devieriana

Continue Reading

Blessing in Disguise

blessing

Di sebuah siang yang terik, saya memenuhi janji temu dengan seorang teman lama. Kebetulan dia sedang ada dinas di Jakarta, jadi ya ketemuan saja, lepas kangen sambil ngobrol-ngobrol ringan dengan topik random. Namun obrolan jadi lebih serius ketika kami membahas salah satu teman baik kami yang sedang melalui titik nadir dalam kehidupan berumah tangga.

Selama ini saya selalu menilai teman-teman saya baik-baik saja dengan kehidupan masing-masing, begitu juga dengan hubungan personal dengan teman-teman yang lain. Kalau pun iya ada masalah rumah tangga ya wajar, namanya hidup berumah tangga pasti ada saja masalahnya, kan? Kalau sekadar salah paham, beda sudut pandang, selama itu bukan hal yang prinsip dan masih discussable sepertinya masih wajar-wajar saja ya.

Pun halnya dengan teman yang diam-diam saya kagumi sosoknya ini. Bagaimana tidak jadi idola, di mata saya dia adalah sosok yang nyaris sempurna. Memiliki pasangan yang sempurna, selalu terlihat harmonis, rumah tangga mereka terasa lengkap dengan 3 anak yang lucu-lucu, karier suami isteri yang cemerlang, kehidupan yang agamis, pokoknya pasangan yang serasi luar dalam. Setidaknya itu yang ada di mata saya. Hingga akhirnya saya dengar kalau rumah tangga sang teman idola ini sedang berada di ujung tanduk. Kaget dan sedih itu pasti. Layaknya sebuah tamparan keras di siang bolong. Betapa kadang yang terlihat sempurna di luar itu belum tentu sempurna di dalam, vice versa.

Belum selesai keterkejutan saya, masih dikejutkan lagi dengan cerita teman-teman lainnya di komunitas lama, yang mengalami masalah tak kalah peliknya. Tentang masalah keuangan, hutang piutang, dan bahkan ada yang terjerat kasus penipuan. Hiks… sedih

Tapi ada hal yang perlu saya bold, underlined, dan stabilo tebal-tebal. Mungkin saya selama ini terlalu sederhana dalam menilai seseorang, atau terlalu naif ya? Tidak selamanya penampilan luar itu berbanding lurus dengan yang ada di dalamnya. Banyak orang yang terlihat jauh lebih baik dari kita tapi sebenarnya tidak lebih dari kita. Banyak orang yang terlihat lebih bahagia belum tentu merasa bahagia sebagaimana diperlihatkan.

Kalau boleh saya mengambil istilah psikologi, semacam Eccedentesiast, orang yang mampu menyembunyikan rasa sakit dan kesedihan mereka di balik senyum atau wajah yang baik-baik saja, sehingga terlihat tidak sedang mengalami masalah, demi menjaga hubungan dengan orang lain. Pendek kata, semacam bukan tipe pengeluh.

Dari dialog siang itu, ada banyak perenungan di pikiran saya. Bahwa bahagia itu bukan berarti segala sesuatunya serba sempurna, tapi justru ketika kita bisa melampaui segala ketidaksempurnaan yang kita miliki.

Hidup itu kadang penuh dengan kejutan dan guncangan, pasti ada yang namanya suka dan duka, ada sahabat, ada musuh, ada senyum, ada air mata. Tapi hidup itu kan sejatinya bukan membahas tentang siapa kita, tapi bagaimana kita menjalaninya; how we live it. Hidup juga bukan melulu membahas tentang kapan/bagaimana kita jatuh, tapi tentang bagaimana kita bangkit berdiri setelah diterpa berbagai masalah.

Selalu percaya bahwa, segala sesuatu itu terjadi karena suatu alasan. Seperti kata Marylin Monroe,

“People change so that you can learn to let go, things go wrong so that you appreciate them when they’re right, you believe lies to you eventually learn to trust no one but yourself, and sometimes good things fall apart so better things can fall together.”

Tidak selalu yang namanya musibah, ketidakberuntungan, ketinggalan kesempatan, dan berbagai masalah itu pasti buruk. Karena bisa saja segala hal yang buruk itu justru akan membawa kita ke hal-hal yang jauh lebih baik, menjadikan kita jauh lebih kuat, atau setidaknya ada sebuah pembelajaran yang bisa kita ambil. And that is always a good thing. Often times, it is for the best; we might just not know it.

My two cents…

 

[devieriana]

PS: hasil kontemplasi selama berhari-hari yang ditulis sambil ngopi di sore hari, pas jam kosong

 

 

picture source: here

Continue Reading

Rush (2013): Everyone’s Driven by Something

Rush

Beberapa minggu lalu saya menyempatkan diri untuk menonton film secara marathon di rumah. Salah satu film (lama) yang saya tonton yaitu Rush (2013) yang dibintangi oleh Chris Hemsworth dan Daniel Bruhl. Sejujurnya saya bukan penggemar film dengan genre sport, karena buat saya film dengan genre itu sangat membosankan. Pada awalnya saya sempat skeptis apakah saya akan betah nonton hingga akhir film, mengingat ini film yang ‘cowok’ banget dan kebetulan saya bukan penggemar F-1. Tapi demi ‘menantang’ diri sendiri, saya tonton juga sampai film ini selesai.

Dalam film ini, Peter Morgan didapuk sebagai penulis skenario yang harus merangkum kisah biopik dua pebalap F1 legendaris ini dan menjadikannya film berdurasi 2 jam ini lengkap dengan naik-turunnya hubungan antara Hunt dengan Lauda. Uniknya, meski Rush berjalan cepat (sekaligus bising!), tapi tidak dinarasikan dengan terburu-buru. Setiap key moments diceritakan dengan singkat, padat, tapi kuat. Begitu juga denganangle shoot yang ditampilkan dengan sangat detail; menjadikan kita seolah dibawa ke dalam arena balapan yang sebenarnya.

Rush yang dibuat berdasarkan kisah nyata ini disutradarai oleh Ron Howard (Apollo 13, Beautiful Mind), dan film scoring-nya digarap oleh Hans Zimmer. Menggambarkan persaingan sengit antara pebalap F-1, James Hunt (Chris Hemsworth) dan Niki Lauda (Daniel Bruhl) selama musim balap tahun 1970-an.

Sirkuit balap F-1 menjadi latar belakang kisah rivalitas kedua pebalap beda karakter ini. Saat pedal gas ditekan dalam-dalam, dan deru mesin mobil yang mulai bergemuruh, kita seolah ikut dalam balapan yang sedang berlangsung. Saya yang cuma menonton film ini di rumah saja sudah kebisingan, bagaimana dengan yang menonton di bioskop, yang rata-rata kualitas tata suaranya maksimal, pasti sensasi (menonton langsung) F-1 lebih terasa.

Karakterisasi James Hunt dan Niki Lauda ini diperankan dengan nyaris sempurna oleh Chris Hemsworth dan Daniel Bruhl. Dideskripsikan secara seimbang walaupun sangat berkebalikan. James Hunt (Chris Hemsworth) digambarkan sebagai sosok pebalap yang ‘sempurna’ secara fisik; tinggi, tampan, rambut pirang, gagah, ekstrovert, bad boy, sekaligus playboy. Sedangkan Niki Lauda (Daniel Bruhl) adalah sosok sebaliknya, secara fisik dia lebih pendek dari James Hunt, tak banyak bicara, pragmatis, serius, berhati-hati, intovert, setia, dan cenderung konservatif. Karakter masing-masing sangat menonjol ketika disandingkan dalam satu frame. Namun dengan berjalannya waktu kita akan melihat sekilas, kecil tapi signifikan, ada kesamaan di antara keduanya.

Btw, sebagai kaum hawa pada umumnya, pada awal film saya menyukai karakter James Hunt (iya, karena ganteng), tapi di setengah film kemudian, hati dan perhatian saya mulai melumer pada karakter Niki Lauda yang kaku, sedikit anti-sosial namun jenius. Iya, labil memang.

Inti film ini ada di scene menegangkan saat kecelakaan di sirkuit Nurburgring pada seri Formula 1 tahun 1976 direkonstruksikan dengan cukup mengerikan. Di sinilah persaingan sengit antara James Hunt dan Niki Lauda berpuncak. Di sebuah forum, sebenarnya Niki sudah mengusulkan agar lomba kali ini dibatalkan saja dengan alasan bahwa Nurburgring adalah sirkuit yang berbahaya di saat panas sekaligus mematikan di saat hujan. Tapi apa boleh buat, dia kalah suara dengan banyaknya pebalap yang tetap menginginkan digelarnya balapan di Nurburgring atas provokasi James Hunt.

Hujan lebat baru saja berhenti, lintasan Nurburgring sudah mulai kering. Saat itu, Niki Lauda baru saja keluar dari pit setelah mengganti ban basah dengan ban kering. Ia sedang mengejar ketertinggalannya setelah sempat terhalang oleh mobil pebalap lainnya. Pada sebuah tikungan tiba-tiba saja mobilnya kehilangan keseimbangan, terpelanting menghantam pagar pembatas, dan terpental kembali ke tengah lintasan dengan api yang berkobar-kobar. Tanpa ampun, kecelakaan mengerikan itu pun terjadi. Tubuh Niki Lauda setengahnya mengalami luka bakar parah, tulang-tulangnya pun patah. Tindakan emergency pun segera dilakukan. Niki Lauda dilarikan ke rumah sakit terdekat demi menyelamatkan nyawanya, sebelum akhirnya dia dibaringkan di rumah sakit paru-paru Mannheim. Setelah kejadian ini, sirkuit Nurburgring tidak lagi digunakan sebagai lintasan balap Formula 1.

Tak tahan melihat sang rival akan merebut gelar juara dunianya, Niki Lauda nekat kembali ke sirkuit balap hanya 6 minggu berselang setelah insiden tersebut. Kondisinya masih jauh dari kata sembuh sempurna. Rasa sakit yang luar biasa masih kerap dirasakannya, namun dia bukan orang yang mudah menyerah begitu saja. Ego mengalahkan rasa sakitnya. Dan memang terbukti, kembalinya Niki Lauda ke lintasan balap membuahkan hasil yang sangat brilian. Dia berhasil menyelesaikan finish di urutan empat.

Film ini diakhiri dengan ending yang antiklimaks namun sangat smooth. Di balapan terakhirnya, di Tokyo, Niki Lauda sudah bersiap untuk kembali mengadu nyali melawan James Hunt. Dia sudah tidak lagi trauma pascakecelakaan hebat di Nurburgring. Semua persiapan sudah sempurna bagi Niki Lauda. Hingga akhirnya, saat mesin mulai meraung-raung siap dijalankan dan balapan hendak dimulai, mendung tebal kembali datang. Di sini Niki Lauda mulai galau. Sontak, ingatannya kembali pada sesi balap yang hampir saja merenggut nyawanya di Nurburgring.

Setelah emosi penonton digiring ke sana ke mari, film ini ditutup dengan eksekusi adegan yang sangat indah dan penuh makna. Sesungguhnya, walaupun di sirkuit mereka terlihat penuh dengan persaingan sengit tetapi tetap terselip rasa hormat terhadap satu sama lain.

Apalagi ditambah dengan monolog Niki Lauda di akhir film yang menyatakan perasaan terjujurnya,

“Of course he didn’t listen to me. For James, one world title was enough. He had proved what he needed to prove. To himself and anyone who doubted him. And two years later, he retired. When I saw him next in London, seven years later, me as a champion again, him as broadcaster, he was barefoot on a bicycle with a flat tire, still living each day like his last. When I heard he died age 45 of a heart attack, I wasn’t surprised. I was just sad. People always think of us as rivals but he was among the very few I liked and even fewer that I respected. He remains the only person I envied.”

Tak banyak yang bisa saya komentari usai menonton film ini selain, luar biasa!

 

[devieriana]

 

gambar diambil dari Wikipedia

Continue Reading

Cerita Di Balik “Wajah Bunda Islami 2016”

Pemilihan Wajah Bunda Islami 2016

Jadi ceritanya hampir sebulan ini kegiatan saya full, baik itu weekdays maupun weekend. Kalau weekdays. Kalau weekdays ya pastinya kerja sambil ngurus bocah, pokoknya full buat kerjaan dan keluarga. Sementara weekend saya disibukkan dengan event bernama Pemilihan Wajah Bunda Islami 2016. Hah? Kegiatan apa itu?

Iya, saya memang lagi iseng banget ikut kontes pemilihan wajah sesuatu. Padahal sebelumnya tidak pernah terlintas dalam pikiran saya kelak suatu hari saya akan ikut kontes beginian. Bercita-cita pun tidak pernah dan tidak berani, hahaha. Bukan apa-apa, dalam bayangan saya kalau pemilihan puteri/wajah ini itu, pasti banyak diikuti oleh peserta yang secara fisik memenuhi syarat, terutama wajah dan tinggi badan. Itulah kenapa saya kurang berminat mengikuti acara kontes sejenis ya karena modal saya pas-pasan :D.

Tapi entah kesambet apaan, gara-gara ada teman yang menginfokan acara ini via obrolan di whatsapp, saya yang sempat berpikir berkali-kali itu pun akhirnya luluh, ikut daftar juga, karena kebetulan syaratnya lumayan mudah; seorang ibu, punya anak, dan menggunakan hijab. Sudah, itu saja. Berhubung syaratnya cuma ‘begitu’ ya saya berani daftar. Coba kalau syaratnya kaya pemilihan Puteri Indonesia atau kontes sejenis, dari sejak tahap pengiriman biodata saja mungkin saya sudah tersingkir duluan, saking tidak memenuhi syaratnya, hahaha…

Akhirnya, terceburlah saya dalam kegiatan seleksi pemilihan Wajah Bunda Islami 2016. Peserta yang mengikuti acara ini total 97 peserta, dan semuanya ibu-ibu. Ya iyalah, kan sudah dibilang dari awal syaratnya harus ibu-ibu. Hih! *ditabok massal*. Sejak awal acara ini diselenggarakan di South Quarter Dome, Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Semacam proyek mixed-use development yang terdiri dari tower perkantoran, apartemen, dan fasilitas ritel saling terintegrasi. Tempatnya lumayan cozy, cuman memang karena acara kita di weekend jadi ya sepi banget, karena tenant yang mengisi SQ Dome belum banyak, kebanyakan sih restoran.

Seleksi awal dilakukan di hari Minggu, tanggal 5 Juni 2016. Semua peserta yang telah mendaftar wajib hadir untuk menjalani sesi foto dan interview bersama dewan juri. Di sesi ini akan menyeleksi peserta menjadi 50 besar. Sempat minder juga melihat kebisaan para peserta lainnya yang kebanyakan sudah memakai hijab lebih lama daripada saya, lebih memiliki wawasan keislaman, bahkan bakatnya pun luar biasa buat saya. Jadi grogi sendiri ketika ‘ditantang’ untuk unjuk bakat, saya awalnya pede saja mengisi dongeng, tapi ketika melihat list pengisi acara lainnya, ada yang ceramah agama, tausiyah, menyanyi dalam bahasa Arab, saritilawah. Duh, sumpah… minder. Bahkan dongeng saya pun fabel, tidak ada unsur islaminya, ya bisa sih di akhir cerita saya hubungkan dengan nilai-nilai keislaman, tapi tetap saja keder duluan. Oh ya, videonya mendongengnya bisa dilihat di instagram saya ya, hihihik

Tapi bismillah saja, toh saya sudah lama tidak mengikuti ajang perlombaan apapun. Event besar terakhir yang saya ikut sudah 5 tahun yang lalu, yaitu Lomba Desain Seragam Pramugari Citilink, dan itu lumayan menguras energi saya karena kegiatannya yang lumayan padat. Alhamdulillah, walaupun tidak sampai Juara 1, tapi setidaknya masuk 2 besar sudah merupakan prestasi luar biasa buat saya, mengingat saya tidak pernah mengenyam pendidikan fashion design secara formal seperti halnya 4 finalis lainnya.

Di sesi seleksi 50 besar ini ternyata saya dinyatakan masuk bersama ke-49 peserta lainnya, yang selanjutnya akan mengikuti seleksi berikutnya yaitu interview bersama dewan juri. Antara senang dan deg-degan karena mikir, bakal ditanya seputar apa, ya? Walaupun ada bocoran juga dari panitia bahwa nantinya ke-50 peserta akan diminta untuk mengaji, diinterview seputar wawasan keislaman, dan ada interview seputar keluarga dan parenting bersama psikolog.

sesi belajar bersama ibu-ibu kece, sebelum sesi interview
sesi belajar bersama ibu-ibu kece, sebelum sesi interview

Di minggu berikutnya, yaitu Sabtu, 11 Juni 2016, adalah hari yang penuh tantangan buat saya. Bukan cuma tantangan karena akan interview, tapi juga tantangan tersendiri karena saya bawa Alea ke tempat lomba tanpa suami. Ya walaupun ada adik saya yang ikut menemani saya dan Alea, tetap saja di saat-saat tertentu akan ada saat di mana Alea hanya mau sama saya, nggak mau sama lainnya. Dan benar saja, tepat setelah sesi membaca Al-Qur’an, sambil menunggu sesi interview tentang wawasan keislaman dan interview bersama psikolog, Alea mulai rewel. Maklum, dia sudah capek dan ngantuk berat, sementara tidak ada tempat yang nyaman buat dia istirahat. Adik saya pun juga sebenarnya saya lihat sudah lelah karena sudah mengasuh Alea sejak pukul 9 pagi. Akhirnya tepat ketika sesi saya interview, saya pun masuk sambil menggendong dan menyusui Alea. Mungkin cuma saya saja peserta yang masuk ke ruang interview sambil menggendong bocah yang sedang lelap-lelapnya.

Ndilalah hari itu bertepatan dengan hari pertama saya period. Jadi, hormon saya memainkan emosi secara luar biasa. Stress iya, mewek iya. Terutama ketika sesi interview bersama psikolog, belum ditanya apa-apa saya sudah ambil tissue, hahaha. Walaupun akhirnya tissue itu pun berguna untuk menyeka air mata yang tiba-tiba saja sudah menggenang di pelupuk mata. “Gapapa, Bunda. Di meja saya ini memang sesi curhat, banyak yang nangis kok tadi…”, sampai psikolognya bilang gitu, coba. Ya bayangkan ya, kita ditanya tentang anak, tentang harapan kita kepada anak, pas kitanya sambil menggendong anak, ya baper abislah. Ndilalah lagi di akhir sesi interview Aleanya pas bangun, sambil mengucek mata, dia melihat sekeliling, dan psikolog yang mewawancarai saya bilang ke Alea, “Eh, anak cantik udah bangun. Mau bobo lagi? Ya udah bobo lagi boleh, kok. Selamat ya sayang, kamu punya bunda yang hebat…”. Nah, itu bikin saya baper lagi. Ah, saya belum sehebat yang bunda psikolog maksud kok. Saya seorang ibu newbie yang perlu banyak belajar.

Singkat cerita, sesi interview sore itu ditutup dengan sesi interview tentang wawasan keislaman. Sebenarnya sih interviewnya santai, seperti ngobrol, kebetulan di sesi saya ada Risty Tagor dan Betty Librianty yang menginterview seputar pengetahuan saya tentang Islam dan apa yang akan saya lakukan kalau saya terpilih sebagai salah satu pemenang Wajah Bunda Islami. Agak keder juga ketika pertanyaannya tentang Khulafaur Rasyidin, tentang sejarah Islam, dan kenabian. Tahu sih, bisa jawab juga, cuma agak kurang yakin dengan jawaban saya sendiri, mengingat itu kan pelajaran zaman masih sekolah dulu, huhuhuhu… Pokoknya pulang-pulang, pasrah sajalah. Kalau masuk 25 besar alhamdulillah, tidak pun tak apa-apa, karena saya sadar dengan kemampuan diri saya yang jauh dari kata sempurna.

Tapi ternyata panitia berkata lain, saya dinyatakan masuk sebagai 25 besar, dan harus hadir di hari berikutnya, Minggu 12 Juni 2016 di tempat yang sama untuk mengikuti parade 25 besar dan fashion show. Kali ini saya datang sendiri, Alea saya tinggal di rumah supaya dia bisa istirahat cukup dan makan teratur. Karena lokasinya yang lumayan dekat, saya pun pulang pergi naik ojek online, ganti kostumnya di lokasi saja.

IMG_20160612_140235

Sampai akhirnya panitia mengumumkan bahwa seleksi 25 besar menjadi 10 besar yang nantinya akan langsung diumumkan siapa saja pemenangnya, akan diadakan di hari Minggu, 19 Juni 2016, dan harus siap dengan hafalan surat-surat pendek. Aduh, beneran saya stress. Ada banyak hal yang ada di kepala saya. Belum hafalan surat-surat pendek, belum mikir saya ada dinas ke Istana Kepresidenan Cipanas tanggal 16-18 Juni 2016, belum persiapan acara buka bersama Mensesneg, Seskab, dan Kepala Kantor Staf Presiden yang jatuh di hari Jumat, 17 Juni 2016, belum lagi saya mikir nanti kalau saya dinas Alea gimana. Sebenarnya bisa saja sih ‘mengimpor’ Mama saya dari Surabaya ke Jakarta, tapi ndilalah Mama lagi sibuk-sibuknya mengerjakan orderan kue lebaran, baru mulai pula, jadi tidak bisa diganggu. Duh! 🙁

Tapi ternyata Allah itu baik banget, di saat urgent begitu, panitia Wajah Bunda Islami mengumumkan apa saja surat yang harus dihafalkan (jadi kita tidak perlu random menghafal seluruh surat pendek, tapi cukup yang ada di list panitia saja), dan acara diundur ke hari Sabtu, 25 Juni 2016. Bukan itu saja, saya tetap dijadwalkan dinas tapi diagendakan mengurus bukber saja, sehingga saya tetap bisa menjaga Alea, dan tetap bisa mengurus bukber di kantor. Alhamdulillah…

bersama salah seorang finalis Wajah Bunda Islami 2016
bersama salah seorang finalis Wajah Bunda Islami 2016

MYXJ_20160625111023_save

Tibalah saat yang paling menentukan. Sejak pukul 10 pagi, ke-25 finalis Wajah Bunda Islami sudah hadir di venue untuk mengikuti gladi bersih, sekaligus pengambilan foto dan video, untuk selanjutnya dari foto dan video itulah yang akan menentukan siapa saja yang berhak lolos ke 10 besar. Di sini saya sudah pasrah. Saya sudah sampai ke tahap ini saja sudah bersyukur, sekali lagi sesi koreksi diri saya sedang berkerja. Beberapa kali bertemu dengan teman-teman sesama peserta, saya menemukan sosok-sosok luar biasa. Jadi, kalau salah satu di antara mereka kelak menjadi salah satu pemenang saya akan sangat legowo. Oh ya, kebetulan ketika grand final ini kondisi badan saya sedang drop. Flu berat, radang tenggorokan, dan saking demamnya mata saya sampai memerah. Cuma berdoa semoga kuat sampai selesai acara.

Dan, perjuangan saya memang cuma sampai di tahap 25 besar. Tidak ada masalah sama sekali, karena saya yakin dan percaya bahwa 10 peserta yang berdiri di atas panggung dan sedang menjalani sesi membaca surat-surat pendek dan sesi interview bersama juri itu adalah pribadi-pribadi pilihan yang mumpuni bukan hanya di bidang parenting tapi juga tentang wawasan keislaman. Bayangkan, yang bagus ngajinya saja masih banyak koreksi dari dewan juri, lah gimana saya yang kemampuan mengajinya pas-pasan, hiks…

Singkat cerita, saya akhirnya pulang duluan naik ojek karena mengingat kondisi badan yang semakin kurang memungkinkan. Mungkin Allah minta saya untuk mengistirahatkan badan dan pikiran setelah hampir sebulan penuh beraktivitas yang menguras tenaga dan pikiran tanpa jeda.

para pemenang Wajah Bunda Islami 2016
para pemenang Wajah Bunda Islami 2016

Selamat bagi para pemenang (Bunda Avie Azzahra, Bunda Wardah Husaeni, dan Bunda Lina Rayen), kalian layak menyandang predikat juara Wajah Bunda Islami karena kalian bukan hanya sosok seorang bunda semata, tapi juga juga sosok perempuan tangguh yang mumpuni dan berilmu pengetahuan. You rock, guys!

So, inilah keisengan Ramadan saya tahun ini. Keisengan yang membawa saya ke sebuah pengalaman baru yang insyaallah membuka mata hati dan pikiran saya tentang banyak hal, menambah pengetahuan saya tentang agama yang masih ecek-ecek ini, dan utamanya lagi bisa menambah teman-teman baru yang semuanya merupakan sosok ibu panutan yang luar biasa!

Berkah itu kan bentuknya bisa macam-macam, ya. Kalau ini boleh saya sebut sebagai berkah Ramadan, ya… inilah berkah Ramadan versi saya…

Selamat menjalankan ibadah puasa yang tinggal hitungan hari ini ya, temans…

 

[devieriana]

Continue Reading

Busy January 2016

Biro SDM Kemensetneg

Pffiuh, akhirnya, setelah sekian lama tidak menghasilkan tulisan apa-apa sejak November 2015, akhirnya terbit juga tulisan di hampir penghujung Januari 2016. Sebenarnya ada banyak cerita yang bisa ditulis di sini, kalau mau, kalau niat. Niat sih sebenarnya ada, ide juga tinggal metik doang. Tapi entah kenapa ketika sudah di depan komputer kantor, kalah melulu sama kerjaan. Ketika sampai rumah, niat menulis malah bablas, karena main sama Alea yang lagi bawel-bawelnya. Jadi, ya sudahlah, mungkin saatnya sekarang bersihkan blog dari sarang laba-laba dulu.

Eh iya, semoga berlum terlalu terlambat untuk mengucapkan, “Selamat tahun baru 2016, ya!”. Ada sebuah ucapan bagus yang saya terima di whatsapp, dari seorang teman pada awal Januari kemarin, “On this New Year I wish that you have a superb January, a dazzling February, a peaceful March, an anxiety free April, a sensational May, and Joy that keeps going from June to November, and then round off with an upbeat December!”.

Pergantian tahun dari 2015 ke 2016 kemarin, seperti tahun-tahun sebelumnya, saya lewatkan dengan tidur. Entah kenapa moment pergantian tahun selalu kurang menarik perhatian saya. Selain saya juga kurang suka kehingarbingaran, mata saya kurang bersahabat dengan jam malam, alias tidak kuat begadang. Jadi ya sudahlah, saya melewatkan moment pergantian tahun dengan bobo manis bersama bocah saja.

Kalau kantor lain, bulan Januari masih jadi bulan yang santai karena baru awal tahun jadi kesibukan masih belum ada, kalau di kantor saya sudah disibukkan dengan rapat koordinasi yang beruntun hampir tiap hari bahkan sejak hari pertama ngantor. Belum lagi di waktu yang mepet saya harus menangani acara gathering-nya Biro SDM di Sentul. Wait. What? Baru awal tahun sudah gathering? Justru karena masih awal tahun, kita butuh re-energize semangat kerja. Kadang, piknik itu memang harus disempatkan, kalau kerja melulu jadinya basi, hihihihik. Enggak gitu juga ding, mumpung kerjaan masih belum padat, jadi tidak ada salahnya kalau disempatkan piknik. Kalau sudah terlanjur sibuk kerja, mau piknik bakal kalah melulu sama tugas kedinasan. Bulan ini saja sudah ada 3 pelantikan yang sudah dijalani, dan masih akan ada lagi nanti di hari Jumat pagi di Gedung Utama. Jadi, keputusan untuk piknik duluan sebelum sibuk itu memang tepat.

Trus, kenapa harus Sentul? Location is important, but it doesnt have to be picture perfect. Kalau ke Bandung, khawatir pada capek duluan di jalan, dan toh kami juga sudah pernah mengadakan acara di sana 3 tahun yang lalu. Itulah kenapa kami akhirnya memilih lokasi di Sentul, toh yang penting kan bukan jauhnya, tapi moment kebersamaannya. Oh ya, kami memilih menginap di Villa Rosomulyo. Sebuah villa yang sungguh tersembunyi, di sekitaran Sentul. Serius, waktu survey bersama 2 orang teman, sempat ragu juga, ini villanya di mana, ya? Belum lagi pas survey bertepatan dengan hujan deras, dan petir menyambar-nyambar. Jadi, ketika kami menemukan lokasi villa seperti sudah tengah malam, saking gelapnya, padahal baru pukul 5 sore. Segala rasa was-was akhirnya terbayarkan ketika melihat penampakan villa Rosomulyo yang sesungguhnya. Bagus, Kak! Recommended sangatlah, buat yang mau gathering di sana.

Sebagai penanggung jawab acara, saya harus menjamin acara yang saya pegang selain lancar juga harus seru. Kalau cuma sekadar menginap di villa doang ya namanya cuma pindah tidur ya, kan? Jadi, selain ada acara hiburan, foto keluarga besar Biro SDM, juga harus ada fun games yang bisa lebih merekatkan kembali rasa persaudaraan di biro kami. Lagi pula kan belum semua merasakan yang namanya outbound atau fun games. Hasilnya? Alhamdulillah, acara lancar, kami pun kembali segar walaupun pipi agak kram karena tertawa melulu sepanjang fun games.

Sepulang dari gathering, bak jadwal artis yang padat merayap, saya masih harus menyiapkan diri untuk mengisi acara di Gedung Kridabhakti bersama teman-teman band saya. Nyanyinya sih cuma 1 lagu, nunggunya 4 jam *usap peluh*. Tapi ya sudahlah, yang penting semua acara berjalan lancar, orderan kenceng ya, Kakak. Kenceng anginnya, hahaha…

Jadi, begitulah cerita sepanjang bulan ini. Kerja itu penting, tapi piknik jauh lebih penting! *eh* .

Kalau kamu, iya kamu. Bagaimana kamu melewatkan Januari tahun ini? Semoga sama serunya ya…

Have a great and productive day, fellas!

 

 

[devieriana]

Continue Reading
1 2 3 7