Pulang Ke Panggung Tari

Pada Agustus 2024, saya mendapatkan kesempatan istimewa untuk tampil dalam acara Pelepasan PNS Purnatugas Kementerian Sekretariat Negara—acara tahunan yang biasanya sayalah yang menjadi MC-nya. Namun, tahun ini ada yang berbeda. Alih-alih menjadi MC, saya justru memutuskan untuk tampil sebagai pengisi acara, sebuah perubahan yang sangat signifikan, ya.

Ada cerita unik di balik keputusan menari itu saya diambil. Sejujurnya, saya sempat ragu. Sudah puluhan tahun saya meninggalkan panggung tari, apa iya saya masih bisa menari? Apa iya gerakannya masih luwes? Selama ini teman-teman hanya mendengar cerita saya tentang masa lalu sebagai penari, tanpa adanya bukti konkret yang bisa mereka lihat di masa sekarang, sehingga klaim saya tersebut hingga saat ini belumlah akurat.

Sejak usia 8 tahun, saya bergabung dengan sebuah sanggar tari di Malang, di mana saya ditempa untuk dapat menguasai tari Jawa klasik dan kreasi baru oleh Bapak Alm. Pompong Supardjo, seorang budayawan dan pelatih tari asal Singosari, Kabupaten Malang. Setiap semester, kami mengikuti ujian kenaikan tingkat di depan para penguji di Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya. Kebetulan, beliau juga merupakan teman mama saya ketika masih aktif di Wilwatikta. Dulu, saat mama masih remaja, mama saya seorang penari, sementara Pak Pompong menjadi pengendang (pengrawit) dalam pertunjukan wayang orang dan sendratari kolosal Ramayana, serta berbagai tarian kolosal lainnya yang digelar di taman terbuka (amphiteater) Taman Tjandra Wilwatikta, Pandaan, Jawa Timur.

Jauh sebelum acara tiba, teman-teman dan atasan saya juga sempat meragukan, “Serius, kamu bisa menari?” Ada yang bertanya, “Memang kamu penari, Dev? Kapan latihannya?” hingga ada yang berseloroh, “Jangan becanda lho, Devi!” Mendengar semua itu saya cuma bisa tertawa. “Jadi, menari itu sebenarnya satu-satunya bakat yang belum sempat saya tunjukkan sejak lulus kuliah dan mulai bekerja, apalagi sejak di Setneg. Lucunya, belum sempat saya unjukkan, justru bakat baru seperti MC yang ditemukan oleh Pak Cecep (mantan Deputi Bidang Administrasi Aparatur). Menari, entah kenapa, masih belum ada kesempatan.”

Akhirnya, dengan mantap, saya putuskan untuk menari, dan pilihan saya jatuh pada Tari Punjari  dari Banyuwangi. Bagi saya, Tari Punjari lebih dari sekadar tarian, lebih dari itu, ia membawa saya ‘pulang’ ke masa lalu, ke masa-masa di mana saya masih aktif menari. Kembali ke panggung tari, bukan sekadar membawakan koreografi tarian, juga tentang bagaimana menunjukkan pada diri sendiri bahwa ada bagian dari diri yang masih hidup—sesuatu yang lebih personal dan mendalam.

Tari Punjari adalah tari kreasi baru pertama yang berhasil saya kuasai dengan baik, yang lalu menjadi tonggak keberanian saya untuk tampil di panggung, dan berhasil meraih kemenangan di berbagai kompetisi, tampil di berbagai acara. Dan uniknya, karena saking seringnya saya membawakan tari Punjari, mendapatkan julukan “Devi Punjari”.

Tari Punjari sendiri merupakan karya dari Bapak Sayun Sisiyanto, seorang budayawan Banyuwangi yang begitu berjasa dalam melestarikan seni dan budaya daerah. Tarian ini, tersohor sekitar tahun 1990-an, yang memadukan seni jaran (kuda lumping) dan seni angklung.

Kembali membawakannya setelah vakum menari selama bertahun-tahun tentu bukan hal mudah. Detail gerakan yang dulu terasa begitu mudah dan otomatis kini terasa seperti teka-teki yang harus dirangkai ulang. Selama dua bulan penuh saya berlatih secara mandiri melalui Youtube, mengulang gerakan demi gerakan, dan menghidupkan kembali detail-detail kecil yang dulu merupakan ciri khas saya. Yang menarik, seiring waktu, Tari Punjari telah mengalami banyak modifikasi dalam gerakannya. Namun, untuk pertunjukan kali ini, saya memilih versi yang mendekati orisinal—sebagai penghormatan pada karya Bapak Sayun Sisiyanto dan akar budaya Banyuwangi.

Saat hari pertunjukan tiba, perasaan saya campur aduk—gugup, haru, dan juga bangga. Begitu musik mulai mengalun, saya membiarkan tubuh saya yang ‘berbicara’. Di atas panggung, wiraga, wirama, dan wirasa menyatu dengan sendirinya. Nyatanya, tarian ini memang lebih dari sekadar gerakan fisik. Lebih jauh, Tari Punjari adalah perjalanan waktudi mana saya kembali bertemu dengan diri saya yang dulu— seorang anak kecil yang berjuang mengatasi rasa takut dan ketidakpercayaan diri di atas panggung, yang akhirnya berkembang menjadi sosok yang sebaliknya, dan siap bersaing dalam kompetisi.

Tapi kali ini, saya menari dengan rasa syukur dan bangga, bahwa perjalanan itu telah membawa saya sejauh ini. Kembali menari menjadi pengingat yang manis bahwa setiap langkah yang pernah kita ambil selalu punya cerita yang layak untuk dirayakan.

Continue Reading

Setneg Serial Lecture: Berbagi Cerita dengan KGPAA Mangkunegara X

Siapa yang tidak kenal dengan Gusti Bhre, atau lebih lengkapnya Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara X? Beliau merupakan penguasa Pura Mangkunegaran yang juga merupakan putra bungsu dari Mangkunegara IX dan Gusti Kanjeng Putri Mangkunegara IX. Gusti Bhre yang bernama lengkap Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo  ini menghabiskan masa kecilnya di Jakarta, meskipun sering menghabiskan waktu liburan di Solo dan terlibat dalam berbagai kegiatan adat di Mangkunegaran.

Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan telah aktif membantu pengelolaan Pura Mangkunegaran sebelum dinobatkan. Gusti Bhre resmi dikukuhkan sebagai KGPAA Mangkunegoro X pada usia 24 tahun, menjadikannya sebagai Mangkunegoro termuda dalam sejarah panjang perjalanan Pura Mangkunegaran Solo yang membentang hingga 265 tahun. Penobatannya sebagai Mangkunegara X dilakukan pada 12 Maret 2022 di Pendapa Ageng Pura Mangkunegaran, dan acara ini dihadiri oleh beberapa tokoh penting termasuk Presiden RI Joko Widodo dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

Nah, pada Serial Lecture yang diadakan secara rutin oleh Pusat Pengembangan Kompetensi Aparatur Sipil Negara (PPKASN) Kementerian Sekretariat Negara, pada 26 Oktober 2024 lalu saya didapuk sebagai MC yang menghadirkan Sri Paduka Mangkoenagoro X sebagai narasumber/bintang tamu. Saat tawaran itu datang, senyum saya merekah dengan lebar, ear to ear, hati saya pun berbunga-bunga. Bukan, ini bukan karena saya sedang dalam masa puber kedua, melainkan karena ini adalah kesempatan pertama saya untuk menjadi pembawa acara dengan seorang raja muda sebagai tamu.

Persiapan dan riset kami lakukan demi menghidupkan acara. Bersama rekan saya Satriyo Wibowo, kami berdua menyiapkan gelaran tersebut dengan sebaik mungkin dan sehidup mungkin, karena public figur tersebut merupakan salah satu idola anak muda. Jadi bagi duo MC yang usianya sudah bukan lagi anak muda ini tentu perlu beberapa penyesuaian supaya tidak membosankan, ya. Kami berdua menggali berbagai referensi tentang Gusti Bhre, mengikuti perkembangan aktivitasnya, dan memahami topik-topik yang relevan dengan minat audiens muda. Kami bahkan menonton beberapa wawancara sebelumnya untuk mendapatkan wawasan tentang gaya dan kepribadian beliau.

Hari yang dinantikan pun tiba. Ruang auditorium telah disulap sedemikian rupa menjadi panggung yang penuh dengan vertical garden sebagai latar belakang kami. Saya dan Satriyo sudah bersiap dengan cue card panduan wawancara yang berisi pertanyaan-pertanyaan menarik dan segmen interaktif seputar tema “Merawat Budaya Membangun Jati Diri Bangsa (Inovasi Kepemimpinan di Pura Mangkunegaran)”. Briefing singkat pun telah dilakukan kepada MC dan bintang tamu. Pertama kali melihat sosok beliau, batin saya berkata, Gusti Allah itu baik banget memberikan saya kesempatan mewawancara sosok besar yang dikagumi banyak orang, Gusti Bhre. Sosok yang telah ada di hadapan saya ini sebenarnya sama seperti anak muda lainnya, hanya saja dia tampak lebih kharismatik karena betapapun beliau adalah seorang raja. Posturnya tinggi semampai, dengan pembawaan sangat tenang.

Ketika wawancara dimulai, saya bisa merasakan energi positif dari Gusti Bhre. Beliau menjawab setiap pertanyaan dengan bahasa yang santun dan jelas. Setiap kata yang diucapkannya memancarkan kedalaman pengetahuan dan kecintaannya terhadap budaya. Beliau memberikan inspirasi tidak hanya melalui kata-katanya, tetapi juga melalui tindakan dan komitmen nyata terhadap pelestarian budaya serta kesejahteraan masyarakat.

Dalam wawancara tersebut, Gusti Bhre menjelaskan bahwa budaya selalu mengiringi ke manapun kita berada. Beliau juga berbagi kisah tentang pengalamannya dalam menjalankan nilai-nilai luhur para pendahulunya, bahwa sebagai pemimpinGusti Bhre masih mengamini pepatah Jawa “Tiji Tibeh”, mati siji, mati kabeh, atau yang berarti mati satu, mati semua, yang merupakan ajaran/nilai semangat kebersamaan dan kedekatan antara pemimpin dan masyarakatnya.

Beliau juga menuturkan bagaimana Pura Mangkunegaran telah menjadi pusat kebudayaan yang aktif dalam melestarikan warisan leluhur, seperti tarian tradisional, musik gamelan, dan upacara adat. Tak lupa beliau juga menekankan pentingnya peran anak muda dalam melanjutkan dan mengembangkan tradisi ini agar tetap relevan di era modern. Menurutnya, inovasi dalam melestarikan budaya bukan berarti mengubah esensi dari tradisi itu sendiri, tetapi menemukan cara-cara baru untuk memperkenalkannya kepada generasi muda, misalnya melalui media digital dan program edukasi kreatif.

Topik pembicaraan yang mencakup pandangannya tentang peran anak muda dalam pelestarian budaya dan inovasi di era modern berhasil menarik perhatian dan antusiasme dari semua yang hadir. Gusti Bhre memberikan contoh konkret tentang inisiatif-inisiatif yang telah dilakukan di Pura Mangkunegaran, seperti workshop seni dan budaya yang melibatkan anak-anak sekolah dan komunitas setempat. Beliau juga berbagi cerita tentang kolaborasi dengan seniman dan kreator konten untuk menciptakan karya-karya yang menggabungkan elemen tradisional dan modern.

Audiens terlihat sangat terkesan dengan bagaimana Gusti Bhre mampu mengaitkan nilai-nilai tradisional dengan tantangan dan peluang zaman sekarang. Gelar wicara yang dibawakan dengan serius namun santai itu tidak hanya memberikan wawasan, tetapi juga memotivasi banyak orang untuk lebih menghargai dan berkontribusi dalam pelestarian budaya. Saya pun merasa terinspirasi oleh dedikasi dan visi beliau, yang mengingatkan kita semua bahwa menjaga dan merawat budaya adalah bagian penting dari membangun jati diri bangsa.

Pada akhir acara, saya menyadari bahwa pengalaman ini tidak hanya tentang bertemu seorang idola, tetapi juga tentang belajar dan mendapatkan wawasan baru. Saya dan Satriyo merasa sangat beruntung bisa menjadi bagian dari momen berharga ini, dan kami berdua sepakat bahwa kesempatan ini telah menambah kekayaan pengalaman profesional kami sebagai Master of Ceremony.

Teruntuk PPKASN Kementerian Sekretariat Negara, terima kasih atas kesempatan dan kepercayaan yang telah diberikan pada kami.

–Devieriana —

foto dokumentasi pribadi

Continue Reading

Menuju Reuni Perak Bhawikarsu ’96

reuni/re·u·ni/ /réuni/ n pertemuan kembali (bekas teman sekolah, kawan seperjuangan, dan sebagainya) setelah berpisah cukup lama.

Reuni sekolah. Sebuah kata yang buat sebagian orang menyenangkan, tapi belum tentu bagi sebagian lainnya. Ada yang senang karena akan bertemu lagi dengan teman-teman lama, tapi ada juga yang lebih baik tidak perlu ada reuni, tidak usah bertemu lagi karena satu dan lain hal.

Saya memilih ada di antara senang atau tidak senang. Karena? Ya karena biasa saja. Kenangan masa SMA saya tidak banyak. Selain saya dulu bukan anak yang cukup punya percaya diri, juga karena rumah saya agak jauh, jadi sepulang sekolah saya memilih langsung pulang ketimbang harus kumpul-kumpul sana sini. Ya, kehidupan sosial saya di masa SMA memang agak suram, tapi entah kenapa saya justru menikmati ketidakhebohan di masa SMA dulu. Lebih nyaman bergaul seperlunya. Itulah kenapa foto-foto dokumentasi masa SMA tidak banyak, karena dulu saya seantisosial itu.

Dan di tahun 2021, adalah tahun di mana angkatan saya memasuki masa reuni perak. Sebuah angka yang istimewa karena di tahun 2021 ini juga bertepatan dengan usia SMAN 3 Malang yang ke-69. Sebuah deretan angka yang menurut saya unik, “tahun 2021 (berurutan), 25 tahun (perak), 96 (angkatan saya di SMA), 69 tahun (usia SMA saya)”

Dan, ndilalah di perhelatan reuni perak ini saya didapuk sebagai salah satu anggota panitia inti bersama 9 orang teman lainnya. Semoga ketika harus membelah diri, saya bisa membagi waktu, ya.

Meski acaranya baru akan diselenggarakan di 7-8 Agustus 2021, tapi persiapannya sudah menghangat sejak awal tahun 2021. Zoom meeting demi zoom meeting dilakukan hampir di tiap akhir pekan. Bahasannya pun beragam. Ada tentang merchandise, pra acara, dokumentasi foto/video, biaya yang harus dipersiapkan, hingga meeting yang isinya mendengarkan perdebatan teman-teman panitia. Biasalah, tensi akan meningkat seiring dengan waktu yang semakin dekat.

Dan uniknya, sekarang kan sudah bulan April 2021, ya. Sebagai anggota Tim Acara, jujur, kalau kami berempat ditanya acara reuninya mau berkonsep seperti apa, masih abstrak sekali. Lho, kan sudah tinggal 4 bulan lagi, masa belum punya konsep apa-apa? Nah, entah bagaimana ceritanya, kebetulan Tim Acara yang anggotanya terdiri dari 4 orang procrastinators. Di mana biasanyaide-ide kreatif baru akan terwujud di menjelang hari H. Bisa jadi apa yang dikonsepkan di awal, berubah pada saat eksekusi karena ada satu dan lain hal yang membuatnya harus berubah/menyesuaikan. Jadi kita akan tunggu seperti apa bentuknya nanti, ya. Jadi deg-degan!

Ibarat sayur, pertemanan yang nyaris berusia 25 tahun ini pun harus dihangatkan dan disegarkan lagi supaya ketika tepat di perhelatan puncak acara nanti, kami semua masih merasa ikut beracara, ikut melihat dan merasakan apa saja perubahan signifikan setelah 25 tahun tak bersua.

Untuk menghangatkan acara, pelbagai acara pra reuni pun mulai disiapkan. Salah satunya yaitu acara yang bertajuk JAM KOSONG. Konsep acara ala semi talk show yang ber-tagline “Pelajaran favorit pemersatu bangsa” ini digarap secara santai dengan menggunakan platform zoom meeting dan tayang perdana di 30 Januari 2021. Acara yang tidak terpikirkan akan menangguk antusiasme banyak teman ini pun akhirnya menjadi gelar acara bulanan dengan topik dan pembicara yang bergantian dari satu teman ke teman lainnya.

Saya pun sempat menjadi salah satu orang yang ketiban sampur memandu acara JAM KOSONG episode keempat di 10 April 2021, yang bertajuk “Parental Burnout: Atasi Sebelum Jadi Depresi“, bersama teman pembicara yang juga seorang psikolog, Fifi Febriani Ekawati.

Memikirkan konsep acara reuni yang masih di awang-awang hingga saat ini tuh memang bikin PR. Belum lagi panitia inti yang cuma 10 orang dan masing-masing harus menjalani peran ganda dalam kepanitiaan, back to back dengan teman lainnya mengurus ini itu, selain tentu saja menjalani kehidupan masing-masing sebagai warga sipil dalam pekerjaan dan kehidupan berkeluarga.

Semoga seluruh rangkaian acara bisa tereksekusi dengan sempurna di hari H nanti. SEMANGAT!

  • devieriana

Continue Reading

Cerita Di Balik “Wajah Bunda Islami 2016”

Pemilihan Wajah Bunda Islami 2016

Jadi ceritanya hampir sebulan ini kegiatan saya full, baik itu weekdays maupun weekend. Kalau weekdays. Kalau weekdays ya pastinya kerja sambil ngurus bocah, pokoknya full buat kerjaan dan keluarga. Sementara weekend saya disibukkan dengan event bernama Pemilihan Wajah Bunda Islami 2016. Hah? Kegiatan apa itu?

Iya, saya memang lagi iseng banget ikut kontes pemilihan wajah sesuatu. Padahal sebelumnya tidak pernah terlintas dalam pikiran saya kelak suatu hari saya akan ikut kontes beginian. Bercita-cita pun tidak pernah dan tidak berani, hahaha. Bukan apa-apa, dalam bayangan saya kalau pemilihan puteri/wajah ini itu, pasti banyak diikuti oleh peserta yang secara fisik memenuhi syarat, terutama wajah dan tinggi badan. Itulah kenapa saya kurang berminat mengikuti acara kontes sejenis ya karena modal saya pas-pasan :D.

Tapi entah kesambet apaan, gara-gara ada teman yang menginfokan acara ini via obrolan di whatsapp, saya yang sempat berpikir berkali-kali itu pun akhirnya luluh, ikut daftar juga, karena kebetulan syaratnya lumayan mudah; seorang ibu, punya anak, dan menggunakan hijab. Sudah, itu saja. Berhubung syaratnya cuma ‘begitu’ ya saya berani daftar. Coba kalau syaratnya kaya pemilihan Puteri Indonesia atau kontes sejenis, dari sejak tahap pengiriman biodata saja mungkin saya sudah tersingkir duluan, saking tidak memenuhi syaratnya, hahaha…

Akhirnya, terceburlah saya dalam kegiatan seleksi pemilihan Wajah Bunda Islami 2016. Peserta yang mengikuti acara ini total 97 peserta, dan semuanya ibu-ibu. Ya iyalah, kan sudah dibilang dari awal syaratnya harus ibu-ibu. Hih! *ditabok massal*. Sejak awal acara ini diselenggarakan di South Quarter Dome, Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Semacam proyek mixed-use development yang terdiri dari tower perkantoran, apartemen, dan fasilitas ritel saling terintegrasi. Tempatnya lumayan cozy, cuman memang karena acara kita di weekend jadi ya sepi banget, karena tenant yang mengisi SQ Dome belum banyak, kebanyakan sih restoran.

Seleksi awal dilakukan di hari Minggu, tanggal 5 Juni 2016. Semua peserta yang telah mendaftar wajib hadir untuk menjalani sesi foto dan interview bersama dewan juri. Di sesi ini akan menyeleksi peserta menjadi 50 besar. Sempat minder juga melihat kebisaan para peserta lainnya yang kebanyakan sudah memakai hijab lebih lama daripada saya, lebih memiliki wawasan keislaman, bahkan bakatnya pun luar biasa buat saya. Jadi grogi sendiri ketika ‘ditantang’ untuk unjuk bakat, saya awalnya pede saja mengisi dongeng, tapi ketika melihat list pengisi acara lainnya, ada yang ceramah agama, tausiyah, menyanyi dalam bahasa Arab, saritilawah. Duh, sumpah… minder. Bahkan dongeng saya pun fabel, tidak ada unsur islaminya, ya bisa sih di akhir cerita saya hubungkan dengan nilai-nilai keislaman, tapi tetap saja keder duluan. Oh ya, videonya mendongengnya bisa dilihat di instagram saya ya, hihihik

Tapi bismillah saja, toh saya sudah lama tidak mengikuti ajang perlombaan apapun. Event besar terakhir yang saya ikut sudah 5 tahun yang lalu, yaitu Lomba Desain Seragam Pramugari Citilink, dan itu lumayan menguras energi saya karena kegiatannya yang lumayan padat. Alhamdulillah, walaupun tidak sampai Juara 1, tapi setidaknya masuk 2 besar sudah merupakan prestasi luar biasa buat saya, mengingat saya tidak pernah mengenyam pendidikan fashion design secara formal seperti halnya 4 finalis lainnya.

Di sesi seleksi 50 besar ini ternyata saya dinyatakan masuk bersama ke-49 peserta lainnya, yang selanjutnya akan mengikuti seleksi berikutnya yaitu interview bersama dewan juri. Antara senang dan deg-degan karena mikir, bakal ditanya seputar apa, ya? Walaupun ada bocoran juga dari panitia bahwa nantinya ke-50 peserta akan diminta untuk mengaji, diinterview seputar wawasan keislaman, dan ada interview seputar keluarga dan parenting bersama psikolog.

sesi belajar bersama ibu-ibu kece, sebelum sesi interview
sesi belajar bersama ibu-ibu kece, sebelum sesi interview

Di minggu berikutnya, yaitu Sabtu, 11 Juni 2016, adalah hari yang penuh tantangan buat saya. Bukan cuma tantangan karena akan interview, tapi juga tantangan tersendiri karena saya bawa Alea ke tempat lomba tanpa suami. Ya walaupun ada adik saya yang ikut menemani saya dan Alea, tetap saja di saat-saat tertentu akan ada saat di mana Alea hanya mau sama saya, nggak mau sama lainnya. Dan benar saja, tepat setelah sesi membaca Al-Qur’an, sambil menunggu sesi interview tentang wawasan keislaman dan interview bersama psikolog, Alea mulai rewel. Maklum, dia sudah capek dan ngantuk berat, sementara tidak ada tempat yang nyaman buat dia istirahat. Adik saya pun juga sebenarnya saya lihat sudah lelah karena sudah mengasuh Alea sejak pukul 9 pagi. Akhirnya tepat ketika sesi saya interview, saya pun masuk sambil menggendong dan menyusui Alea. Mungkin cuma saya saja peserta yang masuk ke ruang interview sambil menggendong bocah yang sedang lelap-lelapnya.

Ndilalah hari itu bertepatan dengan hari pertama saya period. Jadi, hormon saya memainkan emosi secara luar biasa. Stress iya, mewek iya. Terutama ketika sesi interview bersama psikolog, belum ditanya apa-apa saya sudah ambil tissue, hahaha. Walaupun akhirnya tissue itu pun berguna untuk menyeka air mata yang tiba-tiba saja sudah menggenang di pelupuk mata. “Gapapa, Bunda. Di meja saya ini memang sesi curhat, banyak yang nangis kok tadi…”, sampai psikolognya bilang gitu, coba. Ya bayangkan ya, kita ditanya tentang anak, tentang harapan kita kepada anak, pas kitanya sambil menggendong anak, ya baper abislah. Ndilalah lagi di akhir sesi interview Aleanya pas bangun, sambil mengucek mata, dia melihat sekeliling, dan psikolog yang mewawancarai saya bilang ke Alea, “Eh, anak cantik udah bangun. Mau bobo lagi? Ya udah bobo lagi boleh, kok. Selamat ya sayang, kamu punya bunda yang hebat…”. Nah, itu bikin saya baper lagi. Ah, saya belum sehebat yang bunda psikolog maksud kok. Saya seorang ibu newbie yang perlu banyak belajar.

Singkat cerita, sesi interview sore itu ditutup dengan sesi interview tentang wawasan keislaman. Sebenarnya sih interviewnya santai, seperti ngobrol, kebetulan di sesi saya ada Risty Tagor dan Betty Librianty yang menginterview seputar pengetahuan saya tentang Islam dan apa yang akan saya lakukan kalau saya terpilih sebagai salah satu pemenang Wajah Bunda Islami. Agak keder juga ketika pertanyaannya tentang Khulafaur Rasyidin, tentang sejarah Islam, dan kenabian. Tahu sih, bisa jawab juga, cuma agak kurang yakin dengan jawaban saya sendiri, mengingat itu kan pelajaran zaman masih sekolah dulu, huhuhuhu… Pokoknya pulang-pulang, pasrah sajalah. Kalau masuk 25 besar alhamdulillah, tidak pun tak apa-apa, karena saya sadar dengan kemampuan diri saya yang jauh dari kata sempurna.

Tapi ternyata panitia berkata lain, saya dinyatakan masuk sebagai 25 besar, dan harus hadir di hari berikutnya, Minggu 12 Juni 2016 di tempat yang sama untuk mengikuti parade 25 besar dan fashion show. Kali ini saya datang sendiri, Alea saya tinggal di rumah supaya dia bisa istirahat cukup dan makan teratur. Karena lokasinya yang lumayan dekat, saya pun pulang pergi naik ojek online, ganti kostumnya di lokasi saja.

IMG_20160612_140235

Sampai akhirnya panitia mengumumkan bahwa seleksi 25 besar menjadi 10 besar yang nantinya akan langsung diumumkan siapa saja pemenangnya, akan diadakan di hari Minggu, 19 Juni 2016, dan harus siap dengan hafalan surat-surat pendek. Aduh, beneran saya stress. Ada banyak hal yang ada di kepala saya. Belum hafalan surat-surat pendek, belum mikir saya ada dinas ke Istana Kepresidenan Cipanas tanggal 16-18 Juni 2016, belum persiapan acara buka bersama Mensesneg, Seskab, dan Kepala Kantor Staf Presiden yang jatuh di hari Jumat, 17 Juni 2016, belum lagi saya mikir nanti kalau saya dinas Alea gimana. Sebenarnya bisa saja sih ‘mengimpor’ Mama saya dari Surabaya ke Jakarta, tapi ndilalah Mama lagi sibuk-sibuknya mengerjakan orderan kue lebaran, baru mulai pula, jadi tidak bisa diganggu. Duh! 🙁

Tapi ternyata Allah itu baik banget, di saat urgent begitu, panitia Wajah Bunda Islami mengumumkan apa saja surat yang harus dihafalkan (jadi kita tidak perlu random menghafal seluruh surat pendek, tapi cukup yang ada di list panitia saja), dan acara diundur ke hari Sabtu, 25 Juni 2016. Bukan itu saja, saya tetap dijadwalkan dinas tapi diagendakan mengurus bukber saja, sehingga saya tetap bisa menjaga Alea, dan tetap bisa mengurus bukber di kantor. Alhamdulillah…

bersama salah seorang finalis Wajah Bunda Islami 2016
bersama salah seorang finalis Wajah Bunda Islami 2016

MYXJ_20160625111023_save

Tibalah saat yang paling menentukan. Sejak pukul 10 pagi, ke-25 finalis Wajah Bunda Islami sudah hadir di venue untuk mengikuti gladi bersih, sekaligus pengambilan foto dan video, untuk selanjutnya dari foto dan video itulah yang akan menentukan siapa saja yang berhak lolos ke 10 besar. Di sini saya sudah pasrah. Saya sudah sampai ke tahap ini saja sudah bersyukur, sekali lagi sesi koreksi diri saya sedang berkerja. Beberapa kali bertemu dengan teman-teman sesama peserta, saya menemukan sosok-sosok luar biasa. Jadi, kalau salah satu di antara mereka kelak menjadi salah satu pemenang saya akan sangat legowo. Oh ya, kebetulan ketika grand final ini kondisi badan saya sedang drop. Flu berat, radang tenggorokan, dan saking demamnya mata saya sampai memerah. Cuma berdoa semoga kuat sampai selesai acara.

Dan, perjuangan saya memang cuma sampai di tahap 25 besar. Tidak ada masalah sama sekali, karena saya yakin dan percaya bahwa 10 peserta yang berdiri di atas panggung dan sedang menjalani sesi membaca surat-surat pendek dan sesi interview bersama juri itu adalah pribadi-pribadi pilihan yang mumpuni bukan hanya di bidang parenting tapi juga tentang wawasan keislaman. Bayangkan, yang bagus ngajinya saja masih banyak koreksi dari dewan juri, lah gimana saya yang kemampuan mengajinya pas-pasan, hiks…

Singkat cerita, saya akhirnya pulang duluan naik ojek karena mengingat kondisi badan yang semakin kurang memungkinkan. Mungkin Allah minta saya untuk mengistirahatkan badan dan pikiran setelah hampir sebulan penuh beraktivitas yang menguras tenaga dan pikiran tanpa jeda.

para pemenang Wajah Bunda Islami 2016
para pemenang Wajah Bunda Islami 2016

Selamat bagi para pemenang (Bunda Avie Azzahra, Bunda Wardah Husaeni, dan Bunda Lina Rayen), kalian layak menyandang predikat juara Wajah Bunda Islami karena kalian bukan hanya sosok seorang bunda semata, tapi juga juga sosok perempuan tangguh yang mumpuni dan berilmu pengetahuan. You rock, guys!

So, inilah keisengan Ramadan saya tahun ini. Keisengan yang membawa saya ke sebuah pengalaman baru yang insyaallah membuka mata hati dan pikiran saya tentang banyak hal, menambah pengetahuan saya tentang agama yang masih ecek-ecek ini, dan utamanya lagi bisa menambah teman-teman baru yang semuanya merupakan sosok ibu panutan yang luar biasa!

Berkah itu kan bentuknya bisa macam-macam, ya. Kalau ini boleh saya sebut sebagai berkah Ramadan, ya… inilah berkah Ramadan versi saya…

Selamat menjalankan ibadah puasa yang tinggal hitungan hari ini ya, temans…

 

[devieriana]

Continue Reading

Busy November

Tak terasa bulan November sudah berlalu di depan mata, dan sekarang ‘tiba-tiba’ sudah masuk bulan Desember aja. Kalau dipikir-pikir waktu setahun itu kok ya cepet banget, ya?

November kemarin jadi bulan sibuk bukan hanya buat saya tapi juga buat kantor. Jadi kalau November kemarin saya sama sekali tidak posting apapun di blog ini harap dimaklumi ya, hiks…

Sejak awal bulan sudah digeber dengan diklat Kehumasan, dilanjut dengan dinas-dinas, ngemsi-ngemsi, dan lomba-lomba. Kalau soal penggunaan suara pokoknya di bulan November itu maksimal banget, ya MC indoor, ya MC outdoor, ya nyanyi indoor, ya nyanyi outdoor, ya MC acarA formal, ya acara lomba aerobik yang pakai teriak, “AYO SUARANYA MANAAAA?!’ Pokoknya MC serbagunalah, emang gedung doang yang serbaguna? Hahaha…

Eh, trus, kok tumben ada lomba-lombanya? Iya, sebenarnya setiap bulan November itu diperingati sebagai hari ulang tahun KORPRI. Kebetulan tahun ini KORPRI berulang tahun yang ke-44. Setelah dua tahun lamanya berhibernasi, dan jauh dari keriaan, tahun ini ulang tahun KORPRI kembali diperingati dan diramaikan dengan berbagai lomba olah raga dan seni.

Kalau dilihat dari jenis lombanya, sudah jelas saya bukan partisipan lomba olah raga. Lha wong senam rutin tiap hari Selasa dan Jumat saja saya skip melulu, apalagi ikut lomba olah raga beneran. Sudah bisa ditebaklah saya ikut lomba apa. Iya, saya memeriahkan lomba menyanyi saja. Itu pun alhamdulillah, nggak menang; cuma sampai 9 besar saja, hahaha. Eh, tapi jujur, saya malah bersyukur dengan kekalahan itu karena justru mengurangi beban saya sendiri. Bayangkan saja, saya di-booking sebagai MC acara puncak peringatan HUT KORPRI di lingkungan kantor saya sejak awal November, dan rencananya para pemenang lomba menyanyi harus tampil di atas panggung untuk memperdengarkan suaranya. Sedangkan saya dan teman-teman band saya pun sudah dimasukkan dalam list penampil. Masa iya, saya yang ngemsi, saya juga yang tampil menyanyi solo, plus tampil bersama teman-teman band saya. Kok rasanya eksis amat, ya? Itulah kenapa saya malah bersyukur ketika saya tidak dinyatakan sebagai pemenang lomba menyanyi.

Saya mau cerita sedikit tentang lomba menyanyi kemarin ya. Ini adalah lomba menyanyi kedua yang saya ikuti di lingkungan kantor. Anggap saja lomba tingkat abal-abal, karena memang yang ikut ya para pehobi nyanyi saja, bukan yang pro. Saya sebenarnya sudah tidak mau ikut, tapi berhubung ada disposisi atasan yang meminta saya untuk ikut jadi ya sudahlah, saya ikut saja, itung-itung memeriahkan.

Di babak semifinal/penyisihan, rencana yang ikut sih sekitar 90 peserta yang terbagi dalam 2 sesi lomba. Lomba pertama diadakan di hari Jumat, 19 November 2019, dan sesi kedua diadakan di hari Senin, 23 November 2015, yang masing-masing terdiri dari 45 peserta, walaupun pada kenyataannya banyak peserta yang mengundurkan diri karena kegiatan kedinasan. Jadi, sepertinya sih jumlah pesertanya tidak sampai 90 orang.

Dua hari menjelang hari H, saya masih galau mau menyanyikan lagu apa. Hingga akhirnya pilihan lagu saya jatuh pada My Cherrie Amour-nya Stevie Wonder. Entahlah, mungkin suara saya cocok menyanyikan lagu-lagu lawas nan klasik macam begitu, karena di lomba 2 tahun sebelumnya pilihan lagu saya pun tak jauh dari lagu lama, Somewhere Over The Rainbow.

Juri lomba kali ini berbeda dengan tahun sebelumnya, kali ini ada 3 juri yang diambil dari luar, jadi harapannya bisa lebih netral dalam menentukan para calon finalis dan pemenang nantinya. Ya sudahlah, nothing to lose saja, kalau sudah rezeki tak akan ke mana kok.

Dan, tadaaa! Saya dinyatakan masuk final dan harus memilih salah satu di antara 25 lagu pilihan. Saya kembali galau. Masalahnya adalah, lagu-lagu itu tidak ada yang saya suka, hihihihik. Tapi ya sudahlah, ketika sesi pengambilan nada, pilihan saya jatuh ke lagu Kaulah Segalanya milik Ruth Sahanaya, tapi kata panitia lagu itu sudah dua orang yang memilih, jadi mereka menyarankan untuk memilih lagu yang lain. Nah, rempong lagi nih judulnya, padahal jiwa raga saya sudah siap menyanyikan lagu Kaulah Segalanya. Sampai akhirnya, pilihan saya jatuh pada lagu lamanya Rafika Duri, Tirai. Beuh, lawas banget! Ya sudah, biar nggak lawas-lawas banget dan terdengar lebih catchy, saya meminta untuk diversikan bossanova saja, sama seperti lagu Tirai di album Rafika Duri yang bertajuk Romantic Bossas, yang diaransemen ulang oleh Tompi.

Di hari H, modal saya hanya do my best, karena tak disangka ternyata bapak-bapak saya beserta teman-teman semuanya hadir memberikan dukungan. Antara haru dan seru, karena ternyata sayalah satu-satunya yang mewakili satuan kerja Sekretariat Kementerian dan Kedeputian, selebihnya adalah perwakilan dari Sekretariat Militer Presiden, Sekretariat Kabinet, Sekretariat Presiden, Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden.

Beda dengan lomba terdahulu. Dulu, mau dengar pengumuman saja saya deg-degan luar biasa, hahaha. Sekarang, biasa saja. Mungkin karena tidak ada beban. Jadi ketika diumumkan bahwa yang menjadi juara 1 dari Sekretariat Militer Presiden, juara kedua dari Sekretariat Presiden, dan juara ketiga dari Sekretariat Kabinet, saya sangat-sangat legowo. Kalaupun kekalahan saya itu salah satunya karena lagu yang saya bawakan bukan versi aslinya, hmmm… dalam bayangan saya nih ya, selama saya tidak menyalahi ketentuan yang ada di dalam rule of the game, ya seharusnya sah-sah saja memodifikasi aransemen lagu. Toh, di berbagai lomba pencarian bakat juga lagu-lagunya selalu diaransemen ulang menjadi lagu yang punya sentuhan baru.

Tapi ya, bagaimana pun keputusan juri adalah mutlak, dan pastinya sudah ada pertimbangan tertentu kenapa Si A, Si B, Si C jadi juara. Walaupun keluar dari aula Pak Deputi ngomel-ngomel karena keputusan dewan juri yang dianggap aneh, saya cuma bisa cengengesan. Ya jelas ngomel dong, kan perolehan medalinya jadi makin ketat sama Setmil dan Setpres, hahaha…

Teman-teman band saya cuma haha-hihi saja melihat vokalisnya malah kalah, hahahaha. Nggak ding, mereka tetap support kok.

Him: Are you sad?

Me: Eh, nggak dong…

Him: Lomba nggak jelas itu. Juri yang bener itu ada di penonton. Lagian penyanyi yang bener itu bukan cuma suara, mental sama attitude juga. Lagian, kamu udah nggak levelnya ikut lomba-lomba kaya gitu, Mbak…

Eh, makasih lho support-nya. Sorenya pas ketemu mereka buat persiapan tampil tanggal 29 November 2015 di acara pucak peringatan HUT KORPRI, saya pun habis diledekin mereka.

“Eh, kamu ntar nyanyi Lost Star-nya Adam Levine aja… Bintang yang kalah…”

Asyem! Hahaha…

 

[devieriana]

 

PS: foto-fotonya menyusul aja deh. Tapi kalau mau sekadar kepo bisa diintip di instagram ya..

Continue Reading
1 2 3 5