Ketika Dia Berpulang

Sore tadi, ketika saya sedang sibuk menempelkan post it di masing-masing PC anak-anak buah saya karena nanti malam akan ada eksekusi penggantian PC & harus sibuk koordinasi dengan para IT di lantai 9, mendadak mata saya menangkap gerakan ketika salah satu anak buah saya mengusap airmata di sudut kubikelnya. Dia salah satu anak buah saya yang baru saja kehilangan ibunya beberapa hari yang lalu. Dalam bulan ini ada dua orang yang kehilangan orangtuanya dalam waktu yang berdekatan, selisih satu minggu, semuanya karena sakit menahun.

Ketika saya dekati, dia sedang menatap wallpaper PC-nya yang bergambar ibunya ketika masih sehat, berfoto bersama kakak perempuannya..

Saya : “kamu kenapa? Kangen sama ibu ya?”
Teman  : “iya Mbak.. Rasanya rumah sekarang sepi banget. Tinggal saya sama adik saya aja.. Bapak di rumah kakak..”
Saya  : *tercekat, nggak bisa ngomong*
Teman  : “biasanya kalau sore gini pasti saya udah ditelpon, ditanya, pulang jam berapa? pengen dimasakin apa? Sekarang udah nggak ada yang tanya kaya gitu Mbak..”
Saya  : *pengen nangis*
Teman  : “rumah juga kaya kehilangan nyawa sejak Ibu nggak ada.. ”
Saya  : ” Aku ngerti kok dear.. Ya namanya juga kejadiannya masih baru berapa hari.. Yang namanya kehilangan ya pasti masih berasa bangetlah. Namanya juga masih baru. Coba sementara ke rumah kakak aja gimana? Biar kalian nggak sepi, kalau orang jawa bilang biar nggak nglangut, ngelamun, sedih terus-terusan, mikir yang enggak-enggak. Semua pasti ada waktunya. Ibu dipanggil duluan sama Allah.. Diikhlasin aja say. Didoain. Biar Ibu juga tenang.. “, ujar saya (sok) tegar, padahal aslinya udah pengen nangis  😥  .

Trenyuh itu pasti. Saya tahu & pernah merasakan bagaimana rasanya kehilangan sosok terdekat dengan kita, walaupun bukan orangtua, melainkan anak. saya melihat dia tengah menyusut airmatanya secara sembunyi-sembunyi. Bibirnya setengah bergetar menahan tangis. Sejenak saya tertegun melihat pemandangan di sudut ruangan. Ah, saya jadi ikutan mellow melihat dia.

Kalau ingat betapa isengnya dia kalau dikantor, betapa jahilnya dia sama temannya, betapa dia sering membuat jengkel teman-teman lainnya. Toh tetap saja ketika dia berada dalam titik terendah dalam hidupnya, ditinggalkan oleh ibunya, tentu akan sangat menyedihkan. Iyalah, sosok orangtua, terutama ibu tidak akan pernah tergantikan. Dia ibarat “nyawa” dalam sebuah keluarga.

Tanpa mengesampingkan arti & keberadaan seorang ayah, seringkali ketika saya bertandang ke rumah teman yang kebetulan salah satu orangtuanya sudah meninggal ada rasa atau aura yang berbeda ketika saya berkunjung ke rumah teman yang ibunya sudah meninggal, atau ayahnya yang sudah meninggal. Entah ini cuma perasaan saya saja atau memang begitu adanya ya. Ketika ada di rumah yang ayahnya sudah meninggal, saya masih merasakan adanya “kehidupan” disana. Masih ada rasa hangat dalam rumah itu. Berbeda ketika saya berkunjung ke rumah yang ibunya sudah meninggal, tinggal ayahnya saja. Yang saya rasakan hangat sih, namun “kering”. Gimana ngomongnya ya. Ya begitulah, sulit mengungkapkannya. Subjektifkah saya? Entah ya..

Jangankan ditinggal untuk selama-lamanya, ibu kita pergi beberapa waktu saja, rumah sudah seperti ada yang hilang. Pernah dulu Papa saya bilang,

” Kamu nanti harus bisa seperti Mama. Mamamu itu serba bisa, gesit & luwes. Bisa mengurus & menghidupkan rumah. Coba lihat ketika Mamamu pergi beberapa hari aja, rumah rasanya sepi & garing banget. Dulu, waktu kamu masih kecil, Mama tinggal bentar aja udah berantakan kamu acak-acakin..”

Sampai sebegitu hidupnya suasana rumah ketika seorang ibu masih ada. Dia bukan hanya roh sebuah tapi juga oksigen bagi keluarganya. Tanpanya kita hampa. Bukan berarti tanpa ayah kita juga fine-fine aja ya. Keduanya adalah sepasang roh yang saling menghidupkan keluarga.

Buat para perempuan yang sudah pernah melahirkan pasti tahu bagaimana sakit & lelahnya melahirkan. Buat para pria yang kebetulan mendampingi saat persalinan sang istri pasti juga bisa merasakan sakit & perjuangan sang istri ketika melahirkan sang buah hati, bukan? Seringkali kita bilang, “aduh, Mama tuh orangnya cerewet, selalu begini, begitu. Nggak boleh ini, nggak boleh itu. Begini salah, begitu salah. Pokoknya cerewet bangetlah. Sebel gue..”. Pernah kan? . Tapi coba deh, kalau cerewetnya hilang aja sehari, seperti ada hal yang kita kangenin. Iya nggak? :mrgreen:

Jujur, saya paling dekat sama Mama. Ibu, kakak, sekaligus teman yang setia. Pas dulu belum punya pacar kemana-mana perginya lebih comfort sama Mama, mungkin karena sama-sama perempuan, sifat & seleranya sama 😀 . Siapa bilang saya nggak sebel kalau Mama saya cerewet? Normal, pasti sebel. Kayanya, cerewet itu sudah identik sama ibu-ibu deh :mrgreen:. Tapi pernah suatu ketika Mama saya sakit, sampai menyebabkan saya harus menghandle semua pekerjaan rumah. Baru deh ngerasa ternyata begini tho beratnya jadi seorang mama. Ketika Papa kerja mulai jam 08.00 – 17.00, Mama sudah bangun mulai subuh & baru tidur ketika kami semua hampir terlelap.

A man’s work is from sun to sun, but a mother’s work is never done..

Berbahagialah kita yang masih mempunyai orangtua lengkap & masih sehat. Jaga & kasihilah mereka sebagaimana mereka mengasihi kita sewaktu kita masih kecil. Ah, jadi kangen banget sama mama & papa saya nih..  🙁

gambar dari sini

You may also like

14 Comments

  1. kalau situ lebih muda daripada saya panggil mbak aja :mrgreen:
    Ibu terlalu formal (meskipun emang udah ibu-ibu, xixixi), kalau tante kok berasa.. emang kamu keponakanku? 😆

  2. Makin mensyukuri kesehatan orangtuaku n orang2 disekitarku..
    Makasih mba dev’ sharing storynya…
    4 temennya mba dev: ane turut merasakan duka yg ente rasakan sob. Tetap smangat!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *