Menuju Reuni Perak Bhawikarsu ’96

reuni/reΒ·uΒ·ni/ /rΓ©uni/ n pertemuan kembali (bekas teman sekolah, kawan seperjuangan, dan sebagainya) setelah berpisah cukup lama.

Reuni sekolah. Sebuah kata yang buat sebagian orang menyenangkan, tapi belum tentu bagi sebagian lainnya. Ada yang senang karena akan bertemu lagi dengan teman-teman lama, tapi ada juga yang lebih baik tidak perlu ada reuni, tidak usah bertemu lagi karena satu dan lain hal.

Saya memilih ada di antara senang atau tidak senang. Karena? Ya karena biasa saja. Kenangan masa SMA saya tidak banyak. Selain saya dulu bukan anak yang cukup punya percaya diri, juga karena rumah saya agak jauh, jadi sepulang sekolah saya memilih langsung pulang ketimbang harus kumpul-kumpul sana sini. Ya, kehidupan sosial saya di masa SMA memang agak suram, tapi entah kenapa saya justru menikmati ketidakhebohan di masa SMA dulu. Lebih nyaman bergaul seperlunya. Itulah kenapa foto-foto dokumentasi masa SMA tidak banyak, karena dulu saya seantisosial itu.

Dan di tahun 2021, adalah tahun di mana angkatan saya memasuki masa reuni perak. Sebuah angka yang istimewa karena di tahun 2021 ini juga bertepatan dengan usia SMAN 3 Malang yang ke-69. Sebuah deretan angka yang menurut saya unik, “tahun 2021 (berurutan), 25 tahun (perak), 96 (angkatan saya di SMA), 69 tahun (usia SMA saya)”

Dan, ndilalah di perhelatan reuni perak ini saya didapuk sebagai salah satu anggota panitia inti bersama 9 orang teman lainnya. Semoga ketika harus membelah diri, saya bisa membagi waktu, ya.

Meski acaranya baru akan diselenggarakan di 7-8 Agustus 2021, tapi persiapannya sudah menghangat sejak awal tahun 2021. Zoom meeting demi zoom meeting dilakukan hampir di tiap akhir pekan. Bahasannya pun beragam. Ada tentang merchandise, pra acara, dokumentasi foto/video, biaya yang harus dipersiapkan, hingga meeting yang isinya mendengarkan perdebatan teman-teman panitia. Biasalah, tensi akan meningkat seiring dengan waktu yang semakin dekat.

Dan uniknya, sekarang kan sudah bulan April 2021, ya. Sebagai anggota Tim Acara, jujur, kalau kami berempat ditanya acara reuninya mau berkonsep seperti apa, masih abstrak sekali. Lho, kan sudah tinggal 4 bulan lagi, masa belum punya konsep apa-apa? Nah, entah bagaimana ceritanya, kebetulan Tim Acara yang anggotanya terdiri dari 4 orang procrastinators. Di mana biasanyaide-ide kreatif baru akan terwujud di menjelang hari H. Bisa jadi apa yang dikonsepkan di awal, berubah pada saat eksekusi karena ada satu dan lain hal yang membuatnya harus berubah/menyesuaikan. Jadi kita akan tunggu seperti apa bentuknya nanti, ya. Jadi deg-degan!

Ibarat sayur, pertemanan yang nyaris berusia 25 tahun ini pun harus dihangatkan dan disegarkan lagi supaya ketika tepat di perhelatan puncak acara nanti, kami semua masih merasa ikut beracara, ikut melihat dan merasakan apa saja perubahan signifikan setelah 25 tahun tak bersua.

Untuk menghangatkan acara, pelbagai acara pra reuni pun mulai disiapkan. Salah satunya yaitu acara yang bertajuk JAM KOSONG. Konsep acara ala semi talk show yang ber-tagline “Pelajaran favorit pemersatu bangsa” ini digarap secara santai dengan menggunakan platform zoom meeting dan tayang perdana di 30 Januari 2021. Acara yang tidak terpikirkan akan menangguk antusiasme banyak teman ini pun akhirnya menjadi gelar acara bulanan dengan topik dan pembicara yang bergantian dari satu teman ke teman lainnya.

Saya pun sempat menjadi salah satu orang yang ketiban sampur memandu acara JAM KOSONG episode keempat di 10 April 2021, yang bertajuk “Parental Burnout: Atasi Sebelum Jadi Depresi“, bersama teman pembicara yang juga seorang psikolog, Fifi Febriani Ekawati.

Memikirkan konsep acara reuni yang masih di awang-awang hingga saat ini tuh memang bikin PR. Belum lagi panitia inti yang cuma 10 orang dan masing-masing harus menjalani peran ganda dalam kepanitiaan, back to back dengan teman lainnya mengurus ini itu, selain tentu saja menjalani kehidupan masing-masing sebagai warga sipil dalam pekerjaan dan kehidupan berkeluarga.

Semoga seluruh rangkaian acara bisa tereksekusi dengan sempurna di hari H nanti. SEMANGAT!

  • devieriana

Continue Reading

Cerita Di Balik “Wajah Bunda Islami 2016”

Pemilihan Wajah Bunda Islami 2016

Jadi ceritanya hampir sebulan ini kegiatan saya full, baik itu weekdays maupun weekend. Kalau weekdays. Kalau weekdays ya pastinya kerja sambil ngurus bocah, pokoknya full buat kerjaan dan keluarga. Sementara weekend saya disibukkan dengan event bernama Pemilihan Wajah Bunda Islami 2016. Hah? Kegiatan apa itu?

Iya, saya memang lagi iseng banget ikut kontes pemilihan wajah sesuatu. Padahal sebelumnya tidak pernah terlintas dalam pikiran saya kelak suatu hari saya akan ikut kontes beginian. Bercita-cita pun tidak pernah dan tidak berani, hahaha. Bukan apa-apa, dalam bayangan saya kalau pemilihan puteri/wajah ini itu, pasti banyak diikuti oleh peserta yang secara fisik memenuhi syarat, terutama wajah dan tinggi badan. Itulah kenapa saya kurang berminat mengikuti acara kontes sejenis ya karena modal saya pas-pasan :D.

Tapi entah kesambet apaan, gara-gara ada teman yang menginfokan acara ini via obrolan di whatsapp, saya yang sempat berpikir berkali-kali itu pun akhirnya luluh, ikut daftar juga, karena kebetulan syaratnya lumayan mudah; seorang ibu, punya anak, dan menggunakan hijab. Sudah, itu saja. Berhubung syaratnya cuma ‘begitu’ ya saya berani daftar. Coba kalau syaratnya kaya pemilihan Puteri Indonesia atau kontes sejenis, dari sejak tahap pengiriman biodata saja mungkin saya sudah tersingkir duluan, saking tidak memenuhi syaratnya, hahaha…

Akhirnya, terceburlah saya dalam kegiatan seleksi pemilihan Wajah Bunda Islami 2016. Peserta yang mengikuti acara ini total 97 peserta, dan semuanya ibu-ibu. Ya iyalah, kan sudah dibilang dari awal syaratnya harus ibu-ibu. Hih! *ditabok massal*. Sejak awal acara ini diselenggarakan di South Quarter Dome, Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Semacam proyek mixed-use development yang terdiri dari tower perkantoran, apartemen, dan fasilitas ritel saling terintegrasi. Tempatnya lumayan cozy, cuman memang karena acara kita di weekend jadi ya sepi banget, karena tenant yang mengisi SQ Dome belum banyak, kebanyakan sih restoran.

Seleksi awal dilakukan di hari Minggu, tanggal 5 Juni 2016. Semua peserta yang telah mendaftar wajib hadir untuk menjalani sesi foto dan interview bersama dewan juri. Di sesi ini akan menyeleksi peserta menjadi 50 besar. Sempat minder juga melihat kebisaan para peserta lainnya yang kebanyakan sudah memakai hijab lebih lama daripada saya, lebih memiliki wawasan keislaman, bahkan bakatnya pun luar biasa buat saya. Jadi grogi sendiri ketika ‘ditantang’ untuk unjuk bakat, saya awalnya pede saja mengisi dongeng, tapi ketika melihat list pengisi acara lainnya, ada yang ceramah agama, tausiyah, menyanyi dalam bahasa Arab, saritilawah. Duh, sumpah… minder. Bahkan dongeng saya pun fabel, tidak ada unsur islaminya, ya bisa sih di akhir cerita saya hubungkan dengan nilai-nilai keislaman, tapi tetap saja keder duluan. Oh ya, videonya mendongengnya bisa dilihat di instagram saya ya, hihihik

Tapi bismillah saja, toh saya sudah lama tidak mengikuti ajang perlombaan apapun. Event besar terakhir yang saya ikut sudah 5 tahun yang lalu, yaitu Lomba Desain Seragam Pramugari Citilink, dan itu lumayan menguras energi saya karena kegiatannya yang lumayan padat. Alhamdulillah, walaupun tidak sampai Juara 1, tapi setidaknya masuk 2 besar sudah merupakan prestasi luar biasa buat saya, mengingat saya tidak pernah mengenyam pendidikan fashion design secara formal seperti halnya 4 finalis lainnya.

Di sesi seleksi 50 besar ini ternyata saya dinyatakan masuk bersama ke-49 peserta lainnya, yang selanjutnya akan mengikuti seleksi berikutnya yaitu interview bersama dewan juri. Antara senang dan deg-degan karena mikir, bakal ditanya seputar apa, ya? Walaupun ada bocoran juga dari panitia bahwa nantinya ke-50 peserta akan diminta untuk mengaji, diinterview seputar wawasan keislaman, dan ada interview seputar keluarga dan parenting bersama psikolog.

sesi belajar bersama ibu-ibu kece, sebelum sesi interview
sesi belajar bersama ibu-ibu kece, sebelum sesi interview

Di minggu berikutnya, yaitu Sabtu, 11 Juni 2016, adalah hari yang penuh tantangan buat saya. Bukan cuma tantangan karena akan interview, tapi juga tantangan tersendiri karena saya bawa Alea ke tempat lomba tanpa suami. Ya walaupun ada adik saya yang ikut menemani saya dan Alea, tetap saja di saat-saat tertentu akan ada saat di mana Alea hanya mau sama saya, nggak mau sama lainnya. Dan benar saja, tepat setelah sesi membaca Al-Qur’an, sambil menunggu sesi interview tentang wawasan keislaman dan interview bersama psikolog, Alea mulai rewel. Maklum, dia sudah capek dan ngantuk berat, sementara tidak ada tempat yang nyaman buat dia istirahat. Adik saya pun juga sebenarnya saya lihat sudah lelah karena sudah mengasuh Alea sejak pukul 9 pagi. Akhirnya tepat ketika sesi saya interview, saya pun masuk sambil menggendong dan menyusui Alea. Mungkin cuma saya saja peserta yang masuk ke ruang interview sambil menggendong bocah yang sedang lelap-lelapnya.

Ndilalah hari itu bertepatan dengan hari pertama saya period. Jadi, hormon saya memainkan emosi secara luar biasa. Stress iya, mewek iya. Terutama ketika sesi interview bersama psikolog, belum ditanya apa-apa saya sudah ambil tissue, hahaha. Walaupun akhirnya tissue itu pun berguna untuk menyeka air mata yang tiba-tiba saja sudah menggenang di pelupuk mata. “Gapapa, Bunda. Di meja saya ini memang sesi curhat, banyak yang nangis kok tadi…”, sampai psikolognya bilang gitu, coba. Ya bayangkan ya, kita ditanya tentang anak, tentang harapan kita kepada anak, pas kitanya sambil menggendong anak, ya baper abislah. Ndilalah lagi di akhir sesi interview Aleanya pas bangun, sambil mengucek mata, dia melihat sekeliling, dan psikolog yang mewawancarai saya bilang ke Alea, “Eh, anak cantik udah bangun. Mau bobo lagi? Ya udah bobo lagi boleh, kok. Selamat ya sayang, kamu punya bunda yang hebat…”. Nah, itu bikin saya baper lagi. Ah, saya belum sehebat yang bunda psikolog maksud kok. Saya seorang ibu newbie yang perlu banyak belajar.

Singkat cerita, sesi interview sore itu ditutup dengan sesi interview tentang wawasan keislaman. Sebenarnya sih interviewnya santai, seperti ngobrol, kebetulan di sesi saya ada Risty Tagor dan Betty Librianty yang menginterview seputar pengetahuan saya tentang Islam dan apa yang akan saya lakukan kalau saya terpilih sebagai salah satu pemenang Wajah Bunda Islami. Agak keder juga ketika pertanyaannya tentang Khulafaur Rasyidin, tentang sejarah Islam, dan kenabian. Tahu sih, bisa jawab juga, cuma agak kurang yakin dengan jawaban saya sendiri, mengingat itu kan pelajaran zaman masih sekolah dulu, huhuhuhu… Pokoknya pulang-pulang, pasrah sajalah. Kalau masuk 25 besar alhamdulillah, tidak pun tak apa-apa, karena saya sadar dengan kemampuan diri saya yang jauh dari kata sempurna.

Tapi ternyata panitia berkata lain, saya dinyatakan masuk sebagai 25 besar, dan harus hadir di hari berikutnya, Minggu 12 Juni 2016 di tempat yang sama untuk mengikuti parade 25 besar dan fashion show. Kali ini saya datang sendiri, Alea saya tinggal di rumah supaya dia bisa istirahat cukup dan makan teratur. Karena lokasinya yang lumayan dekat, saya pun pulang pergi naik ojek online, ganti kostumnya di lokasi saja.

IMG_20160612_140235

Sampai akhirnya panitia mengumumkan bahwa seleksi 25 besar menjadi 10 besar yang nantinya akan langsung diumumkan siapa saja pemenangnya, akan diadakan di hari Minggu, 19 Juni 2016, dan harus siap dengan hafalan surat-surat pendek. Aduh, beneran saya stress. Ada banyak hal yang ada di kepala saya. Belum hafalan surat-surat pendek, belum mikir saya ada dinas ke Istana Kepresidenan Cipanas tanggal 16-18 Juni 2016, belum persiapan acara buka bersama Mensesneg, Seskab, dan Kepala Kantor Staf Presiden yang jatuh di hari Jumat, 17 Juni 2016, belum lagi saya mikir nanti kalau saya dinas Alea gimana. Sebenarnya bisa saja sih ‘mengimpor’ Mama saya dari Surabaya ke Jakarta, tapi ndilalah Mama lagi sibuk-sibuknya mengerjakan orderan kue lebaran, baru mulai pula, jadi tidak bisa diganggu. Duh! πŸ™

Tapi ternyata Allah itu baik banget, di saat urgent begitu, panitia Wajah Bunda Islami mengumumkan apa saja surat yang harus dihafalkan (jadi kita tidak perlu random menghafal seluruh surat pendek, tapi cukup yang ada di list panitia saja), dan acara diundur ke hari Sabtu, 25 Juni 2016. Bukan itu saja, saya tetap dijadwalkan dinas tapi diagendakan mengurus bukber saja, sehingga saya tetap bisa menjaga Alea, dan tetap bisa mengurus bukber di kantor. Alhamdulillah…

bersama salah seorang finalis Wajah Bunda Islami 2016
bersama salah seorang finalis Wajah Bunda Islami 2016

MYXJ_20160625111023_save

Tibalah saat yang paling menentukan. Sejak pukul 10 pagi, ke-25 finalis Wajah Bunda Islami sudah hadir di venue untuk mengikuti gladi bersih, sekaligus pengambilan foto dan video, untuk selanjutnya dari foto dan video itulah yang akan menentukan siapa saja yang berhak lolos ke 10 besar. Di sini saya sudah pasrah. Saya sudah sampai ke tahap ini saja sudah bersyukur, sekali lagi sesi koreksi diri saya sedang berkerja. Beberapa kali bertemu dengan teman-teman sesama peserta, saya menemukan sosok-sosok luar biasa. Jadi, kalau salah satu di antara mereka kelak menjadi salah satu pemenang saya akan sangat legowo. Oh ya, kebetulan ketika grand final ini kondisi badan saya sedang drop. Flu berat, radang tenggorokan, dan saking demamnya mata saya sampai memerah. Cuma berdoa semoga kuat sampai selesai acara.

Dan, perjuangan saya memang cuma sampai di tahap 25 besar. Tidak ada masalah sama sekali, karena saya yakin dan percaya bahwa 10 peserta yang berdiri di atas panggung dan sedang menjalani sesi membaca surat-surat pendek dan sesi interview bersama juri itu adalah pribadi-pribadi pilihan yang mumpuni bukan hanya di bidang parenting tapi juga tentang wawasan keislaman. Bayangkan, yang bagus ngajinya saja masih banyak koreksi dari dewan juri, lah gimana saya yang kemampuan mengajinya pas-pasan, hiks…

Singkat cerita, saya akhirnya pulang duluan naik ojek karena mengingat kondisi badan yang semakin kurang memungkinkan. Mungkin Allah minta saya untuk mengistirahatkan badan dan pikiran setelah hampir sebulan penuh beraktivitas yang menguras tenaga dan pikiran tanpa jeda.

para pemenang Wajah Bunda Islami 2016
para pemenang Wajah Bunda Islami 2016

Selamat bagi para pemenang (Bunda Avie Azzahra, Bunda Wardah Husaeni, dan Bunda Lina Rayen), kalian layak menyandang predikat juara Wajah Bunda Islami karena kalian bukan hanya sosok seorang bunda semata, tapi juga juga sosok perempuan tangguh yang mumpuni dan berilmu pengetahuan. You rock, guys!

So, inilah keisengan Ramadan saya tahun ini. Keisengan yang membawa saya ke sebuah pengalaman baru yang insyaallah membuka mata hati dan pikiran saya tentang banyak hal, menambah pengetahuan saya tentang agama yang masih ecek-ecek ini, dan utamanya lagi bisa menambah teman-teman baru yang semuanya merupakan sosok ibu panutan yang luar biasa!

Berkah itu kan bentuknya bisa macam-macam, ya. Kalau ini boleh saya sebut sebagai berkah Ramadan, ya… inilah berkah Ramadan versi saya…

Selamat menjalankan ibadah puasa yang tinggal hitungan hari ini ya, temans…

 

[devieriana]

Continue Reading

Busy November

Tak terasa bulan November sudah berlalu di depan mata, dan sekarang ‘tiba-tiba’ sudah masuk bulan Desember aja. Kalau dipikir-pikir waktu setahun itu kok ya cepet banget, ya?

November kemarin jadi bulan sibuk bukan hanya buat saya tapi juga buat kantor. Jadi kalau November kemarin saya sama sekali tidak posting apapun di blog ini harap dimaklumi ya, hiks…

Sejak awal bulan sudah digeber dengan diklat Kehumasan, dilanjut dengan dinas-dinas, ngemsi-ngemsi, dan lomba-lomba. Kalau soal penggunaan suara pokoknya di bulan November itu maksimal banget, ya MC indoor, ya MC outdoor, ya nyanyi indoor, ya nyanyi outdoor, ya MC acarA formal, ya acara lomba aerobik yang pakai teriak, “AYO SUARANYA MANAAAA?!’ Pokoknya MC serbagunalah, emang gedung doang yang serbaguna? Hahaha…

Eh, trus, kok tumben ada lomba-lombanya? Iya, sebenarnya setiap bulan November itu diperingati sebagai hari ulang tahun KORPRI. Kebetulan tahun ini KORPRI berulang tahun yang ke-44. Setelah dua tahun lamanya berhibernasi, dan jauh dari keriaan, tahun ini ulang tahun KORPRI kembali diperingati dan diramaikan dengan berbagai lomba olah raga dan seni.

Kalau dilihat dari jenis lombanya, sudah jelas saya bukan partisipan lomba olah raga. Lha wong senam rutin tiap hari Selasa dan Jumat saja saya skip melulu, apalagi ikut lomba olah raga beneran. Sudah bisa ditebaklah saya ikut lomba apa. Iya, saya memeriahkan lomba menyanyi saja. Itu pun alhamdulillah, nggak menang; cuma sampai 9 besar saja, hahaha. Eh, tapi jujur, saya malah bersyukur dengan kekalahan itu karena justru mengurangi beban saya sendiri. Bayangkan saja, saya di-booking sebagai MC acara puncak peringatan HUT KORPRI di lingkungan kantor saya sejak awal November, dan rencananya para pemenang lomba menyanyi harus tampil di atas panggung untuk memperdengarkan suaranya. Sedangkan saya dan teman-teman band saya pun sudah dimasukkan dalam list penampil. Masa iya, saya yang ngemsi, saya juga yang tampil menyanyi solo, plus tampil bersama teman-teman band saya. Kok rasanya eksis amat, ya? Itulah kenapa saya malah bersyukur ketika saya tidak dinyatakan sebagai pemenang lomba menyanyi.

Saya mau cerita sedikit tentang lomba menyanyi kemarin ya. Ini adalah lomba menyanyi kedua yang saya ikuti di lingkungan kantor. Anggap saja lomba tingkat abal-abal, karena memang yang ikut ya para pehobi nyanyi saja, bukan yang pro. Saya sebenarnya sudah tidak mau ikut, tapi berhubung ada disposisi atasan yang meminta saya untuk ikut jadi ya sudahlah, saya ikut saja, itung-itung memeriahkan.

Di babak semifinal/penyisihan, rencana yang ikut sih sekitar 90 peserta yang terbagi dalam 2 sesi lomba. Lomba pertama diadakan di hari Jumat, 19 November 2019, dan sesi kedua diadakan di hari Senin, 23 November 2015, yang masing-masing terdiri dari 45 peserta, walaupun pada kenyataannya banyak peserta yang mengundurkan diri karena kegiatan kedinasan. Jadi, sepertinya sih jumlah pesertanya tidak sampai 90 orang.

Dua hari menjelang hari H, saya masih galau mau menyanyikan lagu apa. Hingga akhirnya pilihan lagu saya jatuh pada My Cherrie Amour-nya Stevie Wonder. Entahlah, mungkin suara saya cocok menyanyikan lagu-lagu lawas nan klasik macam begitu, karena di lomba 2 tahun sebelumnya pilihan lagu saya pun tak jauh dari lagu lama, Somewhere Over The Rainbow.

Juri lomba kali ini berbeda dengan tahun sebelumnya, kali ini ada 3 juri yang diambil dari luar, jadi harapannya bisa lebih netral dalam menentukan para calon finalis dan pemenang nantinya. Ya sudahlah, nothing to lose saja, kalau sudah rezeki tak akan ke mana kok.

Dan, tadaaa! Saya dinyatakan masuk final dan harus memilih salah satu di antara 25 lagu pilihan. Saya kembali galau. Masalahnya adalah, lagu-lagu itu tidak ada yang saya suka, hihihihik. Tapi ya sudahlah, ketika sesi pengambilan nada, pilihan saya jatuh ke lagu Kaulah Segalanya milik Ruth Sahanaya, tapi kata panitia lagu itu sudah dua orang yang memilih, jadi mereka menyarankan untuk memilih lagu yang lain. Nah, rempong lagi nih judulnya, padahal jiwa raga saya sudah siap menyanyikan lagu Kaulah Segalanya. Sampai akhirnya, pilihan saya jatuh pada lagu lamanya Rafika Duri, Tirai. Beuh, lawas banget! Ya sudah, biar nggak lawas-lawas banget dan terdengar lebih catchy, saya meminta untuk diversikan bossanova saja, sama seperti lagu Tirai di album Rafika Duri yang bertajuk Romantic Bossas, yang diaransemen ulang oleh Tompi.

Di hari H, modal saya hanya do my best, karena tak disangka ternyata bapak-bapak saya beserta teman-teman semuanya hadir memberikan dukungan. Antara haru dan seru, karena ternyata sayalah satu-satunya yang mewakili satuan kerja Sekretariat Kementerian dan Kedeputian, selebihnya adalah perwakilan dari Sekretariat Militer Presiden, Sekretariat Kabinet, Sekretariat Presiden, Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden.

Beda dengan lomba terdahulu. Dulu, mau dengar pengumuman saja saya deg-degan luar biasa, hahaha. Sekarang, biasa saja. Mungkin karena tidak ada beban. Jadi ketika diumumkan bahwa yang menjadi juara 1 dari Sekretariat Militer Presiden, juara kedua dari Sekretariat Presiden, dan juara ketiga dari Sekretariat Kabinet, saya sangat-sangat legowo. Kalaupun kekalahan saya itu salah satunya karena lagu yang saya bawakan bukan versi aslinya, hmmm… dalam bayangan saya nih ya, selama saya tidak menyalahi ketentuan yang ada di dalam rule of the game, ya seharusnya sah-sah saja memodifikasi aransemen lagu. Toh, di berbagai lomba pencarian bakat juga lagu-lagunya selalu diaransemen ulang menjadi lagu yang punya sentuhan baru.

Tapi ya, bagaimana pun keputusan juri adalah mutlak, dan pastinya sudah ada pertimbangan tertentu kenapa Si A, Si B, Si C jadi juara. Walaupun keluar dari aula Pak Deputi ngomel-ngomel karena keputusan dewan juri yang dianggap aneh, saya cuma bisa cengengesan. Ya jelas ngomel dong, kan perolehan medalinya jadi makin ketat sama Setmil dan Setpres, hahaha…

Teman-teman band saya cuma haha-hihi saja melihat vokalisnya malah kalah, hahahaha. Nggak ding, mereka tetap support kok.

Him: Are you sad?

Me: Eh, nggak dong…

Him: Lomba nggak jelas itu. Juri yang bener itu ada di penonton. Lagian penyanyi yang bener itu bukan cuma suara, mental sama attitude juga. Lagian, kamu udah nggak levelnya ikut lomba-lomba kaya gitu, Mbak…

Eh, makasih lho support-nya. Sorenya pas ketemu mereka buat persiapan tampil tanggal 29 November 2015 di acara pucak peringatan HUT KORPRI, saya pun habis diledekin mereka.

“Eh, kamu ntar nyanyi Lost Star-nya Adam Levine aja… Bintang yang kalah…”

Asyem! Hahaha…

 

[devieriana]

 

PS: foto-fotonya menyusul aja deh. Tapi kalau mau sekadar kepo bisa diintip di instagram ya..

Continue Reading

“Isteri itu tiga…”

Ustadz WijayantoSetiap bulan, di kantor saya hampir selalu diadakan pengajian bulanan yang diperuntukkan bagi seluruh pegawai. Penceramahnya pun berganti-ganti, mulai dari yang belum dikenal sampai yang sudah terkenal.

Dari sekian banyak ustadz yang pernah didatangkan ke kantor, tidak semuanya bisa memikat hati saya. Halah! Maksudnya, terkait dengan communication skill mereka gitu, Kak. Kan masing-masing pendakwah punya gaya masing-masing; dan tentu saja subjektif sekali tingkat kemenarikannya. Ada yang gaya berdakwahnya lurus, lempeng, nggak ada becandanya sama sekali. Ada juga yang lucu sampai sepanjang acara kita tertawa terus (jadi sebenarnya yang diundang ini ustadz apa komedian?). Atau, ada juga yang gaya bicaranya ceplas-ceplos dan ‘tanpa rasa bersalah’. Ya, intinya semua pendakwah punya gaya dan ciri khas masing-masing; toh intinya tetap sama, berdakwah. Nah, entah mungkin karena saya cenderung makhluk visual dan auditory makanya saya lebih bisa ‘masuk’ ketika diceramahi dengan gaya dan kalimat-kalimat yang menarik :mrgreen:.

Tapi di antara mereka ada satu ustadz yang sejak awal kemunculannya di televisi sudah saya sukai karena gaya berceramahnya yang ‘segar’, gaya bahasa yang digunakan sederhana, lucu, dan tidak lebay. Beliau juga datang dari kalangan akademisi; seorang pengajar program Magister Manajemen di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan pengisi acara di beberapa stasiun televisi. Beliau adalah Ustadz Wijayanto.

Nah kok ya ndilalah hari Rabu (18/09) kemarin seolah dream come true buat saya, ustadz yang saya kagumi itu diundang untuk memberi tausiyah di kantor saya. Ndilalahnya lagi, kok ya pas saya yang jadi MC-nya. Ya walaupun nggak ngaruh, tapi… ya nggak apa-apa sih, saya cuma seneng aja! πŸ˜†

Ceramah yang seharusnya sudah dimulai sejak pukul 12.30 ternyata baru bisa dimulai sekitar pukul 13.30-an, karena kami harus menunggu beliau selesai syuting untuk salah satu program televisi yang syutingnya dilakukan di Taman Mini. Ah, tak apalah Pak, yang penting Bapak bisa datang :mrgreen:

Ceramah baru saja masuk sesi preambule, tapi lobby sudah digemuruhkan dengan gelak tawa. Beliau dengan ekspresi datar menceritakan sebab mengapa beliau sampai datang terlambat.

“Maaf, menunggu lama. Tadi saya syuting dulu, jadi ke sininya agak terlambat. Sebenarnya yang lama itu bukan syutingnya, tapi nunggunya. Nunggu mbak-mbak hijabers pada dandan. Itu jilbab diuwel-uwel, dilapis kain warna-warni, dipenitiin sana-sini, dibikin tali-tali, dikasih kembang, trus di ujung kepala dikasih gembok. Nah, itu… makanya lama. Maaf ya, Pak/Bu…”

Digembok? Emangnya pager kos-kosan? πŸ˜†

Dari situ mulai mengalir kalimat-kalimat lucu dari bibir ayah 3 orang putra itu. Saya yang duduk di balik sketsel di samping meja sound system pun tertawa sendiri. Secara fisik beliau sama sekali jauh dari kesan lucu, sosok lelaki Jawa berperawakan sedang, berpenampilan kalem dan sederhana, berbaju koko warna putih yang dipadu dengan peci hitam dan celana panjang warna gelap itu ternyata mampu membius perhatian semua yang hadir di sana. Pilihan kata-katanya sederhana, mudah dipahami, tidak semua berisi ayat-ayat Quran, tapi lebih ke keseharian. Mungkin karena latar belakang beliau yang seorang pendidik sehingga menerapkan hal yang sama seperti ketika beliau sedang mengajar mahasiswa-mahasiswanya. Ya kali… :p

Sesekali beliau menyelipkan guyonan segar yang tak disangka-sangka, seperti beberapa kalimat di bawah ini.

“Ibu-ibu suka poligami? | ENGGAAAK! | Kalau bapak-bapak, suka poligami? | SUKAAAA! | Sudah, jangan dibahas lagi. Karena sesungguhnya poligami itu bukan untuk dibahas, tapi untuk dilaksanakan!”

*pecah tawa se-lobby :lol:*

“Lha iya, ibu-ibu ini ya aneh, dulu Nabi pun waktu ditanya siapa yang paling diprioritaskan dan dihormati, beliau menjawab yang pertama adalah? | Ibumuuu… | Lalu? | Ibumuuu… | Lalu siapa lagi? | Ibumuuu… | Baru siapa? | Ayahmuu.. | Jadi, ibunya ada berapa? | Tigaaa… | Ayahnya? | Satuuu.. | Nah, kan? Ibu itu memang harus tiga, ayahnya satu aja cukup; karena ‘is-tri’ itu memang artinya kan 3. Kalau satu namanya ‘is one’. Dua itu ‘is two’. Kalau Eyang Subur itu ‘is seven’. Ibu ini gimana sih; udah nggak bisa matematika, nggak bisa bahasa Inggris pula. Kalau saya sih alhamdulillah, isteri saya tiga. Anaknya…”

*ngakak sambil up date twitter :lol:*

“Manusia itu kalau sudah mengalami ’10 B’ berarti dia harus segera tobat. Nah, ‘B’ apa saja itu? Buta/burem. Kalau Bapak/Ibu bbman aja milih font-nya ukuran 24, itu tandanya sudah harus berhati-hati. Budheg (tuli). Kalau Bapak/Ibu diajak ngomong sudah hah-heh-hah-heh, nanya berkali-kali, itu juga sudah harus waspada. Beser (sering ke toilet untuk buang air kecil), batuk-batuk, boyok (back pain, encok, pegel linu). Cirinya gampang, biasanya sering ditemui kalau pas lagi di pengajian, maunya sandaran di tembok melulu. Nah itu juga harus diwaspadai. Bau balsem/PPO/minyak kayu putih, nah itu apa lagi. Saya itu kalau ketemu sama orang yang bawaannya jaketan terus, kening kiri kanan ditempeli koyo, kalau tiap kali ketemu baunya minyak angin melulu udah pasti mikir, “wah, pasti udah ‘deket’ nih…” Trus, ‘B’ selanjutnya yaitu beruban, bingung (pikun), buyuten (gemetaran), dan bungkuk. Kalau bapak/ibu sudah banyak yang merasa begitu segeralah tobat…”

Sampai sini saja saya sudah terpingkal-pingkal; membayangkan bbm-an dengan font ukuran 24 itu handphone-nya segede apa coba? Talenan? :mrgreen: πŸ˜†

“Uban itu jangan dicabuti Pak/Bu, karena uban itu sebagai penanda. Jadi bagi yang sudah beruban… ya sudahlah, wabillahitaufiq wal hidayah, ya. Kemarin ada yang nanya ke saya, “Pak, gimana kalau ubannya saya semir aja?” Halah, ya pasti ketahuan tho ya, malaikat kok arep mbok apusi karo semir!”

Dikira malaikatnya dulu mantan kapster di Johny Andrean apa, ya?

“Bapak/ibu pasti punya panggilan untuk pasangan masing-masing, kan? Mulai sekarang berikan panggilan yang baik untuk pasangan masing-masing. Jangan mentang-mentang isterinya gemuk, terus bapak seenaknya manggil, “Mbrot! Sini, Mbrot!” Ya walaupun memang isteri bapak gemuk, tapi jangan terlalu jujur. Atau, mentang-mentang suami ibu kulitnya item, trus ibu kalau manggil suaminya, “Bleki, sini!””

Sampai sini saya ngakak tak tertolong. Bleki! Emangnya guguk? :mrgreen: πŸ˜†

“Saya itu ngapalin Qur’an butuh waktu lumayan lama; 6 tahun. Kalah jauhlah sama Bapak/Ibu. Kalau Bapak/Ibu kan ngapalinnya cepet, 3 bulan pasti sudah hafal… Qulhuallahu ahad sama Inna a’toina”

Pak! πŸ˜†

Di sepanjang acara yang berdurasi 1.5 jam itu kami bukan hanya mendapat tambahan pengetahuan tentang agama saja, tapi juga dibuat tergelak-gelak oleh celetukan-celetukan spontan ala beliau. Belum lagi melihat mimik muka beliau yang selalu tanpa ekspresi dan ‘tak bersalah’ itu membuat kami gemas sendiri.

Bahkan di ujung acara, sebelum doa bersama, beliau masih sempat melontarkan celetukan,

“Ini pengajian rutin bulanan? | Iyaa.. | Halah, kok kaya perempuan aja, bulanan. Hambok ya ceramah kaya gini ini diadakan 2 minggu sekali. Mau kan, saya ada di sini 2 minggu sekali?”

Tuh, kan? :mrgreen:

Ah, kalau saya sih mau-mau aja, Pak. Soalnya Bapak lucu… πŸ˜†

[devieriana]

 
foto dipinjam dari sini

Continue Reading

Bincang Edukasi Meetup #6

Tanggal 20 Mei 2012 yang lalu, masih bertempat di At America – Pacific Place Jakarta, Bincang Edukasi Meetup #6 kembali digelar. Masih dengan MC yang sama, dan dengan format acara yang sama, kita menghadirkan 5 orang presentan yang akan berbagi ide, ilmu, dan pengalamannya dalam dunia pendidikan selama 17 menit tanpa sesi tanya jawab, dan di sesi berikutnya akan ada sesi diskusi pendidikan dengan penonton.

Penyelenggaraan Bincang Edukasi Meetup #6 ini sengaja kita pindahkan menjadi di akhir pekan untuk mengetahui perbandingan animo penonton antara Bincang Edukasi yang diselenggarakan di hari kerja dan di akhir pekan. Ternyata, acara yang kemarin ini jumlah yang hadir jauh lebih banyak dari pada acara sebelumnya, karena hampir semua bangku di At America terisi penuh. Yaay! \:D/. Nah, siapa sajakah pembicara kita kali ini? Check it out! πŸ˜‰

Sebagai pembicara pertama kita menghadirkan Nia Daianti dari Education USA, yang mengambil topik tentang tata kelola workshop di sekolah-sekolah di Amerika (semacam mengajar dengan metode lokakarya). Dalam slide pembukanya, Nia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan workshop ini adalah sekelompok kecil siswa yang berkumpul dalam waktu tertentu dan mendiskusikan hal tertentu dengan tema tertentu yang dalam kelompok itu siswa bisa berdiskusi, berbagi ide, saling memberi masukan kepada rekan lainnya dalam kelompok tersebut. Jadi sebelum bertemu, siswa sudah harus mempersiapkan diri dan mempelajari materi yang akan didiskusikan. Metode ini menitikberatkan siswa sebagai pusat proses belajar mengajar (student centrered). Sedangkan fokus pembelajaran workshop ini adalah konteks/materi pembelajarannya.

Untuk mempersiapkan sebuah workshop, sebelumnya siswa harus mempelajari dulu semua materi dan teori-teori yang akan dibahas dalam workshop tersebut. Guru juga harus membuat pedoman (guidelines) yang jelas bagi siswa, sekaligus membuat handout. Sedangkan siswa wajib menulis semacam resume, yang merupakan respon mereka terhadap materi yang sedang menjadi fokus bahasan.

Tujuan dari metode pembelajaran ini adalah untuk memotivasi siswa agar berani mengemukakan pendapat, dan meningkatkan wawasan mereka. Selain itu kegiatan ini juga bertujuan untuk berbagi ide dengan rekan sekelasnya guna menjembatani perbedaan antara teori dan praktik, sekaligus mengajak siswa untuk belajar berpikir kritis, dan membangun hubungan antarsiswa. Manfaat lain yang lebih besar dari metode workshop ini adalah ingin membuat siswa merasa dibutuhkan, membangun sense of ownership, membangun komunitas yang berbasis lingkungan, belajar mengekspresikan constructive critism, mempraktikkan kemampuan berpikir secara kritis dan analitis, serta membangun self confidence.

Inspiring, ya? πŸ˜‰

—–

Presentan kedua, ada 3 orang ganteng, karena kebetulan semuanya laki-laki ;)). Ada Petrus Briyanto Adi (Adoy), Iga Massardi, dan Ruchul Ma’ani dari Kursus Gitar Gratis (KGG), yang akan berbagi tentang inisiatif kelas gitar mingguan gratis. Menarik, ya? Pencetusan ide Kelas Gitar Gratis ini bermula dari obrolan santai antara Iga Massardi dan Adoy yang menginginkan adanya kelas gitar gratis yang bisa diikuti oleh siapa saja yang mau belajar. Dari situlah ide kelas gitar gratis bagi semua orang terwujud. Ruchul Ma’ani yang awalnya ingin belajar gitar justru ditawari menjadi salah satu pengajar, karena sejak awal masuk mungkin sudah terlihat cukup expert, ya? ;))

Kelas Gitar Gratis (KGG) ini pertama kali diselenggarakan di Taman Suropati, sekitar bulan Agustus 2011, pukul 16.00 s.d. pukul 17.00. Siapa saja yang boleh ikut KGG ini? Siapa saja boleh, asalkan niat dan punya gitar (boleh punya sendiri, boleh pinjam temannya), yang penting datang ke sana sudah membawa gitar. Ingat ya, gitar! Bukan suling!

Tujuan diadakannya pembelajaran di ruang terbuka semacam ini supaya belajar gitar terasa jauh lebih menyenangkan, rileks, dan tidak membosankan. Cara pendaftarannya pun cukup mudah, sambil promosi akun, biar sekalian nambah follower sih ini namanya, cukup follow akun twitter @KGGJkt, @igamassardi, @pbadi, dan @pinknista. Gampang, kan? ;))

Nah, bagaimana membuat supaya proses belajar bisa terfokus sesuai dengan tingkat kemampuan siswa? Tentu saja siswa akan “disaring” terlebih dahulu untuk mengetahui grade kemampuan mereka. Selanjutnya akan dibentuk cluster-cluster kecil sesuai dengan grade masing-masing siswa.

Nah, bagi yang ingin belajar musik secara gratis, bisa langsung follow akun tersebut di atas, dan mulai ikuti kelasnya setiap hari Minggu di Taman Suropati Menteng, pukul 15.00.

—–

Pembicara yang ketiga ada Lyra Puspa dari Pillar Business, yang siang itu berbagi tentang pentingnya pendidikan kewirausahaan bagi anak. Beliau mengatakan bahwa kewirausahaan itu tidak selalu identik dengan masalah kaya, dan atau masalah uang. Kewirausahaan menurut dia adalah kemandirian (ekonomi, politik, berpendapat, mengatur hidup dengan lebih baik), kesejahteraan (bukan kekayaan), ketika menjadi seorang enterpreuner kita tidak lagi menyalahkan pemerintah, membuka lowongan kerja bagi diri sendiri dan orang lain, memberi solusi bagi diri sendiri, orang lain dan bangsa. membangun jati diri dan kemandirian kita.

Motivasi saja tidak cukup, tapi perlu didukung strategi yang tepat, pendidikan kewirausahaan yang berkesinambungan, dan pendampingan. Seperti contohnya di Amerika, sebuah enterpreunership yang dilakukan tanpa pendampingan, usaha kecil rata-rata gagal 50% dalam 5 tahun pertama. Itu menunjukkan betapa pentingnya pendidikan kewirausahaan. Ketika seorang mulai membuka usaha, dia diibaratkan seperti bayi, belum bisa apa-apa, yang penting punya dulu – bagaimana dia penetrasi pasar dan survive – ketika sudah survive bagaimana dia bisa profitable dan tumbuh berkembang – ketika dia sudah profitable bagaimana dia bisa mengelola secara profesional – ketika sudah bisa mengelola secara profesional bagaimana dia bisa menduplikasi. Kewirausahaan tidak hanya diajarkan tapi ditularkan. Di dalam pendidikan kewirausahaan ada mentoring: training (technical dan strategic), coaching (menggali apa yang ada dalam diri mereka), advising (menularkan dari pengalaman yang sudah ada lebih dahulu), therapy (menghilangkan rasa takut gagal), leveraging melalui integrasi, dan publikasi berbasis data.

Enterpreunership bukan hanya bermodal semangata saja tapi juga dibutuhkan riset. Hingga akhirnya enterpreunership adalah habit dan lingkungan.

—–

Pembicara berikutnya adalah Nisa Faridz dari Sampoerna School of Education yang akan membahas tentang konsep pendidikan bagi calon guru yang diterapkan oleh Sampoerna School of Education. Di awal paparannya Nisa menyampaikan sebuah cerita uniknya tentang bagaimana dia mendapatkan banyak pelajaran berharga saat di lapangan softball. Dari situlah dia memandang apa itu pendidikan, pendidikan bisa didapatkan di mana saja.

Ketika dia selesai S2 dia ingin kembali ke sekolah, dia ingin menjadi praktisi pendidikan, punya sekolah sendiri, sekecil apapun itu, dia akan membangun sekolah sesuai dengan idealismenya dalam mendidikn murid2nya nanti. Menjadi dosen itu diluar rencananya, dari apa yang dia ketahui jabatan dosen adalah jabatan yang berorientasi pada jabatan akademik dan struktural, dan itu sama sekali bukan cita-cita dia. Dia hanya ingin berkarya dan berkontribusi nyata bagi pendidikan dengan mengajar secara langsung atau punya sekolah sendiri.

Di Sampoerna School of Education, Nisa mengajar tentang Metode Penelitian. Tapi ketika sampai di bab Etika penelitian dia tidak ingin menceramahi bagaimana meneliti dengan etis, dia hanya meminta mereka menceritakan melalui drama, melalui gambar/poster, bagaimana penelitian itu dilakukan secara etis. Karena jiwa Nisa yang ingin selalu ingin dekat dengan sekolah, guru, dan siswa, ketika menyelesaikan S2-nya dia bergabung dengan Sampoerna Foundation Teacher Institute.

Dengan bergabung dengan Sampoerna Foundation Teacher Institute dia benar-benar merasakan bagaimana sebuah institusi berusaha walk the talk, benar-benar mencoba menjalankan sebuah teori. Mereka menginginkan bahwa semua pengajar lulusan Sampoerna School of Education adalah educators yang bisa mengajar dengan pendekatan pembelajaran aktif. Artinya dosennya juga wajib paham dan bisa menjalani proses pembelajaran yang aktif itu seperti apa.

Etika Profesional Guru adalah salah satu mata kuliah yang jarang ditemui di kampus lain tapi diajarkan di Sampoerna Foundation Teacher Institute. Tantangan guru Indonesia di abad 21 adalah guru yang punya etika. School Experience Program merupakan program yang dijalankan setiap semester. Sejak semester 1 mahasiswa praktikum di sekolah rekanan Sampoerna Foundation Teacher Institute, semacam lab school. Bagusnya, ketika akan skripsi mereka sudah tahu akan mencari topik apaapa, karena mereka sudah terbiasa dihadapkan dengan isu-isu yang real terjadi di dunia pendidikan seperti apa. Mahasiswa juga diajak berpikir ilmiah sejak awal.
School is cultural landscape where the community members share their knowledge skills, interests, and beliefs, it is an organics place where fresh culture may be cultivated (Butcher, 2010)

—–

Pembicara terakhir kita adalah Bapak Nurrohim dari Sekolah Masjid Terminal Depok, yang akan berbagi kisah tentang inisiatif sekolah berbasis kecerdasan majemuk bagi anak jalanan di Depok. Sekadar informasi, Sekolah Master (Masjid Terminal) ini mendapatkan penghargaan sebagai Sekolah Alternatif Terbaik Se-Jawa Barat \m/

Sekolah Master ini adalah sekolah alternatif untuk masyarakat marjinal, anak-anak tidak mampu yang awalnya didirikan di sekitaran Depok, yang pertama kali didirikan di Depok oleh Pak Nurrohim tahun 2000. Siapa saja yang bisa bergabung dengan Sekolah Master ini? Pak Nurrohim sambil berseloroh mengatakan, “persyaratannya cuma 3, miskin, hidup, mau. Udah, bisa diterima!” Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum berbasis kebutuhan. Awalnya Sekolah Master ini kelasnya terbuat dari kontainer bekas. Sampai dengan sekarang sudah ada 10 Sekolah Master, diantaranya ada 4 pesantren yang berbasis enterpreuner, yang menghasilkan santri-santri siap guna.

Jika kita berbicara tentang kesejahteraan sosial anak, kita bukan hanya bicara tentang pendidikan, tapi jug bicara tentang hak-hak mereka yang terampas. Rata-rata anak jalanan tidak punya akte kelahiran dan kartu keluarga, yang merupakan prasyarat diterimanya masuk sekolah formal. Tapi tidak di Sekolah Master, mereka bisa tetap mendapatkan hak mendapatkan pendidikan, di mana mereka bisa mengikuti ujian nasional sebanyak 4x dalam setahun, dan bisa diikuti dari jalur mana pun. Kalau pemerintah ada program wajib belajar 9 tahun, kalau di Sekolah Master belajar tidak mengenal usia, bisa sampai kapan saja, selama hayat dikandung badan :D.

—–

Dari beberapa kali saya mengikuti acara Bincang Edukasi, hingga akhirnya dipercaya sebagai salah satu kurator Bincang Edukasi Jakarta bersama Dana Oktiana (walaupun masih belum maksimal) ambience yang dibangun terasa sangat menyenangkan. Pembicaraan yang awalnya terasa akan berat buat saya yang bukan berkutat di dunia pendidikan, ternyata acara ini dikemas secara ringan, serius tapi santai. Senang rasanya bisa jadi bagian dan memiliki semangat yang sama dengan para education evangelist, para inisiator pendidikan.

Intinya adalah pendidikan adalah hak setiap manusia. Belajar bisa dilakukan kapan saja, dan di mana saja, asalkan kita punya kemauan.

Sampai jumpa di Bincang Edukasi Meetup #8 di Atamerica, Pacific Place sekitar bulan Juli 2012 :-h

 

[devieriana]

Continue Reading
1 2 3 5