Ventilasi Jiwa

window

“Kita itu seperti sebuah rumah yang penuh isi. Untuk mengurangi pengap terkadang kita butuh membuka pintu dan jendela untuk merasakan pergantian udara….”

Ada orang-orang tertentu yang sangat tertutup dan lebih memilih untuk menyimpan sendiri masalahnya. Mungkin maksudnya bukan sengaja menutup diri rapat-rapat, tapi mereka cenderung selektif sebelum menceritakan masalahnya dengan orang lain; karena tidak semua orang bisa dipercaya, dan tidak semua orang yang mendengarkan curhat itu 100% bersimpati; ada kalanya di belakang kita malah nyukurin.

Kalau saya pribadi ketika menghadapi suatu masalah, lebih memilih sharing ke keluarga atau sahabat yang saya percaya. Walaupun pada dasarnya saya cenderung orang dengan pribadi yang terbuka (ekstrovert), tapi untuk hal-hal yang sifatnya pribadi dan crusial saya memilih berbagi dengan orang-orang tertentu, terutama keluarga. Ada kalanya saya memilih diam selama beberapa waktu sekadar untuk menenangkan diri, menghindari konflik sementara dengan orang lain, sekaligus untuk mengelola emosi. Tapi ketika fisik dan mental saya sudah siap untuk berdiskusi saya akan mengajak diskusi untuk mencari jalan keluar paling baik. Sebaliknya, ketika saya merasa sudah tidak bisa bergerak ke mana-mana, mengalami jalan buntu dan butuh second opinion saya pasti akan berbagi dengan orang lain.

Ada saatnya kita perlu berbagi cerita dengan orang lain, karena tidak semua hal mampu kita selesaikan sendiri. Hei, we’re not Superman are we? Tapi ada juga hal yang cukup kita sendiri yang tahu. Toh ada kalanya ketika curhat sebenarnya kita tidak selalu butuh nasihat/pendapat orang lain; kita cuma butuh didengarkan.

Ada seorang teman, sebut saja Si X. Akhir-akhir ini dia terlihat murung, sering merasa kurang sehat, hilang nafsu makan, sering terlihat melamun, menyendiri, dan kelihatan hilang semangat kerja. Saya sendiri baru tahu penyebabnya ketika seorang teman yang lain bercerita tentang Si X. Ada sebuah masalah besar dan complicated yang sedang dihadapi oleh Si X. Tapi dia tidak mau menceritakan secara gamblang apa masalahnya ke orang lain karena dia pernah punya pengalaman buruk tersebarnya masalah yang dihadapi itu ke publik. Demi menghindari kejadian yang sama terulang kembali Si X memilih untuk menyimpannya sendiri. Tak heran kondisi kesehatan Si X semakin hari semakin mengkhawatirkan. Terakhir kemarin dia terpaksa harus dirawat di rumah sakit karena mengalami sakit kepala berkepanjangan dan pingsan berkali-kali. Tapi hasil pemeriksaan dokter menyebutkan kalau secara fisik Si X tidak apa-apa, hanya faktor kelelahan dan stress akut. Jadi penyebabnya adalah pikiran.

Ketika kita menutup diri terlalu rapat lama kelamaan psikis kita akan letih, bahkan dalam kasus tertentu seseorang mempunyai kecenderungan berperilaku destruktif; parahnya ada yang sampai tega menyakiti diri sendiri. So, berbagi cerita tentang masalah yang kita hadapi, tentang apa yang kita rasakan, itu terkadang perlu. Tentu saja dengan orang yang tepat; seseorang yang memahami betul bagaimana kondisi kita, berkenan mencarikan solusi terbaik, dan membantu kita melihat segala sesuatu secara lebih positif. Selebihnya, biarkan mindset kita yang mengelola cara pandangnya, apakah sebuah persoalan itu skalanya ringan atau berat.

Seperti kata salah satu sahabat saya,

“Hidup ini indah kok. Tergantung dari mana kita melihatnya…”

Selamat bermalam Minggu, temans…
Have a nice weekend :mrgreen:

 

[devieriana]

 

 

PS: sebuah catatan ringan yang ditulis sambil ngeteh dan ngemil cheese roll di sore hari.

 

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

Tentang Memaafkan

 

Sekitar tahun 2004-2005, saya pernah membaca trilogy David Pelzer True Story, yang terdiri dari buku yang berjudul A Child Called It, The Lost Boy, dan A Man Named Dave. Sebuah trilogy mengharukan tentang bagaimana kisah nyata seorang anak terbuang dan menderita, yang mencoba bertahan hidup melawan child abuse yang dilakukan oleh ibu kandungnya sendiri, hingga sampai pada kisah dia dewasa dan mulai menemukan jati dirinya.ย David Pelzer menuturkannya dalam bahasa yang sangat menyentuh, hingga kita bisa merasakan apa yang dialaminya dulu.

Dari ketiga buku itu yang paling berkesan adalah buku yang berjudul A Man Called Dave. Dalam buku ini Dave bercerita tentang keberhasilannya menemukan jati diri, dan terlebih lagi adalah kekuatannya yang luar biasa untuk memaafkan orang-orang yang pernah menyakitinya dulu.

Ngomong-ngomong tentang memaafkan, ternyata memaafkan itu bukan perkara mudah. Butuh kebesaran hati dan keikhlasan luar biasa untuk mau memaafkan orang yang telah menyakiti hati. Jujur, saya juga pernah mengalami hal yang kurang mengenakkan dengan seseorang, dan sampai sekarang saya belum mampu memaafkan apa yang sudah dia lakukan beberapa waktu yang lalu.

Sebenarnya untuk urusan maaf-memaafkan saya adalah orang yang paling mudah memaafkan, karena pada dasarnya bukan tipikal pendendam. Kalau ada yang kurang sreg dan lalu saya melampiaskannya dengan ngomel, saya pikir masih wajar, toh tidak sampai berlarut-larut. Setelah semua uneg-uneg sudah tersampaikan, dan saya juga sudah berhasil menguasai emosi, biasanya sudah tidak ada lagi yang saya simpan untuk diungkit-ungkit. Saya juga berusaha melupakan apa yang sudah membuat saya marah, jengkel, dll itu seketika ketika kami saling meminta maaf. Saat itu juga kasus itu selesai. Bahkan sering kali saya sudah memaafkan mereka jauh sebelum mereka meminta maaf.

Tapi entah kenapa, untuk sebuah kasus yang tidak bisa saya ceritakan detailnya di sini, sampai sekarang saya belum bisa memaafkan. Kasus yang buat saya luar biasa, karena melibatkan seorang public figure yang dikenal sangat bersih pencitraaannya di media. Untuk sebuah urusan yang awalnya saya tidak berminat untuk ikut terlibat di dalamnya, akhirnya malah jadi terseret ke mana-mana, ikut dimaki-maki (mulai yang berbahasa Inggris, bahasa Indonesia, bahasa binatang, sampai bawa-bawa istilah kaum zaman dahulu). Orang tua saya saja tidak pernah memaki anak-anaknya, lha kok dia yang baru lahir tahun berapa sudah sefasih itu memaki-maki orang seenak perut. Bahkan yang paling jahat, dia menggunakan ‘kekuatan hitam’ untuk menyakiti sahabat saya.ย  Bukan itu saja, dia juga memutarbalikkan fakta, danย  menempatkan dirinya sebagai korban. Hadeeeh….ย  L-)

Saya dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang tidak dibiasakan berkata kasar; apalagi memaki atau ‘ringan tangan’. Dulu, kalau ada salah satu dari kami yang ketahuan Mama ngomong kasar sedikit saja (baik itu ke teman atau saudara), sebagai hukumannya kami harus menahan panas dan pedasnya cabe merah yang dilumat mentah-mentah di bibir kami sampai habis. Tindakan yang lumayan keras, tapi efeknya terasa sampai sekarang ๐Ÿ˜•

Saya tidak peduli apakah dia artis film/sinetron, model, pengusaha, dll… buat saya dia butuhkan saat ini adalah pendidikan tentang manner, karena saya curiga sepertinya di keluarganya tidak pernah diajarkan tentang bagaimana harus berbicara dengan sesama manusia. Seringkali saya tersenyum miris melihat hampir setengah juta follower dia di twitter yang memuja dan menyanjung fisiknya, memuji betapa baik dan manis sikapnya, tanpa tahu bagaimana kepribadian asli sosok yang mereka puja itu :-q

Saya bukan orang yang berhati malaikat; yang dengan mudah memaafkan orang lain. Saya bukan nabi, pun Tuhan yang Maha Pemaaf. Dalam hal tertentu ada prinsip-prinsip hidup yang tidak bisa diutak-atik, terutama jika itu berkaitan dengan saya dan keluarga. Saya tahu, ada kalanya kemarahan yang tidak harus dibalas dengan kemarahan. Ada dendam yang tidak harus dibalas dengan dendam. Ada perlakuan buruk yang tidak harus dibalas dengan perlakuan yang sama buruknya. Tapi untuk kasus yang satu itu mungkin cuma waktu yang akan menyembuhkan saya.

Seperti yang saya bilang tadi, memaafkan bukan perkara yang mudah. Semoga seiring dengan waktu, kelak saya akan lebih dewasa, lebih terbuka hati, sehingga bisa ikhlas memaafkan orang yang telah menyakiti saya, dan melupakan kejahatan apa yang telah dia lakukan beberapa waktu yang lalu. Semoga saya segera diberikan kesadaran bahwa mempertahankan rasa marah, benci, dan sakit hati itu sangat melelahkan.

Tidak selamanya kita hidup di masa lalu, life must go on. Again, semoga saya segera diberikan kemudahan untuk memaafkan. Aamiin… [-o<

[devieriana]

 

 

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

Curhat Di 1/3 Malam

Duduk bersimpuh
menghambur ribuan keping doa
Dalam khusyuk, bisu dan hati yang bicara
sibuk melerai gundah & penat jiwa

Tak perlu memilih yang mana, Tuhan
karena toh semuanya sama..
Terserah saja mana yang ‘kan Kau kabulkan
karena ‘ku tengah berdoa..

Lihat, hanya ada aku di sepertiga malam-Mu, Tuhan
malam dimana seringkali kuistirahatkan raga & pikirku
raga ini sungguh lelah, Tuhan
pikir ini sangat penat..
sering ‘ku melupa ketika euphoria
hanya teringat ketika perih pula menyisa

Ah, malunya aku, Tuhan..
terlalu banyak meminta, seperti biasa
dan Kau yang telah terbiasa
melihatku sama seperti milyaran umat manusia-Mu..

Tuhan, aku tahu..
aku meminta terlalu banyak malam ini..
tapi tolong..

Jangan marah ya Tuhan..

[devieriana]

Continue Reading

Berubah!

Sudah kurang lebih 5-6 bulan yang lalu saya merasakan ada banyak sekali perubahan yang terjadi pada diri saya & itu amat sangat signifikan. Mungkin juga karena kehamilan pertama saya ini ya ๐Ÿ™‚

Sejak saya resmi dinyatakan hamil oleh dokter, semuanya berubah. Saya yang dulunya termasuk orang yang aktif, kadang “pethakilan” sekarang jadi lebih kalem,yang dulunya termasuk manusia dengan ego tinggi berubah jadi lebih mau mengalah, lebih open mind & cenderung mikir dulu sebelum ngomong. Ya, bukan berarti dulu-dulunya saya nggak pernah mikir sebelum ngomong ya, cuma sekarang sebelum mengutarakan pendapat lebih disertai pemikiran yang lebih matang (berasa ngomong sama mangga ๐Ÿ˜€ ). Yang dulu bacaannya chicklit, novel-novel populer, majalah, tabloid, berubah jadi majalah Parents, Parenting, Ayah Bunda, 9 Months & sejenisnya. Yang kemarin-kemarin kalau pagi sukanya minum kopi dengan alasan biar lebih konsentrasi kalau waktu kerja, sekarang berhenti total dan berubah ke susu untuk ibu hamil. ๐Ÿ˜€

Lucunya, selama hamil kok berasa jadi banyak yang curhat & meminta pendapat ya? Kadang saya sampai heran sendiri, karena biasanya nggak begini-begini amat. Setiap hari ada saja yang curhat, mulai teman, saudara, suami, sampai pembantunya ibu kos pun ikut curhat sama saya. Heran kan? Topiknya pun macam-macam. Mulai curhat masalah cinta, pekerjaan, keluarga, pengaturan lay out ruang kantor, manajemen perkantoran, penyusunan schedule harian, cara menjawab pertanyaan saat interview, bahkan penentuan cover buku yang akan diterbitkan pun juga minta pendapat saya ;))

Tapi jujur,ย  memang akhir-akhir ini (semoga bukan cuma sugesti) saya jadi merasa communication skill saya menjadi sangat berkembang. Tadi dapat “surprise” dari temen bangku sebelah ketika saya mengutarakan pendapat saya tentang dia, semacam teguran halus begitulah :D. Awalnya dia terkejut, karena selama ini belum pernah ada yang mengomunikasikan tentang hal itu sama dia. Alhamdulillah dia nggak marah, malah sambil cengar-cengir bilang,ย  “woogh, masa sih mbak aku kaya gitu? Oh ya? Hwaa.. iyakah? :-o”. Tapi ujung-ujungnya dia malah curhat & bilang kalau saya punya pemikiran yang berbeda sama teman-teman yang lain, melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda tanpa langsung menghakimi : “kamu salah!”.

Dalam hati sedikit GR sih ;)). Tapi ya sudahlah, I take it as compliment :D.

Hanya mencoba bagaimana menjadi seorang calon ibu yang baik, isteri yang baik, teman yang baik untuk keluarga dan orang-orang di sekeliling saya

[devieriana]

Continue Reading