Inside Out 2

Film Inside Out perdana ditayangkan di Cannes pada 18 Mei 2015 dan kemudian dirilis di Amerika Serikat pada 19 Juni 2015. Sepuluh tahun berselang setelah kesuksesan film Inside Out, Pixar kembali memanjakan para penggemarnya dengan sekuel yang dinantikan, Inside Out 2 pada 14 Juni 2024. Jika dalam sekuel pertama dikisahkan Riley berusaha mengatasi masa kanak-kanak dengan menghadapi perasaannya terkait kepindahan keluarganya dari Minnesota ke San Fransisco, sekarang Riley telah menemukan rumah baru dalam bentuk sahabat-sahabat barunya, Bree dan Grace. Dalam sekuel ini, fokus cerita lebih pada hubungan Riley dengan teman-temannya daripada keluarganya, juga tentang rumitnya perjalanan emosional Riley yang saat ini berusia 13 tahun, dan sedang mempersiapkan diri untuk masuk ke SMA. Riley sangat fokus pada olahraga hoki yang telah membuatnya meraih banyak penghargaan.

Joy, Anger, Sadness, Fear, dan Disgust dihadapkan pada tantangan tentang rumitnya dinamika emosi masa remaja. Anxiety, Ennui, Embarrassment, dan Envy merupakan karakter-karakter baru yang memperkaya alur cerita dalam Inside Out 2. Masing-masing karakter ini mempersonifikasikan emosi dan perasaan yang lebih kompleks, serta menambahkan lapisan emosi yang lebih dalam dalam perjalanan emosional Joy, Anger, Sadness, Fear, dan Disgust. 

Anxiety, yang mewakili kecemasan, memperkenalkan ketegangan dan kekhawatiran yang mendalam. Ennui, yang berarti kebosanan, membawa nuansa emosi yang lebih suram, monoton, dan membosankan. Embarrassment yang mewakili rasa malu, memperkenalkan konflik internal yang terkait dengan harga diri dan citra diri Riley. Sementara itu, Envy, yang mewakili rasa iri, membawa persaingan dan konflik interpersonal yang lebih pelik. Jujur saya kagum dengan konsep desain Envy dan Embarrasement, yang menunjukkan bahwa “iri hati” digambarkan sebagai emosi yang kecil, sementara “malu” digambarkan sebagai emosi yang besar, yang secara realistis mencerminkan definisi dari kedua emosi tersebut.

Entah mengapa rasanya sekuel kedua ini sengaja menunggu kita tumbuh (lebih) dewasa. Mungkin salah satu tujuannya adalah supaya kita bisa lebih memahami apa yang dirasakan Riley yang sudah menjadi seorang remaja. Dan, memang, bahasan di film ini jauh lebih mendalam dari apa yang saya pikirkan sebelumnya.

Riley mulai mengalami dan menghadapi berbagai emosi yang berbeda saat memasuki masa pubertas. Riley mengalami munculnya berbagai emosi baru menggantikan emosi-emosi masa kanak-kanak dengan yang lebih dewasa. Perasaan kebahagiaan tergeser oleh kepanikan, ketakutan ditutupi oleh kebosanan, dan terkadang sarkasme digunakan untuk menyembunyikan rasa malu. Ketidakpastian Riley tentang masa depannya dalam grup hoki Firehawk membuatnya cemas dan mengambil langkah yang salah. Di sinilah peran orang tua dibutuhkan untuk secara penuh mendampingi anak-anak saat mereka merasa cemas, memberikan validasi perasaan, dan membantu mereka mengambil keputusan yang tepat.

Dalam perjalanannya membentuk jati diri, Riley juga pernah berusaha untuk menjadi orang lain agar diterima dalam grup hoki Firehawk, yang salah satu anggotanya, Valentina “Val” Ortiz adalah idola Riley. Namun pada akhirnya Riley menyadari pentingnya kejujuran dan menjadi diri sendiri. Dalam keadaan ini, penting bagi kita para orang tua untuk mengedukasi anak-anak agar tetap setia pada identitas mereka sendiri, tanpa perlu meniru orang lain hanya serta merta ingin diterima dalam lingkungan tertentu. Pun halnya ketika Joy berusaha keras menghapus kenangan negatif Riley untuk membentuknya menjadi pribadi yang positif, pada akhirnya, Joy menyadari bahwa semua kenangan, baik positif maupun negatif, penting untuk perkembangan Riley, karena kenangan tersebut membentuk bagian integral dari identitas dan pengalaman hidup Riley.

Ada saat di mana Riley mengalami momen emosional saat bermain di lapangan. Akibat tindakan terlalu ambisiusnya, menyebabkan dia dihukum sementara tidak bisa bermain di lapangan. Dia menangis, kecewa, dan merasa emosional, namun akhirnya menemukan kedamaian setelah menerima dan merangkul semua emosinya, berdamai dengan dirinya sendiri, serta memperbaiki hubungannya dengan orang-orang di sekitarnya. Sadness isn’t just crying. It’s the emotion of change, acceptance and most importantly, love.

Satu momen yang cukup membekas dalam benak dan berhasil membuat saya sesenggukan di sepertiga film. Adalah saat Joy menyadari bahwa hidup Riley tidak harus selalu diisi dengan kebahagiaan. “I don’t know how to stop anxiety, maybe it’s true that when you grow old, you’ll feel less happy.” Dan sejujurnya semua itu benar. Tapi semua itu tidak menjadi masalah. Tidak masalah merasa cemas, tidak masalah merasa takut, dan tidak masalah menyadari bahwa dunia ini bukan hanya tentang kebahagiaan. Saat kita tumbuh dewasa, kita menyadari bahwa Joy (kebahagiaan) bukanlah satu-satunya emosi yang utama. Tidak masalah merasakan apa pun yang perlu kita rasakan. Kita semua adalah campuran emosi, dan itulah yang membuat kita unik dan indah. Film ini mengajarkan kita bahwa semua emosi valid. Oleh karenanya orang tua wajib mengenalkan berbagai emosi kepada anak serta mengajari mereka cara mengendalikannya.

Inside Out 2 dengan sangat akurat menggambarkan berbagai emosi yang muncul karena berbagai perubahan yang menekan dalam kehidupan seorang manusia. Komedi yang menghibur dipadu adegan yang memperluas pemikiran dan perasaan, Pixar berhasil menciptakan sebuah film yang enjoyable. Alih-alih mengandalkan kisah klise yang sudah terlalu sering digunakan, mereka berhasil menjaga agar ceritanya tetap unik, tanpa kesan menggurui. Film ini cocok dinikmati oleh anak-anak sebagai tontonan yang menghibur, sementara bagi orang tua, film ini dapat menjadi kesempatan belajar tentang pentingnya memahami kondisi emosional anak-anak.

Inside Out 2 dirilis secara eksklusif di bioskop pada 14 Juni 2024, hampir tepat sepuluh tahun setelah rilis film pertamanya pada 24 Juni 2015. Keberhasilan Inside Out 2 ini tak bisa dipandang remeh. Dengan pendapatan mencapai 295 juta dolar AS hanya dalam sepekan penayangan perdananya menjadikan Inside Out 2 sebagai salah satu film animasi dengan pembukaan penayangan terbaik sepanjang masa. Hal ini menunjukkan betapa menarik dan kuat cerita/narasi yang dimiliki oleh Inside Out 2. Tentu saja dengan keberhasilan ini, Pixar sekali lagi mengukuhkan posisinya sebagai raja animasi yang mampu menyentuh hati dan pikiran penonton dari segala usia, sekaligus menegaskan kontribusinya dalam mengangkat standar industri animasi secara keseluruhan.

— devieriana —

Ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

Beyond the Report Card

Pagi itu, saya, suami, dan Alea, bersiap untuk menghadiri penerimaan rapor di sekolah. Kami sengaja tiba di sekolah 30 menit lebih awal untuk mengantisipasi segala kemungkinan. Di depan kelas, sudah ada beberapa orang tua yang sudah mendapat giliran sebelumnya. Saya pun bergabung di antara mereka, sekadar say hello dan berkoordinasi tentang pembagian kenang-kenangan untuk guru Alea. Di antara topik percakapan pagi itu jauh dari bahasan tentang nilai atau prestasi akademis. Sebaliknya, kami lebih banyak berdiskusi tentang rencana liburan, destinasi menarik, dan kegiatan lainnya. Meskipun ada yang sempat menceritakan hasil rapor anaknya yang naik/turun dari semester lalu, namun topik itu segera berganti dengan obrolan ringan lainnya.

Tibalah giliran Alea tiba untuk masuk ke kelas untuk menerima rapor. Jantung saya berdegup makin kencang meski mencoba menenangkan diri dan menaruh harapan yang paling realistis. Saya tanamkan dalam pikiran saya, apapun hasilnya, saya yakin itu adalah pencapaian terbaik yang Alea bisa raih selama kelas 4. Setelah mempresentasikan tentang target dan realisasi pembelajaran semester 2 dalam Student-Led Conference, tibalah penyerahan rapor kelas 4 semester 2. Meski diselingi dengan candaan-candaan di antara Miss/Mr-nya Alea, namun hal itu tidak cukup mampu mengompromikan detak jantung saya yang makin menjadi-jadi. Buku rapor pun dibuka, satu persatu nilai mata pelajaran mulai dibandingkan dengan semester sebelumnya. Saya menyimak dengan saksama. Rasa haru tiba-tiba saja menyeruak. Ada rasa hangat yang menghampiri. Tertera nilai-nilai Alea yang hampir semua meningkat secara signifikan dibandingkan dengan semester sebelumnya. Alhamdulillah, Ya Rabb.

Jujur, setiap kali terima rapor, saya butuh lebih mempersiapkan mental dalam menerima hasil belajar Alea. Karena dalam kesehariannya, Alea adalah anak yang lebih banyak berkomunikasi dalam bahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia, sementara mata pelajaran di sekolah meskipun bilingual, banyak pelajaran berbahasa indonesia yang menuntut pemahaman secara menyeluruh. Selama ini Alea harus struggle menghadapi berbagai pelajaran yang berbahasa Indonesia yang perlu dihafal. Apalagi waktu kemarin mata pelajaran IPAS, di mana bab terakhirnya membahas tentang kerajaan-kerajaan di Indonesia. Bukan suatu hal yang mudah bagi Alea menghafalkan berbagai istilah berbahasa Sansekerta. Seringkali untuk menghafal beberapa istilah bahasa Indonesia, Alea harus menghubungkan dengan kata tertentu supaya mudah diingat. Dia pun membutuhkan waktu belajar yang sedikit lebih lama supaya mendapatkan gambaran dan pemahaman yang lebih mendalam. Kecuali di mata pelajaran bahasa Inggris, saya tidak perlu menghabiskan waktu yang lama untuk mendampingi Alea belajar.

Bahasa Inggris bagi Alea layaknya bahasa ibu, karena kesehariannya baik berkomunikasi dengan kami di rumah (meskipun kami selalu berbahasa Indonesia, namun jawaban Alea 90% menggunakan bahasa Inggris) maupun dengan teman-temannya di sekolah atau bermain Roblox pun Alea konsisten menggunakan bahasa Inggris. Sedikit intermezzo, ketika kami menginap di salah satu hotel di Bali, di kolam renang dia bisa langsung mingle dengan sekelompok anak keluarga turis asing asal Australia. “Mama, I made friends with some of Australian kids. May I met them again tommorrow in the pool?”  Alea adalah seorang native speaker.

Dan seperti biasa, seusai sesi terima rapor, saya selalu berbagi kabar dengan aunty-nya Alea (adik saya), dan eyangnya Alea (Mama saya). Sama, mereka pun bersyukur atas pencapaian akademik Alea. Tapi entahlah, sepertinya Mama bisa membaca pikiran saya meski jarak jauh. Tiba-tiba saja Mama berpesan, “Sudah, jangan membanding-bandingkan Alea dengan anak lainnya. Setiap anak punya latar belakang yang berbeda-beda, tumbuh dalam lingkungan yang unik, dididik oleh orang tua yang berbeda, serta menganut nilai-nilai yang bervariasi. Pelajaran-pelajaran Alea jauh lebih menantang daripada pelajaran kamu yang dulu. Jadi beri dia kesempatan untuk berkembang sesuai dengan kemampuannya sendiri. Kamu sebagai orang tua wajib memberi dukungan supaya Alea bisa terus memperbaiki diri.” Ah, Mama. Bagaimana Mama bisa tahu apa yang sedang saya pikirkan? Tak terasa, air mata mulai menggenang di pelupuk mata.

Malamnya, ketika semua sudah terlelap, pikiran saya tetap sibuk. Sibuk berkontemplasi dan mengevaluasi diri sendiri. Mencurahkannya ke dalam bentuk tulisan sebagai pengingat diri. Sebagai ibu bekerja yang juga mahasiswa, saya merasa belum adil dalam meluangkan waktu untuk berbagai peran dalam hidup saya. Acapkali saya belum bisa memberikan waktu yang maksimal untuk Alea. Dalam beberapa semester kemarin saya berjibaku mengatur keseimbangan hidup. Belum lagi batas waktu penyelesaian tugas kuliah dan jadwal ulangan Alea yang saling berkejaran, hal itu sering membuat saya cranky. Memang inti dari semua ini adalah manajemen waktu.

Sedikit flashback ke masa saya masih sekolah, nilai ulangan dan rapor saya tidak selalu dihiasi dengan angka-angka sempurna. Tak jarang nilai saya lebih pantas dikatakan mengenaskan dibanding sempurna. Beberapa kendala yang saya alami mungkin kombinasi antara keterbatasan saya dalam mencerna pelajaran, atau mood belajar yang tidak selalu stabil. Jadi kalau ada nilai mata pelajaran yang di atas 80, sudah selayaknya dia diperlakukan layaknya sebuah mahakarya yang patut diselebrasi. Entahlah, apakah kedua orang tua saya pernah bangga pada saya waktu itu. Titik kulminasi prestasi akademis saya adalah saat menuntaskan pendidikan di sekolah menengah atas dan bangku kuliah. Di luar itu, saya adalah siswa dengan nilai yang rata-rata.

Sebagai orang tua, melihat anak berhasil dan selalu menjadi yang terbaik di kelas adalah suatu kebahagiaan dan kebanggaan. Prestasi anak merupakan hasil dari kerja keras mereka dan dukungan orang tua. Namun, dalam lingkungan yang kompetitif, penting untuk menyadari bahwa kemampuan anak tidak bisa diukur secara hitam-putih. Meskipun penting untuk memastikan anak meraih prestasi baik di sekolah dan menunjukkan peringkat, sejatinya terdapat aspek non-akademis yang lebih berpengaruh dalam menentukan kesuksesan anak di masa depan. Hidup penuh ketidakpastian, hidup bukan layaknya soal ujian kelas yang selalu punya kunci jawaban. Banyak kejutan tak terduga muncul di berbagai tikungan kehidupan, kemampuan sosial, emosional, dan mengambil risiko memainkan peran penting dalam kesuksesan anak.

Setiap anak memiliki minat dan bakatnya sendiri, dan proses pendidikan adalah perjalanan seumur hidup. Mungkin di sekitar kita ada siswa yang menyukai Matematika namun tidak jago di bahasa Inggris, ada siswa yang menyukai Sejarah namun tidak pintar di Matematika, dan ada pula siswa yang kurang pintar di bidang akademis namun jago dalam olahraga atau aktivitas fisik, karena setiap anak memiliki minat dan bakatnya masing-masing. Setiap anak itu unik dan istimewa. Akan tidak adil rasanya, jika anak hanya dinilai dari ranking atau nilai akademisnya. Anak juga perlu memahami bahwa you’re not the center of the universe, tidak semua keinginan bisa terwujud, kehidupan tidak akan selalu sesuai harapan, dan ini merupakan bagian penting dalam pembelajaran menghadapi tantangan dan penyesuaian diri. Dengan memahami bahwa hidup tidak selalu berjalan mulus, anak-anak dapat belajar untuk menjadi lebih tangguh, fleksibel, dan mampu mengatasi rintangan yang mungkin terjadi di masa depan. Memberikan pemahaman ini juga dapat membantu mereka mengembangkan sikap positif terhadap kegagalan dan ketidakpastian, yang pada akhirnya akan membantu mereka tumbuh dan berkembang sebagai individu yang kuat dan mandiri.

Pasti bukan hal mudah bagi kita yang hidup di zaman tolok ukur kepandaian dilihat dari nilai rapornya. Tapi mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus mengubah mindset bahwa nilai rapor hanya sebagai salah satu indikator untuk mengetahui titik lemah, titik unggul, dan progress belajar anak, sehingga kita sebagai orang tua tahu di titik mana harus membantu anak belajar. Dan, penekanan yang berlebihan pada ranking dan nilai akademis sejatinya dapat memberikan tekanan psikologis (kecemasan, rendahnya rasa percaya diri, dan persepsi yang keliru tentang nilai diri) pada anak. Untuk itulah, orang tua wajib memerhatikan kesehatan emosional anak, serta memberikan apresiasi terhadap beragam bakat dan minat yang dimiliki oleh setiap anak. Sesekali boleh lho mengajak mereka keluar rumah, menikmati lingkungan, bergaul, belajar dengan cara praktik langsung.

Setiap anak memiliki potensi dan kelebihan yang tidak selalu tercermin dalam pencapaian akademis. Ketika orang tua memerhatikan aspek non-akademis, kesehatan mental, dan motivasi intrinsik anak, akan membantu menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan berkelanjutan bagi anak-anak tercinta.

Semangat mendampingi anak-anak belajar dan berkembang, Parents!

— Devieriana —

sumber gambar dipinjam dari https://www.educationworld.com/teachers/beyond-report-card-alternative-ways-assess-student-progress

Continue Reading

Setneg Serial Lecture: Berbagi Cerita dengan KGPAA Mangkunegara X

Siapa yang tidak kenal dengan Gusti Bhre, atau lebih lengkapnya Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara X? Beliau merupakan penguasa Pura Mangkunegaran yang juga merupakan putra bungsu dari Mangkunegara IX dan Gusti Kanjeng Putri Mangkunegara IX. Gusti Bhre yang bernama lengkap Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo  ini menghabiskan masa kecilnya di Jakarta, meskipun sering menghabiskan waktu liburan di Solo dan terlibat dalam berbagai kegiatan adat di Mangkunegaran.

Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan telah aktif membantu pengelolaan Pura Mangkunegaran sebelum dinobatkan. Gusti Bhre resmi dikukuhkan sebagai KGPAA Mangkunegoro X pada usia 24 tahun, menjadikannya sebagai Mangkunegoro termuda dalam sejarah panjang perjalanan Pura Mangkunegaran Solo yang membentang hingga 265 tahun. Penobatannya sebagai Mangkunegara X dilakukan pada 12 Maret 2022 di Pendapa Ageng Pura Mangkunegaran, dan acara ini dihadiri oleh beberapa tokoh penting termasuk Presiden RI Joko Widodo dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

Nah, pada Serial Lecture yang diadakan secara rutin oleh Pusat Pengembangan Kompetensi Aparatur Sipil Negara (PPKASN) Kementerian Sekretariat Negara, pada 26 Oktober 2024 lalu saya didapuk sebagai MC yang menghadirkan Sri Paduka Mangkoenagoro X sebagai narasumber/bintang tamu. Saat tawaran itu datang, senyum saya merekah dengan lebar, ear to ear, hati saya pun berbunga-bunga. Bukan, ini bukan karena saya sedang dalam masa puber kedua, melainkan karena ini adalah kesempatan pertama saya untuk menjadi pembawa acara dengan seorang raja muda sebagai tamu.

Persiapan dan riset kami lakukan demi menghidupkan acara. Bersama rekan saya Satriyo Wibowo, kami berdua menyiapkan gelaran tersebut dengan sebaik mungkin dan sehidup mungkin, karena public figur tersebut merupakan salah satu idola anak muda. Jadi bagi duo MC yang usianya sudah bukan lagi anak muda ini tentu perlu beberapa penyesuaian supaya tidak membosankan, ya. Kami berdua menggali berbagai referensi tentang Gusti Bhre, mengikuti perkembangan aktivitasnya, dan memahami topik-topik yang relevan dengan minat audiens muda. Kami bahkan menonton beberapa wawancara sebelumnya untuk mendapatkan wawasan tentang gaya dan kepribadian beliau.

Hari yang dinantikan pun tiba. Ruang auditorium telah disulap sedemikian rupa menjadi panggung yang penuh dengan vertical garden sebagai latar belakang kami. Saya dan Satriyo sudah bersiap dengan cue card panduan wawancara yang berisi pertanyaan-pertanyaan menarik dan segmen interaktif seputar tema “Merawat Budaya Membangun Jati Diri Bangsa (Inovasi Kepemimpinan di Pura Mangkunegaran)”. Briefing singkat pun telah dilakukan kepada MC dan bintang tamu. Pertama kali melihat sosok beliau, batin saya berkata, Gusti Allah itu baik banget memberikan saya kesempatan mewawancara sosok besar yang dikagumi banyak orang, Gusti Bhre. Sosok yang telah ada di hadapan saya ini sebenarnya sama seperti anak muda lainnya, hanya saja dia tampak lebih kharismatik karena betapapun beliau adalah seorang raja. Posturnya tinggi semampai, dengan pembawaan sangat tenang.

Ketika wawancara dimulai, saya bisa merasakan energi positif dari Gusti Bhre. Beliau menjawab setiap pertanyaan dengan bahasa yang santun dan jelas. Setiap kata yang diucapkannya memancarkan kedalaman pengetahuan dan kecintaannya terhadap budaya. Beliau memberikan inspirasi tidak hanya melalui kata-katanya, tetapi juga melalui tindakan dan komitmen nyata terhadap pelestarian budaya serta kesejahteraan masyarakat.

Dalam wawancara tersebut, Gusti Bhre menjelaskan bahwa budaya selalu mengiringi ke manapun kita berada. Beliau juga berbagi kisah tentang pengalamannya dalam menjalankan nilai-nilai luhur para pendahulunya, bahwa sebagai pemimpinGusti Bhre masih mengamini pepatah Jawa “Tiji Tibeh”, mati siji, mati kabeh, atau yang berarti mati satu, mati semua, yang merupakan ajaran/nilai semangat kebersamaan dan kedekatan antara pemimpin dan masyarakatnya.

Beliau juga menuturkan bagaimana Pura Mangkunegaran telah menjadi pusat kebudayaan yang aktif dalam melestarikan warisan leluhur, seperti tarian tradisional, musik gamelan, dan upacara adat. Tak lupa beliau juga menekankan pentingnya peran anak muda dalam melanjutkan dan mengembangkan tradisi ini agar tetap relevan di era modern. Menurutnya, inovasi dalam melestarikan budaya bukan berarti mengubah esensi dari tradisi itu sendiri, tetapi menemukan cara-cara baru untuk memperkenalkannya kepada generasi muda, misalnya melalui media digital dan program edukasi kreatif.

Topik pembicaraan yang mencakup pandangannya tentang peran anak muda dalam pelestarian budaya dan inovasi di era modern berhasil menarik perhatian dan antusiasme dari semua yang hadir. Gusti Bhre memberikan contoh konkret tentang inisiatif-inisiatif yang telah dilakukan di Pura Mangkunegaran, seperti workshop seni dan budaya yang melibatkan anak-anak sekolah dan komunitas setempat. Beliau juga berbagi cerita tentang kolaborasi dengan seniman dan kreator konten untuk menciptakan karya-karya yang menggabungkan elemen tradisional dan modern.

Audiens terlihat sangat terkesan dengan bagaimana Gusti Bhre mampu mengaitkan nilai-nilai tradisional dengan tantangan dan peluang zaman sekarang. Gelar wicara yang dibawakan dengan serius namun santai itu tidak hanya memberikan wawasan, tetapi juga memotivasi banyak orang untuk lebih menghargai dan berkontribusi dalam pelestarian budaya. Saya pun merasa terinspirasi oleh dedikasi dan visi beliau, yang mengingatkan kita semua bahwa menjaga dan merawat budaya adalah bagian penting dari membangun jati diri bangsa.

Pada akhir acara, saya menyadari bahwa pengalaman ini tidak hanya tentang bertemu seorang idola, tetapi juga tentang belajar dan mendapatkan wawasan baru. Saya dan Satriyo merasa sangat beruntung bisa menjadi bagian dari momen berharga ini, dan kami berdua sepakat bahwa kesempatan ini telah menambah kekayaan pengalaman profesional kami sebagai Master of Ceremony.

Teruntuk PPKASN Kementerian Sekretariat Negara, terima kasih atas kesempatan dan kepercayaan yang telah diberikan pada kami.

–Devieriana —

foto dokumentasi pribadi

Continue Reading

Meniti Kembali Perguruan Tinggi pada Usia Matang

Terinspirasi dari buku karya Rebecca Klein-Collins yang bertajuk “Never Too Late” The Adult Student’s Guide To College” sengaja saya memilih frasa “usia matang” untuk judul tulisan ini, tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa kuliah di usia yang tidak lagi muda membawa serta tantangan dan peluang yang unik. Frasa ini lebih menekankan pada kematangan, pengalaman, dan perspektif yang dibawa oleh individu yang kembali ke bangku kuliah setelah beberapa waktu, serta untuk menggambarkan bahwa pendidikan di tahap ini adalah keputusan yang diambil dengan penuh kesadaran dan tujuan. Ya selain alasan sebenarnya adalah supaya tidak terlalu terlihat usia uzur, sih.

Sebagian orang mungkin beranggapan bahwa pendidikan formal hanya diperuntukkan bagi mereka yang berusia 20-an. Namun, sebenarnya tidak ada batasan usia yang tepat untuk memulai kuliah. Banyak orang memilih untuk melanjutkan pendidikan mereka di usia 30-an atau bahkan lebih. Alasan di balik keputusan ini pun beragam, mulai dari kebutuhan untuk memperluas keterampilan, mengubah arah karier, atau bahkan kuliah hanya untuk kepuasan pribadi atau mengisi waktu luang. 

Secara umum, tidak ada aturan yang mengikat mengenai batasan usia untuk pendidikan sarjana di Indonesia. Program S-1 didesain dengan sedemikian fleksibel sehingga memungkinkan mahasiswa memulai studi sesuai kemampuan masing-masing. Meskipun tidak diatur secara resmi, beberapa universitas menerapkan kebijakan usia. Universitas negeri biasanya membatasi usia maksimal hingga 21 tahun atau 3 tahun setelah lulus SMA/SMK/sederajat, sedangkan universitas swasta tidak menerapkan batasan usia.

Namun di Indonesia banyak sekali universitas yang membolehkan orang dengan usia berapapun untuk kuliah S1. Universitas Terbuka adalah salah satu yang tidak menerapkan batasan usia serupa. Dengan pendekatan yang inklusif terhadap usia, Universitas Terbuka memberikan kesempatan bagi siapa saja yang ingin mendapatkan pendidikan tinggi, tanpa terkekang oleh batasan usia yang mungkin diterapkan oleh universitas negeri maupun swasta di Indonesia, dengan syarat asalkan sanggup menjalaninya. 

Kuliah sambil bekerja atau berkeluarga memiliki tantangan tersendiri. Tantangan terbesar bagi mereka yang kuliah di usia matang adalah menyeimbangkan waktu antara kuliah, pekerjaan, dan tanggung jawab keluarga. Selain itu, perkembangan teknologi dan metode pembelajaran yang pesat bisa menjadi kendala bagi mereka yang sudah lama meninggalkan lingkungan akademik.

Jangan khawatir, kembali kuliah di usia matang justru menawarkan banyak peluang, lho. Dengan lebih banyak pengalaman hidup dan kerja, mereka cenderung memiliki pemahaman yang lebih baik tentang apa sih yang mereka inginkan dari pendidikan. Jadi, secara keseluruhan, kembali kuliah di usia matang dapat menjadi pengalaman yang sangat berharga. Jadi meski ada tantangan yang harus dihadapi, namun manfaat dan peluang yang ditawarkan juga sangat signifikan.

Namun sebelum memutuskan untuk kuliah, ada baiknya menjawab beberapa pertanyaan dasar berikut ini seperti “apa sebenarnya tujuan saya kuliah? Apakah untuk pengembangan karier, memenuhi passion di bidang yang berbeda dari pekerjaan saya, atau sekadar mengisi waktu luang?” Nah, kalau tujuan sudah jelas, baru deh kita pilih jurusan dan universitas yang sesuai dengan fleksibilitas kita; baik dari segi pendanaan, lokasi, maupun jenis perkuliahan (tatap muka langsung, hybrid, atau daring/online). Jika memilih kelas tatap muka, jangan lupa untuk memastikan tentang ada tidaknya kelas karyawan/ekstensi/non-reguler yang menawarkan perkuliahan malam atau akhir pekan agar tidak berbenturan dengan pekerjaan sehari-hari.

Tidak ada kata terlambat untuk belajar dan berkembang. Pesan saya, apapun bidang studi yang dipilih, semoga tidak memberikan tekanan berlebihan pada kesehatan, fokus, dan tanggung jawab sehari-hari kita baik dalam kehidupan berkeluarga maupun di kantor, ya. 

— devieriana —

Ilustrasi dipinjam dari collegetransfer.net

Continue Reading

Mistakes Are Okay

Sejak Alea bisa diajak berkomunikasi (usia pra TK), saya sering membagikan percakapan saya dengan Alea (7 tahun) di media sosial Instagram dalam bentuk IGstory. Percakapan yang sederhana, kadang lucu, kadang mengharukan, atau cerita parenting lainnya tentang bagaimana saya dan Alea saling berproses. Karena proses belajar itu bukan melulu dari saya untuk Alea, tapi sering kali justru dari Alea saya belajar bagaimana menjadi seorang ibu, menjadi orang tua.

Meskipun Alea adalah anak saya, tapi nyatanya saya dan Alea bukan sebuah pribadi yang sama dan identik. Ada hal-hal bawaan yang berbeda dari kami berdua. Salah satu contoh paling mendasar adalah saya orangnya kalau panik bawaannya ngegas. Tapi tidak dengan Alea. Dia adalah anak yang selalu tenang dalam menghadapi permasalahannya. Dalam mengerjakan ulangan pun demikian. Ketika teman-temannya sudah selesai, kalau dia belum selesai ya akan diselesaikan sampai selesai, tanpa panik atau terburu-buru. Bahkan saking tenangnya, mengerjakan soal matematika saja dia sambil bersenandung, sementara yang mendampingi sudah kasih aba-aba dan instruksi layaknya pelatih Paskibraka supaya dia segera menyelesaikan ulangannya.

Pun halnya ketika sesi Pembelajaran Tatap Muka (PTM), pernah ada suatu ketika dia terlambat datang ke sekolah karena bangun kesiangan. Berpamitan dan turun dari mobil dengan tenang, masuk ke halaman sekolah dengan tanpa berlari-lari, mencuci tangan dan menjalani prosedur sebelum masuk kelas dengan tanpa terburu-buru, dan bergabung di kelas dengan tanpa rasa canggung.

Mungkin beberapa doa malam saya waktu mengandung dia dulu ada yang diijabah oleh Tuhan. Alea memiliki keistimewaan tersendiri. Dia memiliki kecerdasan dan kepekaan sosial yang tinggi. Banyak hal tak terduga yang keluar dari pemikirannya, jauh di luar apa yang saya pikirkan sebelumnya. Entah apakah ini gift dari Sang Maha Pencipta atau ada hubungannya dengan kebiasaan ngobrol dengan saya sebelum tidur.

Hampir setiap malam sebelum tidur, kami sempatkan untuk ngobrol. Bukan topik yang serius, tapi topik ringan seputar aktivitas keseharian, tentang teman, tentang apa yang kami pikirkan tentang sesuatu. Intinya topiknya bisa tentang apapun. Selain untuk memperkuat bonding antara ibu dan anak, juga untuk menyisipkan nilai-nilai baik sebelum dia tidur.

Seperti halnya obrolan beberapa malam lalu. Ada seorang teman yang menceritakan bagaimana dia merespon anaknya ketika salah hitung dalam soal matematika sederhana.

“Alea, tadi temen Mama cerita, kalau anaknya salah ngejumlahin gitu. Dia kan dikasih soal sama mamanya, 6+0=…. Anaknya temen Mama jawabnya 6+0=0. Temen mama marah, dong. Masa 6+0=0, kan harusnya 6. Ya, kan? Menurut Alea gimana?”

“That’s okay, Mama. She’s still learning. So, making mistake is fine. Because it’s a proof that she’s trying…”

Jujur, saya seperti bukan sedang berbincang dengan anak usia 7 tahun. Bahkan saya sempat mengira Alea bakal mengeluarkan respon, “Hah?!”, “WHAT?!”, atau bahkan menertawakan kesalahan yang diperbuat sebayanya. Tapi ternyata saya sudah bersuuzon.

Sebenarnya kalimat-kalimat bijak seperti ini bukan sekali dua kali keluar dari pemikiran Alea. Bahkan pernah sekali dua kali justru saya yang diberi nasihat. Lucu sih kadang, seolah mendengarkan diri saya sendiri dalam versi anak-anak ketika dia menasihati saya. Tapi saya selalu membiarkan dia berproses dengan caranya. Saya percaya bahwa di setiap harinya, ada penyerapan kalimat, kata, perbuatan, tingkah laku, dan nasihat. Ada spons raksasa dalam otak dan dirinya yang siap menyerap banyak hal.

Dulu, Alea pun bukan anak yang selalu percaya diri. Ada kalanya dia memilih untuk tidak mencoba karena khawatir berbuat salah yang membuat papa mamanya marah. Perlu waktu untuk menjadikan dia anak yang mau terbuka, mencoba belajar banyak hal, dan menjadi anak yang percaya diri. Dan kuncinya memang ada di cara bagaimana kita berkomunikasi, cara kita memperlakukan dia.

Kami pun sebagai orang tua tidak pernah yang menuntut dia harus mengerjakan segala sesuatu harus benar dan sempurna. Di usianya yang masih belia rasanya terlalu naif untuk menuntut sebuah kesempurnaan tanpa melalui sebuah proses pembelajaran, penerimaan diri, atau melalui kesalahan-kesalahan. Toh kita saja yang sudah setua ini masih sering membuat kesalahan, kan?

Pernah suatu saat ketika dia masih TK, dan dia belajar Matematika sederhana, dia ada salah menghitung dan dia begitu merasa bersalah. Padahal saya waktu itu baik-baik saja, tidak menyalahkan, pun membuat dia terhakimi. Tapi reaksinya di luar dugaan. Dia sedih, merasa bersalah, dan lalu meminta maaf. Respon saya waktu itu ya otomatis memeluk sambil mencium dia, karena sebenarnya setidak apa-apa itu. That’s not a big deal, Alea.

“So is it good if I make mistake? Will you not get mad at me, Mama?”

Ya, of course it’s fine. Mama nggak menuntut Alea jadi anak yang supersempurna, yang nggak pernah bikin kesalahan. Learning is a continuous process in life. And making mistakes is a part of learning process. When we learn new things, we tend to make mistakes, which is natural and common. Mistakes happen. We all make them, it is part of what makes us human. Bikin salah waktu belajar itu nggak apa-apa, lain kali waktu mengerjakan soal harus lebih hati-hati, lebih teliti lagi, ya. OK?”

“Okay, then…”

“I just want you to be a happy human being, Alea. Just be you. Be the best version of you…”

Tidaklah terlalu penting menjadi sosok yang sempurna. Namun yang jauh lebih penting dari itu, saya ingin melihat Alea tumbuh jadi anak yang gembira, anak yang bahagia, anak yang tumbuh dengan versi terbaik dirinya. Karena dengan menjadi anak yang bahagia, dia akan bisa menularkan kebahagiaan di lingkungan manapun dia berada. Lebih luas lagi, semoga kelak dia bisa membawa banyak kebermanfaatan bagi sesamanya.

  • devieriana

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading