Rush (2013): Everyone’s Driven by Something

Rush

Beberapa minggu lalu saya menyempatkan diri untuk menonton film secara marathon di rumah. Salah satu film (lama) yang saya tonton yaitu Rush (2013) yang dibintangi oleh Chris Hemsworth dan Daniel Bruhl. Sejujurnya saya bukan penggemar film dengan genre sport, karena buat saya film dengan genre itu sangat membosankan. Pada awalnya saya sempat skeptis apakah saya akan betah nonton hingga akhir film, mengingat ini film yang ‘cowok’ banget dan kebetulan saya bukan penggemar F-1. Tapi demi ‘menantang’ diri sendiri, saya tonton juga sampai film ini selesai.

Dalam film ini, Peter Morgan didapuk sebagai penulis skenario yang harus merangkum kisah biopik dua pebalap F1 legendaris ini dan menjadikannya film berdurasi 2 jam ini lengkap dengan naik-turunnya hubungan antara Hunt dengan Lauda. Uniknya, meski Rush berjalan cepat (sekaligus bising!), tapi tidak dinarasikan dengan terburu-buru. Setiap key moments diceritakan dengan singkat, padat, tapi kuat. Begitu juga denganangle shoot yang ditampilkan dengan sangat detail; menjadikan kita seolah dibawa ke dalam arena balapan yang sebenarnya.

Rush yang dibuat berdasarkan kisah nyata ini disutradarai oleh Ron Howard (Apollo 13, Beautiful Mind), dan film scoring-nya digarap oleh Hans Zimmer. Menggambarkan persaingan sengit antara pebalap F-1, James Hunt (Chris Hemsworth) dan Niki Lauda (Daniel Bruhl) selama musim balap tahun 1970-an.

Sirkuit balap F-1 menjadi latar belakang kisah rivalitas kedua pebalap beda karakter ini. Saat pedal gas ditekan dalam-dalam, dan deru mesin mobil yang mulai bergemuruh, kita seolah ikut dalam balapan yang sedang berlangsung. Saya yang cuma menonton film ini di rumah saja sudah kebisingan, bagaimana dengan yang menonton di bioskop, yang rata-rata kualitas tata suaranya maksimal, pasti sensasi (menonton langsung) F-1 lebih terasa.

Karakterisasi James Hunt dan Niki Lauda ini diperankan dengan nyaris sempurna oleh Chris Hemsworth dan Daniel Bruhl. Dideskripsikan secara seimbang walaupun sangat berkebalikan. James Hunt (Chris Hemsworth) digambarkan sebagai sosok pebalap yang ‘sempurna’ secara fisik; tinggi, tampan, rambut pirang, gagah, ekstrovert, bad boy, sekaligus playboy. Sedangkan Niki Lauda (Daniel Bruhl) adalah sosok sebaliknya, secara fisik dia lebih pendek dari James Hunt, tak banyak bicara, pragmatis, serius, berhati-hati, intovert, setia, dan cenderung konservatif. Karakter masing-masing sangat menonjol ketika disandingkan dalam satu frame. Namun dengan berjalannya waktu kita akan melihat sekilas, kecil tapi signifikan, ada kesamaan di antara keduanya.

Btw, sebagai kaum hawa pada umumnya, pada awal film saya menyukai karakter James Hunt (iya, karena ganteng), tapi di setengah film kemudian, hati dan perhatian saya mulai melumer pada karakter Niki Lauda yang kaku, sedikit anti-sosial namun jenius. Iya, labil memang.

Inti film ini ada di scene menegangkan saat kecelakaan di sirkuit Nurburgring pada seri Formula 1 tahun 1976 direkonstruksikan dengan cukup mengerikan. Di sinilah persaingan sengit antara James Hunt dan Niki Lauda berpuncak. Di sebuah forum, sebenarnya Niki sudah mengusulkan agar lomba kali ini dibatalkan saja dengan alasan bahwa Nurburgring adalah sirkuit yang berbahaya di saat panas sekaligus mematikan di saat hujan. Tapi apa boleh buat, dia kalah suara dengan banyaknya pebalap yang tetap menginginkan digelarnya balapan di Nurburgring atas provokasi James Hunt.

Hujan lebat baru saja berhenti, lintasan Nurburgring sudah mulai kering. Saat itu, Niki Lauda baru saja keluar dari pit setelah mengganti ban basah dengan ban kering. Ia sedang mengejar ketertinggalannya setelah sempat terhalang oleh mobil pebalap lainnya. Pada sebuah tikungan tiba-tiba saja mobilnya kehilangan keseimbangan, terpelanting menghantam pagar pembatas, dan terpental kembali ke tengah lintasan dengan api yang berkobar-kobar. Tanpa ampun, kecelakaan mengerikan itu pun terjadi. Tubuh Niki Lauda setengahnya mengalami luka bakar parah, tulang-tulangnya pun patah. Tindakan emergency pun segera dilakukan. Niki Lauda dilarikan ke rumah sakit terdekat demi menyelamatkan nyawanya, sebelum akhirnya dia dibaringkan di rumah sakit paru-paru Mannheim. Setelah kejadian ini, sirkuit Nurburgring tidak lagi digunakan sebagai lintasan balap Formula 1.

Tak tahan melihat sang rival akan merebut gelar juara dunianya, Niki Lauda nekat kembali ke sirkuit balap hanya 6 minggu berselang setelah insiden tersebut. Kondisinya masih jauh dari kata sembuh sempurna. Rasa sakit yang luar biasa masih kerap dirasakannya, namun dia bukan orang yang mudah menyerah begitu saja. Ego mengalahkan rasa sakitnya. Dan memang terbukti, kembalinya Niki Lauda ke lintasan balap membuahkan hasil yang sangat brilian. Dia berhasil menyelesaikan finish di urutan empat.

Film ini diakhiri dengan ending yang antiklimaks namun sangat smooth. Di balapan terakhirnya, di Tokyo, Niki Lauda sudah bersiap untuk kembali mengadu nyali melawan James Hunt. Dia sudah tidak lagi trauma pascakecelakaan hebat di Nurburgring. Semua persiapan sudah sempurna bagi Niki Lauda. Hingga akhirnya, saat mesin mulai meraung-raung siap dijalankan dan balapan hendak dimulai, mendung tebal kembali datang. Di sini Niki Lauda mulai galau. Sontak, ingatannya kembali pada sesi balap yang hampir saja merenggut nyawanya di Nurburgring.

Setelah emosi penonton digiring ke sana ke mari, film ini ditutup dengan eksekusi adegan yang sangat indah dan penuh makna. Sesungguhnya, walaupun di sirkuit mereka terlihat penuh dengan persaingan sengit tetapi tetap terselip rasa hormat terhadap satu sama lain.

Apalagi ditambah dengan monolog Niki Lauda di akhir film yang menyatakan perasaan terjujurnya,

“Of course he didn’t listen to me. For James, one world title was enough. He had proved what he needed to prove. To himself and anyone who doubted him. And two years later, he retired. When I saw him next in London, seven years later, me as a champion again, him as broadcaster, he was barefoot on a bicycle with a flat tire, still living each day like his last. When I heard he died age 45 of a heart attack, I wasn’t surprised. I was just sad. People always think of us as rivals but he was among the very few I liked and even fewer that I respected. He remains the only person I envied.”

Tak banyak yang bisa saya komentari usai menonton film ini selain, luar biasa!

 

[devieriana]

 

gambar diambil dari Wikipedia

Continue Reading

Spotlight: Break The Story, Break The Silence

spotlight

“If it takes a village to raise a child, it takes a village to abuse one.”
– Mitchell Garabedian –

Pffiuh, setelah seminggu berkutat dengan mata pelajaran ujian kedinasan, akhirnya malam ini sempat juga nonton film keren yang bertajuk Spotlight. Film yang sudah beberapa waktu lalu saya download tapi belum sempat ditonton.

Spotlight adalah film Amerika bergenre drama biografi (diangkat dari kisah nyata), yang disutradarai oleh Tom McCarthy, dan skenarionya ditulis oleh Tom McCarthy, bekerja sama dengan Josh Singer. Dirilis pertama kali pada tanggal 6 November 2015 oleh Open Road Films. Spotlight memenangi Academy Award untuk Best Picture dan Best Original Screenplay, dari enam nominasi total yang diperolehnya. Cerita ini dibuat berdasarkan pada serangkaian cerita oleh Tim Spotlight aktual yang sempat memperoleh anugerah Pulitzer Prize for Public Service tahun 2003. Jadi, kalau di-review, Spotlight ini semacam one to the beat-nya tahun 2015. Film sekeren itu kok ya saya baru nonton, coba!

Film ini menceritakan tentang kiprah unit jurnalis investigasi surat kabar The Boston Globe, Spotlight, yang mengkhususkan diri menangani kasus-kasus besar dan prosesnya mampu memakan waktu panjang. Tim Spotlight terdiri dari Walter Robinson (Michael Keaton), sebagai Editor, yang akrab dipanggil Robby. Disusul kemudian tiga reporter, Michael Rezendez (Mark Ruffalo); Sacha Pfeiffer (Rachel McAdams); Matt Carroll (Brian dArcy James); dan Ben Bradlee Jr. (John Slattery) sebagai Deputy Editor.

Kebanyakan staf The Boston Globe, adalah orang yang lahir dan tumbuh di Boston, serta dibesarkan dalam lingkungan keluarga Katolik yang taat. Boston adalah sebuah kota di mana hampir setengah populasi adalah Katolik. Pun halnya dengan pembaca The Boston Globe. Sedikit berkebalikan dengan editor in chief mereka yang baru, Marty Baron (Liev Schreiber), dia berasal dari Miami dan seorang Yahudi. Ini penting, sebab kasus yang ditangani itu akan memberikan dampak yang besar pada beberapa karakter di dalamnya.

Kisah diawali tahun 2001, ketika Marty Baron (Liev Schreiber) mengambil alih kendali editorial The Boston Globe. Dia mempertanyakan mengapa Spotlight tidak menginvestigasi skandal pelecehan seksual yang melibatkan instansi tertua dan terpercaya di dunia, yaitu gereja, dan mengapa pengadilan menyegel dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kasus itu? Dari sinilah jalancerita bermula.

Investigasi besar itu pun dimulai. Para jurnalis menghadapi hambatan besar, baik hambatan yang berangkat dari asumsi-asumsi mereka sendiri, maupun hambatan yang berasal dari orang-orang kuat yang mencoba untuk menghentikan mereka. Namun hambatan itu toh harus dihancurkan oleh tim demi mengungkap kebenaran, meskipun kali ini mereka harus bersinggungan dengan gereja; sebuah institusi dengan kekuatan yang luar biasa, baik secara politik maupun budaya. Sebuah institusi di mana Tuhan diyakini keberadaannya, di mana jemaat lebih memilih diam menutup mata, daripada harus melawan gereja, karena melawan gereja sama saja seperti melawan utusan Tuhan, atau justru melawan Tuhan itu sendiri. Keadaan seolah makin klop, karena gereja pun memilih menutup rapat kasus ini.

Film ini menunjukkan bagaimana laporan pelecehan anak oleh pendeta Katolik perlahan diperluas dan dibentangkan. Empat jurnalis ini bekerja spartan (pantang menyerah, disiplin, percaya diri) membongkar skandal yang bahan-bahan investigasinya pernah diterima oleh Robby 20 tahun yaang lalu,saat dia masih di desk Metro The Boston Globe.

Seorang pendeta bernama John Geoghan diduga telah melakukan pelecehan seksual kepada sekitar 80 anak laki-laki. Yang menjadi permasalahan adalah, sebenarnya Kardinal Law dari Uskup Besar Boston diduga mengetahui hal tersebut namun dia hanya mendiamkannya. Berawal dari nama satu pendeta ini, tim berhasil menguak fakta-fakta baru. Di tahap awal, ada 13 nama pendeta yang diduga melakukan pelecehan seksual sebelum akhirnya berkembang menjadi 90 nama pendeta. Kebanyakan keluarga para korban pelecehan itu diberi uang tutup mulut agar mereka diam, dan tidak ada yang (berani) mengungkap kasus itu secara nyata. Hingga akhirnya tim ini menemukan fakta yang mengejutkan bahwa kejahatan seksual terhadap anak kecil ini telah terjadi secara masif dan melibatkan jaringan gereja Katolik global. It is a city-wide problem.

Fenomena gunung es, itulah istilah yang tepat untuk menggambarkan kasus ini. Sebagaimana telah tersebut di atas, jumlah pelaku pelecehan seksual ini bukan hanya satu, tapi puluhan orang. Bayangkan, jika dari satu pelaku saja sudah memunculkan banyak korban, bagaimana jika pelakunya ada puluhan? Kasus yang sedang coba mereka ungkap ini barulah sebatas kasus yang mencuat ke permukaan saja, Tom McCarthy secara eksplisit memaparkan data-data skandal yang belum terbongkar di lebih dari lima puluh tempat di dunia. Horor!

Semua anggota tim bekerja semaksimal mungkin untuk mengungkap kasus ini. Lihat saja usaha Mike Rezendes ketika mengejar seorang pengacara nyentrik bernama Mitchell Garabedian (Stanley Tucci) demi mendapatkan informasi yang diperlukan. Walaupun sempat mendapatkan penolakan keras di awal usahanya, Mike Rezendes tak patah semangat. Terbukti, kegigihannya itu mulai membuahkan hasil. Satu persatu informasi yang dibutuhkan pun mulai terkumpul, bahkan dia bisa bertemu dengan sumber informasi Si Pengacara, Patrick McSorley (Jimmy LeBlanc). Saya terkesan dengan cara Mike menggali informasi, dan memperlakukan sumber informasinya. Dia bukan hanya mendengarkan mereka dengan telinga, tapi juga dengan hati, penuh empati.

Perjuangan Sacha demi melakukan wawancara dengan para narasumber pun tak selalu berjalan lancar. Berbagai penolakan dihadapinya. Seperti ketika Sacha mencoba menghubungi salah satu pendeta yang masuk dalam daftar tersangka, Ronald Paquin (Richard O’Rourke), seorang pensiunan imam, yang sempat menjawab pertanyaan-pertanyaan Sacha dengan jujur dan ramah. Namun tetap saja dia membela diri, alasannya melakukan tindakan itu karena dulu dia pun adalah korban pelecehan seksual. Sayangnya wawancara itu terpaksa terhenti karena seorang perempuan bernama Jane Paquin (Nancy E. Carroll) tiba-tiba muncul dari balik pintu, dan meminta Sacha untuk tidak melanjutkan wawancara.

Adegan yang menyedihkan juga terjadi ketika Joe Crowley (Michael Cyril Creighton), yang sejak kecil menyadari dirinya gay itu ternyata dimanfaatkan oleh seorang pastor bernama Shanley. Bukan hal mudah untuk menceritakan kembali hal pahit yang menimpanya di masa kecil, tapi bagaimana pun demi mengungkap kasus yang telah memakan banyak korban ini, dia harus menekan rasa traumanya itu.

Ada satu adegan yang menarik di film ini. Ada sebuah grup di mana para korban pelecehan seksual itu berkumpul. Phil Saviano adalah ketua perkumpulan tersebut. Dia juga menceritakan hal apa saja yang telah dilakukan oleh para pastor tersebut ketika dia masih kecil kepada tim Spotlight. Saviano kecil menganggap pastor adalah orang baik, semacam perwakilan Tuhan di dunia. Pelaku, yang notabene jauh lebih tua secara usia, dan dianggap lebih paham dalam hal pengetahuan agama, memposisikan dirinya sebagai orang suci yang jauh dari dosa, dan ‘dekat’ dengan Tuhan. Melalui akses inilah otak cabul para pemuka agama itu bekerja memperdaya para calon korban yang usianya jauh di bawah mereka, dan pengetahuan agamanya masih jauh dari cukup.

“I was eleven. And I was preyed upon by father David Holly in Wester. And I don’t mean ‘prayed for’, I mean ‘preyed upon’.”

Awalnya, saya menduga cerita dalam film ini akan disajikan secara rumit, dan dengan alur cerita yang membosankan. Tapi ternyata dugaan saya salah, kerumitan yang muncul di film ini ternyata tidak se-complicated yang saya perkirakan. Kerumitan yang masih relatif mudah dipahami. Sekalipun film ini mengusung tema yang sensitif tapi alur ceritanya tetap nyaman untuk diikuti.

Spotlight menunjukkan bagaimana kerja yang sesungguhnya di dunia jurnalistik itu. Tom McCarthy memotret kinerja institusi media dengan sangat cermat. Usaha jurnalisme dalam menggali dan membawa ketidakadilan ke pusat perhatian publik terasa sangat tajam di film ini. Semua tersaji dalam takaran yang tepat, rapi, sistematis, dan proporsional, tanpa kesan eksploitatif yang berlebihan atau kurang sopan. Spotlight menggarisbawahi salah satu fungsi media sebagai alat kontrol sosial. Jika ada kejahatan dan terjadi secara sistemik, IMHO, sudah selayaknya medialah yang harus menjadi pencerahnya, bukan malah ikut bermufakat dengan golongan pelaku kejahatan.

Mengubah budaya tertentu memang bukan hal yang mudah, tapi jika memang diperlukan, ya harus dilakukan.

 

 

[devieriana]

 

sumber ilustrasi dari IMDB

Continue Reading

Ladies and Gentleman, Ricad Hutapea!

ricad hutapea

 

Saya mengenal saxophonist satu ini secara tidak sengaja. Berawal dari twitter, lalu disambung dengan obrolan di email dan watsap tentang permusikan, hingga akhirnya kakak satu ini memberikan saya sebuah CD.

“Eh, serius ini buat aku?”

“Iya, buat Kakak…”

“Aww, terima kasiiih…”

Yaaay! Senang! Ya senanglah, lha wong dikasih πŸ˜† Nggak ding, kebetulan saya juga penggemar smooth jazz; dan kebetulan dia bermain di aliran musik yang sama dengan selera musik saya. Jadi rasanya kok gatel kalau nggak di-review ya πŸ˜€

Pertama kali saya mendengarkan secara utuh CD-nya Ricad yang bertajuk Jalan Pertama ini saya langsung terkesan. Apalagi lagu pembukanya yang berjudul Struggle. Kalau mendengarkan lagu itu rasanya kita sedang dibawa ke suasana kafe, dengan suasana lampu yang temaram, sambil ngobrol-ngobrol dan ngopi-ngopi cantik. Permainan saxophone-nya smooth dan luwes, layaknya seorang saxophonist yang sudah lama malang melintang di jagad musik tanah air.

Siapa sangka kalau sebenarnya dulu Ricad tidak pernah bercita-cita menjadi seorang pemain saxophone. Waktu SD dia lebih suka ikut paduan suara ketimbang bermain alat musik. Baru ketika dia sudah menginjak bangku SMP ketertarikannya terhadap penguasaan alat musik mulai tumbuh. Dia mulai menyukai keyboard; dan ternyata ketertarikannya ini didukung penuh oleh keluarganya. Oleh karenanya, untuk mendalami alat musik keyboard Ricad pun dimasukkan ke lembaga pendidikan musik Sonora. Tak heran kalau akhirnya ketika dia mulai masuk ke tingkat pendidikan formal yang lebih tinggi dia memilih untuk masuk di SMK Musik Perguruan Cikini dan mengambil jurusan piano klasik di bawah bimbingan Raras Miranti. Di sinilah awal mula dia mulai berkenalan dengan alat musik saxophone karena dia merasa jenuh terus-terusan bermain piano klasik πŸ˜€ . Akhirnya untuk memaksimalkan penguasaan alat musik saxophone, selama 3 bulan Ricad belajar secara intensif di Sekolah Musik Farabi, pimpinan Dwiki Darmawan.

Jiwa Ricad rupanya sudah mulai berlabuh ke saxophone. Itulah yang menjadi alasan Ricad untuk meneruskan pendidikannya di Institut Kesenian Jakarta dan mengambil jurusan saxophone klasik di bawah bimbingan Irianto Suwondo. Tak hanya sampai di situ, Ricad juga mengasah kemampuan bermain saxophone kepada guru-guru musik lainnya, yaitu Arief Setiadi, F.A. Talafaral, dan Yoseph Sitompul. Merekalah yang mengajarkan Ricad bagaimana memainkan saxophone dengan tone yang soulful.

Mengusung aliran jazz, Ricad membentuk Music Voyage Quartet di tahun 2011. Kemampuan bermusiknya dapat disaksikan dalam beragam event jazz tanah air, seperti Java Jazz, JakJazz, Indonesian Jazz Festival, dan pagelaran Jazz Gunung. Tak hanya di atas panggung, Ricad ternyata juga terlibat dalam pembuatan album beberapa musisi tanah air, seperti Monita Tahalea dan Tohpati. Oh ya, dia juga berhasil menciptakan 2 buah single hasil kolaborasi dengan DJ Andez .

Bagaimana kok akhirnya dia bisa kenal dengan beberapa dedengkot musik jazz Indonesia? Ternyata itu awalnya juga secara tidak sengaja. Ricad bercerita kalau sebenarnya di sekitar tahun 2012-2013 dia diajak ngobrol dan bermain bareng di kafenya Indra Lesmana yaitu Red White Lounge oleh Chaka Priambudi (pemain bassnya Monita Tahalea). Ketika mereka tampil, ternyata Indra Lesmana tertarik dengan permainan saxophone-nya Ricad. Nah, dari situlah akhirnya Ricad diajak untuk menggarap project Tribute To Chick Corea untuk ditampilkan di Red White Lounge. Chick Corea ini adalah salah satu musisi jazz kawakan Amerika.

Di penghujung tahun 2014 ini, Ricad merilis albm instrumental pertamanya yang bertajuk Jalan Pertama. Di album ini ada 10 lagu yang kebetulan semuanya diaransemen sendiri oleh Ricad. Selain Struggle, saya juga suka lagu Someone To Watch Over Me yang dinyanyikan secara ringan oleh Monita Tahalea dan tentu saja diiringi permainan saxophone-nya Ricad. Kerenlah pokoknya!

Oh ya, sementara ini, untuk membangun engagement dengan fans, CD sengaja dipasarkan sendiri oleh teman saya ini. Jadi, kalau kalian ada yang berminat membeli CD-nya Ricad, atau mengajak berkolaborasi, ingin mendengarkan seberapa kerennya permainan kakak yang satu ini, silakan mention dia di twitter @ricadhutapea atau langsung ke email ricadhutapeamusic@gmail.com deh, dia pasti akan senang hati menyapa dan melayani kalian πŸ˜€

Buat temanku, Ricad. Terima kasih ngobrol-ngobrolnya. Sukses terus buat karir bermusiknya. Teruslah berinovasi dan memberi warna baru bagi musik Indonesia.

Semangat ya! πŸ˜‰

 

 

[devieriana]

 

gambar diambil dari twitternya Ricad

Continue Reading

“Tidak ada yang namanya kebetulan…”

turn left turn rightAkhir pekan kemarin saya sengaja nonton film secara marathon di rumah. Beberapa keping dvd lawas saya babat habis.Β  Salah satunya adalah film Asia berjudul Turn Left Turn Right yang dibintangi oleh aktor JepangΒ Takeshi Kaneshiro dan aktris Mandarin Gigi Leung. Kisah cinta yang dikemas secara ringan sekaligus menggemaskan. Saking ‘ringannya’ ada beberapa scene yang terasa kurang masuk akal. Tapi ya, namanya juga hiburan, ada kalanya skenario harus sedikit dipaksakan, dan logika penonton pun ikut dinonaktifkan untuk sementara waktu.

Di film itu Leung berperan sebagai seorang penerjemah, sedangkan Kaneshiro sebagai seorang pemain biola. Mereka hidup sejajar dan tampak sempurna bagi satu sama lain. Tapi entah bagaimana, nasib membuatΒ  mereka terpisah. Dulu, Kaneshiro kecil pernah menyukai seorang gadis yang bahkan namanya saja tidak sempat diketahuinya. Namun takdir ternyata berbaik hati, mereka dipertemukan kembali dalam situasi yang berbeda, dalam sebuah ketidaksengajaan.

Singkat cerita mereka pun berkenalan dan saling bercerita ini-itu. Lambat laun mereka menyadari bahwa mereka pernah bertemu di masa kecil, dan pernah saling menyukai. Nah, scene menggemaskan pun dimulai. Mereka yang sudah saling bertukar nomor telepon dengan harapan hubungan mereka akan jauh lebih baik lagi ke depannya itu ternyata masih harus mengalami cobaan. Secarik kertas yang berisi nomor telepon masing-masing itu terkena hujan dan luntur. Halaaah… 😐

Dan cerita pun bergulir dengan kebetulan-kebetulan yang menggemaskan. Tapi jangan tanya bagaimana akhir cerita di film itu ya, karena sebenarnya saya bukan mau me-review filmnya, tapi justru gara-gara film itu jadi ada pertanyaan yang berlompatan keluar dari pikiran saya.

“Percayakah kamu pada sebuah kebetulan?”

Jujur, selama ini saya masih percaya dengan kata ‘kebetulan’. Bahkan masih sering menggunakan kata ‘kebetulan’ sebagai pengganti kata ‘ndilalah‘, untuk menggambarkan sesuatu yang terjadi bukan karena kesengajaan/direncanakan.

Tapi makin ke sini saya percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi bukan karena sekadar ‘ndilalah’, bukan cuma kebetulan,Β  I do believe that there’s a reason behind everything.

Kadang kita tidak sengaja dipertemukan dengan orang-orang tertentu, dan makin ke sini ternyata ada tujuan tertentu mengapa kita sampai dipertemukan dengan mereka; seperti yang dulu pernah saya tulis di sini. Pun halnya ketika kita mengalami suatu kejadian; itu pun pasti ada pesan moralnya. Bisa saja melalui kejadian tersebut Tuhan sebenarnya ingin berkomunikasi dengan kita dengan cara-Nya tersendiri. Bukankah Dia juga sering menjawab doa-doa kita melalui jalan yang misterius?

Sometimes things happen for a reason, even if we don’t know what it is…

 

 

[devieriana]

 

ilustrasi dipinjam dari http://www.bloggang.com

Continue Reading

Tour de #KantorBaruKASKUS

 

Beberapa waktu yang lalu saya kebetulan diundang dalam acara pembukaan kantor barunya Kaskus. Rasa penasaran mendominasi kedatangan saya malam itu. Bagaimana tidak penasaran, karena katanya, kantor barunya Kaskus ini bakalan beda dengan tampilan kantor yang biasanya. Hmm, dalam bayangan saya mungkin kantornya nanti semacam ruangan luas tanpa sekat dan kubikel gitu, ya? Atau interior yang modern dengan sentuhan furniture yang futuristik mungkin?

Meskipun kantor baru Kaskus yang berlokasi di Menara Palma – Rasuna Said itu terbilang dekat dengan tempat tinggal saya, tapi tetap saja terasa jauh karena macet. Tapi syukurlah saya datang tidak terlalu terlambat. Bahkan di depan lift saya sempat bertemu dengan Mbak Ainun dan Mbak Rara Adam.

Begitu tiba di tempat acara kami disambut dengan mbak-mbak resepsionis yang sudah siap membagikan goodie bag. Sesudah mengisi buku tamu, kami lalu masuk ke ruangan yang berjuluk Green Room. Ruangan yang didesain dengan pencahayaan yang teduh, dengan sentuhan rumput dan pohon artifisial, disanalah kami (para undangan) disambut oleh manajemen Kaskus yang diwakili oleh Ghina Aliya

Selanjutnya adalah tour de office. Kami semua diajak untuk menelusuri satu persatu ruangan yang ada di kantor barunya Kaskus. Dari Green Room kami diajak melewati sebuah lorong yang lantai dan dinding kiri kanannya semua terbuat dari kayu. Dengan pencahayaan yang temaram mengingatkan saya pada jalanan tambang di bawah tanah. Di dinding sebelah kanan terpasang pigura-pigura yang berisi tulisan-tulisan/berita, dan juga foto-foto. Semacam hall of fame, gitu.

Ternyata lorong itu menghubungkan kami pada toilet yang didesain dengan unik. Dindingnya boleh kami coret-coret untuk menjejakkan nama, tanda tangan, dan akun socmed kami. Ketika menoleh ke arah kanan, terpasanglah sebuah WC duduk yang sengaja dipasang terbalik, sebagai tanda bahwa ini adalah kakus! Ya iyalah, masa ruang direksi kaya begini :mrgreen:. Uniknya, kalau tutup dudukan kloset itu dibuka, isinya adalah tempat scan sidik jari. Gokil abis, ya? πŸ˜€

spot unik di toilet kantor Kaskus

Kami lalu diajak mengunjungi sebuah ruangan luas mirip hall dengan daun-daun artifisial yang menjuntai di plafon. Sebutan bagi ruangan ini adalah Playground. Disana ada 4 divisi yang tergabung dalam satu ruangan tanpa sekat/kubikel. Ada bagian Creative, Design, Content, dan Strategist. Jangan salah, disana juga ada tempat bernama X-BOX yang bisa digunakan untuk melepas stress, main games, dan atau main musik. Asli, keren! Jadi pengen kerja disini.. *eh*. Oh ya, masih di hall yang sama, disana juga ada ruangan IT yang dilengkapi dengan scan sidik jari kalau mau masuk kesini.

Playground

Yang paling menarik bagi saya adalah ruang meeting yang ada di balik dinding. Mengingatkan saya pada scene adegan film-film sci-fi. Ketika pintu yang mirip dinding itu dibuka, didalamnya ada sederetan kursi-kursi kulit berwarna putih, dengan meja kaca, pencahayaan putih yang terang benderang, layar LCD, dan dinding yang semuanya dilapisi kaca. Jadi, nggak ada tuh yang namanya whiteboard. Yang mau meeting boleh corat-coret dan brainstorming di kaca itu.

Ruang Meeting Rahasia yang terselip di balik dinding

Berikutnya, kami diajak ke sebuah ruangan yang namanya Secret Chamber. Oh ya, sebelum ke Secret Chamber, kami diajak makan malam dulu di sebuah ruangan mirip ruang makan besar yang terdiri dari meja-meja dan bangku-bangku kayu. Yang terpenting adalah, it’s all free food here! Lumayan kan, kita nggak perlu keluar uang buat beli makan siang/makan malam. Selesai makan malam yang ditutup dengan desert berupa cendol hijau, barulah kami ke secret chamber. Disanalah sejarah Kaskus ditayangkan di sebuah giant screen. Tak kalah menariknya, selain ada games yang memperebutkan Ipad, disana kami dihibur oleh Soulvibe penampilan yang makin memeriahkan suasana malam itu. Sayangnya sih saya nggak dapet Ipad-nya.Ya udahlah nggak apa-apa, ntar beli sendiri. Jiaah, gaya! πŸ˜€

Secret Chamber yang gelap gulita

Soulvibe

Salah satu spot lucu lainnya yaitu booth foto. Disini kami boleh berfoto dengan gaya apa saja, yang nanti akan dicetak dan langsung dibagikan pada kami. Biasalah, kalau ada moment tapi nggak foto-foto kan rasanya kurang afdol ya. Apalagi di kantor sekeren ini. Wajib hukumnya! :p

booth foto Kaskus

Kalau kemarin saya kapan hari pernah nanya kantor impian dan kantor yang asik itu seperti apa dan rata-rata banyak yang menjawab seperti kantornya Google, Facebook, dll. Here we go, di Indonesia ternyata juga ada lho. Dan, kantor dengan desain unik ini sepertinya baru dimiliki oleh Kaskus, yang notabene adalah perusahaan asli Indonesia.

 

Well, akhirnya malam itu saya pulang dengan perasaan puas karena sudah diajak mengubek-ubek seluruh isi kantor keren itu. Ah, andai kantor saya yang tampilannya serius luar dalam itu tiba-tiba dirombak desain interiornya menjadi lebih hype dan modern, dengan fasilitas yang sama seperti kantornya Kaskus ini ya, pasti juga tak kalah kerennya, ya.. πŸ˜€ . Iya, tahu, nggak mungkin juga sih kayanya πŸ˜€

Nah, kalau desain kantor kalian seperti apa? πŸ˜‰

 

 

[devieriana]

 

foto pribadi

Continue Reading
1 2 3 5