Mistakes Are Okay

Sejak Alea bisa diajak berkomunikasi (usia pra TK), saya sering membagikan percakapan saya dengan Alea (7 tahun) di media sosial Instagram dalam bentuk IGstory. Percakapan yang sederhana, kadang lucu, kadang mengharukan, atau cerita parenting lainnya tentang bagaimana saya dan Alea saling berproses. Karena proses belajar itu bukan melulu dari saya untuk Alea, tapi sering kali justru dari Alea saya belajar bagaimana menjadi seorang ibu, menjadi orang tua.

Meskipun Alea adalah anak saya, tapi nyatanya saya dan Alea bukan sebuah pribadi yang sama dan identik. Ada hal-hal bawaan yang berbeda dari kami berdua. Salah satu contoh paling mendasar adalah saya orangnya kalau panik bawaannya ngegas. Tapi tidak dengan Alea. Dia adalah anak yang selalu tenang dalam menghadapi permasalahannya. Dalam mengerjakan ulangan pun demikian. Ketika teman-temannya sudah selesai, kalau dia belum selesai ya akan diselesaikan sampai selesai, tanpa panik atau terburu-buru. Bahkan saking tenangnya, mengerjakan soal matematika saja dia sambil bersenandung, sementara yang mendampingi sudah kasih aba-aba dan instruksi layaknya pelatih Paskibraka supaya dia segera menyelesaikan ulangannya.

Pun halnya ketika sesi Pembelajaran Tatap Muka (PTM), pernah ada suatu ketika dia terlambat datang ke sekolah karena bangun kesiangan. Berpamitan dan turun dari mobil dengan tenang, masuk ke halaman sekolah dengan tanpa berlari-lari, mencuci tangan dan menjalani prosedur sebelum masuk kelas dengan tanpa terburu-buru, dan bergabung di kelas dengan tanpa rasa canggung.

Mungkin beberapa doa malam saya waktu mengandung dia dulu ada yang diijabah oleh Tuhan. Alea memiliki keistimewaan tersendiri. Dia memiliki kecerdasan dan kepekaan sosial yang tinggi. Banyak hal tak terduga yang keluar dari pemikirannya, jauh di luar apa yang saya pikirkan sebelumnya. Entah apakah ini gift dari Sang Maha Pencipta atau ada hubungannya dengan kebiasaan ngobrol dengan saya sebelum tidur.

Hampir setiap malam sebelum tidur, kami sempatkan untuk ngobrol. Bukan topik yang serius, tapi topik ringan seputar aktivitas keseharian, tentang teman, tentang apa yang kami pikirkan tentang sesuatu. Intinya topiknya bisa tentang apapun. Selain untuk memperkuat bonding antara ibu dan anak, juga untuk menyisipkan nilai-nilai baik sebelum dia tidur.

Seperti halnya obrolan beberapa malam lalu. Ada seorang teman yang menceritakan bagaimana dia merespon anaknya ketika salah hitung dalam soal matematika sederhana.

“Alea, tadi temen Mama cerita, kalau anaknya salah ngejumlahin gitu. Dia kan dikasih soal sama mamanya, 6+0=…. Anaknya temen Mama jawabnya 6+0=0. Temen mama marah, dong. Masa 6+0=0, kan harusnya 6. Ya, kan? Menurut Alea gimana?”

“That’s okay, Mama. She’s still learning. So, making mistake is fine. Because it’s a proof that she’s trying…”

Jujur, saya seperti bukan sedang berbincang dengan anak usia 7 tahun. Bahkan saya sempat mengira Alea bakal mengeluarkan respon, “Hah?!”, “WHAT?!”, atau bahkan menertawakan kesalahan yang diperbuat sebayanya. Tapi ternyata saya sudah bersuuzon.

Sebenarnya kalimat-kalimat bijak seperti ini bukan sekali dua kali keluar dari pemikiran Alea. Bahkan pernah sekali dua kali justru saya yang diberi nasihat. Lucu sih kadang, seolah mendengarkan diri saya sendiri dalam versi anak-anak ketika dia menasihati saya. Tapi saya selalu membiarkan dia berproses dengan caranya. Saya percaya bahwa di setiap harinya, ada penyerapan kalimat, kata, perbuatan, tingkah laku, dan nasihat. Ada spons raksasa dalam otak dan dirinya yang siap menyerap banyak hal.

Dulu, Alea pun bukan anak yang selalu percaya diri. Ada kalanya dia memilih untuk tidak mencoba karena khawatir berbuat salah yang membuat papa mamanya marah. Perlu waktu untuk menjadikan dia anak yang mau terbuka, mencoba belajar banyak hal, dan menjadi anak yang percaya diri. Dan kuncinya memang ada di cara bagaimana kita berkomunikasi, cara kita memperlakukan dia.

Kami pun sebagai orang tua tidak pernah yang menuntut dia harus mengerjakan segala sesuatu harus benar dan sempurna. Di usianya yang masih belia rasanya terlalu naif untuk menuntut sebuah kesempurnaan tanpa melalui sebuah proses pembelajaran, penerimaan diri, atau melalui kesalahan-kesalahan. Toh kita saja yang sudah setua ini masih sering membuat kesalahan, kan?

Pernah suatu saat ketika dia masih TK, dan dia belajar Matematika sederhana, dia ada salah menghitung dan dia begitu merasa bersalah. Padahal saya waktu itu baik-baik saja, tidak menyalahkan, pun membuat dia terhakimi. Tapi reaksinya di luar dugaan. Dia sedih, merasa bersalah, dan lalu meminta maaf. Respon saya waktu itu ya otomatis memeluk sambil mencium dia, karena sebenarnya setidak apa-apa itu. That’s not a big deal, Alea.

“So is it good if I make mistake? Will you not get mad at me, Mama?”

Ya, of course it’s fine. Mama nggak menuntut Alea jadi anak yang supersempurna, yang nggak pernah bikin kesalahan. Learning is a continuous process in life. And making mistakes is a part of learning process. When we learn new things, we tend to make mistakes, which is natural and common. Mistakes happen. We all make them, it is part of what makes us human. Bikin salah waktu belajar itu nggak apa-apa, lain kali waktu mengerjakan soal harus lebih hati-hati, lebih teliti lagi, ya. OK?”

“Okay, then…”

“I just want you to be a happy human being, Alea. Just be you. Be the best version of you…”

Tidaklah terlalu penting menjadi sosok yang sempurna. Namun yang jauh lebih penting dari itu, saya ingin melihat Alea tumbuh jadi anak yang gembira, anak yang bahagia, anak yang tumbuh dengan versi terbaik dirinya. Karena dengan menjadi anak yang bahagia, dia akan bisa menularkan kebahagiaan di lingkungan manapun dia berada. Lebih luas lagi, semoga kelak dia bisa membawa banyak kebermanfaatan bagi sesamanya.

  • devieriana

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

Menuju Reuni Perak Bhawikarsu ’96

reuni/re·u·ni/ /réuni/ n pertemuan kembali (bekas teman sekolah, kawan seperjuangan, dan sebagainya) setelah berpisah cukup lama.

Reuni sekolah. Sebuah kata yang buat sebagian orang menyenangkan, tapi belum tentu bagi sebagian lainnya. Ada yang senang karena akan bertemu lagi dengan teman-teman lama, tapi ada juga yang lebih baik tidak perlu ada reuni, tidak usah bertemu lagi karena satu dan lain hal.

Saya memilih ada di antara senang atau tidak senang. Karena? Ya karena biasa saja. Kenangan masa SMA saya tidak banyak. Selain saya dulu bukan anak yang cukup punya percaya diri, juga karena rumah saya agak jauh, jadi sepulang sekolah saya memilih langsung pulang ketimbang harus kumpul-kumpul sana sini. Ya, kehidupan sosial saya di masa SMA memang agak suram, tapi entah kenapa saya justru menikmati ketidakhebohan di masa SMA dulu. Lebih nyaman bergaul seperlunya. Itulah kenapa foto-foto dokumentasi masa SMA tidak banyak, karena dulu saya seantisosial itu.

Dan di tahun 2021, adalah tahun di mana angkatan saya memasuki masa reuni perak. Sebuah angka yang istimewa karena di tahun 2021 ini juga bertepatan dengan usia SMAN 3 Malang yang ke-69. Sebuah deretan angka yang menurut saya unik, “tahun 2021 (berurutan), 25 tahun (perak), 96 (angkatan saya di SMA), 69 tahun (usia SMA saya)”

Dan, ndilalah di perhelatan reuni perak ini saya didapuk sebagai salah satu anggota panitia inti bersama 9 orang teman lainnya. Semoga ketika harus membelah diri, saya bisa membagi waktu, ya.

Meski acaranya baru akan diselenggarakan di 7-8 Agustus 2021, tapi persiapannya sudah menghangat sejak awal tahun 2021. Zoom meeting demi zoom meeting dilakukan hampir di tiap akhir pekan. Bahasannya pun beragam. Ada tentang merchandise, pra acara, dokumentasi foto/video, biaya yang harus dipersiapkan, hingga meeting yang isinya mendengarkan perdebatan teman-teman panitia. Biasalah, tensi akan meningkat seiring dengan waktu yang semakin dekat.

Dan uniknya, sekarang kan sudah bulan April 2021, ya. Sebagai anggota Tim Acara, jujur, kalau kami berempat ditanya acara reuninya mau berkonsep seperti apa, masih abstrak sekali. Lho, kan sudah tinggal 4 bulan lagi, masa belum punya konsep apa-apa? Nah, entah bagaimana ceritanya, kebetulan Tim Acara yang anggotanya terdiri dari 4 orang procrastinators. Di mana biasanyaide-ide kreatif baru akan terwujud di menjelang hari H. Bisa jadi apa yang dikonsepkan di awal, berubah pada saat eksekusi karena ada satu dan lain hal yang membuatnya harus berubah/menyesuaikan. Jadi kita akan tunggu seperti apa bentuknya nanti, ya. Jadi deg-degan!

Ibarat sayur, pertemanan yang nyaris berusia 25 tahun ini pun harus dihangatkan dan disegarkan lagi supaya ketika tepat di perhelatan puncak acara nanti, kami semua masih merasa ikut beracara, ikut melihat dan merasakan apa saja perubahan signifikan setelah 25 tahun tak bersua.

Untuk menghangatkan acara, pelbagai acara pra reuni pun mulai disiapkan. Salah satunya yaitu acara yang bertajuk JAM KOSONG. Konsep acara ala semi talk show yang ber-tagline “Pelajaran favorit pemersatu bangsa” ini digarap secara santai dengan menggunakan platform zoom meeting dan tayang perdana di 30 Januari 2021. Acara yang tidak terpikirkan akan menangguk antusiasme banyak teman ini pun akhirnya menjadi gelar acara bulanan dengan topik dan pembicara yang bergantian dari satu teman ke teman lainnya.

Saya pun sempat menjadi salah satu orang yang ketiban sampur memandu acara JAM KOSONG episode keempat di 10 April 2021, yang bertajuk “Parental Burnout: Atasi Sebelum Jadi Depresi“, bersama teman pembicara yang juga seorang psikolog, Fifi Febriani Ekawati.

Memikirkan konsep acara reuni yang masih di awang-awang hingga saat ini tuh memang bikin PR. Belum lagi panitia inti yang cuma 10 orang dan masing-masing harus menjalani peran ganda dalam kepanitiaan, back to back dengan teman lainnya mengurus ini itu, selain tentu saja menjalani kehidupan masing-masing sebagai warga sipil dalam pekerjaan dan kehidupan berkeluarga.

Semoga seluruh rangkaian acara bisa tereksekusi dengan sempurna di hari H nanti. SEMANGAT!

  • devieriana

Continue Reading

Tentang Memaafkan (2)

Konon, hati manusia itu seluas samudera. Tapi dalamnya siapa tahu? Pun tentang kekuatan hati. Tak ada satupun manusia yang tahu kekuatan hati manusia lainnya. Itulah mengapa tidak semua orang memiliki sikap dan pandangan yang sama ketika harus berhadapan dengan komentar tajam dan jahatnya perbuatan orang lain.

Bagi yang terlahir dengan hati yang sekeras baja, semua hal yang membuat rasa sakit hati mungkin akan dianggap sebagai angin lalu, ya. Tapi tidak demikian dengan orang yang hatinya serapuh cangkang telur. Rasa sakit hati akan lebih rentan mendera dan meninggalkan bekas. Bukan hanya sehari, bisa berbulan-bulan, bertahun-tahun, hingga menggumpal menjadi dendam tak berkesudahan, bahkan ada yang dibawa hingga ke liang lahat.

Dari dulu saya mengklaim bahwa saya adalah seorang pemaaf. Jika ada yang menyakiti saya baik itu lewat kata maupun perbuatan, biasanya saya cepat melupakan dan memaafkan. Tapi praktiknya saya belum sepemaaf itu. Ada suatu masa di mana saya pernah menyimpan rasa sakit hati yang berkepanjangan.

Semua berawal dari peristiwa 3 tahun tahun lalu, ketika saya harus pulang mendadak karena sepulang umrah Papa masuk ruang ICU. Kondisi Papa waktu itu sudah tidak terlalu bagus. Selain karena usia, juga ada cairan di paru-paru hingga Papa mengalami kesulitan bernafas dengan lega.

Saya, adik-adik, dan Mama saling bergantian menjaga Papa di rumah sakit. Meski tetap berharap yang terbaik untuk kesembuhan Papa, tapi entah kenapa melihat perkembangan kesehatan Papa yang tidak stabil dan sempat beberapa kali menurun, membuat saya tidak berharap terlalu banyak.

Hingga ketika saya berkesempatan berjaga tepat di hari ulang tahun saya. Keadaan Papa saat itu sedikit lebih baik dan sudah dipindahkan ke ruang HCU setelah sempat tak sadarkan diri di hari sebelumnya,

“Pa, Papa pengen ngobrol atau telepon siapa gitu, nggak?”  

Dengan tersenyum Papa mengatakan kalau ingin sekali disambungkan dengan Oom (kakak kandungnya) di Jakarta, sebentar saja. Dengan sigap saya segera menyambungkan ke nomor Oom, walaupun pasti akan diterima Tante terlebih dahulu, yang penting bisa tersambung, dan dua kakak beradik yang sudah sangat lama tak bertemu ini bisa ngobrol sebentar.

Tapi siapa sangka kalau permintaan sederhana itu tidak dapat saya wujudkan hingga Papa kembali mengalami masa kritis sebelum akhirnya berpulang. Perasaan saya campur aduk, antara sedih, marah, dan menyesal.

Sejak Papa bilang kalau ingin menelepon kakaknya, tak henti-hentinya saya berusaha untuk menghubungi nomor Oom di Jakarta.  Sebenarnya selalu tersambung, walau tidak pernah diangkat. Pesan singkat yang saya kirimkan via aplikasi Whatsapp pun sebenarnya selalu dibaca karena 2 checklist biru pada pesan Whatsapp selalu terlihat. Tapi berhari-hari saya coba menghubungi nomor tersebut, namun tak jua membuahkan hasil.

Hingga selang beberapa hari setelah Papa berpulang, sebuah nomor asing menghubungi saya. Suara di ujung telepon adalah suara yang saya kenal. Suara tante yang saya pernah saya harapkan akan berkenan menyambungkan kepada Oom. Dengan suara yang agak parau beliau menyampaikan kalimat duka cita dan permintaan maaf karena tidak sempat mengangkat telepon dan membalas pesan-pesan saya lantaran terlalu sibuk mengurus rumah dan Oom yang kondisinya mulai menurun. Tante sengaja tidak mengangkat telepon saya, lantaran beliau khawatir hal itu akan mengganggu kesehatan Oom. By the way, hingga akhir hayatnya, Oom tidak pernah tahu kalau Papa sudah pergi mendahului.  

Entahlah, mungkin saat itu hati saya masih diselimuti emosi dan rasa kecewa, sehingga semua kalimat yang diucapkan Tante terdengar begitu egois bagi saya. Seolah semua ingin jadi pihak yang paling dipahami, dimengerti, dan dimaklumi. Jadi meski saat itu mulut saya memaafkan, tapi sesungguhnya tidak demikian dengan hati saya.

Selang dua tahun setelah kepergian Papa, sebuah kabar duka beredar di grup Whatsapp keluarga. Kakak kesayangan Papa ini pun berpulang menyusul hampir semua saudara kandungnya yang sudah lebih dulu pergi. Berhubung beliau dulunya adalah seorang mantan perwira tinggi TNI Angkatan Darat, maka setelah disalati sebagai penghormatan terakhir pada pukul 16.00 akan dimakamkan dengan upacara militer di Taman makam Pahlawan di Kalibata.

Gamang. Haruskah saya pergi melayat? Mampukah saya bertemu dengan orang yang dulu membuat permintaan terakhir Papa tidak terwujud? Apakah lebih baik saya berpura-pura tidak tahu saja kalau Oom meninggal dunia? Saya sempat sebatu itu, lho.

Hingga akhirnya saya ditegur oleh suami,

“Sampai kapan kamu kaya gitu? Memendam rasa sakit yang nggak perlu. Papa insyaallah juga sudah tenang di alamnya. Mama juga sudah lama memaafkan Tante dan memaklumi semua keadaan. Kenapa malah kamu yang belum bisa memaafkan? Mau kamu apakan rasa dendammu itu?”

Air mata saya tumpah bak kubangan sisa air hujan yang menjebolkan plafon rumah. Tuhan, sungguh semua rasa ini membuat saya bukan jadi diri saya. Saya yang katanya seorang pemaaf ini nyatanya adalah seorang tokoh antagonis yang kejahatannya dibalut rasa sakit hati. Rasa yang sama sekali bukan terbangun di hati, namun di kepala, yang kemudian bermetamorfosa sedemikian rupa hingga akhirnya malah membutakan diri saya sendiri.

Dengan emosi yang pelahan luruh, saya sekeluarga dan adik saya sampai juga di Taman Makam Pahlawan Kalibata menjelang magrib, karena memang upacara militer untuk beliau baru selesai. Di blok makam tempat peristirahatn Oom yang terakhir, terlihat seorang perempuan seusia Mama sedang duduk di kursi menghadap gundukan tanah yang masih merah dan penuh taburan bunga. Perawakannya kecil, matanya sembab, wajahnya pucat, dan badannya jauh lebih kurus jika dibanding dengan saat terakhir bertemu beberapa tahun lalu. Beliau adalah Tante saya.

Tante yang menyadari kehadiran kami berdua, langsung berdiri dan memeluk saya erat. Dia menangis tergugu.

Wallahualam, apakah beliau tahu apa yang saya rasa dan pikirkan, ya? Karena di sela sedu tangisnya beliau bilang begini,

“Devi, maafkan semua kesalahan Oom semasa hidup, ya. Maafkan Tante yang nggak bantu Devi buat memenuhi keinginan terakhir Papa buat ngobrol sama Oom. Maafkan keegoisan Tante waktu itu. Jujur kalau inget almarhum Papa, Tante sedih banget dan merasa bersalah. Sampaikan juga maaf Tante kepada Mama, ya. Dengan tulus Tante minta maaf… Semoga Devi berkenan memaafkan …”

Saya mengangguk dalam tangis yang tak kalah derasnya. Di sela azan magrib yang bergema, saat itu pula ego dan luka hati saya luruh bersama air mata. Permintaan maaf yang tulus sudah sewajarnya mendapatkan maaf yang sama tulusnya. Pikiran saya terbuka pelahan. Sekalipun kata maaf dari orang yang telah menyakiti itu penting, tapi sesungguhnya ada hal lain yang jauh lebih penting dari itu semua, yaitu berdamai dengan masa lalu dan memaafkan diri sendiri.

Dalam perjalanan pulang ke rumah, mata saya bengkak tapi hati saya jauh lebih damai dan lapang.

Ternyata sakit hati yang selama ini saya simpan, tak malah membuat saya merasa lebih baik. Bukannya malah sembuh, rasa sakit dan kecewa yang saya pelihara itu makin menjadi-jadi. Hingga sore itu, ketika semua sudah saling memaafkan, luka-luka saya pun sembuh. Saya tidak pernah ingin mendatangi rasa sakit itu lagi.

Jadi, last but not least, bagi siapapun yang mungkin pernah tersinggung atau sakit hati atas kata-kata dan perbuatan saya, baik yang saya sengaja maupun tidak, dengan segenap kerendahan hati saya mohon dimaafkan, ya 🙂

-devieriana-

picture source mindful.org

.

Continue Reading

Sayembara Voice over MRT Jakarta Itu

Beberapa waktu lalu, Mass Rapid Transit Jakarta (MRT) Jakarta menggelar sayembara untuk mencari pengisi suara di stasiun dan kereta. Hadiahnya pun tak main-main. Bagi pemenang sayembara pengisi suara MRT Jakarta, akan mendapatkan hadiah berupa uang Rp 35 juta. Wow!

Nah, kebetulan saya ikut mengirimkan suara di sayembara itu. Walaupun agak nekat ya, karena sebelum membuat rekaman saya sudah sepenuhnya sadar kalau yang akan ikut sayembara ini pasti kebanyakan dari kalangan yang sudah berpengalaman di bidang kepengisisuaraan. Seperti contohnya penyiar, voice over talent, dan news anchor. Tapi ya namanya mencoba peruntungan, tidak ada salahnya dicoba. Siapa tahu rezeki, kan?

Namun sesungguhnya motivasi saya ikut sayembara bukan semata-mata karena ingin 35 jutanya. Tapi lebih ke menuntaskan rasa penasaran dan memberi tantangan kepada diri sendiri. Bagaimana sih rasanya suara kita bisa didengar oleh lebih banyak orang?

Jujur, hal rekam-merekam suara ini masih awam buat saya, pun halnya tentang jenis suara seperti apa yang diidealkan oleh MRT Jakarta, suara yang dianggap layak diperdengarkan di stasiun dan kereta. Sambil mereka-reka seperti apa dan bagaimananya, sayapun membuat standar sendiri tentang bagaimana suara yang seharusnya didengar oleh para penumpang MRT Jakarta. Dengan catatan standar suara saya bisa jadi berbeda dengan standar suara peserta lainnya.

Berhubung latar belakang pekerjaan saya dulunya di bidang pelayanan dan customer service, maka sebelum membuat rekaman, saya posisikan terlebih dahulu diri saya adalah sebagai pengguna layanan. Kira-kira suara seperti apa sih ingin didengar oleh para penumpang? Kalau menurut saya ya suara yang terdengar empuk, lembut tapi tidak menye-menye, ramah namun tegas, smiling voice, dan tetap informatif.

Nah, bicara soal smiling voice nih, saya sering menggunakannya ketika harus menginformasikan sesuatu yang tanpa harus bertatap muka. Tentu saja ini informasi yang netral dan bukan berita duka, ya.

Customer service terbagi menjadi dua. Customer service by online (callcentre) dan customer service offline (tatap muka). Kalau customer service tatap muka, pelanggan bisa melihat ekspresi wajah, intonasi suara, dan gesture kita secara langsung saat melayani mereka. Tapi tidak demikian dengan layanan di callcentre. Pelanggan hanya bisa mendengar suara kita. Suara yang ramah membuat pelanggan merasa dilayani dengan nyaman. Dari sanalah dasar saya membuat rekaman suara.

Kembali lagi ke proses perekaman suara hingga pengiriman e-mail. Saya melakukan proses perekaman suara di rumah (home recording) berdasarkan script yangs udah diberikan oleh MRT Jakarta. Yaitu Saya pastikan kondisi rumah dan lingkungan sekitar dalam keadaan tenang sehingga tidak ada noise yang masuk ke dalam rekaman.

Nah, berhubung sempat galau jadi ikut atau tidak, berdasarkan ketetapan hati akhirnya pengiriman rekaman dan video saat rekaman dilakukan 2 jam mendekati batas waktu akhir pengiriman rekaman. Deg-degannya setengah mati. File yang lumayan besar itu membutuhkan waktu tersendiri sampai berhasil terkirim ke alamat e-mail panitia.

Selang setelah sekian lama menunggu, akhirnya di 15 Januari 2021, 10 nama finalis pun diumumkan via akun Instagram MRT Jakarta. Nama saya memang tidak ada di sana. Tapi saya cukup berbesar hati kok menerima keputusan MRT Jakarta. Seperti yang saya sempat sebut di atas, mereka mungkin sudah punya standar suara sendiri yang dianggap ideal.

Nah, daripada file rekaman suara saya biarkan saja di HP, akhrnya saya iseng mengunggahnya di akun Instagram saya. Tak berharap banyak akan dapat respon seperti apa. Tapi ternyata semuanya di luar dugaan. Alhamdulillah banyak dukungan dan komentar positif yang saya dapatkan. Berarti sebenarnya suara saya tidaklah jelek-jelek amatlah, ya. Hanya saja memang belum rezeki saya.

Sejauh ini sih ikut sayembara voice over MRT Jakarta ini adalah kegiatan terseru selama tahun 2020 yang katanya suram ini.

Sehat-sehat ya, semuanya…. 🙂

  • devieriana –

ilustrasi gambar dari sini

Continue Reading

Upacara Daring? Kenapa Tidak?

Tahun 2020 menjadi tahun yang memprihatinkan namun sekaligus istimewa bagi bangsa Indonesia. Di tengah pandemi, ternyata kita masih bisa merayakan HUT Kemerdekaan sekalipun dalam keterbatasan.

Untuk pertama kalinya Indonesia melaksanakan upacara peringatan kemerdekaannya secara digital akibat pandemi Covid-19 yang hingga saat ini masih belum reda. Demi memeriahkan acara tersebut, panitia telah menyediakan 17845 undangan digital yang bisa didapatkan secara daring oleh para peserta upacara melalui link registrasi pandangistana.setneg.go.id. Bukan itu saja, para peserta upacara yang telah melakukan registrasi dapat mengikuti gladi bersih upacara dan upacara secara langsung via Zoom.

Presiden Joko Widodo hadir secara langsung dengan didampingi sejumlah pejabat dan pejabat negara di Istana Kepresidenan Jakarta pada Senin, 17 Agustus 2020. Dalam balutan pakaian adat Nusa Tenggara Timur, kain motif Berantai Kaif Nunkolo, Presiden Joko Widodo memimpin upacara peringatan HUT Ke-75 Kemerdekaan RI dalam suasana khidmat.

Rangkaian upacara pengibaran bendera yang berlangsung dari pukul 09.00 hingga 10.30 itu diawali dengan tayangan rekaman wawancara dengan mantan presiden Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono. Selain itu, ditampilkan pula pertunjukan musik pra-rekaman yang memberikan penghormatan kepada para pahlawan bangsa.

Dalam salah satu segmen video, penyanyi Raisa membawakan lagu “Indonesia Pusaka” dengan latar belakang tayangan sejumlah petugas medis yang tengah berjuang di garis terdepan dalam melawan penyebaran Covid-19.

Tidak seperti upacara di tahun-tahun sebelumnya, peringatan HUT RI Ke-75 ini tidak menampilkan susunan lengkap tim pengibaran bendera nasional (Paskibraka). Kalau biasanya ada 8 orang Paskibraka, tahun ini hanya ada 3 anggota Paskibraka Nasional 2020 yang bertugas untuk mengibarkan Sang Merah Putih. Semua dilakukan dalam jumlah terbatas, namun tidak mengurangi esensi dan kekhidmatan upacara itu sendiri.

Jika tahun sebelumnya seusai upacara di kantor saya langsung menuju ke Istana Merdeka untuk menyaksikan secara langsung upacara peringatan detik-detik proklamasi kemerdekaan RI, tahun ini saya mengikuti secara daring bersama 17845 undangan lainnya.

Memang jujur rasanya pun berbeda. Karena upacara via daring ini sama seperti menyaksikan upacara secara langsung melalui televisi. Bedanya, karena ini dilakukan via aplikasi Zoom, maka para peserta di bagi ke dalam beberapa room dengan beberapa MC yang mendampingi para peserta upacara hingga upacara berakhir. Selain itu, selama menunggu upacara dimulai, MC menyampaikan beberapa informasi terkait hal-hal yang berhubungan dengan upacara, dan ada gimmick berupa kuis pertanyaan seputar acara dengan hadiah berupa souvenir upacara yang akan dikirimkan ke alamat peserta yang berhasil menjawab pertanyaan.

Oh ya, ada satu hal menarik pada pelaksanaan upacara peringatan HUT Ke-75 Kemerdekaan RI ini, yaitu diberikannya anugerah penghargaan oleh MURI yang diserahkan kepada Sekretariat Presiden, Kementerian Sekretariat Negara, sebagai pemrakarsa dan penyelenggara upacara peringatan HUT kemerdekaan secara daring dengan peserta terbanyak di dunia. Sebab belum ada negara yang menggelar upacara kemerdekaan secara daring yang diikuti oleh ribuan peserta secara langsung.

Dirgahayu Indonesiaku! Mari berjuang dan menjadi pahlawan sesuai dengan porsi dan posisi masing-masing. Tidak tertular dan tidak menularkan COVID-19 adalah cara berjuang terbaik untuk saat ini.

Merdeka dari COVID-19, merdeka Indonesia!

Continue Reading
1 2 3 106