Serius pengen jadi PNS?

applicant job

Sejak pembukaan lowongan CPNS mulai digelar, ada banyak sekali perbincangan di social media seputar alasan mengapa ingin menjadi PNS. Geli sendiri baca berbagai alasannya. Ada yang bilang ingin jadi PNS biar kerjanya santai, ada juga yang bilang biar bisa (disambi) mengerjakan hal lainnya, atau biar dapat pensiun seumur hidup, dan ada juga lho yang bilang kepuasan pribadi. Jiyeee, serius kerja jadi PNS demi kepuasan pribadi? 😉

Terlepas dari apapun alasan seseorang ingin bekerja sebagai PNS, pun pendapat lainnya tentang positif negatifnya menjadi PNS, di setiap tahun begitu lowongan seleksi CPNS dibuka ada ribuan pelamar dari seluruh daerah yang mencoba mengisi posisi yang disediakan, walau harus bersaing dengan ribuan pelamar lainnya hanya untuk memperebutkan 1-2 posisi saja. Demi mengikuti seluruh prosedur yang dipersyaratkan, mereka pun rela datang ke lokasi tes walaupun itu jauh. Seperti misalnya di pelaksanaan seleksi CPNS tahun lalu, ada peserta yang datang dari Papua juga lho.

Bersama mereka yang berusaha di jalur ‘normal’, banyak juga yang berusaha mencari ‘kesempatan’ karena merasa punya jabatan, dan atau pernah punya jabatan. Mereka sama gigihnya berusaha mencari ‘celah’ agar bisa memasukkan anggota keluarganya menjadi PNS, mulai dari membawa-bawa nama orang tua, nama pejabat/Presiden zaman tahun kapan, bahkan ada lho yang sampai membawa berkas almarhum kakek/neneknya biar kami yakin bahwa mereka masih kerabat seorang pejabat. Sampai segitunya, ya? 🙂

Seperti halnya siang itu, ketika saya tengah berkutat dengan beberapa berkas pekerjaan, dari arah pintu masuk terlihat seorang perempuan setengah baya, membawa tas tangan, pakaiannya modis, berkerudung, dan wajahnya hanya disapu make up tipis. Cantik natural. Dia datang bersama seorang pria yang usianya sekitar dua puluhan, mungkin putranya.

Dengan sopan beliau menjelaskan maksud kedatangannya ingin bertemu dengan pimpinan saya, tapi berhubung Bapak sedang Diklatpim maka saya coba membantu menanyakan hal-hal standar yang mungkin bisa dibantu oleh pejabat lain yang berwenang. Ya biasalah, tamu kan sering begitu, kurang percaya dengan staf, inginnya bertemu langsung dengan pimpinan, padahal sebenarnya bisa ditangani oleh staf.

Beliau mulai mengeluarkan setumpuk berkas dari dalam amplop plastik berwarna pink. Beberapa di antara berkas itu warnanya sudah menguning; sepintas saya melihat ada goresan tanda tangan mantan Presiden Soeharto di sana. Awalnya saya masih belum ‘ngeh’ dengan maksud beliau menunjukkan sekian banyak berkas pada saya. Sampai akhirnya beliau mulai bercerita tentang siapa dia dan apa maksud kedatangannya ke kantor saya.

Sambil mendengarkan penjelasan ibu itu, selintas saya melirik ke tempat di mana seorang pria muda yang tadi datang bersama Ibu itu duduk. Dia tampak sedang sibuk memainkan smartphone-nya.

“Papa saya dulu pejabat di sini lho, Mbak. Beliau stafnya Pak Solihin G.P, dulu kantornya di Bina Graha. Oh, mungkin Mbak belum lahir ya? Dulu Papa saya itu orang kepercayaannya Bapak (Presiden). Mama saya apalagi, beliau itu aktif mengikuti semua kegiatan kantor ini. Saya juga dulunya penari dan MC di Istana, Mbak. Saya sering nari di depan Pak Harto dan Bu Tien. Makanya, saya ke sini mau mengajukan berkas lamaran CPNS untuk anak saya. Kan pasti ada dong jatah buat keluarga besar kantor ini. Iya, kan?”

Sampai di sini saya bengong. Di saat yang sama rasanya ingin menepuk pipi saya sendiri, supaya sadar kalau saya tidak sedang hidup di Orde Baru.

“Mohon maaf Bu, saat ini untuk seleksi dan pendaftaran CPNS semua dilakukan secara online. Jadi bukan lagi dengan melampirkan berkas fisik :)”

“Iya, saya tahu. Makanya, saya mau ketemu sama Pak Kepala Biro aja, saya mau ngobrol langsung sama beliau. Setahu saya sih ada lho instansi-instansi yang sengaja memberi ‘chance’ buat keluarga pegawai atau mantan pegawai untuk menjadi PNS di instansi yang sama. Apalagi Papa saya dulunya pejabat lho, Mbak…”

Kata-kata ‘pejabat’, ‘papa saya’, beserta sederet kegiatan dan jasa yang pernah dilakukan oleh keluarga beliau di masa lalu mulai berhamburan sekadar untuk meyakinkan saya bahwa beliau pernah sangat dekat dan punya ikatan yang kuat dengan instansi tempat saya bekerja, sehigga puteranya dianggap layak mendapatkan hak istimewa untuk menjadi PNS melalui ‘jalur khusus’.

“Ok, kalau cuma ikut tes mah anak saya pasti bisalah. Dia sudah biasa ikut tes-tes seleksi semacam itu. Yang penting kan ‘tahap setelah seleksi’ itu, kan? Kalau soal ‘itu’ sih saya yang akan bicara secara pribadi dengan Pak Karo. Trus, kalau mau daftar ke mana sih, Mbak?”

Di tengah ketertegunan saya melihat usaha gigih beliau, Ibu itu memanggil puteranya untuk mencatat website yang akan saya diktekan.

“Sini, Yang… Coba dicatat dulu alamat website-nya…”

“Aku udah tahu, Ma. Aku udah pernah cek, tapi belum ada infonya…”

Saya pun menjelaskan kalau memang info dan pendaftarannya belum dibuka. Tapi nanti kalau sudah ada infonya pasti akan di-upload di website yang bisa diakses oleh semua calon pelamar.

“Oh, gitu… Ya udah, syarat-syaratnya aja deh. Biasanya syaratnya apa aja sih? Biar nanti disiapkan sama anak saya…”

“Untuk persyaratan tahun ini kami belum ada informasi resminya, Bu. Karena memang belum ada informasi dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Ini persyaratan yang tahun lalu ya, Bu. Usia pelamar maksimal 28 tahun, IPK minimal yang kami persyaratkan adalah 3,00, melampirkan scan transkrip nilai, dan ijazah terakhir. Itu saja. Selanjutnya nanti seluruh pelamar yang memenuhi syarat akan kami panggil untuk verifikasi berkas, dan….”

“Sebentar, sebentar… emang IPK minimalnya harus 3,00 ya? Wah…, berarti anak saya nggak bisa ikut tes, dong? IPK anak saya cuma 2,74. Eh, tapi… sebenarnya dia itu IPK-nya di atas 3,00 lho, Mbak. Kenapa IPK-nya jadi cuma segitu itu karena dia kena tipes. Bener lho, Mbak. Anak saya itu pinter, cuma karena sakit aja nilainya jadi jelek…”

Ibu itu berusaha meyakinkan saya bahwa sebenarnya putranya itu pintar, dan IPK yang tidak mencapai 3,00 itu bukan 100% ‘kesalahan’ putranya, tapi lebih dikarenakan kondisi kesehatan. Padahal sebenarnya tidak ada yang ‘salah’ dengan IPK 2,74 , namanya kemampuan orang kan beda-beda, karena saya pernah punya teman yang IPK-nya ‘nasakom’, alias Nilai (IPK) Satu Koma. Tapi demi menghormati beliau saya menanggapi secukupnya dengan mengangguk paham sambil tersenyum sopan.

Lalu mengalirlah cerita bahwa sebenarnya putranya sudah bekerja di salah satu firma hukum sebagai seorang Pengacara. Dalam hati saya heran, “lah, bukannya menjadi Pengacara itu sudah yang bagus, ya?” Alasan beliau mengusahakan agar putranya bisa bekerja sebagai PNS di instansi tempat saya bekerja karena almarhum kakeknya (ayah ibu itu) pernah bekerja sebagai staf kepercayaan di Istana, dan kebetulan ibu itu dulu juga pernah aktif sebagai penari dan MC di Istana. Jadi apa salahnya kalau sekarang pria muda yang berdiri tegap di sebelahnya ini meneruskan pekerjaan/karir yang sama dengan almarhum kakeknya. Saking speechless-nya, lagi-lagi saya cuma bisa tersenyum mafhum.

Ketika saya ceritakan ini pada sahabat saya dia cuma nyengir,

“I don’t want to prejudice, but she’s a good mom. Semoga pas waktunya anakku kerja I don’t have to do that. It’s a hard job for parents to make kids stand on his own…”

Saya selalu bilang ke junior-junior saya, bahwa bekerja itu tidak harus menjadi seorang pegawai negeri. Kalau memang tujuannya mencari gaji dan tunjangan yang besar solusinya bukan jadi PNS, tapi bekerjalah di swasta atau jadi pengusaha sekalian. Kalau soal menyambi sih, tergantung bisa-bisanya kita membagi waktu saja sih; dulu waktu saya masih bekerja di swasta juga bisa mengerjakan pekerjaan yang lain kok. Kalau hal-hal lain seputar stigma PNS sih saya sudah tidak terlalu kagetlah ya. Soal stigma itu masalah klise. Mengubah stigma itu tidak mudah, apalagi yang sudah tertanam bertahun-tahun. Jadi, soal stigma itu saya anggap cuma soal ‘sawang sinawang‘; soal perspektif saja.

Banyak lho PNS yang memutuskan untuk resign setelah menjalani karir sebagai PNS, dan memilih untuk bekerja sebagai pegawai swasta/BUMN karena setelah dijalani ternyata jiwa mereka sebenarnya bukan sebagai PNS.

Sesungguhnya esensi sebuah pekerjaan adalah ketika pekerjaan itu punya ‘nyawa’ bagi yang menjalaninya.

Jadi, serius masih minat jadi PNS? :p

 

[devieriana]

 

ilustrasi dipinjam dari sini

You may also like

7 Comments

  1. Ya iyalah…. khan di sini banyak waktu untuk belajar. baik pelajaran kuliah maupun pelajaran hidup…haha

  2. Kak Dev:
    1. Pasti betul kalo ingin gaji dan income yang besar jangan jadi PNS.. .p
    2. PNS tu, kadang jelas kadang gak jelas. Jadi sampai sekarang masih abu2 (baik kerjaan maupun pendapatannya)
    3. Dan ‘sawang sinawang’ atau ‘rumput tetangga lebih hijau’ itu adalah pasti. tergantung kita mensyukuri dan menikmati apa yang telah kita dapatkan.
    4. Resign dari PNS itu tidak haram kok. Khan demi kemajuan karier dan ketenangan jiwa masing2 orang
    5. Life is a choice. Sebenarnya bukan sulit dalam membuat keputusannya tetapi paling sulit adalah ketika bertahan dalam pilihan yang telah kita ambil.
    hahahahahahaha

  3. Papa dulu PNS, om juga PNS
    Dan papa masih memaksa untuk selalu ikut tes PNS juga sih
    Hanya saja, papa memang melepas anaknya, ga kayak ibu itu. 😐
    Tapi kalau dibegitukan aq juga ga mau sih, malu.. 😐
    Sekarang menikmati kerja di kantor swasta, masih pingin kerja di BUMN, atau jadi PNS, tapi..wallahualam aja deh 😐

  4. Setuju mbak.

    Mungkin pekerjaan menjadi PNS atau yang lainnya sebenarnya sama saja, dan juga tergantung masing-masing orang apakah bisa menjalankan pekerjaan itu dengan baik dan menikmatinya.

    Saya melihat beberapa orang seperti terpaksa menjadi PNS, padahal sebenarnya dia tidak menikmati bekerja dengan birokrasi di instansi pemerintah, lebih parah lagi jika posisi PNS itu dia dapatkan dengan membayar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *