Gratis : produk kadaluwarsa

Pagi ini ketika melihat berita di TV saya mendadak trenyuh melihat banyaknya warga miskin di Semarang yang rela antri & berdesak-desakan di terik matahari hanya demi untuk mendapatkan bingkisan lebaran. Sedemikian inginnya mereka merayakan lebaran dengan layak sampai harus rela berpeluh-peluh bahkan ada yang hampir tergencet antrian manusia. Kalau bingkisan yang dimaksud itu terdiri dari barang layak konsumsi sih gapapa, tapi ini ternyata barang yang sudah kadaluwarsa.. Diantaranya bahkan sudah expired tahun 1998 & pernah dilarang BPOM karena tidak layak konsumsi. Masyaallah.. kok tega ya..  🙁

Apa gunanya mengantri & membuang waktu berjam-jam kalau akhirnya mereka justru akan mengkonsumsi racun? Ya, racun. Apa namanya kalau mengkonsumsi barang yang sudah expired? Namanya moment lebaran kan pengennya berbagi keceriaan bersama keluarga, tapi apa jadinya kalau justru harus menikmati lebaran di rumah sakit? Syukur-syukur kalau cuma opname, lha kalau sampai meninggal gimana? Sebenernya nggak ada bagus-bagusnya sih, mau di opname atau akhirnya meninggal. Maksud saya kenapa pihak penyelenggara nggak mikir sampai kesana gitu lho. Kalau memang niatnya ngasih mbok ya yang ikhlas, jangan setengah-setengah. Kalau kaya begitu sih mending nggak usah ngasihlah. Buat apa ngasih orang kok barang kadaluwarsa. Maksudnya apa?

Intinya gemes aja ngeliat yang kaya begitu. Nggak kasian apa ngeliat nenek-nenek yang sudah ngantri mulai pagi, nggak tahunya cuma untuk ngantri barang expired. Duh, dimana sih letak nurani kalian hai pihak penyelenggara? Kalau kalian yang ada di posisi mereka emang mau? Emang dijamin pulangnya nggak nyesel karena sudah buang-buang waktu & nggak misuh-misuh? Saya yakin bukannya mereka nggak tahu kalau barang yang akan dibagikan itu barang-barang yang sudah seharusnya dimusnahkan. Jangan memanfaatkan moment pra lebaran ini sebagai ajang pembersihan stok gudang dengan membagikannya ke rakyat kecil. Emang mereka tahu apa sih bu/pak? Sudah hidup susah masih “dikerjain” dengan iming-iming pembagian barang yang tak layak konsumsi..

Semoga ini jadi pembelajaran & perenungan bagi semua pihak untuk lebih care, lebih peduli dengan sesama. Dengan harapan semoga kasus seperti ini tidak akan terulang lagi dikemudian hari. Jangan sampai kita juga berlaku picik & licik ketika melihat kesusahan orang lain.. Naudzubillah mindzalik..

[devieriana]

Continue Reading

Late Shopping : Shop Till You Drop

Midnite shopping

Seminggu menjelang lebaran mungkin justru menjadi moment yang lebih menarik dibandingkan dengan hari-hari awal puasa. Kenapa? Ya karena menjelang lebaran yang tinggal dihitung dengan jari justru membuat lebih bersemangat.. bukan untuk beribadah tapi.. memindahkan “tarawih” ke mall. Tentu bukan tarawih dalam arti yang sebenarnya ya.. tapi disini untuk menggambarkan ada excitement yang dirasakan oleh banyak orang untuk berburu baju & sepatu baru plus perlengkapan lebaran dibanding tarawih berjamaah di masjid.

Tarawih di masjid yang di hari-hari awal Ramadhan penuh sesak bahkan jamaahnya harus rela tarawih di luar masjid, di minggu-minggu ini justru (shaf-nya) mengalami kemajuan pesat.. Artinya, memang shafnya benar-benar maju karena berkurangnya jamaah yang shalat lantaran minggu-minggu terakhir Ramadhan ini mereka lebih memilih “tarawih & thawaf” di mall.

Tahun ini adalah tahun kedua saya mengalami & melihat berbagai excitement menjelang lebaran di Jakarta.Walaupun tak jauh beda dengan lebaran-lebaran waktu lalu di daerah saya sendiri. Namun yang pasti keriangan itu beda nuansa. Di Jakarta yang notabene mall-nya ada dimana-mana sudah jelas memberikan kesempatan yang lebih luas bagi penunjungnya untuk memilih, kemana akan menghabiskan sisa uang THR mereka sebelum lebaran tiba.

Kemarin malam sepertinya adalah puncak dari perburuan barang-barang menjelang lebaran. Hujan diskon & penawaran stok model baju-baju baru (atau justru banyakan stok lama yang dikeluarkan lagi dari gudang?). Di beberapa mall di Jakarta bahkan kompak menyelenggarakan nite sale atau 24 hours shopping hanya untuk membuka kesempatan lebih besar bagi pengunjung untuk mendapatkan barang-barang yang dibutuhkan untuk persiapan lebaran.

Rencananya kemarin sebenarnya nggak niat untuk shopping ya, cuma karena harus menunggu adik saya yang kebetulan ada training di gedung Bank Mega Jl. Tendean (TransTV) yang katanya selesai jam 17.00 walaupun nyatanya jam segitu dia belum keluar dari gedung. Alhasil saya ngider dulu bareng suami plus buka puasa sambil nunggu dia selesai training. Nah selama ngider itu, tentu saja nggak cuman ngider ya.. adalah beberapa barang yang kami beli untuk persiapan mudik ke Surabaya. Setelah selesai, malah bingung mau kemana. Karena makin malam mallnya bukan malah tambah sepi malah lebih ramai. Pengunjung berdesak-desakan memilih baju & sesudahnya mereka mulai mengantri di kasir sampai membentuk uler-uleran. Saya saja yang cuma beli anting bulat harga Rp 15.000,- harus rela ngantri di belakang sekitar 20 pengunjung di depan saya. Sabar menunggu beberapa orang di depan saya mengeluarkan barang belanjaannya bertas-tas untuk kemudian menyerahkan lembaran ratusan ribu atau menyodorkan credit card mereka ke kasir yang harus kerja ekstra keras malam itu.

Security-pun mau tak mau harus meningkatkan kewaspadaannya. Lantaran makin malam mall jusru makin penuh. Bahkan di Plaza Semanggi, salah satu mall yang menyelenggarakan acara 24 hours shopping ini, security-nya harus aktif bergerak & mengawasi keadaan di kasir & beberapa spot counter baju muslim yang ramai diserbu pengunjung. Tak heran karena counter & wagon baju muslim-lah yang paling laku kalau mendekati lebaran seperti ini.

Pemandangan yang tak kalah seru adalah melihat para bayi yang pasrah tertidur di baby trolley masing-masing sementara para orangtuanya sibuk memilih & mematut diri dengan baju-baju baru. Bahkan banyak yang tidur kelelahan di gendongan ibu/ayahnya. Kelelahan ikut orangtuanya kesana-kemari, belanja nggak selesai-selesai (gitu mungkin pikiran mereka ya?) .

Moment menjelang lebaran seperti ini, barang dagangan apa sih yang nggak laku? Para penjual berlomba-lomba menawarkan produk baru dengan harga bersaing. Penggunaan kata-kata “discount”-pun merebak dimana-mana. seolah berusaha membujuk para pelanggan untuk belanja lebih, lebih, dan lebih banyak lagi. Di saat-saat seperti ini sepertinya konsumenpun harus lebih berhati-hati. Karena tak jarang konsumen justru bukan malah merasakan yang namanya discount tapi malah tekor nggak karu-karuan. Rasanya perlu lebih bijak dalam melihat kata-kata “discount” ini. Jangan terburu nafsu berbelanja sebanyak mungkin namun ketika sampai dirumah justru merasa menyesal bukan main, lantaran terbujuk kata-kata “murah” karena setelah dihitung-hitung jatuhnya malah sama saja, harganya seperti bukan diskon. Biasanya barang didiskon karena stoknya masih banyak tapi nggak laku-laku (entah karena modelnya kurang menarik, ukurannya besar, atau warnanya yang kurang catchy). Jadi pandai-pandailah memilih barang diskon & jangan keburu lapar mata dengan kata-kata “murah”.

Oia, intermezzo.. di Plangi kemarin saya liat Tompi yang lagi manggung & sempat papasan sama Azis Gagap (Opera Van Java) di parkiran pas saya mau pulang. Tapi nggak ada satupun yang sempat foto bareng 🙁 —> d’ooh.. nggak penting banget ya endingnya?  😀

[devieriana]

 

dokumentasi pribadi hasil recapture brosur Centro

Continue Reading

Kisah Hidup dalam Sebuah Taksi

Hari ini setelah seharian diterpa “badai” telpon komplain, emailing & negosiasi sana-sini ditambah curhatan masal dari seluruh Indonesia tentang THR & teman-temannya akhirnya baru bisa pegang kerjaan sendiri sekitar jam 14.00, itupun sudah dengan “hawa” kurang bersemangat & pengen pulang, lantaran sudah terlalu sore untuk mulai kerja sementara pikiran & energi saya sudah tercurah untuk mengurusi tetek bengek masalah hak & kewajiban anak-anak saya sejak pagi.

Berhubung hari ini saya & suami ada buka bersama di kantor masing-masing jadi ya nggak bisa pulang bareng. Okelah tak apa, dan sayapun memutuskan untuk naik taksi. Lumayan kan bisa sedikit rileks.

Ternyata driver taksi yang saya tumpangi termasuk orang yang suka ngobrol. Awalnya saya pikir, “ah.. bapak ini cuma pengen basa-basi aja kali ya..”. Tapi ketika saya sadar bahwa dia nggak bisa berhenti ngobrol, akhirnya sayapun mulai mengkonsenkan diri dengan obrolan pak supir yang ternyata asli Cilacap (Jawa Tengah) itu.  Sebenarnya ini bukan kali pertama saya diajak ngobrol & curhat sama seorang supir taksi. Kebetulan saya memang “pawakan” (bakat) dicurhati orang. Dan ini pengalaman kedua saya dicurhati seorang supir  taksi.

Cerita itu mengalir sejak saya naik sampai saya tiba di tempat tujuan. Cerita unik tentang kehidupannya dia, pertemuan dengan istrinya, kebanggaan terhadap keluarganya, cita-citanya,  kecintaan & hormat kepada kedua orangtuanya. Kepandaian kedua buah hatinya & kerinduannya terhadap keluarga di Tegal. What a perfect family, pikir saya. Di sela-sela kisah hidupnya saya sempat berpikir, apa iya dia juga menceritakan hal-hal seperti ini ke semua penumpang dia atau cuma ke saya aja?

“Dulu saya nggak pernah cinta sama istri saya lho mbak..”

“ha? kok bisa pak? bapak dijodohin?”

“dijodohin sih enggak, ada “adat” di daerah istri saya.. Kalau seorang perempuan sudah dikunjungi teman pria, pasti disuruh nikah.”

“oh ya? masih ada yang kaya begitu ya pak?”

“ya adalah mbak.. namanya juga masih di daerah.. Jujur saya menikah dalam keadaan serba nggak siap. Semua ditanggung keluarga istri saya.. Ya abis gimana, wong niat saya cuma main kok malah ditodong suruh nikah..”

“ya bapak kan bisa nolak pak, kalo emang ga suka..”

“ya gak bisa gitu juga sih mbak.. wis pokoknya ribet aja.. Namanya anak, ya wis nurut aja daripada dianggap durhaka.. Uniknya saya ini pas hari H pernikahan saya , paginya saya masih di Jakarta, nyupir.. Jujur saya nggak punya uang buat menghidupi calon istri & keluarga saya mbak.. Saya benernya malu.. Calon kepala keluarga kok nggak bisa menghidupi keluarganya..”

“Lho.. trus.. perhelatan pernikahannya gimana pak?”

“hahahaha.. ya ditunda.. dandanan istri aya aja sempat dibongkar.. Tapi malamnya saya datang mbak..”

Saya tertawa.. Kisah yang aneh, tapi nyata. Taksi sudah mulai melintas di Gatot Subroto & saya mulai tertarik dengan cerita hidupnya..

“Trus kalo nggak cinta kok bisa punya anak dua pak?”, tanya saya iseng banget..

” Ya namanya tiap hari ketemu, serumah, tidur bareng.. lama-lama saya ya cinta sama dia mbak.. Saya kok merasa beruntung punya istri kaya dia. Pinter, taat beribadah nggak terlalu banyak menuntut, sederhana & pandai mengatur keuangan keluarga.. Nggak kaya istri teman saya yang kerjaannya minta uang melulu..”, tuturnya polos..

“ya itulah yang namanya jodoh ya pak.. Nggak pernah bisa ditebak datangnya darimana. Ada yang ngoyo banget cari jodoh tapi kalau Yang Diatas belum bilang “ya” ya belum ketemu-ketemu.. Ada juga yang nggak ngoyo nyari jodoh.. eh malah diparingi yang sempurna kaya istrinya bapak ya..”

“iya mbak.. wis pokoknya alhamdulillah dengan kehidupan & keluarga yang Allah sudah kasih ke saya sekarang ini mbak.. “

“Lebaran ini bapak mudik?”

“enggak mbak, mungkin habis lebaran. Kerjanya mungkin nanti agak ngoyo, biar bisa bawa uang lebih buat anak istri di rumah.. Walaupun mereka udah bilang sama saya kemarin begini, “Yah, lebaran ini ibu sama anak-anak nggak usah beli baju lebaran. Uangnya disimpen aja buat bikin rumah & anak yatim yah..”. Saya sampe terharu mbak.. “

“Alhamdulillah mereka pada mau ngerti ya pak..”

Saya tertegun, betapa Tuhan seringkali memberikan saya pelajaran hidup melalui jalan yang tak pernah saya sangka. Salah satunya lewat kesederhanaan hidup bapak supir taksi ini. Saya malu, saya yang dikaruniai lebih banyak kelebihan, keberuntungan & kemudahan sama Allah ini masih saja banyak melontarkan keluhan-keluhan nggak penting. Lebih sering melihat dengan tatapan iri ke arah warna rumput tetangga yang jauh lebih hijau daripada rumput di halaman saya sendiri. Lebih sering melihat ke atas ketimbang ke bawah.

Astaghfirullah..

Terimakasih untuk curhat & pelajaran sederhana tentang hidup hari ini ya pak..

[devieriana]

Continue Reading

Rupiah Diantara Seblakan Sampur ..

penari

Penari-penari itu melenggak-lenggokkan pinggulnya di tengah iringan gamelan jawa sambil sesekali menyibakkan sampur (selendang) ke kiri & kekanan. Make up-nya sedikit tebal mirip make up panggung, rambutnya disasak lengkap dengan sanggul & sunggar, pakaiannya terdiri dari kemben & kain panjang. Ditengah terik matahari & dinginnya malam mereka terus menari diiringi gamelan yang dibunyikan oleh tape dengan gerakan seadanya. Mereka cantik & luwes.. Namun sayangnya mereka bukan seniman tobong yang sedang mementaskan tari di sebuah panggung. Panggung mereka bahkan terlalu luas & besar. Panggung mereka adalah jalan raya yang berdebu, penonton mereka adalah orang yang tengah makan di pinggir jalan, tukang ojek, kenek & sopir bus kota, penumpang yang menunggu bus di halte, tukang becak, mbok jamu, dan berbagai kelas masyarakat lainnya. Panggung yang berkelas? Pasti bukan..

Tak jarang bukan uang yang mereka dapatkan, melainkan sindiran, cemoohan, atau tatapan sinis. Hujan, panas, siang, malam, mereka lalui dengan konsisten. Mereka jalani kehidupan mereka sebagai seorang penari jalanan. Melihat mereka berjuang, bergulat dengan lenguh napas metropolitan ini rasanya terlalu naif jika tidak menghargai keberadaan mereka. Sama halnya dengan kaum pendatang di Jakarta, mereka ingin tetap survive. Apapun akan mereka jalani selama itu halal. Menari dengan kostum ribet, tak masalah jika memang itu yang harus mereka lakukan untuk menyambung hidup. Siapa suruh datang Jakarta, begitu syair sebuah lagu. Jika memang hidup di tengah belantara Jakarta sebagai sebuah pilihan, survive adalah sebuah jawaban.

Sebagai seorang (mantan) penari saya sedikit banyak paham dengan gerakan-gerakan mereka. Kadang memang sangat jauh dari pakem, sekedar goyang, seblak sampur, pacak gulu, sudah itu saja. Tapi apalah arti pakem jika toh orang yang menontonnya tidak banyak yang tahu tentang apa itu pakem tari tradisonal Jawa, bagaimana & berapa ketukan ketika mereka harus membawakannya. Tahunya penonton ya mereka dihibur dengan lenggokan tubuh penarinya & irama gamelan. Itu saja. Syukur-syukur kalau endingnya dikasih uang, kalau tidak.. ya sudah, life must go on, kan? So, masih pentingkah gerakan sesuai pakem itu? Ada segelintir orang yang berkedok sebagai penari tradisional jalanan tapi ternyata hanya sebatas “bungkusnya” saja namun gerakannya sangat erotis, nyata-nyata malah melecehkan busana tradisional yang dikenakannya. Sedih nggak sih? Tapi semoga itu hanya sebagian kecil saja yang mengatasnamakan penari tradisional jalanan padahal tarian mereka erotis.. *sigh*

Jika melihat mereka yang tampil secara berkelompok, kemana-mana berduyun-duyun kesana kemari dengan kostum yang eye catching, apa yang ada di pikiran Anda? Kalau saya jujur kasihan sekaligus salut. Kasian karena saya yakin mereka tidak punya pilihan & kemampuan lain untuk bisa terus bertahan hidup di Jakarta. Kalau mereka punya keahlian lain pastinya mereka akan memilih untuk tidak hidup dijalanan seperti itu. Salut karena semangat hidupnya yang harus mengalahkan gengsi & rasa malunya untuk menangguk rupiah guna bertahan hidup di ibukota.

Uniknya saya seringnya justru menikmati “tontonan” itu sebagai hiburan tersendiri, hiburan batin mungkin ya. Walaupun banyak yang komentar sinis,  

“halaah, tarian begitu apa bagusnya sih Dev? Mending kalo bisa menghibur. Ngeliatnya aja gue eneg, lenggok sana, lenggok sini. kalau sekedar kaya begitu sih gue juga bisa. Kalo lo mau liat yang lebih bagus mending ke daerah aslinya aja sana ke Jawa Tengah, atau kalau mau yang jaipong mending ke Jawa Barat sana. Atau kalo mau yang deket bisa ke Taman Mini..”.

Oh, emang harus begitukah? Oke kamu juga bisa kalau hanya sekedar lenggak lenggok badan. Masalahnya, mau nggak? berani nggak menjalani hidup seperti mereka? Kok saya lebih melihat jauh daripada hanya sekedar lenggak-lenggok tubuh ya.. Apapun, bukan hal yang mudah untuk mengalahkan gengsi, apalagi untuk berjuang & bertahan hidup di Jakarta. Semua serba multiple choice. Soal pekerjaan apa yang akan dipilih itu juga salah satu pilihan hidup. Mau jadi kriminal, orang baik-baik, kuli, pekerja kantoran, wiraswasta.. whatever,  it’s all about choice..

[youtube=http://www.youtube.com/watch?v=mTp-OxfkCao&hl=en&fs=1&rel=0]

 

gambar dari sini

Continue Reading

Why Manohara?

Popularitas wanita satu ini langsung melesat jauh bak meteor ketika kasus KDRT-nya bersama pangeran dari negeri Kelantan – Malaysia di over exposed oleh media beberapa waktu yang lalu. Ya siapa lagi kalau bukan Manohara Odelia Pinot, sang model asal Indonesia yang dipersunting keluarga kesultanan Kelantan, Tengku Mohd Fahri. Semua pasti sudah tahu kan ceritanya kaya apa. Mau beneran kaya gitu atau enggak bener samasekali terserahlah ya.. Only God knows.

Sejak nama Manohara booming, apapun yang dikenakan selalu dipastikan jadi sorotan. Mulai tas, baju, kacamata, sepatu, kebaya. Apapun. Singkat kata Manohara sudah jadi salah satu icon & trendsetter mode di Indonesia. Apapun yang dipakai Manohara bisa jadi “produk unggulan” yang menghasilkan pundi-pundi rupiah terutama bagi yang memiliki bisnis tertentu. Manohara awalnya dikenal dengan tas Red Hermes, Birkin & tas-tas model besar lainnya yang notabene harganya dalam digit juta. Sejak saat itu marak di pasaran istilah “tas Manohara”. Omaigat.. Pernah iseng saya tanya ke penjual,

“tas Manohara kaya apa sih pak?”.
“Oh, tas-tas besar kaya gini lho Non..” –> eh seneng deh dipanggil Non 😀
“ooh…(kok gak mirip yah?) “, batin saya. “Jadi, cuma karena tasnya modelnya besar gitu?”
“ya kurang lebih modelnya kaya beginilah Non..”

Oalah.. kok jauh ya.. Hermes lho yaaa.. Hermes yang aslinya dihargai sekitar 40 juta itu , ternyata di pasaran cuma dijual bisa kisaran ratusan ribu rupiah (kalau mau yang 50 ribuan juga banyak kok). Saya bukan golongan kaum socialite atau Social Climber ya tapi masih ngertilah barang-barang branded macam itu.

Belum habis masalah tas Manohara, menjelang hari raya ini pasar disibukkan dengan menjual produk dengan label baru yaitu jilbab & mukena Manohara. Hmm, ini model kaya apa lagi nih? Jilbab Manohara itu yang kaya gimana sih? Kan Manohara gak berjilbab.. Trus apalagi itu, mukena Manohara. Emang dia pernah difoto lagi shalat dengan mukena model tertentukah, sehingga modelnya bisa ditiru untuk dipopulerkan ke masyarakat? Telusur punya telusur ternyata itu semua cuma masalah pelabelan alias branding.

Masih ingat kan jaman sinetron Tersanjung beberapa tahun yang lalu? Dimana semua brand berlabel Tersanjung. Mulai tas, tshirt, kemeja, topi. Mending kalau pemilihan hurufnya classy gitu ya, ini enggak tuh. Bukan berarti kalaupun diganti font-nya trus saya beli ya, enggak juga. Jujur, ngeliat aja saya udah ogah, apalagi beli. Gak banget deh. Oya, masih ada lagi, mukena Krisdayanti. Hoalah, apa lagi itu? Ya mukena merknya Krisdayanti. Hubungannya sama Krisdayanti apa? Bikinan dia? Terinspirasi dari dia? Enggak.. ya pengen aja kasih label itu. Ngakak gak sih? 😀

Jaman berulang lagi ke Manohara. Bukan hanya brand untuk fashion atau tas ya. Pelabelan manohara ini sekarang sudah masuk ke menu makanan lho. Kalau kapan hari kita sudah mendengar  tentang ayam goreng/bakar Manohara, nah kemarin saya baru denger yang namanya Es Manohara. Wooiyah, es sebangsa apakah itu? Halah, Es Campur bo’.. es campur buah gitu. Heran ya, kayanya dulu Manohara gak pernah jualan es kenapa sekarang jadi salah satu merk culinary ya?

Orang Indonesia itu pinter menggunakan peluang bisnis. Apa yang lagi trend saat itu langsung dibuat KW1 dst-nya, dilempar ke pasaran.. voilla.. keuntungan berlipat ganda. Artis siapa yang lagi booming, apa saja yang sering melekat di tampilan kesehariannya ya itulah yang akan digarap pasar.

[devieriana]

Continue Reading