Ghost Writer

Sejak peluncuran buku otobiografi terbaru Chairul Tanjung yang berjudul Anak Singkong, tanggal 30 Juni 2012 lalu, twitter juga diramaikan oleh protes keras sang penulis buku tersebut, Inu Fabiana, yang merasa hasil kerja kerasnya tidak dihargai. Entah, apakah ini bagian dari strategi marketing buku itu, atau memang ada konflik sesungguhnya antara si ghost writer dan si penyusun yang namanya tertulis di buku tersebut, Tjahja Gunawan Adiredja 😕

Ghost writer adalah seseorang yang menyediakan jasa penulisan artikel, buku cetak, dan atau konten web lainnya dengan kualitas penulisan yang tinggi, dengan format, topik, kata kunci, dan ketentuan lainnya yang telah ditentukan oleh klien. Ghost writer bertugas untuk “menerjemahkan” maksud dan ide klien ke dalam bahasa tulisan yang koheren dan utuh. Mengapa klien nggak mencoba menulis saja sendiri, daripada ribet mesti ‘menjahitkan’ ide ke ghost writer? Tidak semua orang yang pandai bicara di depan publik juga pandai merangkai kata dalam bentuk tulisan. Itulah salah satu alasan mengapa mereka menyewa jasa seorang ghost writer, salah satunya adalah untuk membantu menerjemahkan ide tersebut ke dalam format bahasa tulis.

Setelah menyimak twit Inu tanggal 1 Juli 2012 secara utuh, entah mengapa saya merasa ada kejanggalan di beberapa poin twitnya. Sependek pengetahuan saya, apapun itu jika sebuah project yang sejak awal sepakat dikerjakan secara profesional sudah seharusnya ada perjanjian hitam di atas putih yang disepakati di awal project sehingga sama-sama mengamankan kedua belah pihak. Karena pastinya dalam perjanjian tersebut akan menyangkut hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak pertama dan pihak kedua, kan? Mau yang mengajak kerja sama itu saudara atau sahabat sekalipun, kalau kerja sama itu sudah berbentuk kerja profesional dan berbayar, aturan mainnya pun harus jelas.

Kalau ada yang ingin membaca kultwit lengkap Inu Fabiana tentang #bukuCT bisa diikuti di sini. Nah, jika diperhatikan lebih jeli, poin 13 dan 14 kultwit tersebut merupakan poin yang terlewatkan oleh Inu, yang seharusnya justru menjadi poin penting project penulisan buku Chairul Tanjung tersebut.


Secara tidak langsung Inu menyatakan posisinya sebagai penulis di balik layar, di sisi lain secara tidak langsung Inu sudah mengesampingkan haknya sendiri. Andai saja dia tegas di awal kerja sama, dia sebagai apa dan akan dibayar secara profesional dengan nominal berapa, kesalahpahaman seperti ini pasti tidak akan terjadi. Sebagai seorang ghost writer seharusnya paham bahwa namanya pasti tidak akan tertampil di buku/karya yang ditulisnya, kalaupun tertampil pastinya bukan di sampul depan, tapi ada di dalam buku, bisa jadi hanya di lembar ucapan terima kasih.

Sampai di pertengahan twit disebutkan ada permintaan ibundanya agar Inu menampilkan namanya di buku yang dia tulis. Inu pun menyetujui dan mengusahakannya.


Menurut saya, ini bukan soal kalah-mengalah, ini sudah mengacu pada pekerjaan, pilihan profesi, dan menyangkut konsistensi. Koreksi kalau saya salah, sejak awal tidak ada paksaan untuk mengerjakan project ini, bukan? Jadi seharusnya tidak ada kata-kata “mengalah”, dan bukankah secara tersirat sejak awal dia sepakat bekerja sebagai seorang ghost writer, ya? Hmm, melihat begitu ruwetnya proses di balik penulisan buku ini jadi bikin penasaran… bentuk perjanjian kerja sama project ini seperti apa, ya? 😕

Selang sehari setelah kasus ribut-ribut di media tentang buku tersebut, muncul lagi twit dari yang bersangkutan, dan lagi-lagi terasa janggal buat saya.


Tapi akhirnya saya menyimpulkan bahwa terjadinya semua dispute ini adalah kurang adanya koordinasi terkait project yang sedang dikerjakan, utamanya adalah di perjanjian kerja sama.


Terlepas dari kasus buku Chairul Tanjung, entah siapa yang benar/salah, ada pelajaran yang bisa saya petik dari kasus ini. Pertama, be consistent, kalau di awal bekerja sebagai A, selanjutnya ya jadi A. Jangan pas sudah setengah jalan minta berubah posisi menjadi B atau X, kesannya jadi kurang profesional. Kedua, kalau belum siap melihat hasil karya kita diambil hak intelektual dan hak ciptanya oleh klien, jangan coba-coba untuk menjadi ghost writer. Artikel/karya yang telah diterbitkan, hak intelektual dan hak ciptanya sepenuhnya akan menjadi milik klien. Itu sudah merupakan perjanjian tidak tertulis seorang ghost writer dengan kliennya. Ketiga, jangan pernah menyepelekan surat perjanjian kerja sama dalam bentuk apapun dengan pihak manapun karena ini menyangkut hak dan kewajiban kedua belah pihak. Keempat, semua kesepakatan seharusnya berlangsung di awal, sebelum project itu dilakukan. Kalau setuju ya ambil, kalau nggak setuju ya jangan diambil. Jangan memulai pekerjaan apapun sebelum ada kesepakatan. Jadi kesepakatan itu bukan di tengah, atau di akhir project. Berkontraklah!

Just my two cents 🙂

[devieriana]

sumber ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

Tentang “Copy-Edit-Paste” Itu..

Akhirnya, setelah seminggu menjalani Diklat Keprotokolan di Pusdiklat, saya bisa menyentuh laptop juga. Kemarin memang selama diklat sengaja nggak bawa laptop karena bawaan sudah ribet, dan kebetulan materi yang diajarkan juga tidak ada yang berupa take home task.

Jadwal yang padat juga menyebabkan rutinitas setelah makan malam adalah ngobrol sebentar dan lalu masuk kamar masing-masing. Di kamar pun kadang saya bisa langsung terlelap. Maklum mata saya kan mata bayi, nggak bisa diajak begadang sedikit, kecuali diniatin dan minum kopi.

Baiklah, saya boleh langsung CCG alias Curhat-Curhat Gemes ya? Jadi ceritanya, beberapa hari yang lalu saya di-mention oleh seorang teman blogger di twitter yang bilang kalau ada salah satu tulisan di blog abal-abal saya ini yang di copy paste oleh seseorang di http://hanyanulis.wordpress.com/2011/02/20/pilih-mana-bekerja-atau-berkarir yang kebetulan isinya sama persis dengan tulisan saya yang berjudul Jangan Jadi PNS! cuma beda judul doang 🙂

Sempat heran, masa sih blog saya yang begini-begini saja tulisannya bisa memancing orang untuk melakukan copy paste? Atau mungkin karena saking abal-abalnya blog saya itulah yang mungkin membuat orang yang berniat copy paste berpikir, “halah, nggak akan ada yang bakal aware, deh… nggak ada yang kenal ini…”

Tapi ternyata walaupun tulisan di blog saya itu terdiri dari tulisan-tulisan nggak mutu dan remeh ini ternyata masih ada yang baca dan bahkan sampai mengenali  gaya penulisan saya, dan topik yang pernah saya tulis sebelumnya.

Memang konsekuensi orang yang punya blog salah satunya adalah harus melakukan update konten secara berkala. Tapi masalahnya terkadang inspirasi nggak bisa muncul seketika dan langsung bisa dituang dalam bentuk tulisan. Kadang ide berhubungan juga dengan mood. Sudah ada ide, tapi nggak ada mood nulis. Atau sebaliknya, ada mood nulis tapi nggak ada ide. Buat saya mood itu penting untuk menghasilkan tulisan yang “berjiwa”. Nah masalahnya (lagi), moodnya jarang ada yang pas, jadi ya nggak posting-posting :((. Terlalu banyak alasan saya ini! *keplak diri sendiri*

Nah trus, gimana kalau mengalami writers block, tulisan macet, nggak ada ide samasekali? Ini sih penyakit klasik, ya. Kalau saya sihmemilih nggak nulis aja selama beberapa waktu sambil melakukan penyegaran otak. Baca-baca lagi draft postingan, atau yang paling sering ya dengan cara blog walking secara berkala di waktu senggang. Biasanya sih setelah melakukan blogwalking langsung ada beberapa ide segar untuk diolah menjadi tulisan. Ingat, bukan copy paste ya. Mengolah inspirasi hasil blog walking itu menjadi tulisan dengan gaya bahasa kita sendiri.

Yang terpenting dari keseluruhan proses blogging adalah kalau kita memang butuh kutipan pernyataan tertentu untuk melengkapi tulisan, ya minta izin dari narasumbernya, atau menyertakan link tulisan yang mengarah ke pernyataan narasumber tersebut. Akan tidak etis rasanya kalau pernyataan seseorang dengan mentah-mentah kita copy paste dan kemudian kita akui sebagai pernyataan kita. Saya yakin kalau kita minta izinnya baik-baik si empunya tulisan nggak akan keberatan kok.

Ada komentar menarik ketika seorang teman bilang begini, “harusnya kamu seneng karena tulisan kamu di copy paste sama orang, karena itu berarti tulisan kamu menarik..”. Eh, tahu nggak sih, nulis blog itu juga pakai mikir lho. Kalau cuma sekedar copy paste aja sih semua orang pasti bisa. Tapi berusaha membuat karya yang original, tentu tidak mudah.

Sebenarnya sampai sekarang saya masih menunggu itikad baik dari pemilik blog untuk bersedia melakukan klarifikasi darimana dia dapatkan kalimat per kalimat yang ditulis di blognya tersebut. Karena setelah ditelusuri oleh seorang teman ternyata yang menjadi korban plagiarisme bukan hanya tulisan saya, tapi juga ada beberapa tulisan lainnya disana 🙁 *prihatin*

Saya nggak akan marah kok, justru akan senang kalau  si pemilik blog  berbesar hati mau mengakui kalau tulisan-tulisan yang diposting di blognya adalah hasil tulisan blogger yang lain. Kalau buat saya sih percuma blog saya rame, banyak yang komen, banyak yang berlangganan RSS feed, tapi kalau postingan saya nggak ada yang murni hasil tulisan saya ya buat apa? Itu kalau saya, ya.

Ya udahlah ya, saya cuma bisa ikut mendoakan, semoga pemilik blog tersebut dikembalikan ke jalan yang benar dan dibebaskan dari jiwa plagiarisme.. [-o<
Amien…

 

 

 

[devieriana]

ilustrasi dipinjam dari http://inioke.com dan http://tanyajawabannya.wordpress.com

 

 

Continue Reading