Language is a powerful tool, a reflection of who we are and where we come from. It shapes the way we connect with others, express ourselves, and even how we perceive the world around us.
Tumbuh besar di Jawa Timur membentuk keakraban saya dengan gaya tutur yang lugas—cepat, tegas, dan kadang terdengar keras, meski sejatinya mengandung kehangatan dan kejujuran rasa. Tapi akhir-akhir ini, saya mulai gelisah menyaksikan arah perkembangan bahasa kita, terutama dalam hal makin lumrahnya umpatan dalam komunikasi sehari-hari.
Saya bukan tipe yang gemar memaki, tetapi kata-kata seperti “cuk” atau “jancuk” bukan sesuatu yang asing di telinga. Dalam konteks pergaulan, ungkapan seperti itu kerap muncul sebagai ekspresi spontan yang penuh dengan arti—bisa marah, kaget, geli, lucu, atau akrab. Ada konteks, ada rasa. Namun yang saya amati belakangan, makian mulai kehilangan arti tersebut. Ia bukan lagi sekadar luapan emosi yang muncul dalam kondisi tertentu, namun berbah menjadi bagian tak terpisahkan dari pola bicara generasi muda, seolah-olah setiap kalimat tak lengkap tanpa sisipan umpatan.
Sering kali saya bertanya-tanya, mengapa kini semakin banyak orang yang merasa lumrah mengumpat dengan kata-kata yang secara literal merujuk pada nama hewan, anatomi genital, atau bentuk makian lain yang dulunya dianggap tabu—padahal topik yang dibicarakan bisa jadi hanya seputar hal remeh-temeh. Kata-kata seperti “anjing,” “njir,” “bangke,” “tai,” atau “cok” kini tak hanya akrab terdengar di media sosial, tetapi juga merasuk ke dalam percakapan sehari-hari. Umpatan semacam itu seolah menjadi semacam penyedap wajib dalam komunikasi, yang jika tidak ada, rasanya belum lengkap.
Yang menarik, ini bukan hanya soal siapa yang berkata kasar, tapi bagaimana bahasa tersebut digunakan tanpa pandang konteks atau audiens. Anak muda dengan penampilan clean outfit, wajah glowing hasil tujuh langkah perawatan kulit, sneakers terbaru limited edition—tetap bisa menyisipkan umpatan dengan lancar, nyaris tanpa beban. Kontras antara gaya yang tertata dan bahasa yang kasar justru memperlihatkan pergeseran nilai dalam komunikasi kita hari ini. Mungkin ini bukan lagi soal ekspresi semata, melainkan sinyal bahwa empati perlahan terkikis dalam keseharian.
Yang justru lebih mengusik bagi saya adalah bagaimana kata “cuk”—yang bermakna kultural khas Surabaya atau Jawa Timur—kini digunakan secara luas di luar konteks asalnya. Penggunaannya sering kali tidak lagi menyiratkan kedekatan emosional atau kekhasan lokal, melainkan sekadar diselipkan demi membangun kesan keren, edgy, rebel, atau gaul. Bahkan intonasinya pun terasa dipaksakan, sekadar meniru tanpa memahami rasa yang menyertainya. Misalnya, dalam kalimat seperti, “Duh, gua lupa bawa charger, cok!” makna “cuk” tak lagi hadir sebagai penanda ekspresif bermuatan lokal, melainkan berubah menjadi aksesori bahasa—tempelan gaya yang terasa asing di lidah, namun dianggap tren.
Tentu, media sosial memainkan andil penting dalam membentuk pola komunikasi masa kini. Platform digital seperti TikTok, Instagram, dan X (dulu Twitter) menyediakan ruang ekspresi yang begitu luas, instan, dan nyaris tanpa sekat. Dalam ekosistem ini, kata-kata kasar tak lagi semata-mata cerminan ledakan emosi atau agresivitas, melainkan menjelma menjadi bagian dari gaya bahasa, unsur humor, bahkan penanda keakraban dalam pergaulan virtual. Dalam atmosfer yang serba cepat, penuh tekanan sosial, derasnya informasi, dan benturan opini, umpatan sering berfungsi sebagai katarsis—jalan pintas untuk meluapkan stres secara spontan. Ditambah lagi, tanpa kehadiran lawan bicara secara fisik, batas empati kerap mengendur, membuat siapa pun merasa lebih leluasa mengucapkan apa pun yang melintas di kepala, tanpa terlalu memikirkan dampaknya.
Media sosial tak hanya menyediakan ruang ekspresi, tetapi juga secara halus membentuk pola komunikasi penggunanya. Dengan algoritma yang berperan layaknya kurator pribadi, setiap interaksi—apa yang kita tonton, sukai, atau bagikan—secara otomatis membentuk alur konten yang tampil di linimasa. Inilah yang dikenal sebagai filter bubble, gelembung digital yang mempersempit pandangan kita hanya pada hal-hal yang selaras dengan preferensi sendiri. Dalam konteks bahasa, kondisi ini melahirkan echo chamber—ruang gema sosial yang memperkuat dan mengulang gaya bicara tertentu secara terus-menerus. Jadi, ketika lingkungan pertemanan kita terbiasa menyelipkan kata-kata seperti “anjing”, “tai”, “cok”, atau “njir” dalam obrolan, dan hal itu dianggap wajar, lucu, atau gaul, kebiasaan tersebut pun akan ikut melekat. Umpatan yang dulunya punya konteks emosional atau kultural jadi terdengar datar, dan biasa saja. Lama-lama, kata-kata itu berubah fungsi—bukan lagi untuk mengekspresikan rasa, melainkan sekadar sebagai penanda jeda atau penutup kalimat, tanpa mempertimbangkan kesopanan, konteks, atau sensitivitas rasa sosial.
Kata-kata kasar tak selalu mencerminkan siapa kita secara utuh. Namun, saat frekuensinya meningkat dalam percakapan sehari-hari, tak bisa dimungkiri ada dampak yang terbentuk—terutama dalam cara kita berkomunikasi. Di era digital yang serba cepat dan permisif ini, umpatan kerap hadir bukan sebagai luapan emosi, melainkan sebagai gaya. Ia menjadi tren yang diterima begitu saja. Meski tak selalu dilandasi niat buruk, kebiasaan ini pelan-pelan bisa mengikis empati dan menciptakan jarak yang tak terlihat dalam relasi sosial.
Saya paham, bahasa itu dinamis. Slang, logat, dan ragam tutur akan terus lahir dan berganti rupa. Saya pun tidak menolak perubahan. Tapi mungkin ada baiknya kita berhenti sejenak dan bertanya: apa yang sedang kita normalisasi? Jika segala bentuk umpatan disikapi dengan, “Ah, itu mah biasa. Dari dulu juga ada. Kamu aja yang kurang jauh mainnya,” bukankah itu juga salah satu bentuk kita menyerah pada degradasi rasa? Itulah mengapa, dalam arus perubahan bahasa yang deras ini, penting untuk bertanya ulang: apa sih yang sebenarnya sedang kita rayakan? Apa yang justru mungkin sedang kita tinggalkan tanpa disadari?
Mungkin benar, saya bukan lagi bagian dari generasi yang paling fasih dengan bahasa ‘kekinian’. Atau mungkin telinga saya sudah terlalu vintage. Tapi saya masih percaya bahwa kebebasan berekspresi seharusnya berjalan beriringan dengan kesadaran akan konteks, waktu, dan rasa hormat. Cara kita berbicara mencerminkan cara kita berpikir. Dan ketika umpatan berubah dari ekspresi menjadi kebiasaan, bukankah itu alarm untuk mengevaluasi kembali—apa kabar dengan rasa? Apa kabar dengan batas? Menikmati tren tidak harus berarti melepas nalar kritis kita, kan?
“Sometimes we need to pause for a moment to realize how much we’ve been through. Only in silence, the body and soul find their way to heal”
—
I never thought a regular Wednesday would end with me lying on a hospital bed, staring at white ceilings and counting the beeps of machines. It wasn’t part of the plan. I mean, who plans to swap weekend Netflix for an IV drip and a hospital gown that doesn’t quite cover your dignity? But sometimes, life doesn’t ask for your permission—it just throws you straight onto a gurney.
Rabu (26/2) itu saya masih melanjutkan aktivitas seperti biasa—menyelesaikan pekerjaan rutin, ikut tes percakapan Bahasa Inggris, lalu munggahan bersama teman-teman kantor menyambut Ramadan. Tidak ada pertanda apa pun. Saya pikir hari itu akan berakhir seperti biasanya: pulang, istirahat, dan bersiap untuk hari esok. Tapi ternyata, semesta punya rencana lain.
Menjelang pulang kantor, perut saya mendadak terasa kembung, nyeri, melilit, dan perih yang makin lama makin menusuk. Saya pikir, ah ini cuma gangguan pencernaan biasa, bisa jadi akibat saya ada salah makan di munggahan—yang biasanya akan berangsur hilang dengan olesan minyak kayu putih dan tidur. Tapi makin lama rasa sakitnya makin intens. Posisi apa pun terasa salah. Mau berdiri atau duduk, salah. Miring ke kiri sakit, ke kanan pun tak nyaman. Karena saya pulang kantor pun sudah sore menjelang malam, akhirnya mencoba konsultasi via aplikasi kesehatan, HaloDoc. Berdasarkan keterangan yang saya berikan, dokter menyebut ada kemungkinan maag—keluhan yang belum pernah saya alami seumur hidup. Saya diberi resep, meminum obat yang diberikan sambil terus ber-husnuzan beneran cuma maag, dan esok hari saya pulih seperti semula.
Namun ternyata meski obat sudah saya minum, antara mata dan kondisi tubuh yang kesakitan, memberikan respon yang tidak sinkron. Saya justru tidak bisa tidur sampai pagi. Belum lagi ditambah adanya masalah baru, saya juga mengalami diare. Dengan kondisi tubuh yang awur-awuran ini menyebabkan tubuh saya makin lemas, nafsu makan juga mulai terganggu.
Keesokan harinya, dengan sisa tenaga, saya mencoba pergi ke klinik dekat rumah dengan naik taksi. Ternyata di klinik ini pun hasil pemeriksaan tak jauh berbeda—diduga gangguan asam lambung. Apakah memang asam lambung, maag, atau gerd deritanya sesakit ini, ya? Sama seperti harapan saya pada dokter sebelumnya, kali ini pun saya berharap bahwa saya akan segera pulih setelah menelan obat-obatan yang diresepkan. Siapa tahu beda dokter, beda resep, bisa sembuh.
Tapi ternyata saya salah. Kondisi saya malah makin memburuk. Demam yang naik turun, diare yang tak kunjung membaik, ditambah lagi nyeri yang mulai mendera di area ulu hati. Saya nyaris tidak bisa berdiri tegak, jalan membungkuk menahan sakit. Melihat kondisi saya yang tak kunjung membaik itu, akhirnya persis di 1 Maret 2025 adik saya mengantar ke RS MMC Kuningan. Di sana, saya langsung ditangani oleh dr. Fatih Anfasa, Sp.PD. Melihat kondisi saya yang lemah dan mengenaskan itu, beliau langsung menyarankan rawat inap. Dugaan awal: tipes, TBC usus, atau mungkin infeksi organ dalam lainnya.
Dari observasi yang dilakukan selama saya rawat inap, hasil laboratorium menunjukkan saya positif tipes, defisiensi vitamin D, dan HB saya 7. Haduh, kok banyak sekali. Namun di luar itu, saya merasa ada yang tidak beres dengan perut saya. Meski suhu tubuh perlahan normal dan keluhan lain nyaris tak terasa, perut saya tetap terasa penuh dan kembung, padahal asupan makanan sangat sedikit.
Sementara itu, di tengah kondisi saya yang sedang dirawat di rumah sakit, fokus pikiran saya terbelah ke mana-mana. Meski fisik saya di ruang rawat inap, namun pikiran saya selalu terjaga di rumah, terlebih lagi saat itu bertepatan dengan pekan UTS. Ini adalah kali pertama saya tidak bisa mendampingi Alea belajar mempersiapkan diri menghadapi ujian. Selama ini, meski ada papanya di rumah pun, Alea selalu lebih memilih belajar bersama saya—meskipun saya galak. Dia belum terbiasa belajar sendiri, sehingga tetap butuh pendampingan. Dalam kondisi seperti ini, solusinya adalah sepulang sekolah Alea datang ke rumah sakit sambil membawa buku-buku pelajarannya, lalu belajar di sisi ranjang saya. Meskipun jauh dari kondisi ideal, saya tetap berusaha semampu mungkin untuk hadir mendampingi.
Puncaknya adalah ketika Rabu sore (6/3), saat saya sedang menemani belajar, tiba-tiba perut bagian bawah terasa nyeri sekali. Rasa sakitnya datang begitu tiba-tiba, disusul suhu tubuh yang naik hingga 38,3°C. Segera saya dibawa ke ruang radiologi untuk menjalani USG abdomen. Sayangnya, karena nyeri yang sangat mengganggu, proses pemeriksaan tidak bisa dilakukan dengan maksimal. Jangankan disentuh atau ditekan, terkena kain baju sendiri saja rasanya sensitif.
Keesokan harinya, saya dijadwalkan menjalani pemeriksaan CT scan abdomen dengan zat kontras (zat yang digunakan dalam pemeriksaan medis seperti CT scan untuk memperjelas gambar, sehingga membantu dokter melihat struktur tubuh dengan lebih detail). Jadi, CT scan abdomen dengan zat kontras membantu dokter mendeteksi tumor, kista, infeksi, peradangan, penyumbatan usus atau saluran empedu, serta gangguan pembuluh darah di perut. Sebelum pemeriksaaan, saya diminta untuk memimum cairan kontras, dan lalu berpuasa sejak pukul 07.00, untuk memastikan usus kosong sehingga hasil scan-nya hasilnya akurat, selain itu juga untuk menghindari efek samping yang mungkin muncul akibat zat kontras, seperti mual atau muntah. Kalau ditanya rasa cairannya bagaimana, jelas jauh dari kata enak—di lidah saya, aftertaste-nya seperti minum cairan berasa logam.
Proses pemeriksaan ini umumnya berlangsung sekitar 30 menit hingga satu jam, bergantung pada jenis pemindaian dan kebutuhan medis. Usai pemeriksaan, saya kembali ke kamar untuk beristirahat sambil menanti hasil, dengan perasaan yang campur aduk. Akankah hasilnya ‘baik-baik saja’ atau justu parah?
Dan benar saja, siang itu kamar rawat saya mendadak ramai—bukan oleh keluarga atau teman yang datang menjenguk, melainkan lima dokter yang masuk bersamaan: dokter spesialis bedah digestif, dokter obgyn, dokter bedah umum, dokter spesialis penyakit dalam, dan dokter anestesi. Mereka menanyakan apa saja keluhan yang saya rasakan, lalu menginfokan hasil CT scan abdomen pagi tadi. Dokter Arief Gazali menjelaskan bahwa kondisi di dalam perut saya cukup kompleks—ada kista, ada cairan, endometriosis, adenomiosis, dan perlekatan di usus. Jujur, mendengar semua penjelasan itu, pikiran saya langsung penuh. Saya ini kenapa, ya Allah? Sampai akhirnya dokter Darmawan Lesmana memutuskan, “hari Jumat setelah Jumatan kita operasi, ya. Laparoskopi aja, lukanya kecil aja kok, jadi pemulihannya lebih cepat.”
Jumat, tanggal 7 Maret 2025, tepat pukul 12 siang, saya dibawa masuk ke ruang operasi. Tak ada lagi yang bisa saya upayakan, selain berserah diri sepenuhnya kepada Sang Kuasa. Saya pasrahkan pula semua tindakan kepada tim medis yang menangani saat itu. Saat ranjang saya mulai didorong menuju ruang operasi, sejatinya ada rasa takut meski sudah berserah. Di dalam hati saya tak henti merapal doa agar lebih tenang. Hingga akhirnya anestesi disuntikkan, saya pun perlahan tertidur—dan setelah itu, semuanya gelap.
Saya baru benar-benar siuman sekitar pukul 20.45 malam. Hampir sembilan jam berlalu, dan saya sama sekali tak tahu apa saja yang telah terjadi selama saya tak sadarkan diri. Di ruang pemulihan/transisi ada suster yang berjaga menunggu hingga saya siuman. Keluhan pertama yang saya rasakan justru bukan rasa nyeri di area bekas operasi, tapi rasa pegal di bagian punggung. Wajar saja, tubuh saya berjam-jam terbaring di atas meja operasi yang keras dan datar. Beberapa saat kemudian, saya mulai merasakan ketidaknyamanan di area hidung dan tenggorokan. Rupanya, ada dua jenis selang yang terpasang—satu untuk oksigen, dan satu lagi selang sonde yang digunakan untuk mengalirkan nutrisi langsung ke lambung. Tak lama setelah saya sepenuhnya sadar, tubuh saya dipindahkan ke ICCU dan langsung dibalut dengan selimut penghangat untuk menjaga suhu tubuh tetap stabil setelah prosedur medis.
Tak lama, suami saya datang ke ICCU. Wajahnya tampak lelah dan cemas. Rupanya selama saya berada di meja operasi, ia sempat beberapa kali dipanggil oleh dokter, dan harus menandatangi formulir persetujuan tindakan kedokteran—karena prosedur yang awalnya hanya direncanakan sebagai laparoskopi harus diubah menjadi major surgery dan itu jelas membuatnya khawatir.
Dengan suara lirih, ia berkata, “maafin aku ya, Mih. Aku sudah menyetujui dokter melakukan sesuatu atas tubuhmu tanpa persetujuanmu. Tapi semua buat kebaikan dan kesehatanmu. Sekali lagi, maafin aku, ya. Alhamdulillah, aku bersyukur kamu sudah melalui masa kritis, alhamdulillah kamu masih hidup…”
Hah, masih hidup? Apa maksudnya?
Suami saya belum sempat bercerita panjang lebar lantaran dia harus bolak-balik mengurus berbagai urusan administratif dan lainnya. Tak lama kemudian, adik saya datang bersama Alea yang terlihat lelah karena sudah menunggu sejak pulang sekolah hingga saya siuman. Adik saya menjelaskan apa yang terjadi saat operasi berlangsung. Dokter menemukan infeksi yang cukup serius di rahim saya, gabungan antara kista, adenomiosis, endometriosis, perlekatan di usus dan liver. Jadi, yang awalnya, dokter hanya merencanakan laparoskopi, namun selama prosedur berlangsung, kondisi yang ada memaksa perubahan rencana menjadi bedah mayor. Pembersihan usus dan liver tetap dilakukan. Sayatan vertikal dibuat dari atas pusar hingga ke bagian bawah perut. Prosedur yang semula hanya bertujuan untuk membersihkan saja, namun demi melihat kompleksitas masalah di dalam rahim, dokter memutuskan untuk melakukan histerektomi (pengangkatan rahim) guna mengatasi berbagai kondisi medis yang menyerang sistem reproduksi, dan mencegah keluhan yang sama terjadi berulang di masa yang akan datang.
Saya tercenung. Ternyata 8 jam lalu, ada peristiwa besar yang baru saja mengubah perjalanan hidup saya. Namun entah kenapa, saya tenang sekali mendengar cerita itu, hanya sedikit terkejut namun tidak menangis atau sedih. Semenerima itu. Risiko yang harus saya tanggung karena kesehatan saya jauh di atas segalanya. Meski akhirnya ada bagian tubuh—yang pernah menjadi tempat bagi anak saya bertumbuh—harus dilepaskan.
Dan, ketika semua orang sudah kembali ke rumah masing-masing, dan saya sendirian di ICCU, saya terjaga penuh—dengan segenap penyerahan diri memohon kepada Yang Maha Kuasa, agar saya diberi kesempatan untuk pulih, menjalani hidup yang lebih sehat, lebih ringan, dan tetap bisa membersamai keluarga tercinta.
Singkatnya, tak lama setelah keluar dari ICCU, sekitar pukul 15.00 saya dipindahkan kembali ke ruang rawat inap. Seharusnya, inilah momen awal untuk mulai latihan ringan: miring ke kanan dan kiri, lalu mencoba duduk, berdiri, hingga perlahan berjalan. Namun ternyata tubuh saya belum mampu. Bukan hanya karena rasa nyeri yang masih terasa, tapi juga secara mental saya belum sesiap itu. Berbeda dengan saat melahirkan Alea dulu—operasi sesar karena placenta previa sudah diinformasikan sejak awal, sehingga memberi saya waktu menyiapkan fisik dan mental. Namun tidak untuk kali ini. Operasi datang begitu mendadak, tanpa memberi waktu saya mempersiapkan diri lahir batin.
Butuh waktu tiga hari setelah operasi sampai akhirnya saya memberanikan diri untuk duduk, lalu perlahan berdiri dan mencoba melangkah pelan. Memang agak terlambat. Apalagi melihat perban yang rasanya begitu besar membalut area perut. Like, wow! Awalnya saya merasa belum sanggup menekuk bagian perut untuk duduk. Ternyata, setelah dicoba, saya mampu juga—meski masih terengah-engah. Mulanya saya hanya berjalan pelan di dalam kamar, hingga akhirnya berani melangkah keluar, menapaki koridor di lantai tempat saya dirawat.
Alhamdulillah, tanggal 15 Maret 2025 saya diizinkan pulang. Hasil laboratorium menunjukkan banyak perbaikan. Hati saya rasanya hangat—lega, bahagia, dan sangat bersyukur. Akhirnya saya diperbolehkan pulang, setelah 15 hari menjalani perawatan di rumah sakit. Tentu, saya pulang dengan membawa berbagai macam obat yang harus saya minum secara rutin sampai tiba waktu kontrol berikutnya.
Namun ternyata, titik paling menantang justru datang setelah saya kembali ke rumah.
Tanpa lagi ada perawat yang sigap membantu mengurangi nyeri, tanpa oksigen tambahan, atau alat bantu lain saat tubuh mulai lemah. Mau tak mau saya harus mengandalkan diri sendiri. Kemampuan kaki belum sepenuhnya kembali, baru bisa melangkah pelan. Napas terasa sesak karena batuk, sementara mual dan muntah datang mendadak akibat perut yang kosong, seiring dengan hilangnya selera makan. Tak mengherankan jika berat badan saya merosot drastis—dari 54,5 kg menjadi 42,3 kg. Saya sampai bingung saat mencoba pakaian, karena hampir semua baju saya berukuran S-M, tapi sekarang sepertinya ukurannya lebih kecil dari itu. Yang dulu terasa pas, sekarang semuanya longgar. Apa iya saya harus pakai baju ukuran kids?
Selama di rumah, setiap hari saya berusaha menantang diri melakukan aktivitas-aktivitas baru untuk melatih mobilitas dan memulihkan kekuatan otot—yang dulu sudah biasa dan bisa dilakukan, seperti mandi (selama di rumah sakit saya hanya mandi seka, itupun dibantu oleh perawat), keramas, memotong kuku kaki, menyapu lantai, mencuci baju atau piring kotor, atau sekadar menyelesaikan pekerjaan rumah lainnya, karena pascaoperasi besar melakukan hal-hal kecil seperti ini seperti sebuah pencapaian baru. Dan yang paling mengharukan adalah, ketika di pulang kontrol dari rumah sakit, ternyata saya sudah bisa pulang sendiri naik Gojek! Ah, rasanya ingin memberi pelukan ke diri sendiri, menyadari bahwa semua anggota tubuh saya seberusaha itu untuk pulih.
Kini, saya sudah kembali ke kantor dan menjalani aktivitas seperti biasa. Bahkan, pada tanggal 9 April lalu, saya sudah memandu acara Halal Bihalal di lingkungan Sekretariat Lembaga Kepresidenan. Saya juga berusaha menjalani hidup yang lebih sehat dengan rutin berolahraga, mengonsumsi makanan bergizi, dan menjalani aktivitas sehari-hari dengan semangat positif.
Melalui tulisan ini, dengan setulus hati, saya ingin berterima kasih kepada keluarga tercinta atas kasih sayang dan dukungan yang tak pernah surut, kepada sahabat-sahabat yang setia memberi perhatian dan bantuan tulus selama saya dirawat di rumah sakit, para perawat yang telah dengan sabar merawat saya selama di rumah sakit, serta kepada para dokter luar biasa yang telah menjadi bagian penting dalam perjalanan penyembuhan saya:
Berkat tangan dingin, keputusan cepat, dan ketulusan hati Bapak/Ibu Dokter, saya bisa menceritakan kembali kisah ini dengan penuh rasa syukur. Terima kasih telah menjadi bagian dari mukjizat kecil dalam hidup saya.
Pernahkah kita merenung dalam hati, apakah kebaikan yang kita berikan kepada orang lain benar-benar akan kembali kepada kita atau akan hilang begitu saja? Pertanyaan ini mungkin pernah muncul dalam pikiran kita, terutama ketika kita merasa sudah menolong/memberi banyak hal, tapi kok sepertinya tidak ada sesuau yang terlihat seperti ‘balasan’ atas kebaikan yang pernah kita lakukan, ya. Kok sepertinya terdengar pamrih, ya. Bukankah kalau berbuat kebaikan, ya sudah berbuat saja? Tapi pastilah, ada di antara kita pernah (meski secara iseng) berpikir demikian. Tapi ini bukan tentang pamrih.
Bertahun-tahun lalu, ada sebuah kejadian, di mana adik saya mengambil langkah yang bagi saya, luar biasa. Dengan segala keterbatasan yang ada, ia tiba-tiba mewujudkan impian kedua orang tua kami untuk bisa pergi umrah. Tabungan dia tidaklah banyak, namun dari sanalah orang tua kami berangkat ke tanah suci. Saya tahu, itu bukan suatu keputusan yang mudah, namun ada kebahagiaan yang melebihi apa yang sudah dia keluarkan untuk kedua orang tua kami. Pun halnya adik saya yang berkata, “Uang bisa dicari, Mbak. Tapi Papa Mama kan udah nggak muda lagi. Usia manusia nggak ada yang tahu. Ya, mungkin Allah mengizinkan Mama Papa bisa pergi ke tanah suci melalui jalur aku.” Dia meyakini bahwa sekecil apapun kebaikan yang telah dilakukan, akan selalu menemukan jalannya.
Dan ternyata, ia benar.
Enam tahun berselang, tepat di penghujung tahun ini—tanpa pernah ia duga sebelumnya—datanglah undangan untuk berangkat umrah, dan semua serba gratis. Adik saya tentu senang bukan kepalang. Bayangkan, dulu dengan segala keterbatasan, dia memberangkatkan Mama dan Papa, kini dia bisa berangkat ke tanah suci bahkan tanpa mengeluarkan biaya sepeserpun. Bukan itu saja, akomodasi dan fasilitas terbaik juga dia dapatkan. Allah rupanya sedang memuliakan adik saya melalui tangan orang-orang baik.
Kebaikan itu punya cara kerja yang unik. Ia tidak selalu kembali pada kita dalam bentuk yang persis sama, tetapi ia selalu menemukan jalannya. Bisa jadi kebaikan itu hadir dalam tawa orang-orang yang kita cintai, dalam kesuksesan anak-anak kita, atau dalam rasa lega di tengah masalah yang semula terasa begitu berat, seolah ada tangan tak terlihat yang membantu kita.
Pun halnya saya. Saya tidak pernah mengklaim diri saya baik atau pemurah, tapi ada satu peristiwa yang bagi saya terasa sangat ajaib, yang membuat saya yakin bahwa Allah hadir membantu saat saya mengalami kesulitan. Beberapa tahun lalu, saat saya masih tinggal bersama mertua, kebetulan rumah mereka berdekatan dengan masjid. Sejak saya tinggal di sana, setiap hari selalu saya sempatkan untuk memasukkan infaq ke dalam kotak amal, dengan jumlah yang random.
Saat saya sedang mengandung Alea, ketika hendak mengambil wudhu untuk salat tahajud, saya mendapati sesuatu yang tidak saya harapkan—saya mengalami pendarahan hebat, dan ketuban saya pecah sebelum waktu kelahiran tiba. Saya dan suami tahu bahwa saya harus kembali melahirkan melalui operasi sesar karena placenta previa. Di tengah malam, dengan kondisi semendadak itu, tentu bukan hal bagi kami untuk menjadwalkan operasi, apalagi mencari kamar di rumah sakit pemerintah.
Selang 8 jam kemudian, saya ditangani oleh tim dokter Rumah Sakit Pasar Rebo, dan operasi sesar pun berjalan dengan lancar. Saya dipindahkan menuju ke ruang pemuliha, di mana di sana saya berkumpul dengan para ibu pascamelahirkan, sebelum menuju ke kamar perawatan masing-masing. Suami saya masih sibuk mencari kamar yang memungkinkan saya bisa rooming-in dengan bayi kami, dan semua kamar terisi penuh. Entah dari mana pertolongan itu datang, yang sebelumnya semua kamar dinyatakan penuh tiba-tiba ada kamar Kelas 1 yang tersedia, dan saya bisa langsung menempatinya tanpa proses berbelit. Ah, rasanya Allah sedang menunjukkan kekuasaan dengan memudahkan segalanya di saat saya sangat membutuhkan-Nya. Bahkan, saya diiizinkan pulih jauh lebih cepat dibandingkan operasi caesar pertama saya pada 2008, yang membutuhkan dua minggu pemulihan—saat itu saya belum siap secara mental karena bayi pertama saya meninggal dalam kandungan.
Memberi bukan tentang berapa banyak yang kita lepaskan, melainkan tentang percaya bahwa ada sesuatu yang baik sedang menanti kita, ada pintu-pintu rezeki dan kebahagiaan yang terbuka yang sebelumnya tidak kita sadari ada. Tak peduli seberapa kecil bentuknya—waktu yang kita luangkan untuk mendengarkan, tenaga yang kita curahkan untuk membantu, atau harta yang kita sisihkan untuk berbagi—jangan pernah ragu untuk berbuat baik. Kebaikan tidak pernah pergi. Ia mungkin menempuh perjalanan panjang berliku-liku, melintasi banyak hati, dan menghidupkan banyak senyum sebelum akhirnya kembali kepada kita atau kepada mereka yang kita cintai. Tapi satu yang pasti, saat ia tiba, kebaikan selalu membawa kehangatan—entah berupa kebahagiaan, kemudahan, atau jawaban dari doa-doa yang pernah kita bisikkan dalam sunyi. Sebagaimana lingkaran yang sempurna, kebaikan akan selalu menemukan jalannya untuk kembali.
“Kebaikan itu tidak pernah salah alamat. Meski tak selalu langsung kembali, ia selalu menemukan jalan terbaik untuk menjelma menjadi kebaikan-kebaikan lain untuk pemberinya.”
Di tengah perjalanan sebuah bus Transjakarta yang melaju dari arah Kota Tua menuju ke Balai Kota, naiklah sepasang anak muda yang sejak naik hingga turun mereka duduk bersebelahan, dan saling bergandengan tangan. Selama perjalanan, mereka beberapa kali saling melakukan hal-hal kecil kepada pasangannya satu sama lain. Mengusap/mencium pipi, membelai rambut, membetulkan kerah baju, meletakkan tangan di paha pasangan, berbisik mesra lalu terbahak, dan berpelukan, semuanya dilakukan di ruang publik di dalam transportasi umum, Transjakarta. Anyway, jarak perjalanan yang ditempuh keduanya hingga sampai di pemberhentian terakhir lumayan jauh, kan? Jadi, bagi penumpang yang duduk berhadapan dengan mereka, sepertinya lebih baik pindah ke Mars, deh.
Seiring dengan perkembangan teknologi, kemesraan bukan hanya bisa dilihat secara langsung, tetapi juga dapat dilihat melalui media sosial. PDA bisa terjadi di mana saja: di taman, pusat perbelanjaan, transportasi umum, bahkan di tempat kerja. Seperti misalnya di platform media sosial Instagram, ada akun Instagram milik sepasang selebgram muda yang aktif membagikan konten kemesraan mereka di antara konten-konten kajian keagamaan. Walaupun banyak komentar yang memuji mereka dengan kata-kata seperti “ih, lucu deh kalian”, “mesra banget”, “uwuu..,” “duh, kita mah cuman bisa nyengir aja” dan berharap untuk menemukan pasangan seperti mereka, namun di dunia maya, respon yang diterima tidak selalu positif.
“Mempertontonkan kemesraan di depan publik, hmm, kok agak gimana, ya?”
“Menurutku, meskipun mereka pasangan yang sah, sebaiknya kemesraan tidak terlalu diumbar, apalagi diunggah ke media sosial. Tidak semua orang merasa bahagia seperti mereka, dan khawatirnya malah menimbulkan ain. Ini cuma pendapatku saja, ya. Maaf kalau ada yang nggak setuju.”
“Haduh, ya udah sih biar aja. Pasangan-pasangan mereka sendiri kok kalian yang ribet! Kalau nggak suka, unfollow aja..”
Public Display of Affection (PDA) atau menunjukkan kasih sayang di tempat umum sering kali menjadi perdebatan hangat. Ada yang melihatnya sebagai bentuk cinta yang romantis, sementara lainnya merasa terganggu, tidak nyaman dengan hal tersebut. Menurut Wikipedia, pamer kemesraan atau umbar kemesraan adalah perbuatan mempertunjukkan kemesraan di depan umum, yang biasanya dilakukan oleh pasangan, seperti pacar atau pasutri.
Banyak pasangan memilih untuk menunjukkan perasaan mereka kepada publik melalui PDA. Tidak ada yang tahu secara pasti tentang maksud dan tujuan orang yang melakukan PDA. Mungkin mereka berharap gestur-gestur berpegangan tangan atau berpelukan di tempat umum dapat menunjukkan kedekatan mereka kepada orang lain. Atau malah justru sebaliknya, untuk menyembunyikan ketidakamanan dalam hubungan mereka? Lebih dari sekadar mengekspresikan kasih sayang, PDA juga tentang menunjukkan komitmen mereka di hadapan orang lain.
Masing-masing individu memiliki preferensi yang beragam dalam mengekspresikan kemesraan di depan publik. Ada yang senang memperlihatkan kasih sayang kepada pasangan mereka secara terbuka, tetapi banyak juga yang lebih suka menjaga privasi dengan tidak menunjukkan kemesraan di depan orang lain. Hal ini sering dipengaruhi oleh latar belakang pribadi, budaya keluarga, atau norma sosial yang mereka anut.
Di negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Kanada, dan sebagian besar Eropa, Public Display of Affection (PDA) sering kali dianggap sebagai hal yang lumrah dan diterima secara sosial. Namun, di beberapa negara Asia dan Timur Tengah, PDA sering kali dianggap tidak pantas atau bahkan dianggap tabu. Dalam media dan budaya populer, PDA sering digambarkan sebagai sesuatu yang romantis dan diidamkan. Film, acara TV, dan musik memiliki pengaruh besar dalam cara orang mengekspresikan perasaan cinta mereka.
Kontroversi seputar PDA melibatkan berbagai isu, tidak semua orang merasa nyaman melihat PDA, terutama jika dianggap terlalu intim. Adanya perbedaan generasi juga memengaruhi, di mana generasi yang lebih tua mungkin kurang mendukung PDA karena norma sosial pada masa lalu berbeda dengan generasi muda saat ini. Perbedaan pendapat juga muncul karena setiap individu memiliki toleransi yang berbeda terhadap kemesraan di depan umum. Isu lainnya termasuk pendapat bahwa PDA sebaiknya dibatasi untuk menjaga kesopanan di tempat umum. Namun pembatasan PDA di beberapa tempat ini mengundang pertanyaan tentang seberapa jauh norma sosial dapat membatasi kebebasan individu. Oleh karena itu, penting bagi mereka yang suka melakukan PDA untuk mempertimbangkan situasi/konteks, lokasi, serta menghormati respons dan norma budaya setempat.
Jadi, walaupun PDA bisa dianggap sebagai bentuk ekspresi cinta yang berbeda-beda maknanya bagi setiap orang dan budaya, yang terpenting adalah bagaimana kita menemukan keseimbangan antara ingin mengekspresikan kasih sayang dan tetap menjaga kenyamanan serta kesopanan di tempat umum. Hal ini penting agar kita menciptakan lingkungan yang menghargai keragaman dan saling menghormati.
Pagi itu, saya, suami, dan Alea, bersiap untuk menghadiri penerimaan rapor di sekolah. Kami sengaja tiba di sekolah 30 menit lebih awal untuk mengantisipasi segala kemungkinan. Di depan kelas, sudah ada beberapa orang tua yang sudah mendapat giliran sebelumnya. Saya pun bergabung di antara mereka, sekadar say hello dan berkoordinasi tentang pembagian kenang-kenangan untuk guru Alea. Di antara topik percakapan pagi itu jauh dari bahasan tentang nilai atau prestasi akademis. Sebaliknya, kami lebih banyak berdiskusi tentang rencana liburan, destinasi menarik, dan kegiatan lainnya. Meskipun ada yang sempat menceritakan hasil rapor anaknya yang naik/turun dari semester lalu, namun topik itu segera berganti dengan obrolan ringan lainnya.
Tibalah giliran Alea tiba untuk masuk ke kelas untuk menerima rapor. Jantung saya berdegup makin kencang meski mencoba menenangkan diri dan menaruh harapan yang paling realistis. Saya tanamkan dalam pikiran saya, apapun hasilnya, saya yakin itu adalah pencapaian terbaik yang Alea bisa raih selama kelas 4. Setelah mempresentasikan tentang target dan realisasi pembelajaran semester 2 dalam Student-Led Conference, tibalah penyerahan rapor kelas 4 semester 2. Meski diselingi dengan candaan-candaan di antara Miss/Mr-nya Alea, namun hal itu tidak cukup mampu mengompromikan detak jantung saya yang makin menjadi-jadi. Buku rapor pun dibuka, satu persatu nilai mata pelajaran mulai dibandingkan dengan semester sebelumnya. Saya menyimak dengan saksama. Rasa haru tiba-tiba saja menyeruak. Ada rasa hangat yang menghampiri. Tertera nilai-nilai Alea yang hampir semua meningkat secara signifikan dibandingkan dengan semester sebelumnya. Alhamdulillah, Ya Rabb.
Jujur, setiap kali terima rapor, saya butuh lebih mempersiapkan mental dalam menerima hasil belajar Alea. Karena dalam kesehariannya, Alea adalah anak yang lebih banyak berkomunikasi dalam bahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia, sementara mata pelajaran di sekolah meskipun bilingual, banyak pelajaran berbahasa indonesia yang menuntut pemahaman secara menyeluruh. Selama ini Alea harus struggle menghadapi berbagai pelajaran yang berbahasa Indonesia yang perlu dihafal. Apalagi waktu kemarin mata pelajaran IPAS, di mana bab terakhirnya membahas tentang kerajaan-kerajaan di Indonesia. Bukan suatu hal yang mudah bagi Alea menghafalkan berbagai istilah berbahasa Sansekerta. Seringkali untuk menghafal beberapa istilah bahasa Indonesia, Alea harus menghubungkan dengan kata tertentu supaya mudah diingat. Dia pun membutuhkan waktu belajar yang sedikit lebih lama supaya mendapatkan gambaran dan pemahaman yang lebih mendalam. Kecuali di mata pelajaran bahasa Inggris, saya tidak perlu menghabiskan waktu yang lama untuk mendampingi Alea belajar.
Bahasa Inggris bagi Alea layaknya bahasa ibu, karena kesehariannya baik berkomunikasi dengan kami di rumah (meskipun kami selalu berbahasa Indonesia, namun jawaban Alea 90% menggunakan bahasa Inggris) maupun dengan teman-temannya di sekolah atau bermain Roblox pun Alea konsisten menggunakan bahasa Inggris. Sedikit intermezzo, ketika kami menginap di salah satu hotel di Bali, di kolam renang dia bisa langsung mingle dengan sekelompok anak keluarga turis asing asal Australia. “Mama, I made friends with some of Australian kids. May I met them again tommorrow in the pool?” Alea adalah seorang native speaker.
Dan seperti biasa, seusai sesi terima rapor, saya selalu berbagi kabar dengan aunty-nya Alea (adik saya), dan eyangnya Alea (Mama saya). Sama, mereka pun bersyukur atas pencapaian akademik Alea. Tapi entahlah, sepertinya Mama bisa membaca pikiran saya meski jarak jauh. Tiba-tiba saja Mama berpesan, “Sudah, jangan membanding-bandingkan Alea dengan anak lainnya. Setiap anak punya latar belakang yang berbeda-beda, tumbuh dalam lingkungan yang unik, dididik oleh orang tua yang berbeda, serta menganut nilai-nilai yang bervariasi. Pelajaran-pelajaran Alea jauh lebih menantang daripada pelajaran kamu yang dulu. Jadi beri dia kesempatan untuk berkembang sesuai dengan kemampuannya sendiri. Kamu sebagai orang tua wajib memberi dukungan supaya Alea bisa terus memperbaiki diri.” Ah, Mama. Bagaimana Mama bisa tahu apa yang sedang saya pikirkan? Tak terasa, air mata mulai menggenang di pelupuk mata.
Malamnya, ketika semua sudah terlelap, pikiran saya tetap sibuk. Sibuk berkontemplasi dan mengevaluasi diri sendiri. Mencurahkannya ke dalam bentuk tulisan sebagai pengingat diri. Sebagai ibu bekerja yang juga mahasiswa, saya merasa belum adil dalam meluangkan waktu untuk berbagai peran dalam hidup saya. Acapkali saya belum bisa memberikan waktu yang maksimal untuk Alea. Dalam beberapa semester kemarin saya berjibaku mengatur keseimbangan hidup. Belum lagi batas waktu penyelesaian tugas kuliah dan jadwal ulangan Alea yang saling berkejaran, hal itu sering membuat saya cranky. Memang inti dari semua ini adalah manajemen waktu.
Sedikit flashback ke masa saya masih sekolah, nilai ulangan dan rapor saya tidak selalu dihiasi dengan angka-angka sempurna. Tak jarang nilai saya lebih pantas dikatakan mengenaskan dibanding sempurna. Beberapa kendala yang saya alami mungkin kombinasi antara keterbatasan saya dalam mencerna pelajaran, atau mood belajar yang tidak selalu stabil. Jadi kalau ada nilai mata pelajaran yang di atas 80, sudah selayaknya dia diperlakukan layaknya sebuah mahakarya yang patut diselebrasi. Entahlah, apakah kedua orang tua saya pernah bangga pada saya waktu itu. Titik kulminasi prestasi akademis saya adalah saat menuntaskan pendidikan di sekolah menengah atas dan bangku kuliah. Di luar itu, saya adalah siswa dengan nilai yang rata-rata.
Sebagai orang tua, melihat anak berhasil dan selalu menjadi yang terbaik di kelas adalah suatu kebahagiaan dan kebanggaan. Prestasi anak merupakan hasil dari kerja keras mereka dan dukungan orang tua. Namun, dalam lingkungan yang kompetitif, penting untuk menyadari bahwa kemampuan anak tidak bisa diukur secara hitam-putih. Meskipun penting untuk memastikan anak meraih prestasi baik di sekolah dan menunjukkan peringkat, sejatinya terdapat aspek non-akademis yang lebih berpengaruh dalam menentukan kesuksesan anak di masa depan. Hidup penuh ketidakpastian, hidup bukan layaknya soal ujian kelas yang selalu punya kunci jawaban. Banyak kejutan tak terduga muncul di berbagai tikungan kehidupan, kemampuan sosial, emosional, dan mengambil risiko memainkan peran penting dalam kesuksesan anak.
Setiap anak memiliki minat dan bakatnya sendiri, dan proses pendidikan adalah perjalanan seumur hidup. Mungkin di sekitar kita adasiswa yang menyukai Matematika namun tidak jago di bahasa Inggris, ada siswa yang menyukai Sejarah namun tidak pintar di Matematika, dan ada pula siswa yang kurang pintar di bidang akademis namun jago dalam olahraga atau aktivitas fisik, karena setiap anak memiliki minat dan bakatnya masing-masing. Setiap anak itu unik dan istimewa. Akan tidak adil rasanya, jika anak hanya dinilai dari ranking atau nilai akademisnya. Anak juga perlu memahami bahwa you’re not the center of the universe, tidak semua keinginan bisa terwujud, kehidupan tidak akan selalu sesuai harapan, dan ini merupakan bagian penting dalam pembelajaran menghadapi tantangan dan penyesuaian diri. Dengan memahami bahwa hidup tidak selalu berjalan mulus, anak-anak dapat belajar untuk menjadi lebih tangguh, fleksibel, dan mampu mengatasi rintangan yang mungkin terjadi di masa depan. Memberikan pemahaman ini juga dapat membantu mereka mengembangkan sikap positif terhadap kegagalan dan ketidakpastian, yang pada akhirnya akan membantu mereka tumbuh dan berkembang sebagai individu yang kuat dan mandiri.
Pasti bukan hal mudah bagi kita yang hidup di zaman tolok ukur kepandaian dilihat dari nilai rapornya. Tapi mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus mengubah mindset bahwa nilai rapor hanya sebagai salah satu indikator untuk mengetahui titik lemah, titik unggul, dan progress belajar anak, sehingga kita sebagai orang tua tahu di titik mana harus membantu anak belajar. Dan, penekanan yang berlebihan pada ranking dan nilai akademis sejatinya dapat memberikan tekanan psikologis (kecemasan, rendahnya rasa percaya diri, dan persepsi yang keliru tentang nilai diri) pada anak. Untuk itulah, orang tua wajib memerhatikan kesehatan emosional anak, serta memberikan apresiasi terhadap beragam bakat dan minat yang dimiliki oleh setiap anak. Sesekali boleh lho mengajak mereka keluar rumah, menikmati lingkungan, bergaul, belajar dengan cara praktik langsung.
Setiap anak memiliki potensi dan kelebihan yang tidak selalu tercermin dalam pencapaian akademis. Ketika orang tua memerhatikan aspek non-akademis, kesehatan mental, dan motivasi intrinsik anak, akan membantu menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan berkelanjutan bagi anak-anak tercinta.
Semangat mendampingi anak-anak belajar dan berkembang, Parents!